Terhenti langkah tiga pria dan dua wanita di dekat temannya yang sudah berdiri depan semak, menunjuk berbagai dedaunan kecil khas semak liar yang terdapat berbagai cipratan berwarna merah. Mengernyit ia seraya menyipitkan mata, hendak hati tangan terjulur untuk menyentuhnya, namun si ketua kelompok bergerak cepat, "biar gue," sentak pria itu menepis tangan temannya, wanita bernama Vina yang sontak melangkah mundur dan menjaga jaraknya dari semak itu.Satu daun kecil dipetik si ketua, mengernyit ia mengamati cipratan bersama dua teman prianya yang tiba-tiba mendekat. Belum sempat ia bereaksi atas dugaan cipratan itu, temannya yang berambut kribo sudah mencolek cipratan itu dan mengendus jarinya.Mata si kribo membulat secara cepat seraya ia mengusap-usap jarinya ke si ketua, ada rasa jijik dan panik yang terlihat jelas dari ekspresinya, "Erwin, kenapa lo? Itu bukan darah, kan?"Beralih si kribo bernama Erwin pada wanita berkulit tan yang bertanya, sedikit melirik ia pada temannya beram
Berjalan cepat pria itu menghampiri Angga yang menggendong Desry, dan Erwin merangkul Liona yang masih dapat berjalan dan memahami situasi. Mengangguk pelan Afrian dan kembali berjalan di depan untuk memasuki rumah Erina, belum sempat enam insan itu menginjakkan kaki di teras rumah, sudah terdengar suara dua senjata tajam terasah.Slash!Menoleh tiga pria itu dan mendapati cipratan darah yang dengan cepatnya menyebar ke segala arah, sontak mereka memejamkan mata sesaat dan kembali membuka mata perlahan. Namun, terbukanya kembali kelopak mata adalah kesalahan terbesar setelah memutuskan KKN di Desa Metanoia.Bagaimana tidak? Cipratan darah berikutnya tepat mengenai wajah dan pakaian mereka, membuat Liona yang berada di samping belakang badan Erwin harus turut merasakan cipratan itu. Membuat Erwin dan Angga spontan memegang tangan Liona, dan menggenggamnya erat guna menopang tubuh yang melemas itu, "ayo masuk," tukas Afrian memberi perintah pada teman-temannya, disusul dengan Angga yang
[13 Tahun Lalu]Hamparan ombak luas di tepi pantai terdengar jelas berderu dan bersahutan, bunyi yang bersahutan dengan suara seorang anak kecil perempuan di tepi pantai. Terduduk seorang diri di batu besar tepi pantai, sesekali pula mengangkat kedua kaki saat ombak menghantam batu tempat ia berada."Aaaaa ...," ucapnya panjang sambil membentuk garis di batu besar yang basah, "B!" seru anak itu melanjutkan ejaannya.C ... D ... E ... dan huruf lainnya pun disebutkan satu persatu setiap kali ombak telah menghantam batu, saat menurunkan kaki maka saat itulah dia mengeja huruf. Sendiri namun begitu asyik dengan dunia yang dibangunnya, sampai ia tiba di huruf Z yang menjadi huruf terakhir dalam alfabet.Merengut anak kecil itu mulai merasa bingung untuk menentukan hal yang perlu dilakukannya, "satu ditambah satu, sama dengan dua," katanya mengingat-ingat perhitungan dasar sambil mengangkat dua tangannya yang mengacungkan jari telunjuk."Ririn!" teriak seorang wanita berusia sekitar dua pu
Terpejam erat spontan mata pria dewasa di samping anak kecil berusia sembilan tahun, terhela napas pria itu pelan yang seringkali ditiru anak kecil di sampingnya setiap kali merasa kesal. Walau dirinya tidak pernah mengatakan bahwa memejamkan mata dan menghela napas adalah cara menahan emosi, tapi anak-anak adalah peniru terbaik."Karena ayah belajar," jawab singkat pria itu tersenyum lebar pada putrinya yang hanya mengerjap."Bapak-bapak yang lain kan juga belajar, tapi bapak-bapak yang lain enggak mau anak-istrinya belajar." Anak bernama Erina itu menyahut dengan cepatnya, sahutan yang tentu membuat sang ayah kembali terbungkam dalam kebingungan, "Ayah malah mau aku sama Ibu belajar, tapi ibu enggak mau belajar makanya ayah sama ibu sering berantem, kan?" lanjutnya membuat sang ayah mengernyit sesaat."Hm ...," deham panjang pria itu bersama kebingungan untuk merangkai kata dan jawaban, "nanti kamu gede juga paham, yang penting kamu jangan sampai lupa buat terus belajar." Sosok yang
"Gue mau balik ke orang tua gue! Lepas," teriak seorang wanita dalam cengkeraman dua pria di sisi kanan-kiri, teriakan yang ke sekian kalinya diabaikan dan tak didengar, meski suara yang dihasilkan sudah serak dan hampir habis, "lepas!" rengeknya menjerit kembali melompat-lompat dan berontak di antara cengkeraman yang cukup menyakitkan kedua lengannya, tapi rasa sakit cengkeraman tentu tidak cukup membuatnya harus menyerah dari keinginan untuk keluar desa.Suara nyaring dari seorang wanita yang ditonton warga desa, perjuangan atas kehendak yang menjadi tontonan tidak patut begitu menguras fokus warga desa dari aktivitas masing-masing, "Dis ... lo tahu sendiri, kalau sudah masuk ke sini itu enggak boleh keluar lagi," ujar seorang wanita berusia dua puluh tahunan, wanita muda yang memiliki anak laki-laki dengan segala tingkah kenakalan tidak wajarnya."Tapi aku enggak kabur, aku cuma mau ketemu orang tuaku. Aku kangen mereka!" jeritnya lagi menjawab dengan suara tinggi, "aku mau keluar .
Duduk sendirian di teras rumah kayu sederhana, mengayunkan kaki dengan kepala tertunduk sedih bersama kesendirian yang dirasa menyebalkan. Entah jumlah napas yang dihembuskan kasar oleh anak perempuan dengan setelan celana pendek dan kaus pendek, rambut sedikit panjang tidak terikat, dan wajah yang muram kian membuatnya terlihat menyedihkan.Begitu sulit dalam pikirannya mencerna segala perkataan istri kepala desa dan ayahnya, "ah ... mau ke ayah saja," tukas anak yang biasa disapa Erina itu lalu melompat turun dari teras, tidak melewati undakan anak tangga kecil karena rasa malasnya yang menggelora.Melangkah santai karena setidaknya sudah seharian tidak bertemu sang ibu, ada rasa lega dan kesenangan sendiri sebab terbebas dari ocehan dan perkataan kasar seorang Erna Nadia. Meski dalam pikiran ia terus mempertanyakan keberadaan ibunya, tapi dalam benak jelas ia berharap agar tidak bertemu dengan ibunya.Suara keramaian dan sorak dengan segala caci maki terdengar bersahutan, mengernyi
(Momen setelah mahasiswa kumpul)Berkumpul tujuh insan dalam satu ruangan yang tidak begitu luas, ruang yang langsung tertuju kala pintu dibuka, dan ruang yang langsung terlihat dari sisi luar jika pintu utama dibuka, "sini, Kak." Seorang wanita berkulit putih dalam tangisan, berusaha terlihat kuat meski air matanya tidak berbohong terkait nilai kemanusiaan yang dimiliki.Ditariknya wanita desa ke dalam dekapan, ingus yang juga sesekali datang mengintip dari lubang hidung dipaksa masuk lagi. Meski begitu, ingus yang hampir berantakan bukan suatu hal yang memalukan bila kondisi sudah membawa pilu."Maafin kita ya, kak." Wanita berkulit tan berucap sambil memeluk temannya dari belakang, seolah hendak memeluk si wanita desa namun keterbatasan ruang, hanya membuatnya harus berkhayal telah memeluk wanita desa dalam ketenangan.Tersenyum tipis tiga pria di dekat wanita yang saling berpelukan satu sama lain, ada rasa duka dan rasa bersalah juga. Walau begitu, bagi mahasiswa tetap tidak ada a
Terdiam si wanita desa untuk sesaat lalu perlahan menoleh dan bertukar tatap dengan Desry, mata yang sayu dengan sorot mata sendu didukung kantung mata menghitam, membuat si wanita desa terlihat semakin menakutkan, "mati," jawab wanita desa itu singkat dan terucap dengan santainya.Tidak ada rasa bersalah yang terlihat, tidak ada sesal pula yang terasa, "aku maunya begitu, tapi coba dilihat saja," tukas wanita desa bernama Erina, sembari ia berjalan keluar setelah melepas genggamannya dari tangan sang anak.Bingung, satu kata yang cocok untuk enam mahasiswa maupun jurnalis senior yang datang berkunjung. Sampai ketua kelompok KKN pun menoleh perlahan ke arah jurnalis bernama Gadis Nirmala, "anda kenapa bisa masuk ke sini?""Pintu gerbangnya terbuka lebar, ada banyak badan penuh luka di dekat gerbang itu. Ada salah dua dari mereka yang pegang kunci dan rantai," jawab wanita berusia empat puluh tahunan itu menatap lurus ke luar rumah Erina, pintu yang dibiarkan terbuka oleh ibu muda Desa
Bergegas tiga wanita itu memasuki area gedung sekolah, menerima jalan di antara banyaknya orang dalam satu tempat, agar mereka cepat berada pada posisinya yaitu di barisan terdepan, terutama Erina yang harus berada di tengah. Hitungan mundur dari sepuluh terdengar dari balik tirai, entah sosok yang berhitung. Namun hanya satu hal yang Erina tahu kini, bahwa dirinya telah memulai jalan hidup baru dengan pandangan yang menarik terhadap sosial.Tirai besar yang sengaja disewakan Dika untuk semakin meriahkan acara peresmian dan pembukaan sekolah gratis, terbuka lebar bersamaan dengan musik khas kebebasan dan konfeti ditembakan dari sisi kanan dan kiri. Melangkah maju orang-orang itu perlahan sampai pada garis yang telah ditentukan, sambutan kehangatan dan kemeriahan acara dengan puluhan anak-anak jalanan yang akan menjadi siswa, sangat menggambarkan betapa antusiasnya Dika mendukung jalan hidup yang Erina inginkan.Sampai pada momen Erina akan menyampaikan isi pikirannya, wanita itu melan
Antusias masyarakat pada iklan yang hampir ada di setiap penjuru jalan kota dengan spanduk maupun baliho, imbauan untuk hadir yang banyak berseru di berbagai media sosial influenser dan artis, dan ajakan bergabung menjadi tenaga kepedulian dari berbagai komunitas kemanusiaan seolah menjadi penghias hidup masyarakat sebulan terakhir. Terutama sejak salah satu perusahaan besar pusat kota mengumumkan ikut andil dengan keberadaan sekolah gratis, dan pemerintah pada bidang pendidikan pun turut bersuara akan hal itu.'Ini berita lanjutan dari Erina yang pernah di penjara karena bantai satu desa, kan?''Dia aslinya orang baik dong kalau begitu?''Berarti benar dugaanku, orang-orang yang laporkan dia waktu itu cuma mau panjat sosial sama kejadiannya enam mahasiswa.''Kalau begini caranya sih, dia segera bebas dari status tahanan kota juga enggak masalah.''Bisa saja enggak sih ini cuma akal-akalan keluarganya, biar nama Erina jadi baik di mata masyarakat? Secara kan banyak saham perusahaan ya
Berjalan cepat lima insan muda itu memasuki gedung, sedikit mengurangi kecepatan langkahnya demi ketenangan dalam area rumah sakit. Dari pada menggunakan lif, lebih memilih menggunakan anak tangga yang dirasa lebih menyenangkan.Hingga satu undakan anak tangga terakhir membuat mereka kini sudah berada di lantai empat, pemandangan pada lorong panjang dengan berbagai ruang rawat yang tertutup pintunya, dan sebuah meja besar setengah lingkaran menyambut di depan lif. Posisi anak tangga yang memang berada di samping meja resepsionis, dan fungsi lain untuk latihan berjalan bukan untuk kondisi darurat, membuat mereka merasa canggung saat berjumpa tatap dengan seorang perawat yang baru keluar lif."Kenapa enggak pakai lif saja?" tanyanya terdengar berbasa-basi."Iseng, hehe," jawab Erina cepat lalu terkekeh konyol, disambut kekehan ringan pula oleh tenaga kesehatan itu sebelum beranjak pergi."Sudah gue duga kalian pakai tangga," ucap seorang pria bersandar di dinding lorong, terlihat pintu
"Aku mau urus bagianku, aku juga mau buat jalanku," ucap Erina tegas, menatap Dika dengan keyakinan yang terlihat jelas dari matanya."Yakin?" jawab Dika bertanya lagi terkait keputusan putrinya."Yakin," sambut Erina cepat, "kalau ayah kasih izin, aku mau buat banyak sekolah pinggir jalan. Aku mau semua orang jangan jadi kayak aku yang dulu, kalau bisa juga kita buka jasa pengecekan darah harga murah buat orang yang lagi cari keluarganya," lanjutnya membuat Dika sontak mengatup rapat bibir."Sekolah pinggir jalan itu kayak gimana maksudnya?" tanya Desry mengernyit bingung."Selama di kota, dari sebelum aku masuk penjara itu aku sering lihat anak-anak kayak Galih di pinggir jalan. Muka sama rambutnya acak-acakan, aku kira mereka enggak kepikiran buat belajar, jadi aku mau ajak mereka belajar," jawab Erina menuturkan alasan dan rencana keinginan dalam harapan."Kamu enggak mau buat jalan yang lain? Semua yang kamu sebutkan tadi, kemungkinan besar nanti bersifat gratis atau berbiaya mur
Putusan baru telah ditetapkan, tiga ketukan palu pun terdengar dengan kerasnya di ruang yang sunyi, hukuman sepuluh tahun yang sudah dijalankan lebih dari setengahnya mendapat keringanan secara resmi. Melewati lima tahun lebih di balik jeruji, di dalam satu bangunan yang sama, tanpa merasakan dan melihat perkembangan dunia secara langsung."Pakai ini, Kak," ucap seorang wanita berambut ikal menyodorkan topi dan masker hitam ke seorang wanita berbadan mungil, "sini biar aku bantu," katanya lagi memakaikan masker dan topi ke wanita di hadapannya kini.Erina Handayani, pelaku pembantaian di Desa Metanoia yang telah melaksanakan setengah dari tuntutan hukum, mendapat keringanan atas perilaku baik, denda nominal, dan jaminan sosial. Menyandang status sebagai tahanan kota, sekaligus putri pertama dari keluarga konglomerat, membuatnya sangat membutuhkan adaptasi.Bergegas cepat keluarga konglomerat dan beberapa insan yang pernah berstatus sebagai mahasiswa, tiga mobil hitam yang berada tepat
Bruk!Bruk!"Hwaaaaa ...." Tangan terangkat ke atas dengan bebas, merenggangkan badan sembari berjingkat dan menguap lebar, "wah, akhir pekan yang mantap setelah lima tahun," lanjutnya mengalihkan pandangan ke dua wanita lain yang baru menutup pintu mobil.Area parkir mobil di rumah tahanan jelas dikelilingi pagar duri, sebelum tembok tinggi menjulang dengan pecahan kaca berukuran sedang di atasnya, "memang selama lima tahun, tiap akhir pekan lo ngapain?""Tidur," jawab wanita berkulit tan itu dengan santainya, "ayo ah, entar kakak gue kelamaan tunggu kalian," lanjutnya bergegas mendahului lima insan yang hendak menjenguk sosok di balik jeruji.Setelah satu hari penuh sebelumnya digunakan untuk bernostalgia, untuk mengenang segala perjuangan pahit, untuk mengingat kembali segala hal mengerikan yang telah dilewati di lokasi KKN dulu, Desa Metanoia. Lokasi yang sebelumnya desa terpencil hampir terlupakan, kini beralih jadi pusat wisata air di pinggir kota dengan segala kelengkapan fasili
[Tepat hari pengantaran Erina ke rumah tahanan]"Vina sudah sembuh?" tanya wanita bersetelan serba biru dengan nomor di dada kiri dan punggungnya, setelan yang diberikan pihak berwenang sebagai identitas selama menjalani masa hukuman."Sudah," jawab wanita muda yang jadi bagian dari mahasiswa KKN di Metanoia, "kenapa memangnya? Kok aku enggak ditanya?""Dia kelihatan lebih kasihan pas lihat mayatnya Pak Ujang," ucap wanita desa bernama Erina Handayani, wanita yang berusaha keras selama belasan tahun untuk keluar dari desa, tapi berakhir di balik jeruji besi, "kamu juga kelihatan baik kok, buat apa aku tanya?" lanjutnya terkekeh ringan.Meski kini dirinya sudah terima kenyataan, bahwa semua yang dilakukan pasti memiliki konsekuensi. Tapi dalam benak seorang Erina tetap tersisa pertanyaan yang tidak bisa diungkapkan, lantas kenapa Danang mati begitu saja dengan segala kejahatannya? Haruskah Erina semakin membenci Agus yang juga sudah mati di tangannya, karena Agus membunuh Danang?Namun
Jauh di pelosok dari pinggir kota, sebuah mobil berjalan lambat di jalan yang dilihatnya sudah lebih lebar sejak terakhir dilewati untuk pembukaan tempat wisata. Semak belukar liar di pinggir jalan kini sudah bersih, jalan rusak berbatu pun kini sudah berganti jadi beton, dan sepanjang jalan yang tiap malam mengalami kegelapan kini sudah dilengkapi lampu jalan setiap tiga meter.Usai kejadian menggemparkan yang membuat semua pihak terlibat dan merasa gelisah, perkembangan untuk setiap lokasi dilakukan dengan berbagai cara dan mengorbankan banyak materi. Mengadakan lampu jalan, memperbaiki jalan rusak, memperbaiki lampu jalan yang rusak, memberi akses listrik dan internet pada semua lokasi secara terbuka hingga dapat diakses semua orang, dan mengadakan jadwal rutin untuk pemeriksaan lokasi juga warga."Eh ... itu mau jadi perumahan ya?" tunjuk wanita hamil yang duduk tepat di samping kemudi."Mana?" tanya pria di balik kemudi yang menepikan kendaraan, "kelihatannya begitu," lanjutnya m
Tok ... tok ... tok.Napas lega yang bersahut dengan seruan tidak terima terdengar jelas, bersatu tidak padu dalam sidang keputusan perkara pembunuhan berencana. Senyum simpul diulum tipis oleh pemilik banyak cabang pusat sarana olahraga, senyum yang ditujukan pada kuasa hukum muda dari firma ternama di negeri.Setelah hampir satu tahun berlalu sejak mahasiswa berhasil keluar dari desa, setelah lima bulan sejak sidang perdana dimulai, setelah empat bulan sejak mahasiswa dinyatakan stabil secara psikologi, dan setelah dua bulan sejak Erina mengetahui keluarga kandungnya. Putusan perkara telah ditetapkan tanpa melewati aju banding, penetapan hukuman dengan berbagai pertimbangan atas masa lalu dan segala bentuk pelanggaran hukum yang terjadi di Metanoia, sepuluh tahun adalah angka untuk hukuman wanita cantik dari desa di pelosok pinggir kota."Pasti hakimnya dibayar sih ini, secara pelakunya kan anak orang kaya yang sudah lama hilang.""Hukum dibeli itu biasa, tapi ini soal nyawa. Tega ba