"Itulah hidup, tidak akan ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Kita sebagai manusia hanya wajib berusaha dan berdo'a. ""Iya, Mas, dan aku merasa sangat beruntung dikelilingi oleh orang baik seperti kalian, terutama kamu, jangan pernah kamu berubah ya. Mas, meskipun kehidupan kita telah berubah," ucap Riri memeluk suaminya. TokTokTokTerdengar bunyi ketukan di pintu rumah Anam. Anam dan Riri saling lirik. Siapa yang datang bertamu malam begini, pikir mereka. Jika orangtuanya biasanya akan mengabari terlebih dahulu. Jika saudara Anam maupun Riri, mungkin saja, tapi bisa jadi juga bukan, sebab setelah kejadian skak mat kemarin keluarga benalu mereka tidak mengganggu lagi. "Siapa. Mas? ""Gak tahu, Dek, kita lihat saja yuk. " ajak Anam pada Riri. "Yaudah tunggu sebentar, aku pakai jilbab dulu. " lalu Riri meraih jilbab instan yang tersampir di kursi makan. Setelahnya, Riri dan Anam menuju pintu depan dan membukanya. Tampaklah disana, seorang wanita cantik dengan kaos dan
"Mbak, percaya sama aku, ini anak Mas Anam. "Anam dan Anita saling beradu argumen menurut kebenaran masing-masing. Riri kemudian beranjak meninggalkan Anam dan Anita menuju kamarnya. Anam yang terkejut melihat kepergian Riri pun berusaha mengejarnya. "Dek, tolong percaya sama, Mas, Dek, " Riri tak menghiraukan ucapan Anam, ia terus saja menuju kamarnya dan kemudian menutup dan mengunci pintu kamarnya. Anam terus saja mengetuk pintu kamar Riri embari memanggil nama istrinya itu. Sedangkan Anita tersenyum puas. Ia merasa rencananya kali ini berjalan dengan sukses, Anita menghampiri Anam yang masih mengetuk pintu kamar mereka. "Sudahlah, Mas, sebaiknya kamu akui saja kalau ini anAk kamu, dan kamu harus segera nikahi aku, " ucap Anita sembari menarik tangan Anam. Anam pun tak sudi bersentuhan dengan Anita, ia menghempaskan tangan Anita sehingga membuatnya sedikit terhuyung ke belakang. "Jangan pernah sentuh tanganku, aku jijik bersentuhan dengan wanita murahan sepertimu! Apakah tida
Kutatap wajah suamiku seolah aku meminta penjelasan darinya, padahal aku hanya mencari kebohongan dari matanya, dan hasilnya nihil, tak ku temukan kebohongan itu disana, aku sangat hafal dengan suamiku. Bukankah dulu saat Mas Anam merantau ke Jakarta juga dia pernah digoda oleh anak Bos nya? Hal itu yang menyebabkan Mas Anam menghilang cukup lama. Dari pengalaman itu juga yang membuatku berhati-hati dalam mengambil keputusan, aku tak mau salah langkah, dan jika saja itu terjadi maka aku akan sangat menyesal, dan aku tak mau itu terjadi. Hingga saat aku teringat akan sesuatu, aku masih ingat jika aku masih memiliki dua buah tespek di dalam kamarku. Bergegas aku menuju kamarku untuk mengambil tespek itu, Mas Anam berusaha mengejarku dan memberikan penjelasan padaku, ah, rupanya lelakiku ini salah paham, ia kira aki sudah termakan ucapan Anita dan mempercayainya. Faktanya aku tak sebodoh dan senaif itu. Jelas aku lebih percaya dengan suami yang sudah membersamaiku bertahun-tahun ketimba
"Ya, Mas, aku tentu saja percaya denganmu, bagaimana aku bisa lebih mmpercayai orang lain ketimbamg suamiku sendiri, ayo cepatlah Anita, jangan buang waktuku, kita tes sekarang juga , kalau memang terbukti kau berbohong bersiaplah untuk mendekam di penjara karena kau telah memfitnah suamiku! " ucapku dengan suara lantang pada Anita. Anita menatapku tak percaya, mungkin saja dia mengira jika aku adalah perempuan bodoh sehingga mampu ia bodohi dengan cara murahan seperti ini. Meskipun aku hanya tamat SMA, tapi otakku tetap berjalan, ck, dasar jalang murahan. "Aku, aku, itu aku sebenarnya..." ucap Anita terbata, sebelum Anita menyelesaikan kalimatnya, aku pun menyela. . "Aku tahu kau tengah berbohong, kau tidak hamil kan? Kau memfitnah suamiku, untuk apa? " Anita bergeming, tidak ada tanda-tanda dia ingin menjelaskannya. "Baik kalau gitu, ayo, Mas, kita buat pengaduan, jangan biarkan jalang kecil merusak kebahagiaan kita, " ajakku pada Mas Anam, aku sudah menarik tangan Mas Anam dan b
"Satu jawaban yang pasti, yaitu TIDAK! Pergilah, jangan ganggu keluargaku lagi, atau kau aku adukan ke polisi karena telah mengganggu kenyamananku dan keluargaku! " usir Mas Anam dengan tegas. "Sudah dengar kan? Baiknya sekarang kau pergi, tak ada tempat untuk ulat bulu sepertimu disini! " aku menarik tangan Anita untuk segera pergi dari rumahku, tak kupedulikan Anita yang terus meronta, entah aku mendapatkan kekuatan dari mana bisa sekuat ini menyeret tubuh Anita keluar rumah. "Pergi! Jangan pernah kembali, dan jangan pernah usik keluargaku, atau kau akan menyesal aku buat! " hardikku pada Anita sebelum akhirnya aku menutup pintu pagar rumahku dengan kondisi Anita yang terus berteriak memanggil nama Mas Anam"Awas kalian! Lihat saja! Aku tak terima kalian seperti ini padaku! Pantang bagi seorang Anita diremehkan oleh orang lain! Sialan! " maki Anita dari luar sana yang masih bisa kudengar suaranya, ck, dasar manusia tak tahu malu, murahan, dia kira aku takut! Riri yang sekarang buk
"Bibi yang memberitahu, dia bercerita tentang kalian tadi malam, bibi mendengar keributan di rumah ini, tapi Bibi tak berani keluar kamar sebab ia dengar kamu dan Anam tengah bersitegang, Bibi takut salah buat makanya ia cuman mendengarkan dari kamarnya aja, Mama tak habis pikir kok ada perempuan berpendidikan tapi kelakuan minus seperti itu ya?""Entahlah, Ma, Riri juga tak habis pikir, gimana bisa gadis cantik, berpendidikan dan mempunyai status sosial yang bagus bisa merendahkan dirinya seperti itu, untung Riri cepat tanggap, ada keanehan dari pengakuannya tadi malam, dan juga dari raut wajahnya yang seolah mengatakan ia senang akan keributan yang terjadi padaku dan Mas Anam. ""Syukurlah, kalau kamu masih bisa berpikir dengan tenang tidak menuruti emosi dan tidak gegabah, ujian rumah tangga itu banyak macamnya, ada yang suami baik tapi mertua dan ipar tak baik, ada yang ipar dan mertua baik tapi suami bejat, ada yang keduanya baik tapi tak segera diberi momongan, ada yang sudah le
"Lama banget sih bikin bumbunya? ' sungut Papa, sungguh wajahnya nampak sangat lucu."Ya orang bikinnya mampir ke Jerman dulu, Pa, makanya lama, " seloroh Mas Anam yang langsung aku cubit pinggangnya, dan ia pun mengaduh kecil sedangkan aku tertawa melihat ekspresinya. "Oh ke Jerman ya, Papa kira malah ke Dubai, hahahaha, " timpal Papa. Sedangkan Mama hanya tersenyum kecil melihat kekonyolan suami dan menantunya itu. Akhirnya kami semua bersama-sama memasak yang sudah disiapkan sedari tadi. Sembari menunggu masakan matang aku pun duduk di kursi teras, ah, betapa aku sangat bahagia melihat keluargaku seperti ini. Semoga seterusnya akan seperti ini. ***Empat bulan sudah usia kehamilanku saat ini, berarti sudah dua bulan semenjak kejadian Anita memfitnah suamiku, hingga kini tak ada lagi gangguan dari Anita. Baguslah, rumah tangga ku adem ayem tanpa adanya pengganggu, dan semakin hari Mas Anam tak pernah lupa melimpahkan kasih sayang dan perhatiannya untukku, justru ia bertambah over
Empat bulan sudah usia kehamilanku saat ini, berarti sudah dua bulan semenjak kejadian Anita memfitnah suamiku, hingga kini tak ada lagi gangguan dari Anita. Baguslah, rumah tangga ku adem ayem tanpa adanya pengganggu, dan semakin hari Mas Anam tak pernah lupa melimpahkan kasih sayang dan perhatiannya untukku, justru ia bertambah over protektif seiring bertambahnya usia kehamilanku, aku yang tak boleh capek, aku yang tak boleh makan pedas dan aku yang tak boleh stres, bahkan setiap seminggu sekali di akhir pekan Mas Anam selalu mengajakku untuk jalan-jalan sekedar menghilangkan penat selama seminggu saat ia harus bekerja dan kuliah. Rencananya lusa keluargaku akan mengadakan acara empat bulanan kehamilan ku. Dan saat ini aku dan keluargaku tengah disibukkan dengan segala persiapan, awalnya aku menginginkan acara sederhana saja sekedar pengajian kecil dan mengundang tetangga terdekat saja, namun Mama dan Papa yang menginginkan acara dibuat besar dengan alasan sebagai penebus waktu keh
"Sudahlah Kartika. Kita baru satu hari di sini. Bersabar saja dulu. Setelah nanti kita laksanakan rencana kita dan berhasil maka kita akan tendang mereka semua dari sini, lagian bukankah kamu tertarik sama Amar waktu papa kasih lihat ftonya padamu? Apa kamu gak mau menyingkirkan Aliyah dari kehidupan Amar?" ucap papa yang membutku sedikit terbellak. Rupanya ada bibit pelakor kecil dalam rumah tanggakuYah, meskipun aku sudah menduganya hanya saja aku tidak sangka jika keluargaku akan dihinggapi benalu seperti mereka. Bergegas kumatikan mode rekam di ponselku. Kurasa ini semua sudah cukup sedikit bukti. Nanti akan kucari tahu apa rencana mereka tentang ini.***"Assalamualaikum!"Suara Mas Amar terdengar dari balik pintu. Be
"Kau pikir kau siapa mau menyamakan posisimu dengan suami dan anak-anakku? Apa perlu kuingatkan lagi kalau posisimu dan Papamu itu di sini hanya menumpang? Jadi, sadarlah diri sedikit karena tidak selamanya seorang tuan rumah itu harus welcome pada tamunya," desisku sembari menatap tajam wajah Kartika yang memuakkan itu."Kalau aku tidak mau lalu kau mau apa?" tantang Tika yang juga membalas tatapan mataku tajam."Dengan senang hati aku akan mempersilahkanmu dan Papamu untuk angkat kaki dari rumahku ini," ucapku penuh penekanan. Perlu Kartika ketahui jika seorang Aliyah tidak pernah main-main dalam perkataannya."Memangnya ini rumahmu? Ini rumah Mas Amar, Mas Amar itu kakakku, jadi aku dan Papa juga berhak dong tinggal di sini."
"Ini sarapannya, Yah, kalian juga cepat dimakan sarapannya, ini sudah jam enam lebih lima belas menit sebentar lagi masuk sekolah nanti telat," ucapku pada mas Amar dan ketiga anakku yang masing-masing sudah duduk di kursi makan.Tiba-tiba saja papa dan Kartika datang. Tampak sekali kalau mereka baru bangun tidur. Hal itu bisa terlihat dari wajah papa dan Kartika yang terlihat kusut serta papa yang masih menggunakan piyama dan Kartika yang masih menggunakan daster sebatas lutut.Astaghfirullah … bukankah mas Amar kemarin suda mewanti-wanti Kartika untuk memakai baju lebih sopan jika ingin tinggal di sini? Tapi lihatlah penampilan dia saat ini, daster yang dikenakannya selain hanya sebatas di atas lutut juga tidak memiliki lengan dengan bentuk kerah yang rendah ke arah dada."Wah, udah pada sarapan aja, kok gak bangunin kita?" ucap papa membuka percakapan sembari sesekali ngelap iler di sudut bibi
"Apa kamu gak mau gitu memberikan dukungan moril sama aku?" ucapku sembari tersenyum penuh arti. Aliyah yang seolah mengerti maksudku pun turut tersenyum serta. Ah, sungguh indah ciptaanMU Tuhan. Beruntungnya aku memiliki istri sepertinya."Tadi 'kan sudah diberi dukungan moril.""Itu 'kan moril pada umumnya. Kalau yang aku maksud moril yang jalur khusus, ah masa Bunda gak paham maksud Ayah sih?""Hahaha, kamu ada-ada sih, Yah, udah kayak kendaraan saja ada jalur khususnya," ucap Aliyah sembari tergelak memperlihatkan lesung pipinya yang membuat tambah manis wajah istriku itu.Tiba-tiba saja ada yang berdesir dalam dada ini. Ah, aku jatuh cinta untuk yang kesekian kalinya pada istriku sendiri. Akhirnya aku dan Aliyah pun memadu kasih dalam balutan hubungan halal ini.Pov AliyahAku mengusap keringat di dahi mas Amar, suamiku. Kami baru
"Oh iya, mulai besok baik itu di rumah maupun di kedai jangan lagi berpakaian seperti ini. Terutama di rumah ini, sakit mataku lihat kancing bajumu yang sedari tadi seperti tersiksa karena dipaksa menahan tubuhmu yang besar itu. Pakailah pakaian yang sopan, atau kalau tidak dengan senang hati aku akan memintamu angkat kaki dari rumah ini!" ucapku pada Kartika sembari berdiri berniat ingin meninggalkan ruang tamu yang terasa panas."Iya-iya, Mar, kamu tenang saja, Kartika setelah ini akan memakai baju tertutup kok," ucap Papa cepat."Baguslah kalau begitu, oh iya, Bun, tolong bilang sama Ibu dan Bapak, kita ke rumah mereka besok saja, ini sudah sore takut kemalaman di jalan," ucapku pada Aliyah sebelum benar-benar meninggalkan ruang tamu dan masuk ke dalam kamarku.***"Yah, kamu kenapa?" tanya Aliyah sembari mengusap-usap dadaku yang kata orang bidang akibat dulu setiap hari selalu mendorong gerobak mie ayam
Mungkin dulu aku akan menasehati mati-matian jika istriku Aliyah bertindak barbar dan berbicara frontal pada kakak, almarhum adiknya juga pada Bapak mertuaku. Tapi, kini aku merasakan sendiri bagaimana rasa sakit itu muncul dari dasar hati. Sungguh kali ini aku menyesal kenapa dulu berbuat terlalu baik sama orang-orang yang sudah menyakiti istriku."Huft ... "Kuhembuskan napasku demi menghilangkan sesak yang tiba-tiba menghantam dada."Mas, jangan begitu, biar gimana pun beliau orang tua kamu. Bukankah Mas sendiri yang menyuruhku agar selalu menebar kebaikan dan kesabaran dalam menghadapi sesuatu?"Suara merdu Aliyah mampu menghipnotis pikiranku. Yah, aku lupa jika aku pernah menasehatinya seperti itu. Aku seperti seorang pecundang yang pandai menasehati tapi tidak pandai mengerjakan nasehat yang kubuat."Baiklah, mau berapa lama kalian numpang di sini?"&
Tak berselang lama Dokter dan perawat itu pun masuk kedalam kamar perawatan Lintang. "Gimana rasanya, Bu? Apakah sudah membaik?" tanya Dokter, sedangkan suster meletakkan buah dan pisaunya di nakas sebelah tempat tidur Lintang. "Dokter, bisa jelaskan kenapa kaki saya hilang?" Akhirnya dengan terpaksa dokter pun menceritakan bagaimana kaki lintang bisa diamputasi, air mata tak hentinya jatuh membasahi pipi Lintang. Lintang merasa semua nasib buruk yang menimpanya sungguh tidak adil. Kenapa, kenapa harus dia, bukan Riri saja yang mengalami semua ini, begitu pikir Lintang. Setelah dokter memberikan penjelasan dan berusaha menghibur Lintang, dokter itu pun pamit, karena masih ada pasien yang harus ditangani. "Yasudah Ibu Lintang, sini biar saya yang kupaskan apelnya," ucap perawat pada Lintang, tapi dengan tegas Lintang menolaknya. "Gak usah, Sus, biar saya saja, lebih baik suster keluar, karena saya mau sendiri sambil menikmati buah ini," ucap Lintang pada perawat, akhirnya perawat
"Alhamdulillah, aku kira Mas beneran sudah melakukan itu dengan Lintang.""Enggak Lah, Dek, Mungkin saja Tuhan memang masih menjaga Mas dari niatan jahat Lintang, karena Tuhan tahu hati Mas itu seperti apa.""Terimakasih, mas,""Untuk?""Untuk semuanya, untuk kesetiaanmu, tanggung jawabmu, juga perhatianmu, semoga keluarga kita selalu dalam lindunganNya," Anam dan Riri saling menggenggam erat tangan mereka. Hingga saat Dokter keluar dari ruangan dimana Lintang dirawat."Gimana keadaan adik saya, Dok?" tanya Anam pada Dokter tersebut."Pasien dalam keadaan koma luka bakarnya cukup serius, yakni 60% seandainya pasien sadar, kami terpaksa memutuskan untuk mengamputasi kakinya, karena api yang membakar tubuh pasien telah mematikan saraf-saraf di kakinya hingga harus diamputasi, berdoa saja semoga pasien secepatnya diberikan kesadaran, dan kita segera lakukan oper
"Ya Allah Lintang, kenapa kamu jadi seperti ini sih," ucap Anam dengan wajah sendu."Sabar, Mas, aku juga gak tahu kenapa Lintang sampai segitu bencinya padaku, padahal selama ini aku selalu berusaha baik padanya," ucap Riri."Dek, maafkan Mas ya, Mas sudah gagal mendidik adik Mas.""Ini bukan salahmu, Mas, Lintang dan kamu itu beda rahim, sudah pasti beda watak, bahkan yang satu rahim saja bisa berbeda wataknya, apalagi yang berbeda, aku tak pernah menyalahkanmu, semoga dengan ini menjadikan Lintang sadar sepenuhnya.""Sebenarnya ada yang mau Mas beritahu padamu, kenapa Lintang bisa membencimu.""Kenapa memangnya, Mas?" ucap Riri mengernyitkan dahi.