"Sudah, sudah." Mas William berjalan mendekat. Mas Firman sendiri sudah tak terlihat. Sepertinya, dia masuk ke dalam rumah membawa Alva.
"Maaf. Tapi sebaiknya kita bicarakan ini secara baik-baik di dalam. Enggak perlu pakai emosi seperti ini."
"Diam kamu!" sentak Bang Leon seraya menunjuk tepat di depan wajah Mas William. "Jangan bersikap sok baik di depanku! Aku tahu niat busukmu itu. Kamu ingin merebut Lusi dariku, kan?"
"Benar. Aku memang mencintai Lusi dan sudah melamarnya," jawabnya dengan tenang.
Bang Leon membeku sejenak, lalu menatap padaku kembali dengan bola matanya yang bergera
Hari ini aku tengah pergi ke mal menemani Nanny berbelanja keperluan bayi. Bayi yang diberi nama Aurora itu sungguh menggemaskan. Membuatku berharap ingin memiliki bayi perempuan juga. Lucu sekali, sungguh!Usai dari toko perlengkapan bayi, kami pergi makan siang bersama. Ketika tengah asyik makan sambil berbincang, tiba-tiba saja Nanny mencolek-colek lenganku."Apa?" tanyaku bingung. Kami berdua duduk dalam posisi berhadapan."Lihat ke belakangmu! Ada si pelakor sama cowok," bisiknya.Seketika itu juga aku langsung menoleh. Benar. Di ambang pintu restoran, kulihat dia menggandeng seorang pria paruh baya dengan mesra. Keduanya terlihat celingukan karena kursi restoran hampir penuh.Aku segera berbalik. Nanny dan aku sama-sama menutupi wajah dengan buku menu saat melihat keduanya mendekat."Eh? Kenapa kita malah sembunyi begini, sih? Memangnya kita punya salah padanya?" bisik Nanny kebingungan."Iya juga, ya." Aku terkekeh pelan."Ya udah, ah, enggak usah ditutup—""Jangan, Nan!" tukas
"Hah? Serius?" Nanny terkejut.Aku mengangguk. "Tapi sampai sekarang, aku belum kasih jawaban. Aku sendiri masih bingung dan ragu.""Kenapa ragu? Kapan lagi kamu dapat pria mapan sepertinya? Enggak hanya tampan, baik lagi. Dia juga duda, kan?""Aku hanya takut gagal untuk yang kedua kalinya. Aku masih ragu untuk kembali terikat tali pernikahan," lirihku, lalu menghela napas panjang."Kenapa harus takut, Lusi? Jangan takut dengan apa yang belum kelihatan oleh mata! Percayakan saja semua kepada-Nya. Kita memang enggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi bukan berarti juga kita harus menyerah sebelum bertarung, 'kan? Ayolah, Lusi! Buang rasa takutmu itu. Insyaallah dia pria yang cocok untukmu dan Alva.""Akan kupikirkan.""Jangan lama-lama! Nanti kamu menyesal sendiri, lho, kalau sampai dia keburu diambil orang lain."
Setelah mobil terparkir sempurna, Mas William segera memanggil bantuan. Beberapa petugas rumah sakit dengan sigap berlari mendekat seraya mendorong brankar. Tubuh Bang Leon dipindahkan ke atas brankar, lalu dibawa ke ruang tindakan.Aku hanya bisa menunggu dengan gelisah. Setiap kali pikiran buruk melintas, cepat-cepat kugelengkan kepala.Bang Leon pasti selamat. Dia ... pasti selamat."Duduklah. Kamu harus tenang." Mas William mendorong pelan bahuku agar duduk."Aku takut, Mas. Aku takut Bang Leon enggak selamat," lirihku seraya memeluk Alva."Dia akan baik-baik saja. Jangan khawatir!" ucapnya seraya mengusap kepala Alva."Aku harus menghubungi Bapak dan ibunya Bang Leon, Mas."Mas William mengangguk, lalu mengambil Alva dari pangkuan.Cukup lama mencoba memanggil, tapi tak juga kunjung dijawab. Hingga pada panggilan kesekian kalinya, barulah terdengar suara Ibu mengucap salam. Beliau sangat syok saat dikabari soal putranya yang luka-luka dan terkena tusukan. Ibu sempat menangis, tap
Ketika kami tiba di ruangan, Ibu tengah menyuapi Bang Leon dengan bubur. Ketiganya tersenyum melihat kedatanganku. Usai menyuapi putranya tersebut, kami sarapan bersama dengan bekal yang dibawa dari rumah. Termasuk Mas William karena aku juga membawakan untuknya.Usai sarapan, Ibu dan Bapak pamit membawa Alva ke taman rumah sakit. Meninggalkan aku dan Mas William bersama Bang Leon di ruangan ini."Kenapa nomor Abang enggak aktif semingguan ini?""Ponsel Abang hilang, Dek. Maaf.""Pantesan. Terus, Abang enggak pegang hape lagi, dong."Bang Leon menggeleng."Ya sudah. Nanti Aku belikan Abang hape baru.""Enggak usah, Dek. Nanti abang beli sendiri kalau sudah dapat kerjaan baru.""Terus, kenapa Abang bisa sampai luka-luka dan kena tusukan pisau, Bang? Apa Abang dihadang penjahat?" tanyaku penasaran.
Mungkin aku sempat ragu dengan keputusan yang harus diambil, tapi sekarang tidak. Rasa takut dan trauma dengan kegagalan harus dibuang jauh-jauh. Jika terus memikirkan akibat atau masalah yang belum terlihat jelas oleh mata, sampai kapan pun aku tidak akan pernah menjadi orang yang berani.Dalam mengambil setiap keputusan, jangan hanya melibatkan satu hal saja, tapi harus seimbang. Ikuti kata hati, tapi jangan lupa bawa serta logika. Sudah cukup aku berjuang untuk Bang Leon yang telah menjadi masa lalu. Kini, saatnya aku berjuang untuk masa depan sendiri.Aku bergegas turun setelah selesai bersiap untuk pergi makan malam. Mas William sendiri ternyata datang menjemput lebih awal. Dia menunggu di bawah sembari menjaga Alva."Mas."Mas William yang tengah menunduk sambil tertawa bersama Alva seketika menoleh. Menelisik penampilanku dari ujung rambut sampai kaki. Rambut panjang kubuat curly dengan polesan make-up tipis dan lipstik nude. Dress hitam sebatas lutut tanpa lengan yang sengaja
"Mas, aku ....""Enggak apa-apa." Mas William memotong ucapanku. "Aku sudah janji, bukan? Apa pun keputusanmu, aku akan menerimanya dengan lapang dada. Aku sudah tahu dan bisa menebaknya, kok. Sudah kuduga kalian pasti kembali bersama. Aku tahu kalau kalian masih saling mencintai satu sama lain." Dia tersenyum, tapi tak berhasil menyembunyikan kesedihan yang terpancar dari sorot matanya.Sementara, aku malah tertegun dengan semua perkataannya tersebut.Dia ... salah paham."Mas." Aku dengan cepat menahan tangannya yang hendak mengambil kotak cincin itu.Mas William menatap bingung padaku yang mengulum senyum. Kutarik kotak cincin itu kembali, membukanya, lalu menyematkan cincin indah berhiaskan mutiara di jari manis ini.Mulut Mas William sontak terbuka sedikit, pun matanya mengerjap pelan beberapa kali. Sejenak dia seakan terhipnotis de
Sebulan telah berlalu. Saat pertama kali bertemu dengan orangtua Mas William, mereka sangat ramah dan welcome. Tak memandang status sosial walau mereka berasal dari keluarga berada. Ketika berkunjung ke rumahnya, aku juga baru tahu wajah putra semata wayangnya Mas William yang bernama Alex dari foto. Usianya tujuh tahun, tapi dia tinggal bersama mamanya di Singapore.Sejak keluar dari rumah sakit dan kondisi luka tusuknya membaik, Bang Leon jadi sering berkunjung untuk menemui Alva. Bahkan, hampir setiap hari dan terkadang ikut menumpang makan. Syukurlah baru seminggu ini dia diterima bekerja di sebuah perusahaan walau hanya sebagai karyawan biasa. Setidaknya, dia bisa kembali mengurus dirinya sendiri karena Ibu dan Bapak sudah kembali ke kampung."Gugatan cerai sudah abang ajukan, Dek. Sudah tahap sidang pertama, tapi Mira enggak datang," ujarnya saat aku tengah menyiram tanaman, sedangkan dia menemani Alva di teras bersama kucingnya."Malah bagus begitu, Bang. Lebih cepat prosesnya
Waktu terasa berjalan cepat. Hari di mana aku akan resmi dipersunting Mas William akhirnya tiba. Sudah kuusulkan untuk menikah secara sederhana saja, tapi orangtua Mas William keberatan. Mereka tetap ingin mengadakan pesta dan mengundang semua rekan bisnis, juga karyawan perusahaan.Ibu dan Bapak pun tak lupa hadir. Mereka bersikap lapang dada saat mendengar keputusanku untuk menikah lagi dengan pria lain. Berbeda dengan Bang Leon. Dia memang tetap datang berkunjung menemui Alva, tapi tak pernah sepatah kata pun terucap dari mulutnya. Dia diam seribu bahasa. Hanya berbicara pada Alva dan berusaha keras menghindari kontak mata denganku."Lusi."Aku yang tengah dirias pun sontak menoleh saat mendengar suara Ibu masuk ke ruangan ini."Kamu cantik sekali, Nak," puji Ibu dengan mata berbinar."Makasih, Bu." Aku tersenyum bahagia. "Oh, ya. Ada apa, Bu?"