“Bapak, ditinggal kerja saja, biar saya yang urus dan anter Safiyah pulang. Dekatkan rumahnya.” Ucap Sawitri membuat lega di hati ayah muridnya itu.“Tapi aku nggak kuat jalan kaki kaya Bunda, Bunda pulang pergi sekolah jalan kaki kan,” ucapan polos Safiyah sedikit membuat Sawitri merasa malu. Sebab jarak rumah suaminya yang dua kilo itu bila pulang pergi jalan kaki berarti dia jalan empat kilo tiap hari, mana kadang panas maupun hujan tetap jalan kaki. Bagimana kulitnya mau kinclong coba bila sinar matahari mengahajar kuning langsatnya itu tiap hari.Pak Safar yang mendegar itu sedikit terhenyak.“Benarkah demikian, Bu? Ibu jalan kaki tiap hari?” tanya pak Safar dengan rasa iba pada wanita yang terlihat wajah sembabnya ini. Dari tadi sebenarnya pak Safar memperhatikan wajah dan mata yang sembab itu.“Iya, Pak. Tapi tak apa, sudah terbiasa jadi tak terasa capeknya.” Jawab Sawitri dengan perasaan malu sebenarnya.“Aku, mau dimasakin mama juga, Bunda. Di rumah aku, nggak punya mama.” Ka
“Nanti ya, Nak. Fiyah anak pintar kan, nggak mau bikin bunda sama nenek susah kan.” Sawitri hapus air mata dan keringat di wajah anak itu.“Tapi Bunda janji, besok temani aku sampai sore.” Rajuk safiyah.“Insya Allah, Sayang, bunda janji.” Sahut Sawitri cepat. “Fiyah habis ini langsung bobo siang sama nenek, ya.” Ucap Sawitri pelan, sambil menurunkan Safiyah dan mendudukkanya di atas sofa warna kuning gading di ruang tamu itu.“He em.” Safiyah hanya ber he em smabil mengangguk dengan bibir mengerucut. Terlihat menggemaskan.“Ok, anak pintar kalau gitu, Bunda pulang dulu ya, sampai ketemu, besok sayang.” Sawitri melambaikan tangan saat berjalan keluar, melewati pagar rumah setinggi dua meter itu.Lambaian yang dibalas Safiyah dan neneknya.__“Assalamualaikum,” ucap Sawitri saat memasuki rumah suaminya. Nampak mas Burhan duduk di runag tengah, sibuk mengutak atik ponselnya.Belum lagi salamnya dijawab, bu Masita sudah muncul dari dapur membawa segelas air es untuk putranya. ‘Tumben Ma
Nuri terburu keluar dari apotik dua papan pil KB untuk persiapan sebulan dia rasa sudah cukup. Pil KB wajib ada di tas tangan miliknya apalagi sejak menjalin cinta dengan pria beristri seperti Burhan. Meski belum menikah, Nuri sudah memberikan segalanya pada Burhan.Sekali bertemu biasanya mereka akan melakukan hubungan suami istri dua hingga tiga kali dengan durasi yang cukup lama. Hal menyenangkan yang Nuri dapat dari pria beristri itu.Ah siapa lagi yang akan menerimanya yang sudah tak perawan ini, tak sekalipun Burhan menanyai dirinya mengapa sudah tak perawan padahal dia bukanlah seorang janda. Itu salah satu yang buat Nuri tak ingin melepaskan Burhan, untuk segera mendapat status istri.Pil KB yang ia beli barusan bukan hanya untuk jaga-jaga bila Burhan minta jatah, tapi juga karna malam ini pak Gunadi mengajaknya makan malam di luar. Makan malam yang dipastikan akan berakhir dengan mandi peluh di ranjang hotel.Ini satu rahasia Nuri yang tak boleh Burhan tahu. Sebab pekerjaann
“Fiya mau makan disuap bunda Witri, Ayah.” rengek Safiya. sebab mengingat janji Sawitri padanya dua hari yang lalu. Namun sudah dua hari ini, ibu guru kesayangannya itu tak nampak di sekolah.Rupanya Sawitri sengaja minta izin untuk menyiapkam kepindahannya dari rumah suaminya. Sawitri juga menyiapkan diri untuk memberitahukan bapaknya di desa mengenai perpisahannya dengan Burhan.Sedikit terkejut saat pak Saleh mengetahui berita perpisahan itu langsung dari mulut Sawitri. Namun sebagai orang tua, pak saleh hanya bisa pasrah, meski ada sedikit kemarahan yang beliau rasakan. Namun bila takdir jodoh putrinya hanya sampai disitu, orang tua ini hanya bisa mendo’akan yang terbaik untuk hidup putrinya kedepan.“Iya, nanti baru kita minta bunda Witri untuk datang suap, Fiya ya. Sekarang Fiya makan dulu biar nggak sakit.” Bujuk pak Safar pada putri kecilnya. Yang sedari kemarin merengek ingin disuap oleh Sawitri.Sudah dua hari ini juga Safiya ke sekeloah tapi yang menyambut anak-anak di gerb
Sungguh tega laki-laki bangsat ini. Tega merendahkan istrinya sendiri di depan kekasih gelapnya. Laki-laki tak sadar diri, bila Nuri juga hanya butuh status darinya. Tak sadar bila perzinahannya nanti pasti berbuah karmaCocoklah sudah, sama-sama buaya darat mereka berdua.“Mas, sedih dong.” Nuri masih memancing perasaan Burhan terhadap istrinya itu.“Mas, tidak ada sedih dengan perpisahan dari Sawitri, Sayang. Mas sedih kalau tidak dikasi jatah ini.” Tangan Burhan sudah meremas tubuh itu.“Mas, nakal.” Senang bukan main Nuri mendengar kabar perpisahan kekasihnya ini. Betul sudah, bila Nuri mampu meluluh lantakkan pernikahan Burhan yang sudah berjalan dua tahun itu, hanya dengan kehadirannya yang baru tiga bulan saja. Ah Nuri tidak perduli, yang penting setelah ini, dia kan menjadi nyonya Burhan. Untuk selanjutnya kemudian nantilah dipikir. Bila menikah dengan pria ini gampang, pasti berpisah dari Burhan juga nanti gampang.Biarlah mereka saling memuaskan dengan pernikahan semu, yang
Tadi Sawitri menyuapi Shafiya di depan TV, sambil mengobrol dengan bu Sukma.“Makan dulu Far, bundanya Fiya, sudah masak banyak.” ucapan bu Sukma, seolah mengandung makna tersirat, dengan mengatakan Sawitri sebagai bundanya Fiya.“Iya, Bu. Wah makasih Bu witri, sudah repot-repot datang mengurus Fiya.”“Tak apa, Pak. Sama-sama.”“Ibu yang panggil bunda Witri tadi kesini, mudah-mudahan bisa betah disini.” Cetus bu Sukma lagi. Meninggalkan rasa yang entah apa namanya di hati putranya.Segera saja Safar berlalu ke kamar mandi, mencuci kaki dan tangannya untuk kemudian menyantap makan siang yang sudah Sawitri masak siang ini.“Ayo Fiya makan, lagi. Dua sendok lagi sayang.” Bujuk Sawitri, sambil mengarahkan sendok pada Fiya yang tampak sudah kenyang.Safar yang melihat putrinya enggan menerima suapan itu, ikut menegur putrinya. “Ayo kakak Fiya, makan dulu. Dihabiskan makanannya, Nak. Bunda sudah repot-repot datang urusin Fiya, jadi kakak Fiya harus nurut.” Pinta Safar sambil mendekati putri
Waktu berjalan begitu pantas dan layak bagi Sawitri dan Burhan. Setiap dari mereka sudah memilih jalan hidupnya masing-masing. Mulai kemarin dan mungkin seterusnya, keduanya buka lagi suami istri yang halal untuk bersentuhan.Sawitri memilih menepi dan menjauh dari kehidupan yang dulu menyakitinya. Diam-diam berusaha membangun kebahagiannya sendiri dan mengejar cita-cita yang menjadi mimpinya selama ini. Tak ada lagi air mata, meski sesekali bayangan menyakitkan itu datang menghampiri. Diduakan di depan mata, tentu sakit yang tak terkira bagi wanita yang sudah berkeluarga.Dua hari yang lalu adalah sidang perceraian antara Sawitri dan Burhan. Ketukan palu sungguh melegakan keduanya. Bagi Sawitri, Ketukan palu itu menandakan kebahagiannya sebab terlepas dari mertua yang nyinyir bin jahat dan terlepas dari suami yang menduakannya. Selama ini Sawitri memendam sedih dan amarahnya dalam diamnya.Sementara bagi Burhan, ketukan palu kemarin menandakan bila ia akan segera menjemput kebahagiaa
“Baik, Pak Burhan. Kita kembali ke topik kerja ya, melihat prestasi penjualan pak Burhan yang cukup anjlok, maka sesuai perjanjian kerja, karyawan yang mengalami penurunan penjualan, maka kan diberi sanksi berupa teguran. Dalam amplop ini ada surat teguras resmi yang sudah ditandatangani secara elektroni oleh pak Direktur. Kami harap surat teguran pertama ini menjadi motivasi pak Burhan untuk memperbaiki performa kerja ke depannya.” Jelas pak soni, pada Burhan, yang duduk terdiam.Entah harus berkata apa Burhan sekarang, hadiah yang ia bayangkan tadi, ternyata adalah surat teguran untuk dirinya. Memang selama menjalin hubungan gelap dengan Nuri, waktunya banyak dihabiskan di hotel bersama wanita itu. Bahkan ponsel kadang ia matikan, sebab acara main kuda-kudaan dengan Nuri tak ingin di ganggu. Akhh ada-ada saja, ia berjanji dalam hati bulan depan haruslah mencapai target. Sebab ia akan segera menikahi Nuri, tentu harus ada uang pegangan juga. Meski transit hotel, kebanyaka Nuri