"Sayang? Kamu masih di situ, kan?" Panggilan Mas William menyadarkanku yang sempat termenung.
"Iya, Mas. Aku masih di sini." Aku menunduk, mengusap perut dengan pelan.
"Mas rindu sekali sama kamu dan Alva. Kamu enggak rindu, hm?"
"Rindu, Mas," jawabku pelan. "Mas pulang malam ini, kan?"
"Itu dia, Sayang. Mas mau bilang kalau batal pulang malam ini. Paling mas pulangnya besok. Masih ada urusan yang belum selesai. Enggak apa-apa 'kan, Sayang?"
"Oh ... iya. Enggak apa-apa, Mas."
"Maaf, ya, Sayang. Mas enggak bermaksud ingkar janji. Mas janji besok pagi akan langsung berangkat dari sini. Besok juga seharian mas akan ada di rumah terus sama kalian."
"Iya, Mas. Kutunggu Mas Will pulang," kataku lembut walau hati ini berdesir perih hingga membuat mataku menghangat.
"Jaga kesehatan, ya, Sayang. Jangan lupa makan
Aku menangis lirih sambil memukul-mukul pelan dada yang terasa sesak. Berbaring miring dengan air mata yang terus mengalir membanjiri bantal. Entah berapa lama aku menangis sampai kedua mata dan area kening ini terasa menegang.Kurang lebih satu jam setelah pesan tentang demamku dikirimkan, Mas William baru membalasnya dengan menghubungiku. Sayang, aku tak berniat sama sekali menjawab panggilan itu. Hati ini terlalu sakit. Aku memilih mematikan total ponselnya dan kembali terisak sampai tenggorokan dan dada terasa sakit."Bu? Ibu? Ya Allah!"Samar kudengar suara panik Bi Surti, tapi mataku enggan terbuka seiring kepala yang terasa begitu berat dan tubuh yang terasa lemas."Dek! Kamu kenapa, Dek?"Itu seperti suara Bang Leon. Apa aku sedang berhalusinasi?Perlahan mataku terbuka saat merasakan kedua lengan kekar membuat tubuh ini melayang
"Leon?""Wil.""Makasih banyak sudah bawa Lusi ke rumah sakit.""Sama-sama. Kebetulan saja pas aku juga baru datang. Tapi ngomong-ngomong memangnya kamu dari mana? Kok, istri demam dan lagi hamil tua malah ditinggal sendiri, sih?"Bang Leon sudah tahu alasannya, tapi kenapa dia bertanya lagi?"Ada kerjaan di Bali.""Memangnya pentingan mana antara kerjaan dengan istri dan calon anak kalian? Enggak bisa, ya, kalau kerjaan itu diwakili orang dulu? Kalau sampai ada apa-apa dengan Lusi, yakin kamu enggak akan menyesal? Dokternya saja sampai marah padaku. Padahal, aku enggak tahu apa-apa," cecar Bang Leon. Tersirat ada nada kemarahan walau dia tetap berusaha berujar dengan nada pelan."Iya, kamu benar. Harusnya aku enggak pergi atau pulang lebih awal.""Ya sudah. Sekarang, kamu jaga dia baik-baik. Jangan diganggu dulu tapi. biarkan Lusi istirahat. Aku mau ke rumah lihat Alva karena dia juga tadi nangis panik lihat mamanya pingsan.""Tunggu, Leon!""Apa?""Kamu ... masih ada rasa sama Lusi?
Pagi pun menjelang. Terdengar ada suara dokter dan perawat yang masuk ke ruangan ini dan berbicara dengan Mas William. Aku? Tentu masih bertahan dalam posisi mata terpejam walau semalam memang tertidur sungguhan."Kenapa istri saya enggak sadar-sadar, Dok?" Ada nada kehawatiran dan kecemasan di nada bicaranya."Istri Bapak sudah sadar.""Tapi sejak saya datang, dia sama sekali belum buka mata. Istri saya baik-baik saja 'kan, Dok?""Istri Bapak baik-baik saja. Mungkin, ada sesuatu hal yang membuatnya enggan membuka mata. Tenang, ya, Pak. Suhu tubuh istri Bapak juga sudah kembali stabil. Tapi jangan sampai terulang kembali. Jika demam, harus secepatnya dibawa ke rumah sakit. Jika terlalu disepelekan, bisa berakibat buruk terhadap kondisi Ibu dan janinnya."Iya, Dokter.""Coba Bapak ajak bicara dari hati ke ha
Bi surti bergegas keluar saat mendengar deru mobil. Dengan sigap dia membantu dan memapahku ke kamar."Abang enggak enak pada William, Dek. Dia pasti kaget pas ke rumah sakit, tapi ternyata kamunya enggak ada," ujar Bang Leon yang datang ke kamar ini dengan membawa nampan berisi mangkok bubur dan segelas air."Enggak apa-apa, Bang. Biar itu jadi urusanku. Abang jangan kabari Mas William, ya?"Bang Leon menghela napas pelan, lalu mengangguk." Abang ke bawah lagi, ya. Mau suapi Alva."Aku mengangguk. "Titip Alva dulu, ya, Bang."Bang Leon mengangguk, kemudian pergi dari kamar ini bersama Bi Surti.🌺🌺🌺Tak berselang lama, Mas William datang saat aku tengah makan bubur di kamar. Sedikit tersentak kaget ketika pintu dibuka dengan cukup kasar. Aku menoleh, menatap datar padanya dan kembali menyantap bubur dalam diam.
"Liburan dengan Alex dan Indira, kan?" Aku membuka mata dan menatapnya dingin. "Kalian memang cocok disebut keluarga yang bahagia dan harmonis. Selamat, ya, Mas! Semoga apa pun niat baik kalian bisa segera terwujud.""Maksud kamu apa, sih, Sayang?"Aku tersenyum sinis seraya menggeleng. "Kalian akan rujuk kembali, kan? Enggak apa-apa, Mas. Aku ikhlas. Biar aku saja yang pergi dari kehidupan kalian.""Apa, sih? Siapa juga yang mau rujuk? Aku dan Indira enggak ada hubungan apa pun!" tegasnya dengan tatapan tajam."Oh, ya?" Aku tersenyum mengejek. "Masihkah aku harus percaya dengan semua kata-katamu, Mas? Semalam saja kamu sudah bohong, kan? Kamu bilang ada urusan bisnis, tapi nyatanya apa? Mas malah diam-diam berlibur dengan Alex dan Indira. Masih mending kalau hanya Alex, tapi ini ada Indira juga, Mas. Indira! Kalian bahkan ada dalam satu kamar! Kenapa, Mas? Kenapa?" cecarku menggebu-gebu dengan dada bergemuruh hebat. "Apa jangan-jangan ... kalian berdua sudah menikah diam-diam. Iya?"
"Itu hanya—""Aaargh!"Mas William terkesiap kaget ketika kurebut kembali ponsel itu, lalu melemparkannya ke dinding sekuat tenaga hingga pecah."Sayang ...." Bola matanya bergerak-gerak gelisah memindaiku.Bibir bergetar hebat. Berkali-kali aku harus mengusap air mata yang memburamkan tatapan tajamku padanya."Berbulan-bulan aku menahan sabar, Mas. Berbulan-bulan aku memendam rasa sakit sendirian. Apa itu masih kurang? Enggak cukupkah perlakuan kasar Alex sampai Mas William juga selalu menambahkannya dengan luka lain? Kalau memang sudah enggak cinta, lepaskan saja aku. Biarkan aku hid—"Mas William dengan cepat membekap mulut ini hingga perkataanku teredam."Enggak boleh ngomong begitu!" tegasnya pelan, tapi penuh penekanan. "Iya, iya. Mas akui mas salah. Mas sudah egois karena selalu menomorsatukan perasaan Alex
Namun, lipatan kertas yang terjatuh dari saku celananya berhasil mengalihkan fokus ini. Lekas kuambil dan membuka lipatan kertas tersebut.Maaf."Maaf?" Aku membacanya pelan.Apa ini untukku? Benarkah? Ah, tapi rasanya tidak mungkin. Mungkin ini tulisan dia untuk teman sekolahnya.Kulipat kembali kertas itu seperti semula dan meletakkannya di meja makan."Mama, Mama! Papa datang!" seru Alva dari ruang keluarga.Aku menoleh. Bang Leon datang dan langsung menyambut Alva yang melompat-lompat riang meminta digendong. Sekalian kubuatkan kopi untuknya juga, lalu menghampiri mereka yang sedang duduk di ruang keluarga."William ada, Dek?""Ada, Mas. Lagi ganti baju di kamar. Kenapa?""Enggak apa-apa. Hanya mau minta izin untuk ajak Alva jalan-jalan besok.""Dalan
Kurasakan kasur bergoyang. Hingga tak lama kemudian, ada tangan melingkari pinggang dan mengusap lembut perutku."Kamu sengaja menghindar, ya?" tanyanya lirih.Aku diam."Sayang ....""Itu hanya perasaan Mas saja kali. Sudah lama juga kita memang jarang menghabiskan waktu berdua, kan? Kenapa baru sekarang dipermasalahkan?" balasku santai dengan mata terpejam."Mas 'kan sudah minta maaf, Sayang. Kita sudah baikan.""Yang bilang aku belum memaafkan siapa? Sudah kumaafkan, kok.""Tapi kamu berubah. Sikapmu jadi dingin padaku dan Alex. Mas rindu Lusi yang ceria dan manis. Lusi yang selalu bermanja-manja," ucapnya seraya mendaratkan kecupan di bahu."Aku ngantuk, Mas. Tolong ...."Hening.Terdengar helaan napas berat darinya seiring pelukan yang terlepas. Mataku terpejam erat seraya mengigit bibir bawah yang bergetar menahan tangis.Lusi yang Mas rindukan sudah lenyap ditelan waktu. Karakternya sudah dibuat mati oleh semua tindakan Mas sendiri.Kuubah posisi tidur menghadap langit-langit d