"Itu hanya—"
"Aaargh!"
Mas William terkesiap kaget ketika kurebut kembali ponsel itu, lalu melemparkannya ke dinding sekuat tenaga hingga pecah.
"Sayang ...." Bola matanya bergerak-gerak gelisah memindaiku.
Bibir bergetar hebat. Berkali-kali aku harus mengusap air mata yang memburamkan tatapan tajamku padanya.
"Berbulan-bulan aku menahan sabar, Mas. Berbulan-bulan aku memendam rasa sakit sendirian. Apa itu masih kurang? Enggak cukupkah perlakuan kasar Alex sampai Mas William juga selalu menambahkannya dengan luka lain? Kalau memang sudah enggak cinta, lepaskan saja aku. Biarkan aku hid—"
Mas William dengan cepat membekap mulut ini hingga perkataanku teredam.
"Enggak boleh ngomong begitu!" tegasnya pelan, tapi penuh penekanan. "Iya, iya. Mas akui mas salah. Mas sudah egois karena selalu menomorsatukan perasaan Alex
Namun, lipatan kertas yang terjatuh dari saku celananya berhasil mengalihkan fokus ini. Lekas kuambil dan membuka lipatan kertas tersebut.Maaf."Maaf?" Aku membacanya pelan.Apa ini untukku? Benarkah? Ah, tapi rasanya tidak mungkin. Mungkin ini tulisan dia untuk teman sekolahnya.Kulipat kembali kertas itu seperti semula dan meletakkannya di meja makan."Mama, Mama! Papa datang!" seru Alva dari ruang keluarga.Aku menoleh. Bang Leon datang dan langsung menyambut Alva yang melompat-lompat riang meminta digendong. Sekalian kubuatkan kopi untuknya juga, lalu menghampiri mereka yang sedang duduk di ruang keluarga."William ada, Dek?""Ada, Mas. Lagi ganti baju di kamar. Kenapa?""Enggak apa-apa. Hanya mau minta izin untuk ajak Alva jalan-jalan besok.""Dalan
Kurasakan kasur bergoyang. Hingga tak lama kemudian, ada tangan melingkari pinggang dan mengusap lembut perutku."Kamu sengaja menghindar, ya?" tanyanya lirih.Aku diam."Sayang ....""Itu hanya perasaan Mas saja kali. Sudah lama juga kita memang jarang menghabiskan waktu berdua, kan? Kenapa baru sekarang dipermasalahkan?" balasku santai dengan mata terpejam."Mas 'kan sudah minta maaf, Sayang. Kita sudah baikan.""Yang bilang aku belum memaafkan siapa? Sudah kumaafkan, kok.""Tapi kamu berubah. Sikapmu jadi dingin padaku dan Alex. Mas rindu Lusi yang ceria dan manis. Lusi yang selalu bermanja-manja," ucapnya seraya mendaratkan kecupan di bahu."Aku ngantuk, Mas. Tolong ...."Hening.Terdengar helaan napas berat darinya seiring pelukan yang terlepas. Mataku terpejam erat seraya mengigit bibir bawah yang bergetar menahan tangis.Lusi yang Mas rindukan sudah lenyap ditelan waktu. Karakternya sudah dibuat mati oleh semua tindakan Mas sendiri.Kuubah posisi tidur menghadap langit-langit d
Aku masih bungkam.Namun, kebungkaman ini berubah menjadi keterkejutan, ketika Mas William tiba-tiba berlutut sambil memeluk kedua kaki ini."Mas apaan, sih? Enggak boleh begitu. Bangun enggak?" Aku berusaha menariknya berdiri, tapi dia malah semakin mengeratkan pelukannya di kaki."Mas rela sujud kalau itu bisa membuatmu kembali ceria dan tersenyum," lirihnya."Aku bukan Tuhan. Mas tidak boleh bersujud pada manusia. Bangun, Mas!" tegasku tak suka seraya terus mencoba menariknya berdiri.Mas William menggeleng. "Mas akan bangun kalau kamu janji enggak akan bersikap dingin lagi.""Iya, tapi Mas-nya bangun dulu," pintaku dengan suara sedikit bergetar. Tak tega melihatnya terisak sambil berlutut.Perlahan Mas William melepaskan pelukan dari kaki, lalu berdiri dan memegang kedua bahuku samb
Aku semakin dibuat bingung ketika mobil Mas William tiba di sebuah rumah sakit swasta yang cukup jauh dari rumah kami. Alex dan Mas William sudah turun, sedangkan aku sendiri masih bergeming di tempat. Perasaan tak enak ini membuat kaki enggan untuk bergerak."Ayo turun," ajaknya lembut walau itu tak berhasil menutupi raut kesedihan di wajahnya."Kenapa kita ke sini, Mas? Siapa yang sakit?" tanyaku seraya meremas-remas ujung khimar."Ayo!" ajaknya lagi tanpa menggubris pertanyaanku.Meskipun ragu, pada akhirnya aku tetap menyambut uluran tangan itu, lalu turun. Kami berjalan bersama menyusuri lorong rumah sakit dengan satu tangannya yang merangkul bahu, sedangkan satu lagi menggenggam erat jemari ini.Jantung mulai berdetak cepat ketika ruang operasi sudah terlihat jelas di depan mata. Aku menoleh pada Mas William, tapi dia diam dan terus menatap ke depan. Seolah eng
"Alva!"Aku terperanjat bangun dengan napas teesengal. Semua mimpi tadi bagaikan nyata. Dalam mimpi itu, Alva pergi meninggalkanku sendiri dalam kegelapan. Kami sama-sama menangis dengan tangan mungilnya yang melambai-lambai."Alhamdulillah, Ibu sudah sadar," lirih Bi Surti, lalu menyeka air matanya."Memangnya aku kenapa, Bi?" tanyaku bingung."Ibu pingsan tadi. Bukan hanya sekali, tapi beberapa kali. Minum dulu, Bu." Bi Surti menyodorkan segelas air putih."Makasih, Bi," ucapku seraya mengembalikan gelas tersebut. "Oh, ya, Bi. Alva sudah pulang dari jalan-jalannya belum?" Mendengar pertanyaan itu, raut wajah Bi Surti berubah kaget sebentar, lalu sedih."Sudah diantarkan Bang Leon belum, Bi? Aku takut ada apa-apa, soalnya barusan mimpi buruk.""Bu, istighfar, Bu." Bi Surti menangis sambil mengusap-usap lenganku."Apa, sih, Bi? Aku 'kan hanya tanya Alva sudah pulang belum. Kok, disuruh istighfar. Bibi ini lucu." Aku tersenyum seraya menggeleng, lalu mengambil posisi duduk di tepi ranj
Ibu menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Akan tetapi, embun yang menggenang di pelupuk matanya menyiratkan ada kesedihan yang mendalam."Sebaiknya katakan yang sebenarnya, Will. Kasihan.""Iya, Will. Bagaimanapun juga semuanya sudah takdir. Lusi pasti bisa menerima kenyataan ini dengan ikhlas.""Ada apa, sih, Bu?" tanyaku setengah berbisik ketika mendengar perkataan kerabat Mas William.Ibu malah kembali mengusap kepalaku dan tersenyum, tapi air matanya menetes."Sayang ...." Mas William meraih bahu, lalu memutar kembali tubuh ini menghadapnya.Baru saja mulut terbuka dan hendak mengucap sesuatu, tapi dia sudah lebih dulu merengkuh tubuhku erat hingga mulut ini kembali terkatup rapat."Kita ... kita harus ikhlas, Sayang. Kamu harus kuat," ucap Mas William terisak.Aku hendak melepaskan pelukan d
Mas William menatap Mama yang ada di hadapannya seolah meminta pendapat. Setelah itu, dia kembali menatapku setelah mendapat anggukan dari mamanya."Mas akan antar. Tapi kamu harus janji satu hal.""Apa?""Kamu harus kuat. Kamu harus tabah dan ikhlas. Ingat dengan calon bayi yang sedang kamu kandung. Mas dan semua yang ada di sini enggak mau kalian kenapa-napa," ujarnya lembut seraya terus menyeka air mataku yang tidak mau berhenti menetes."Kamu ingat 'kan, betapa sayangnya Alva pada calon adiknya?"Aku mengangguk pelan."Dia pasti akan sangat sedih kalau lihat keadaan kamu begini. Apalagi kalau terjadi sesuatu yang buruk pada calon adiknya. Kamu paham 'kan maksud mas?""I–iya, Mas. A-aku ... kuat. A–aku ... ikhlas," jawabku terbata
Kehilangan Alva benar-benar mempengaruhi mental. Aku serasa hampir gila jika semua orang di sekitarku tidak memberikan dukungan dan semangat.Benar. Ini memang sudah menjadi takdir-Nya, tapi tetap saja sangat menyakitkan. Apalagi Alva perginya dengan cara seperti itu. Membuat hati ini hancur lebur karena merasa bersalah sudah membiarkannya pergi.Andai saat itu aku juga ikut ketika Alva memintanya, mungkin kami bisa bersama di detik-detik terakhir. Andai waktu bisa diputar, akan kucegah Alva dan Bang Leon pergi.Sekarang, semua terasa hampa. Tak ada celotehan dan tawa lucu dia lagi yang biasanya menghiasi rumah ini. Sepi.Seminggu setelah kepergian Alva, aku masih saja murung dan lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Berbaring sambil memeluk dan menciumi selimut yang biasa dipakainya. Pun memeluk erat mainan robot kesayangan Alva pemberian Bang Leon."Alva ... mama rindu," lirihku sambil terisak memandangi fotonya di layar ponsel."Sayang ...."Lekas kuseka air mata, lalu kembali
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Niat awal memang ingin melahirkan secara normal lagi, tapi ternyata tidak memungkinkan. Kali ini, dokter menyarankan agar menjalani operasi caesar demi keselamatanku dan bayinya. Akhir-akhir ini, tekanan darahku sering tidak stabil dan cenderung tinggi. Sampai Mas William dan orangtuanya panik sendiri takut terjadi apa-apa padaku.Aku pun tak bisa keras kepala. Jika memang melahirkan secara caesar adalah jalan terbaik, maka akan kulakukan.Tanggal sudah ditentukan dan kini semua persiapan sudah selesai. Jujur, aku sangat gugup karena ini pertama kalinya akan menjalani operasi. Bahkan kedua tanganku sampai gemetar, tapi Mas William dan orangtuanya selalu ada untuk menguatkan dan menenangkan."Dengar." Mas William menangkup lembut kedua pipiku. "Ada mas di sini. Enggak akan terjadi apa pun padamu atau bayi kita. Ok? Kamu harus rileks. Jangan sampai tensi kamu naik terus. Hm?"Aku mengangguk dan mencoba mengatur pernapasan."Berdoa, ya, Nak." Mama mengusap
Semua file bukti kebohongan Claudia sudah kusiapkan dengan baik. Ini juga berkat bantuan Mas Firman —asisten pribadi Mas William— yang diam-diam bantu menyelidiki. Memang aku sengaja tak memberitahu Mas William soal rencana ini. Saat itu, dia sedang banyak pikiran dan sibuk mengurus bisnis. Sampai-sampai dengan mudahnya memberikan uang tanpa berpikir dulu.Maka dari itu, biarlah kuman kecil seperti Claudia kutangani sendiri. Suami istri memang harus saling bahu membahu termasuk dalam membasmi bibit-bibit penyakit dalam pernikahan."Permisi, Bu."Aku menoleh pada Bi Yatmi yang berdiri di depan pintu yang memang terbuka lebar. Kuletakkan lipstik, lalu berdiri dan berjalan menghampirinya."Ya, Bi.""Tamunya sudah datang, Bu."Aku tersenyum. "Persilakan masuk dan sajikan minum.""Baik, Bu." Bi Yatmi mengangguk paham, lalu kembali ke lantai bawah.Aku berjalan ke kamar Hafsha untuk memanggil Mas William yang sedang bermain bersamanya. Hafsha sempat merengek minta ikut, tapi berhasil kubuju
Selama makan di restoran, hanya aku dan Mas Williamlah yang berbincang. Claudia bak makhluk tak kasat mata yang tidak diakui kehadirannya. Dia menyantap makan siang dengan wajah masam sambil sesekali melirik pada kami yang duduk di hadapannya."Enak?"Aku mengangguk dan tersenyum. "Coba, deh, Mas."Mas William membuka mulut menerima suapan dariku, lalu tersenyum."Enak, kan?" Aku terkekeh kecil."Iya. Kamu mau coba punya mas enggak?""Mau, dong."Kini giliran aku yang tersenyum menerima suapan darinya beberapa kali. Setelah menghabiskan menu utama, kini aku tengah menikmati es krim strawberry. Sementara, Mas William sedang menikmati minuman sodanya sambil memandangiku."Ada es krim nempel." Mas William mengusap sudut bibirku dengan ibu jari. "Manis," imbuhnya setelah menjilat ibu jari sendiri.Aku tertawa kecil. "Manis, dong, Mas. Namanya juga es krim.""Iya. Semanis yang lagi makan esnya." Mas William mencubit gemas hidungku."Eh? Mau ke mana, Claudia?" tanyaku saat melihatnya beranj
"Kamu meragukanku?" Mas William menatapku dengan dahi berkerut. Aku tersenyum, lalu mendekat padanya yang berdiri di dekat meja rias. "Aku percaya padamu, Mas. Sangat percaya," kataku sembari membantu membukakan kancing kemeja. "Terus, kenapa malah menyetujui permintaan Claudia? Kamu sungguh ingin mas menikahinya?" Tersirat ada kekecewaan dari sorot matanya yang membidikku. Kutangkup kedua pipinya lembut seraya menatap lekat. "Apa aku terlihat tipe wanita yang rela berbagi, hm? Mas William menyentak napas kasar, lalu menyentuh satu tanganku di pipinya. "Mas takut kamu terhasut ucapan Claudia, Sayang. Mas enggak mau kehilangan kamu untuk yang kedua kalinya." Aku tersenyum. "Itu enggak akan terjadi. Enggak akan kubiarkan batu kerikil menghancurkan pernikahan kita." "Terus untuk apa kamu minta dia datang lusa nanti?" "Mas percaya padaku?" Dia mengangguk. "Kalau begitu, ikuti saja semua arahan dan perintahku tadi. Cukup ikuti sandiwara yang sudah kubuat ini. Ok, Suamiku?" Mas
"Temani Hafsha dulu, ya. Mama mau temui tamunya," pintaku pada Alex yang dijawabnya dengan anggukan.Aku berjalan keluar kamar Hafsha bersama Bi Yatmi untuk menemui tamu yang datang. Seorang wanita yang memakai kemeja putih dipadukan blazer abu tengah duduk di ruang keluarga. Dia menoleh dan terlihat mengubah posisi duduk saat menyadari kehadiranku."Tolong buatkan minum, ya, Bi.""Baik, Bu." Bi Yatmi mengangguk dan pergi ke dapur.Wanita ini tersenyum canggung dan hendak berdiri, tapi aku kembali mempersilakannya duduk. Namanya Claudia —sekretaris Mas William yang sudah dipecat."Silakan diminum," ucapku padanya ketika Bi Yatmi menyajikan minuman di meja."Terima kasih." Dia meneguk minumannya sedikit.Dari gelagat yang terlihat gelisah saja, aku sudah tahu maksud kedatangan dia apa. Bahkan, aku sudah bersiap dengan apa yang akan dikatakannya sekarang."Pak Williamnya ada?" Dia mulai membuka percakapan."Enggak usah basa-basi. Kamu pasti sudah tahu suamiku itu sibuk. Kamu datang ke s
"Hati-hati!" ucapku setelah Alex mencium punggung tanganku dan Mas William.Alex mengangguk, lalu naik ke mobil. Sesekali dia memang diantar sopir, tapi tak jarang juga diantar Mas William."Jangan lupa kabarin mama atau Papa kalau ada sesuatu, ya," pesanku sebelum mobilnya melaju keluar halaman.Alex mengangkat satu jempol dan melambaikan tangan pada Hafsha yang tersenyum ceria pada kakaknya."Mas enggak ke kantor?" tanyaku saat kami tengah berjalan masuk lagi."Enggak. Kan, hari ini ada peresmian usaha baru, Sayang. Restoran. Lupa, ya?""Oh, iya. Maaf, Mas. Lupa.""Dasar." Dia tersenyum seraya mencubit gemas pipiku yang lebih berisi ini."Jam berapa Mas berangkat?""Jam sepuluh. Nanti kamu dan Hafsha ikut, ya?" ujarnya setelah kami duduk di sofa ruang keluarga."Boleh?""Ya jelas boleh, dong, Sayang. Malah kamu wajib hadir." Mas William merangkul dan mengusap-usap lenganku."Aku boleh ikut juga, Pah?" tanya Hafsha yang duduk di pangkuannya."Uhm– boleh ikut enggak, ya?" Mas William
Setelah hampir enam bulan mengalami gejala stroke ringan, sekarang aku sudah sembuh total dan bisa beraktivitas dengan normal lagi. Hanya saja, dokter menyarankan untuk tetap menjaga pola hidup agar gejala stroke tak kembali menyerang. Termasuk mencegah terjadinya tensi yang tinggi baik itu oleh pola makan maupun pikiran.Selama aku sakit, Mas William benar-benar seperti malaikat tak bersayap. Dia selalu ada di sisiku. Menjadi kaki dan tangan yang belum bisa berfungsi normal. Dia selalu membantuku dengan menyuguhkan senyum manisnya. Bahkan, dia tidak pernah pergi ke kantor. Semua urusan pekerjaan diserahkan pada asisten pribadi kecuali memang harus menghadiri meeting penting.Tak terasa, sekarang kami sudah menjalani pernikahan lagi selama setahun setengah lebih lamanya. Tak ada masalah yang berarti. Saling terbuka dan jujur membuat kami tak pernah salah paham lagi.Hubunganku dengan Indira pun lebih baik. Dia juga bisa lebih menghargaiku dan menjaga sikap. Dia hanya akan datang sesek
Mataku terbuka perlahan ketika merasakan usapan lembut di pipi. Mas William tersenyum dengan Hafsha yang tertidur di pangkuannya."Sudah sampai, Mas?"Mas William mengangguk. "Ayo turun."Mama dan Papa mendekat ke mobil kami. Mengambil alih menggendong Hafsha karena Mas William harus membantuku turun."Enggak mau, Mas. Enggak usah digendong," tolakku saat hendak dibopongnya."Kenapa?""Aku mau jalan saja. Kan, dokter juga menyarankan kalau aku harus sering latihan.""Iya memang. Tapi ini sudah larut malam. Kamu capek.""Aku masih kuat, Mas."Mas William menghela napas pelan, lalu merangkulku."Ya sudah ayo. Tapi pelan-pelan." Mas William mulai memapahku menyusul Mama Papa yang sudah masuk lebih dulu."Permisi, Pak." Pak Agung–salah satu sopir pribadi keluarganya menghampiri kami yang sudah sampai di pintu. "Barang-barangnya mau disimpan di mana?""Oh, letakkan di ruang keluarga dulu saja. Biar besok saya yang rapikan.""Baik, Pak." Pak Agung mengangguk, lalu kembali ke mobil."Mamaa!"
Selama bukan melakukan kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan atau tidak menafkahi dengan sengaja, cobalah untuk bertahan. Masalah kecil masih bisa dibicarakan dan dicari solusinya sama-sama.Hubungan yang rusak tak melulu harus diganti baru. Diperbaiki bukan diakhiri, dibicarakan bukan ditinggalkan. Itulah dewasa.Pernikahan merupakan ibadah terpanjang dalam hidup. Butuh kesabaran dan kerjasama pasangan. Mempertahankan pernikahan itu tak bisa dilakukan seorang diri. Pria dan wanita disatukan dalam ikatan janji suci bukan untuk saling menuntut kesempurnaan, melainkan untuk saling melengkapi dan menutupi kekurangan.Janganlah menuntut pasangan untuk sempurna tanpa celah, tapi sempurnakanlah diri kita untuk menutupi kekurangannya. Aku pun menyesal sudah berpisah dari Mas William.Namun, saat itu aku tidak berdaya karena Mas Williamlah yang memegang kendali sebagai suami. Kami berdua sadar telah sama-sama salah dan berdosa. Ego dan kemarahan sesaat telah membuat pernikahan kami han