Bu Mutia tersenyum haru, melihat pertumbuhan cucunya yang semakin menggemaskan, meski ia harus kehilangan ibunya. Ya Nek ijak meninggal tepat dua bulan setelah pernikahan Lili dan Herdi. Ada yang pergi ada yang datang.Sebulan yang lalu bu Mutia dan pak Cipto baru pulang melaksanakan umroh. Satu lagi impian bu Mutia yang terwujud. Umroh bersama suami tercinta. Impian yang nyaris kandas saat perpisahan terjadi antara dirinya dan pak Cipto beberapa tahun lalu.Namun sebulan yang lalu, setelah rujuknya, diam-diam pak Cipto menguruskan keberangkatan umroh untuk mereka berdua, sebagai hadiah ulang tahun pernikahan mereka. entah mau dihitung yang ketiga dua, atau yang kedua tahun namun mereka masih dengan orang yang sama.“Rewel, nggak?” pak Cipto mendekat, melihat dari dekat cucu lelaki yang berhidung bangir seperti dirinya dan putrinya Lili.“Anteng, Mas. dia pintar, tahu kalau mamanya lagi sakit. dititip sama nenek deh.” Keduanya sedang bermalam di rumah peninggalan nek Ijah. Sebisa mung
"Ibu kan, sudah bilang biar kamu pasang KB dulu, suntik atau susuk juga bisa itu, Li." bu Mutia hanya geleng-geleng kepala saat Lili memberitahu bila dirinya sudah hamil lagi. Bukan apa-apa, putra pertama Lili saja masih empat bulan. Bu Mutia juga sedikit khawatir dengan kesehatan putrinya. "Rencana minggu depan kalau ke kota baru mau ke dokter kandungan, Bu. Lili baru mau konsultasi dulu, KB apa yang cocok untuk Lili, ternyata Lili sudah hamil." timpal Lili sedikit lemas. sementara Herdi yang melihat istrinya lemas, jadi kasihan juga. Ingin rasanya ia beranjak dari duduknya, namun ayah mertuanya sedang mengajaknya berbicara tentang usaha yang bagus untuk dijalankan di desa agar menantu dan anaknya ada penghasilan tambahan. "Untung nggak asi anakmu, kalau asi, repot bener kamu. Ngidammu ini lho, Li. kaya lebih lemas kamu dari waktu hamil Altaf." Bu Mutia kembali mencecar putrinya. Bukan marah, hanya karna rasa sayang saja sebagai seorang ibu. Untung mereka sekarang sering sambnag ke
Keringat sudah membanjiri tubuh Burhan dan Nuri di siang itu. Ini kali keduanya mereka berhubungan layaknya suami istri di kamar hotel yang mereka sewa. Sesekali terdengar cekikikan mesum dari mulut wanita yang berlipstik tebal berwarna merah itu. Berbagai macam gaya sudah mereka peragakan hari ini.Pokoknya Nuri bertekad Burhan harus menjadi miliknya, entah bagaimana caranya nanti, sebab Burhan ini sangat mampu membuat Nuri menjerit puas, beda dengan mantan kekasihnya.Apapun akan dilakukan oleh wanita bertubuh semok ini, termasuk meminta Burhan menceraikan istrinya. Yang Nuri tahu istrinya mas Burhan ini seorang guru TK dan belum memiliki anak. Mudah saja kan meminta pria yang sedang menindihnya ini untuk menceraikan sang istri sebab mereka belum memiliki anak. Tinggal Nuri mendekati ibunya mas Burhan saja dan menyogoknya dengan hadiah-hadiah kecil.Nuri tak perduli bila nanti dikatai pelakor, pesona dan tubuh mas Burhan yang terjaga, begitu memikat hati gadis bukan perawan ini. Ba
“Maksudnya apa ini, Mas?” tak terima rasanya Sawitri dengan kata-kata mertuanya barusan. Sawitri tak terima bila harus di madu. Mana ada perempuan yang rela dimadu. Cukup geram Sawitri kali ini, hampir habis kesabarannya.Burhan yang ditanya oleh istrinya menghela napas panjang. Sebenarnya ada rasa tak tega melihat posisi Sawitri sekarang ini, namun remasan kuat Nuri pada jemari kirinya, buat Burhan nekat menggores luka pada sanubari wanita sabar yang telah membersamainya dua tahun lebih ini. “Jadi, yang ibu katakan barusan itu benar, Wit. Nuri ini calon adik madumu.” Seperti godam yang dihantamkan di palung hati sawitri. Sakit dan perih luar biasa dirasakan wanita dua puluh enam tahun ini.“Jadi yang kamu bilang lembur hampir tiga bulan ini, ternyata kamu jalan sama perempuan binal ini, Mas?” gelegar suara Sawitri menahan amarah.“Jaga mulut kamu, Sawitri!” hardik Burhan pada istrinya itu.“Perempuan apa namanya Mas, yang jalan dengan suami orang kalau bukan perempuan binal?” tatapan
“Gimana kalau dia jambak aku tadi, Mas?” netra coklatnya itu sudah kembali mengeluarkan air mata buayanya. Buaya betina tepatnya.“Tidak akan mas, biarkan.” Sahut Burhan cepat, sambil menciumi tengkuk mulus Nuri. Birahi keduanya selalu meledak bila sedang berdekatan begini. Nuri yang mendapat ciuman di tengkuknya sudah meremang saja.“Pokoknya aku nggak mau jadi adik madu mbak Sawitri, Mas.” Nuri sudah benamkan wajahnya yang berlinang air mata di dada bidang milik Burhan. “Mas pilih aku atau istrimu itu!” raung Nuri kembali tersedu, tentu saja Nuri takut kehilangan pria gagah yang sedang memeluknya ini.“Iya, Sayang.” Sahut Burhan, sambil berusaha mencerna kata-kata Nuri. Maksudnya ini bagaimana, haruskah ia menceraikan Sawitri? Padahal dulu ia berjanji akan pada pak Saleh, bila akan menjaga dan setia pada putrinya itu.“Iya, apa? Aku mau jadi satu-satunya wanita yang kamu peluk begini, Mas.” Ucap Nuri lagi masih tersedu.“Iya, Sayang, nanti Mas bicarakan sama Ibu dan Sawitri. Yang p
Jika Burhan masih sibuk saling memuaskan bersama Nuri, maka Sawitri sibuk dengan do’a-do’a dan aduan pada sang Rabb subuh ini. Air matanya mengalir di setiap luka yang ia adukan. Memohon segala petunjuk atas rumah tangganya. Haruskah berakhir atau ia pertahankan. Sungguh ia tak ingin menjadikan rumah tangganya sebagai penjara untuk suami yang sangat ia hormati. Sawitri berusaha rela bila harus melepaskan. Namun jalannya janganlah semenyakitkan ini.Rasanya netra wanita sabar ini tak bisa lelap. Sehabis sholat malam tadi, Sawitri berusaha memejam walau sebentar namun tak bisa. Lalu ide dan rencana – rencana indah muncul di benaknya.____________________Marah yang dirasakan oleh Sawitri kemarin adalah bentuk perasaan spontanitas seorang istri saat suaminya menodai pernikahan mereka. Namun bila mas Burhan sudah memilih gundiknya itu dibandingkan dirinya, Sawitri bisa apa? Tak mungkin memaksakan perasaan cinta kan.“Yang sabar, Bu Sawitri.” bu Fitri kawan guru di TK tempat Sawitri menga
“Bapak, ditinggal kerja saja, biar saya yang urus dan anter Safiyah pulang. Dekatkan rumahnya.” Ucap Sawitri membuat lega di hati ayah muridnya itu.“Tapi aku nggak kuat jalan kaki kaya Bunda, Bunda pulang pergi sekolah jalan kaki kan,” ucapan polos Safiyah sedikit membuat Sawitri merasa malu. Sebab jarak rumah suaminya yang dua kilo itu bila pulang pergi jalan kaki berarti dia jalan empat kilo tiap hari, mana kadang panas maupun hujan tetap jalan kaki. Bagimana kulitnya mau kinclong coba bila sinar matahari mengahajar kuning langsatnya itu tiap hari.Pak Safar yang mendegar itu sedikit terhenyak.“Benarkah demikian, Bu? Ibu jalan kaki tiap hari?” tanya pak Safar dengan rasa iba pada wanita yang terlihat wajah sembabnya ini. Dari tadi sebenarnya pak Safar memperhatikan wajah dan mata yang sembab itu.“Iya, Pak. Tapi tak apa, sudah terbiasa jadi tak terasa capeknya.” Jawab Sawitri dengan perasaan malu sebenarnya.“Aku, mau dimasakin mama juga, Bunda. Di rumah aku, nggak punya mama.” Ka
“Nanti ya, Nak. Fiyah anak pintar kan, nggak mau bikin bunda sama nenek susah kan.” Sawitri hapus air mata dan keringat di wajah anak itu.“Tapi Bunda janji, besok temani aku sampai sore.” Rajuk safiyah.“Insya Allah, Sayang, bunda janji.” Sahut Sawitri cepat. “Fiyah habis ini langsung bobo siang sama nenek, ya.” Ucap Sawitri pelan, sambil menurunkan Safiyah dan mendudukkanya di atas sofa warna kuning gading di ruang tamu itu.“He em.” Safiyah hanya ber he em smabil mengangguk dengan bibir mengerucut. Terlihat menggemaskan.“Ok, anak pintar kalau gitu, Bunda pulang dulu ya, sampai ketemu, besok sayang.” Sawitri melambaikan tangan saat berjalan keluar, melewati pagar rumah setinggi dua meter itu.Lambaian yang dibalas Safiyah dan neneknya.__“Assalamualaikum,” ucap Sawitri saat memasuki rumah suaminya. Nampak mas Burhan duduk di runag tengah, sibuk mengutak atik ponselnya.Belum lagi salamnya dijawab, bu Masita sudah muncul dari dapur membawa segelas air es untuk putranya. ‘Tumben Ma