"Ini kamarnya." Kubuka pintu kamar yang pernah Mira tempati dulu.Alex masuk tanpa sepatah kata seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar."Kalau kamu perlu sesuatu atau ada yang mau diganti dari kamar ini, bilang aja sama mama, ya," ucapku seraya mengusap kepalanya dengan lembut.Namun, tangannya yang refleks menepis dengan kasar itu sedikit membuatku kaget."Jangan sok baik dan jangan menyebut dirimu mama! Kamu bukan mamaku!" tukasnya dengan sorot mata penuh kebencian.Entah kenapa Alex terlihat
Setiap harinya aku semakin gencar mendekati Alex, tapi belum ada perubahan sedikit pun. Bahkan, dia malah semakin berani membentak dan berteriak kasar jika Mas William sedang tidak ada.Apa aku membalasnya?Tentu saja tidak. Jika mengikuti ego dan nafsu, bisa saja aku balas memarahinya. Terlebih lagi mengingat kata-kata kasarnya yang selalu mencemooh. Akan tetapi, semua itu tidak akan berguna. Anggapan Alex tentang mama tiri yang jahat akan semakin tertanam di benaknya, dan aku tidak mau hal itu terjadi.Alex harus tahu bahwa tak semua papa atau mama tiri itu jahat dan kasar. Meskipun, memang di luaran sana banyak kejadian seperti itu, tapi itu tidak akan kulakukan. Mencintai Mas William berarti harus mencintai Alex juga bagaimanapun sikapnya. Aku yakin, suatu hari nanti anak laki-laki yang hobi bermain game online itu akan mulai menerima kehadiranku.Sejak Alex tinggal di sini, Indira pun jadi lebih sering berkunjung. Meskipun, sejujurnya aku merasa tak nyaman dan terganggu, tapi sem
Hening."Aku enggak masalah kalaupun harus jadi yang kedua. Aku rela. Aku juga yakin kalau di hati Mas Will sebenarnya masih tersisa sedikit perasaan untukku. Iya, 'kan?"Aku spontan meremas khimar di dada saat merasakan hati ini berdenyut nyeri karena mendengar permintaan Indira tersebut. Sayang, belum sempat mendengar jawaban Mas William, kehadiran office boy yang sudah berdiri di samping sambil mengetuk pintu ruangan ini berhasil mengejutkanku. Menyadari keterkejutan di wajah ini, pemuda itu tersenyum canggung."Sayang?" Mas William sedikit terkejut melihat keberadaan kami setelah office boy ini membukakan pintu untukku. Namun, tak berselang lama keterkejutannya itu berubah menjadi senyuman manis."Silakan masuk, Bu!" ucap pegawai office boy itu ramah.Aku mengangguk dan tersenyum tipis."Masuk, Sayang. Sini!" panggil Mas William.
Usai makan siang bersama, Mas William langsung kembali ke kantor karena masih ada meeting penting. Tadinya, dia hendak mengantar kami dulu ke rumah, tapi kutolak. Tidak tega kalau harus membuatnya bolak-balik. Sesampainya di rumah, aku dan Alva memutuskan tidur siang sebentar. Memikirkan obrolan Mas William dan Indira di kantor tadi tak hanya membuat hati berdenyut nyeri, tapi juga membuat kepala ini pusing.Sementara, Alex sendiri sudah pulang sedari tadi. Saat kuketuk pintunya untuk menanyakan sudah makan siang atau belum, dia tak menjawab. Akan tetapi, suara playstation yang samar-samar terdengar dari dalam menandakan dia tengah sibuk bermain game.Aku terbangun saat mendengar kumandang azan ashar. Bergegas aku mandi dan melaksanakan kewajiban seorang muslim. Setelahnya, baru memandikan Alva dan membawanya turun ke bawah."Bi.""Iya, Bu?""Tadi Alex makan siang enggak?" tanyaku untuk memastikan."Makan, Bu.""Syukurlah. Makasih, ya, Bi.""Sama-sama, Bu."Aku menghabiskan waktu ber
Kami serempak menoleh. Indira masuk dengan senyuman riangnya seraya menenteng satu paper bag ukuran sedang. Tawa dan senyum yang sedari tadi tercipta di antara aku dan Mas William mendadak lenyap. Suasana riang di hati ini pun berubah melow kembali melihat kedatangannya yang secepat ini."Kenapa kamu ke sini?" tanya Mas William pada Indira yang duduk begitu saja bersama kami di karpet ruang keluarga."Mau bantu kalian siapkan pestanya, dong," sahutnya santai, lalu melirik padaku. "Boleh, kan?"Aku mengangguk. Kembali membungkus kado dalam diam dengan dada seperti tertekan bongkahan batu. Sesak."Tuh, Lusi saja bolehin, kok," ujarnya, lalu mulai ikut membungkus kado yang sudah kami persiapkan untuk Alex."Kan, kubilang kamu datangnya nanti saja pas acara.""Ya, enggak apa-apalah, Mas. Aku juga bete di rumah.""Jangan, Sayang!
"Mama, danan nanis."Alva yang tadinya duduk di ayunan kayu bersamaku, kini berpindah ke pangkuan dan memeluk erat."Maaf," lirihku seraya balas memeluk dan mengecup kepalanya.Air mata yang sedari tadi kutahan saat bersama mereka di dalam, akhirnya tumpah ruah juga. Sesak. Bahkan, sampai detik ini Mas William belum menyadari kami memisahkan diri dari mereka.Apa mungkin yang dikatakan Indira itu benar? Mas William masih menyimpan perasaan untuknya."Kita habiskan kuenya, yuk!" ajakku setelah menyeka air mata dari wajah.Alva mengangguk, lalu turun dari pangkuan dan kembali duduk berdampingan. Kusuapi dia sambil sesekali tersenyum ketika Alva menoleh. Seolah ingin memastikan aku tak menangis lagi."Bobby! Bobby!" seru Alva riang melihat kucing kesayangannya ikut ke sini, lalu loncat dan naik ke pangkuannya.Fokusku terpecah saat ponsel di saku gamis bergetar. Bang Leon."Sayang, Papa Leon telepon. Mau bicara?""Mau, Ma!" jawab Alva bersemangat. "Atu tanen Papa."Kugeser ikon hijau dan
Rahangku mengeras dengan dada sedikit bergemuruh."Enggak ada. Mas enggak pernah salah sedikit pun. Akulah yang salah karena sudah hadir di kehidupan kalian," kataku pelan yang seketika membuat dahi Mas William berkerut dalam. Kulepas paksa cekalannya, lalu pergi dengan langkah lebih lebar dan cepat. Mengabaikan dirinya yang terus memanggil di belakang sana."Lusi, kemarilah! Kita makan sama-sama. Alex sudah lapar."Tak kugubris juga ajakan Indira. Hanya terus melangkah cepat menuju kamar tanpa menoleh pada keduanya sama sekali. Lagipula, sejak kapan fia jadi berubah ramah seperti itu? Biasanya, Indira selalu memberikan tatapan sinis dan menunjukkan sikap permusuhan denganku, sama seperti putranya.Hatiku sakit. Aku gagal mengendalikan perasaan ini. Perasaan cinta untuknya telah menyakiti diriku sendiri.Entah apa yang dilakukan Mas William, Alex dan Indira di bawah
Mas William mengurai pelukan, menatap lekat mataku yang masih buram karena terhalang air mata yang menganak sungai."Apa yang Mas udah lakukan, Sayang?""Jadi, Mas enggak merasa sudah menyakitiku?" lirihku dengan sakit di tenggorokan karena isakan yang tertahan. "Mungkin benar. Mas enggak salah, tapi akulah yang terlalu sensitif dan baper.""Jangan begitu. Bilang saja mas salah apa bair paham. Mungkin mas melakukan itu tanpa sengaja. Jangan diam saja, Sayang. Kalau diam, kamu malah akan terus uring-uringan nanti. Mas enggak bisa nebak isi hati dan kepalamu," bujuknya seraya meremas lembut kedua jemari tanganku."Aku enggak suka Mas dekat-dekat Indira." Kuberanikan diri menatap lekat matanya walau pandangan ini buram karena air mata. "Aku enggak mau lihat dia di rumah ini lagi!" tegasku pelan, tapi penuh penekanan."Sayang?" Mas William menatapku dengan dahi berkerut dalam. "Kenapa? Indira ke sini hanya mau bertemu Alex," balasnya tenang dan lembut.Aku menggeleng cepat. "Itu hanya ala