"Masalahnya kenapa?""Masalahnya mobil itu belum laku juga, Dek. Padahal, tenggat waktu tinggal satu hari lagi. Abang harus gimana, Dek? Abang enggak mau masuk penjara." Mata Bang Leon berkaca-kaca menatapku."Mira enggak mau bantu Abang, gitu? Barangkali dia bisa cari pinjaman ke teman atau orangtua dan kerabatnya."Bang Leon menggeleng. "Malah sudah dari lima hari yang lalu dia pulang ke rumah papanya, Dek. Dia pergi setelah kami bertengkar hebat karena masalah ini.""Atau jadikan saja mobil itu sebagai jaminan ke perusahaan sampai Abang bisa bayar."Bang Leon kembali geleng. "Enggak boleh. Abang sudah coba, tapi ditolak."Gustiii, kenapa aku jadi ikut pusing karena masalah Bang Leon ini? Hadeeh! Datang-datang bukannya bawa oleh-oleh untuk anak, malah bawa masalah.Kulirik Bang Leon yang sedang mengajak Alva berbic
Bang Leon ternyata datang pagi sekali. Dia begitu bersemangat ingin menyelesaikan masalahnya. Dia juga bertanya terus tentang siapa orang yang ingin membeli mobil, tapi aku selalu mengalihkan pertanyaan itu dengan tema lain."Ayo, Bang, sarapan dulu! Abang belum sarapan, kan?""Belum, Dek!""Ya sudah, ayo!"Bang Leon mengangguk cepat dan tersenyum. Bergegas bangun dari kursi teras, lalu mengekoriku ke dalam."Makasih, Dek," ucapnya saat kugeser secangkir kopi padanya yang tengah lahap menyantap nasi kuning."Abang sudah kabari pihak perusahaan?""Sudah, Dek. Mereka tunggu Abang sampai siang ini," jawabnya, lalu minum. "Makasih, Dek. Abang enggak tahu lagi harus balas kebaikanmu dengan apa. Kalau bukan karena bantuanmu, abang pasti akan masuk penjara."Aku menghela napas pelan dan tersenyum tipis."Sudah jangan dipikirkan. Bagaimanapun juga, Abang itu papanya Alva. Aku enggak mau Alva malu dan sedih karena ulah Abang. Tapi tolong, jangan pernah diulangi lagi kesalahan seperti ini. Piki
"Sudah, sudah." Mas William berjalan mendekat. Mas Firman sendiri sudah tak terlihat. Sepertinya, dia masuk ke dalam rumah membawa Alva."Maaf. Tapi sebaiknya kita bicarakan ini secara baik-baik di dalam. Enggak perlu pakai emosi seperti ini.""Diam kamu!" sentak Bang Leon seraya menunjuk tepat di depan wajah Mas William. "Jangan bersikap sok baik di depanku! Aku tahu niat busukmu itu. Kamu ingin merebut Lusi dariku, kan?""Benar. Aku memang mencintai Lusi dan sudah melamarnya," jawabnya dengan tenang.Bang Leon membeku sejenak, lalu menatap padaku kembali dengan bola matanya yang bergera
Hari ini aku tengah pergi ke mal menemani Nanny berbelanja keperluan bayi. Bayi yang diberi nama Aurora itu sungguh menggemaskan. Membuatku berharap ingin memiliki bayi perempuan juga. Lucu sekali, sungguh!Usai dari toko perlengkapan bayi, kami pergi makan siang bersama. Ketika tengah asyik makan sambil berbincang, tiba-tiba saja Nanny mencolek-colek lenganku."Apa?" tanyaku bingung. Kami berdua duduk dalam posisi berhadapan."Lihat ke belakangmu! Ada si pelakor sama cowok," bisiknya.Seketika itu juga aku langsung menoleh. Benar. Di ambang pintu restoran, kulihat dia menggandeng seorang pria paruh baya dengan mesra. Keduanya terlihat celingukan karena kursi restoran hampir penuh.Aku segera berbalik. Nanny dan aku sama-sama menutupi wajah dengan buku menu saat melihat keduanya mendekat."Eh? Kenapa kita malah sembunyi begini, sih? Memangnya kita punya salah padanya?" bisik Nanny kebingungan."Iya juga, ya." Aku terkekeh pelan."Ya udah, ah, enggak usah ditutup—""Jangan, Nan!" tukas
"Hah? Serius?" Nanny terkejut.Aku mengangguk. "Tapi sampai sekarang, aku belum kasih jawaban. Aku sendiri masih bingung dan ragu.""Kenapa ragu? Kapan lagi kamu dapat pria mapan sepertinya? Enggak hanya tampan, baik lagi. Dia juga duda, kan?""Aku hanya takut gagal untuk yang kedua kalinya. Aku masih ragu untuk kembali terikat tali pernikahan," lirihku, lalu menghela napas panjang."Kenapa harus takut, Lusi? Jangan takut dengan apa yang belum kelihatan oleh mata! Percayakan saja semua kepada-Nya. Kita memang enggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi bukan berarti juga kita harus menyerah sebelum bertarung, 'kan? Ayolah, Lusi! Buang rasa takutmu itu. Insyaallah dia pria yang cocok untukmu dan Alva.""Akan kupikirkan.""Jangan lama-lama! Nanti kamu menyesal sendiri, lho, kalau sampai dia keburu diambil orang lain."
Setelah mobil terparkir sempurna, Mas William segera memanggil bantuan. Beberapa petugas rumah sakit dengan sigap berlari mendekat seraya mendorong brankar. Tubuh Bang Leon dipindahkan ke atas brankar, lalu dibawa ke ruang tindakan.Aku hanya bisa menunggu dengan gelisah. Setiap kali pikiran buruk melintas, cepat-cepat kugelengkan kepala.Bang Leon pasti selamat. Dia ... pasti selamat."Duduklah. Kamu harus tenang." Mas William mendorong pelan bahuku agar duduk."Aku takut, Mas. Aku takut Bang Leon enggak selamat," lirihku seraya memeluk Alva."Dia akan baik-baik saja. Jangan khawatir!" ucapnya seraya mengusap kepala Alva."Aku harus menghubungi Bapak dan ibunya Bang Leon, Mas."Mas William mengangguk, lalu mengambil Alva dari pangkuan.Cukup lama mencoba memanggil, tapi tak juga kunjung dijawab. Hingga pada panggilan kesekian kalinya, barulah terdengar suara Ibu mengucap salam. Beliau sangat syok saat dikabari soal putranya yang luka-luka dan terkena tusukan. Ibu sempat menangis, tap
Ketika kami tiba di ruangan, Ibu tengah menyuapi Bang Leon dengan bubur. Ketiganya tersenyum melihat kedatanganku. Usai menyuapi putranya tersebut, kami sarapan bersama dengan bekal yang dibawa dari rumah. Termasuk Mas William karena aku juga membawakan untuknya.Usai sarapan, Ibu dan Bapak pamit membawa Alva ke taman rumah sakit. Meninggalkan aku dan Mas William bersama Bang Leon di ruangan ini."Kenapa nomor Abang enggak aktif semingguan ini?""Ponsel Abang hilang, Dek. Maaf.""Pantesan. Terus, Abang enggak pegang hape lagi, dong."Bang Leon menggeleng."Ya sudah. Nanti Aku belikan Abang hape baru.""Enggak usah, Dek. Nanti abang beli sendiri kalau sudah dapat kerjaan baru.""Terus, kenapa Abang bisa sampai luka-luka dan kena tusukan pisau, Bang? Apa Abang dihadang penjahat?" tanyaku penasaran.
Mungkin aku sempat ragu dengan keputusan yang harus diambil, tapi sekarang tidak. Rasa takut dan trauma dengan kegagalan harus dibuang jauh-jauh. Jika terus memikirkan akibat atau masalah yang belum terlihat jelas oleh mata, sampai kapan pun aku tidak akan pernah menjadi orang yang berani.Dalam mengambil setiap keputusan, jangan hanya melibatkan satu hal saja, tapi harus seimbang. Ikuti kata hati, tapi jangan lupa bawa serta logika. Sudah cukup aku berjuang untuk Bang Leon yang telah menjadi masa lalu. Kini, saatnya aku berjuang untuk masa depan sendiri.Aku bergegas turun setelah selesai bersiap untuk pergi makan malam. Mas William sendiri ternyata datang menjemput lebih awal. Dia menunggu di bawah sembari menjaga Alva."Mas."Mas William yang tengah menunduk sambil tertawa bersama Alva seketika menoleh. Menelisik penampilanku dari ujung rambut sampai kaki. Rambut panjang kubuat curly dengan polesan make-up tipis dan lipstik nude. Dress hitam sebatas lutut tanpa lengan yang sengaja