Hening."Aku enggak masalah kalaupun harus jadi yang kedua. Aku rela. Aku juga yakin kalau di hati Mas Will sebenarnya masih tersisa sedikit perasaan untukku. Iya, 'kan?"Aku spontan meremas khimar di dada saat merasakan hati ini berdenyut nyeri karena mendengar permintaan Indira tersebut. Sayang, belum sempat mendengar jawaban Mas William, kehadiran office boy yang sudah berdiri di samping sambil mengetuk pintu ruangan ini berhasil mengejutkanku. Menyadari keterkejutan di wajah ini, pemuda itu tersenyum canggung."Sayang?" Mas William sedikit terkejut melihat keberadaan kami setelah office boy ini membukakan pintu untukku. Namun, tak berselang lama keterkejutannya itu berubah menjadi senyuman manis."Silakan masuk, Bu!" ucap pegawai office boy itu ramah.Aku mengangguk dan tersenyum tipis."Masuk, Sayang. Sini!" panggil Mas William.
Usai makan siang bersama, Mas William langsung kembali ke kantor karena masih ada meeting penting. Tadinya, dia hendak mengantar kami dulu ke rumah, tapi kutolak. Tidak tega kalau harus membuatnya bolak-balik. Sesampainya di rumah, aku dan Alva memutuskan tidur siang sebentar. Memikirkan obrolan Mas William dan Indira di kantor tadi tak hanya membuat hati berdenyut nyeri, tapi juga membuat kepala ini pusing.Sementara, Alex sendiri sudah pulang sedari tadi. Saat kuketuk pintunya untuk menanyakan sudah makan siang atau belum, dia tak menjawab. Akan tetapi, suara playstation yang samar-samar terdengar dari dalam menandakan dia tengah sibuk bermain game.Aku terbangun saat mendengar kumandang azan ashar. Bergegas aku mandi dan melaksanakan kewajiban seorang muslim. Setelahnya, baru memandikan Alva dan membawanya turun ke bawah."Bi.""Iya, Bu?""Tadi Alex makan siang enggak?" tanyaku untuk memastikan."Makan, Bu.""Syukurlah. Makasih, ya, Bi.""Sama-sama, Bu."Aku menghabiskan waktu ber
Kami serempak menoleh. Indira masuk dengan senyuman riangnya seraya menenteng satu paper bag ukuran sedang. Tawa dan senyum yang sedari tadi tercipta di antara aku dan Mas William mendadak lenyap. Suasana riang di hati ini pun berubah melow kembali melihat kedatangannya yang secepat ini."Kenapa kamu ke sini?" tanya Mas William pada Indira yang duduk begitu saja bersama kami di karpet ruang keluarga."Mau bantu kalian siapkan pestanya, dong," sahutnya santai, lalu melirik padaku. "Boleh, kan?"Aku mengangguk. Kembali membungkus kado dalam diam dengan dada seperti tertekan bongkahan batu. Sesak."Tuh, Lusi saja bolehin, kok," ujarnya, lalu mulai ikut membungkus kado yang sudah kami persiapkan untuk Alex."Kan, kubilang kamu datangnya nanti saja pas acara.""Ya, enggak apa-apalah, Mas. Aku juga bete di rumah.""Jangan, Sayang!
"Mama, danan nanis."Alva yang tadinya duduk di ayunan kayu bersamaku, kini berpindah ke pangkuan dan memeluk erat."Maaf," lirihku seraya balas memeluk dan mengecup kepalanya.Air mata yang sedari tadi kutahan saat bersama mereka di dalam, akhirnya tumpah ruah juga. Sesak. Bahkan, sampai detik ini Mas William belum menyadari kami memisahkan diri dari mereka.Apa mungkin yang dikatakan Indira itu benar? Mas William masih menyimpan perasaan untuknya."Kita habiskan kuenya, yuk!" ajakku setelah menyeka air mata dari wajah.Alva mengangguk, lalu turun dari pangkuan dan kembali duduk berdampingan. Kusuapi dia sambil sesekali tersenyum ketika Alva menoleh. Seolah ingin memastikan aku tak menangis lagi."Bobby! Bobby!" seru Alva riang melihat kucing kesayangannya ikut ke sini, lalu loncat dan naik ke pangkuannya.Fokusku terpecah saat ponsel di saku gamis bergetar. Bang Leon."Sayang, Papa Leon telepon. Mau bicara?""Mau, Ma!" jawab Alva bersemangat. "Atu tanen Papa."Kugeser ikon hijau dan
Rahangku mengeras dengan dada sedikit bergemuruh."Enggak ada. Mas enggak pernah salah sedikit pun. Akulah yang salah karena sudah hadir di kehidupan kalian," kataku pelan yang seketika membuat dahi Mas William berkerut dalam. Kulepas paksa cekalannya, lalu pergi dengan langkah lebih lebar dan cepat. Mengabaikan dirinya yang terus memanggil di belakang sana."Lusi, kemarilah! Kita makan sama-sama. Alex sudah lapar."Tak kugubris juga ajakan Indira. Hanya terus melangkah cepat menuju kamar tanpa menoleh pada keduanya sama sekali. Lagipula, sejak kapan fia jadi berubah ramah seperti itu? Biasanya, Indira selalu memberikan tatapan sinis dan menunjukkan sikap permusuhan denganku, sama seperti putranya.Hatiku sakit. Aku gagal mengendalikan perasaan ini. Perasaan cinta untuknya telah menyakiti diriku sendiri.Entah apa yang dilakukan Mas William, Alex dan Indira di bawah
Mas William mengurai pelukan, menatap lekat mataku yang masih buram karena terhalang air mata yang menganak sungai."Apa yang Mas udah lakukan, Sayang?""Jadi, Mas enggak merasa sudah menyakitiku?" lirihku dengan sakit di tenggorokan karena isakan yang tertahan. "Mungkin benar. Mas enggak salah, tapi akulah yang terlalu sensitif dan baper.""Jangan begitu. Bilang saja mas salah apa bair paham. Mungkin mas melakukan itu tanpa sengaja. Jangan diam saja, Sayang. Kalau diam, kamu malah akan terus uring-uringan nanti. Mas enggak bisa nebak isi hati dan kepalamu," bujuknya seraya meremas lembut kedua jemari tanganku."Aku enggak suka Mas dekat-dekat Indira." Kuberanikan diri menatap lekat matanya walau pandangan ini buram karena air mata. "Aku enggak mau lihat dia di rumah ini lagi!" tegasku pelan, tapi penuh penekanan."Sayang?" Mas William menatapku dengan dahi berkerut dalam. "Kenapa? Indira ke sini hanya mau bertemu Alex," balasnya tenang dan lembut.Aku menggeleng cepat. "Itu hanya ala
Seminggu telah berlalu. Hubunganku dengan Mas William kembali membaik, tapi tidak dengan Alex. Anak itu masih menolak sikap hangat dan lembutku. Rencananya sore ini sepulang Mas William dari kantor, kami akan pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungan ke dokter spesialis obgyn.Selama hampir dua minggu ke belakang ini, perutku sering terasa keram walau tidak parah. Akan tetapi, itu cukup membuat Mas William khawatir. Jadi, dia tetap menyarankanku agar memeriksakannya untuk mendapatkan jawaban pasti tentang ini.Sambil menunggu kepulangan Mas William, aku memilih menonton televisi. Sementara, Alva sedang bermain ayunan di halaman belakang ditemani Bi Surti. Alex sendiri sepulang sekolah tadi langsung dijemput sopir pribadi kakeknya untuk main ke rumah mereka."Lusi!"Aku yang tengah fokus menonton acara berita pun, seketika tersentak kaget mendengar teriakan Indira yang kencang. De
"Ada apa ini?"Aku terkesiap mendengar suara bariton itu hingga spontan menatap ke arah pintu."Mas ...." Aku menelan ludah melihat Mas William terburu-buru mendekati kami.Bagaimana kalau dia salah paham?Kulirik Indira. Dia menyunggingkan senyum sinis, lalu berbalik menghadap Mas William masih dengan memegangi pipinya."Mas ...." Indira mendekat dan berkata dengan suara lirihnya. "Masa aku ditampar Lusi, Mas. Sakit," adunya dengan nada manja. "Padahal, aku 'kan hanya tanya kenapa dia melarang aku ke sini untuk temui Alex.""Bohong, Mas!" tukasku cepat. "Tadi dia duluan yang sudah kurang ajar padaku."Mas William melirik sekilas padaku seraya menghela napas berat, lalu kembali menatap Indira yang berdiri di hadapannya."Bukan Lusi yang melarang. Tapi memang aku sendiri yang mau kamu berhenti ke sini terlalu sering. Silakan janjian bertemu dengan Alex di luar saja.""Tapi kenapa, Mas? Aku mamanya dan aku berhak kapan pun temui dia. Lagian, apa masalahnya aku datang ke sini? Aku enggak