Kami serempak menoleh. Indira masuk dengan senyuman riangnya seraya menenteng satu paper bag ukuran sedang. Tawa dan senyum yang sedari tadi tercipta di antara aku dan Mas William mendadak lenyap. Suasana riang di hati ini pun berubah melow kembali melihat kedatangannya yang secepat ini."Kenapa kamu ke sini?" tanya Mas William pada Indira yang duduk begitu saja bersama kami di karpet ruang keluarga."Mau bantu kalian siapkan pestanya, dong," sahutnya santai, lalu melirik padaku. "Boleh, kan?"Aku mengangguk. Kembali membungkus kado dalam diam dengan dada seperti tertekan bongkahan batu. Sesak."Tuh, Lusi saja bolehin, kok," ujarnya, lalu mulai ikut membungkus kado yang sudah kami persiapkan untuk Alex."Kan, kubilang kamu datangnya nanti saja pas acara.""Ya, enggak apa-apalah, Mas. Aku juga bete di rumah.""Jangan, Sayang!
"Mama, danan nanis."Alva yang tadinya duduk di ayunan kayu bersamaku, kini berpindah ke pangkuan dan memeluk erat."Maaf," lirihku seraya balas memeluk dan mengecup kepalanya.Air mata yang sedari tadi kutahan saat bersama mereka di dalam, akhirnya tumpah ruah juga. Sesak. Bahkan, sampai detik ini Mas William belum menyadari kami memisahkan diri dari mereka.Apa mungkin yang dikatakan Indira itu benar? Mas William masih menyimpan perasaan untuknya."Kita habiskan kuenya, yuk!" ajakku setelah menyeka air mata dari wajah.Alva mengangguk, lalu turun dari pangkuan dan kembali duduk berdampingan. Kusuapi dia sambil sesekali tersenyum ketika Alva menoleh. Seolah ingin memastikan aku tak menangis lagi."Bobby! Bobby!" seru Alva riang melihat kucing kesayangannya ikut ke sini, lalu loncat dan naik ke pangkuannya.Fokusku terpecah saat ponsel di saku gamis bergetar. Bang Leon."Sayang, Papa Leon telepon. Mau bicara?""Mau, Ma!" jawab Alva bersemangat. "Atu tanen Papa."Kugeser ikon hijau dan
Rahangku mengeras dengan dada sedikit bergemuruh."Enggak ada. Mas enggak pernah salah sedikit pun. Akulah yang salah karena sudah hadir di kehidupan kalian," kataku pelan yang seketika membuat dahi Mas William berkerut dalam. Kulepas paksa cekalannya, lalu pergi dengan langkah lebih lebar dan cepat. Mengabaikan dirinya yang terus memanggil di belakang sana."Lusi, kemarilah! Kita makan sama-sama. Alex sudah lapar."Tak kugubris juga ajakan Indira. Hanya terus melangkah cepat menuju kamar tanpa menoleh pada keduanya sama sekali. Lagipula, sejak kapan fia jadi berubah ramah seperti itu? Biasanya, Indira selalu memberikan tatapan sinis dan menunjukkan sikap permusuhan denganku, sama seperti putranya.Hatiku sakit. Aku gagal mengendalikan perasaan ini. Perasaan cinta untuknya telah menyakiti diriku sendiri.Entah apa yang dilakukan Mas William, Alex dan Indira di bawah
Mas William mengurai pelukan, menatap lekat mataku yang masih buram karena terhalang air mata yang menganak sungai."Apa yang Mas udah lakukan, Sayang?""Jadi, Mas enggak merasa sudah menyakitiku?" lirihku dengan sakit di tenggorokan karena isakan yang tertahan. "Mungkin benar. Mas enggak salah, tapi akulah yang terlalu sensitif dan baper.""Jangan begitu. Bilang saja mas salah apa bair paham. Mungkin mas melakukan itu tanpa sengaja. Jangan diam saja, Sayang. Kalau diam, kamu malah akan terus uring-uringan nanti. Mas enggak bisa nebak isi hati dan kepalamu," bujuknya seraya meremas lembut kedua jemari tanganku."Aku enggak suka Mas dekat-dekat Indira." Kuberanikan diri menatap lekat matanya walau pandangan ini buram karena air mata. "Aku enggak mau lihat dia di rumah ini lagi!" tegasku pelan, tapi penuh penekanan."Sayang?" Mas William menatapku dengan dahi berkerut dalam. "Kenapa? Indira ke sini hanya mau bertemu Alex," balasnya tenang dan lembut.Aku menggeleng cepat. "Itu hanya ala
Seminggu telah berlalu. Hubunganku dengan Mas William kembali membaik, tapi tidak dengan Alex. Anak itu masih menolak sikap hangat dan lembutku. Rencananya sore ini sepulang Mas William dari kantor, kami akan pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungan ke dokter spesialis obgyn.Selama hampir dua minggu ke belakang ini, perutku sering terasa keram walau tidak parah. Akan tetapi, itu cukup membuat Mas William khawatir. Jadi, dia tetap menyarankanku agar memeriksakannya untuk mendapatkan jawaban pasti tentang ini.Sambil menunggu kepulangan Mas William, aku memilih menonton televisi. Sementara, Alva sedang bermain ayunan di halaman belakang ditemani Bi Surti. Alex sendiri sepulang sekolah tadi langsung dijemput sopir pribadi kakeknya untuk main ke rumah mereka."Lusi!"Aku yang tengah fokus menonton acara berita pun, seketika tersentak kaget mendengar teriakan Indira yang kencang. De
"Ada apa ini?"Aku terkesiap mendengar suara bariton itu hingga spontan menatap ke arah pintu."Mas ...." Aku menelan ludah melihat Mas William terburu-buru mendekati kami.Bagaimana kalau dia salah paham?Kulirik Indira. Dia menyunggingkan senyum sinis, lalu berbalik menghadap Mas William masih dengan memegangi pipinya."Mas ...." Indira mendekat dan berkata dengan suara lirihnya. "Masa aku ditampar Lusi, Mas. Sakit," adunya dengan nada manja. "Padahal, aku 'kan hanya tanya kenapa dia melarang aku ke sini untuk temui Alex.""Bohong, Mas!" tukasku cepat. "Tadi dia duluan yang sudah kurang ajar padaku."Mas William melirik sekilas padaku seraya menghela napas berat, lalu kembali menatap Indira yang berdiri di hadapannya."Bukan Lusi yang melarang. Tapi memang aku sendiri yang mau kamu berhenti ke sini terlalu sering. Silakan janjian bertemu dengan Alex di luar saja.""Tapi kenapa, Mas? Aku mamanya dan aku berhak kapan pun temui dia. Lagian, apa masalahnya aku datang ke sini? Aku enggak
Mas William tersenyum. Kedua tangannya yang melingkar di pinggang berpindah menangkup pipi ini."Kamu lebih percaya pada Indira atau mas?" tanyanya lembut."Aku ...." Kugigit sudut bibir sembari berpikir. "Aku percaya pada Mas Will, tapi aku juga takut yang dikatakan Indira itu benar," jawabku jujur."Kamu harus percaya pada mas. Mas hanya mencintaimu," ujarnya seraya mengusap lembut pipiku dengan ibu jari, lalu mendaratkan kecupan singkat di bibir ini. "Indira sudah enggak punya tempat sedikit pun di hatiku. Tolong ... percaya pada Mas dan anggap saja angin lalu kalau Indira bilang sesuatu tentang Mas. Hm?"Aku mengangguk pelan."Mas enggak mau kamu terlalu banyak memikirkan hal yang enggak penting begitu, Sayang. Kasihan calon bayi kita kalau mamanya stres terus. Kamu harus tenang. Ingat apa pesan dokter, kan?""Iya, Mas. Aku ... akan coba bers
Aku terkesiap kaget mendengar suara tegas Mas William dari belakang dan spontan berbalik menghadapnya. Tatapan tajamnya membuatku sadar akan kesalahan yang baru saja dilakukan."Mas ... aku ...."Mas William mengabaikanku dan berlalu begitu saja menghampiri putranya."Alex ...."Alex menepis tangan papanya sambil menangis, lalu menyambar tas sekolah dari atas meja belajar."Aku benci kalian semua! Aku benci Papa! Aku enggak mau tinggal di sini lagi!" teriaknya emosi, lalu berlari keluar kamar dengan sengaja mendorongku kencang hingga mundur dan punggung menabrak daun pintu."Alex!" Mas William langsung berlari mengejar tanpa menoleh padaku yang masih kaget dengan semua ini.Aku memang salah. Alex masih kecil. Tak sepantasnya aku semarah itu dan mengatakan hal buruk tentang mamanya. Tanpa menunggu lama, aku pun segera ikut berlari menyusul mereka. Mas William berhasil mengejar dan mencegah Alex yang sudah sampai di gerbang."Jangan begini, Alex! Kamu harus tenang!""Enggak mau! Papa ja