Apa? Jadi Ibunya Lintang merusak rumahtangga orang tua kandung Mas Anam? Jadi ini alasan Mas Anam dan Lintang tak pernah akrab sedari dulu? Pantas saja Lintang seolah membenciku dan Zahra, padahal aku tak tahu apa salahku padanya, ternyata di dalam hati Lintang memang sudah ditanamkan kebencian sejak dulu oleh Ibunya."Ingat Lintang aku tak akan tinggal diam dengan perbuatanmu yang sudah sangat merugikan nama baik istriku, bahkan kau pasti tau kan saat ini Riri akan dengan mudah menjebloskanmu ke penjara, dan kau Bu Ida, persiapkan dirimu dari sekarang, karena sebentar lagi akan ada yang menjemputmu, aku tak terima istriku kau injak harga dirinya, " desis Mas Anam sembari menatap tajam Bu Ida dan juga Lintang. Saat Mas Anam menggenggam tanganku dan kami berdua akan masuk kedalam rumah tiba-tiba saja ada yang memegang kakiku, aku cukup terkejut karena ternyata Bu Ida yang memegang kakiku sembari bersimpuh di hadapan para tetangga. "Maafkan aku Ri, aku mengaku salah, aku telah ikutan
"Cuma pria kere yang bilang istrinya boros," ucap Tiwi dengan sinis. "Kamu menghina aku kere? Lalu uang dan fasilitas yang kamu pakai selama ini itu dari mana? " "Alah, itu kan uang juga punya si Riri ""Enak aja, orangtua aku udah ngasuh si Riri, jadi sah-sah ja dong kalua orang tua aku mengambil uang punya Riri, anggap saja itu bayaran untuk keluargaku karena udah ngasuh dia. ""Eh, Mas, aku punya ide,""Ide apa? ""Ide aku tuh.., " belum sempat Tiwi melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba suara pintu rumah Tio ada yang mengetuk. "Mas, Mas tio! " "Ya tunggu sebentar, " Tio pun melangkahkan kakinya untuk membukakan pintu, dan ternyata yang datang bertamu adalah Meri, adik Tio. "Meri? Tumben kesini? Ada apa? ""Kasihlah aku masuk dulu, Mas. ""Hmm, masuklah. " Meri melangkah masuk ke dalam rumah Tio, lalu mendaratkan tubuhnya ke sofa yang ada diruang tamu. "Jadi, ada apa kamu kesini? Gak biasanya? " tnya Tio tanpa basa-basi lagi. "Aku mau pinjam uang dong, Mas. ""Haduh, baru aja Mas
"Polisi? Untuk apa polisi menangkapmu? Apa kamu melakukan kesalahan? Coba cerita sama Bapak, biar Babak cari jalan keluarnya. ""Bapak serius mau bantu cari jalan keluar? ""Insyaallah, Ibu kan istri Bapak, gak mungkin Bapak diam saja lihat Ibu kayak begini. "Bu Ida pun menuruti ucapan suaminya, ia menceritakan semuanya dan tak ada yang ia tutupi satupun, setelah selesai menceritakan wajah Bu Ida terlihat sendu."Ya Allah, Bu, kenapa Ibu fitnah orang begitu? Itu udah keterlaluan, Bu, pantas saja kalau Riri dan suaminya marah, mungkin kalau Bapak di posisi Anam juga akan melakukan hal yang sama sebagai bentuk perlindungan pada istri.""Lalu gimana dong, Pak, semua sudah terlanjur terjadi, ini semua karena Lintang. ""Bukan Lintang yang salah, tapi kamu, kenapa kamu gak pernah bisa menjaga lisanmu, sudah Bapak peringatkan berkali-kali, untuk ngerem mulutmu yang julid itu, sekarang benar kan jadinya, mulutmu harimaumu, karena mulut Ibu yang gak Ibu jaga akhirnya berba
"Siapa, Mas? " "Bu Ida dan suaminya. " "Untuk apa mereka kesini? " "Entah, Mas juga tidak tahu, sebaiknya kita temui saja mereka dulu, baru ditanyakan apa tujuan mereka kemari. " Akhirnya aku mengikuti apa yang Mas Anam katakan, hingga aku pun sampai di ruang tamu, dan benar saja disana sudah ada Bu ida dan juga suaminya. Tapi ada yang berbeda dari Bu Ida kali ini, jika biasanya Bu Ida berpenampilan dengan lipstik merah menyala maka tidak dengan malam ini, wajahnya polos tanpa sapuan make up apapun. "Bu Ida, Pak Handoko? " "Eh, Mbak Riri, maaf malam-malam begini mengganggu istirahat kalian," ucap Pak Handoko berbasa-basi. "Ah, tak apa, ngomong-ngomong ada perlu apa kemari? Tidak biasanya? " ucapku tanpa berbasa-basi. "Bu, ayo ngomong, " ucap Pak Handoko lirih pada Bu Ida, tapi masih bisa kudengar. "Emm, Ri, anu, sa, saya mau minta maaf sama kamu, saya akui saya sudah sangat banyak salah sama kamu, selama ini saya selalu menghina dan memfitnah kamu, tapi demi Allah kali ini s
Pagi hari ini terasa sangat berbeda, ada rasa kelegaan hinggap di hati, apalagi kalau bukan soal Bu Ida sudah selesai urusannya. Memang benar jika kita memaafkan kesalahan orang maka hati kita itu akan terasa damai. Aku beranjak dari tempat tidurku, kuedarkan pandanganku lantas mencari Mas Anam. "Kemana Mas Anam, sepagi ini sudah tidak ada di sampingku, " gumamku lirih, memang semenjak kehamilanku ini, aku menjadi sangat manja dan selalu menginginkan Mas Anam ada disampingku saat bangun tidur, aroma tubuhnya seakan menjadi candu untukku. Kuputuskan untuk beranjak dari kasur dan mencari Mas Anam di luar kamar. "Mas Anam! Mas! " ucapku sedikit mengeraskan suara untuk memanggilnya hingga aku mendengar suara jawaban darinya. "Ya, Dek! Mas di dapur! " teriak Mas Anam dari arah dapur. Kupercepat langkahku untuk menyusul Mas Anam di dapur, dan saat itu juga aku melihat pemandangan yang sangat menawan menurutku, Mas Anam dengan celemek sembari satu tangannya memegang wajan dan satunya la
"Hai, Ri, apa kabarnya? " ucap Mas Tio membuka percakapan."Seperti yang Mas lihat, aku sangat baik. ""Ya Iyalah baik, hidup sudah enak, tapi percuma kalau pelit sama saudara, " ucap Mbak Tiwi lirih tapi masih bisa kudengar. "Apa maksud Mba?""Eh Ri, gak usah dengarkan Mbakmu ini, sebenarnya kami kesini ada yang ingin dibicarakan, " ucap Mbak Meri sembari menyikut tangan Mbak Tiwi seakan mengatakan agar Mbak Tiwi diam. "Ada perlu apa? Aku lagi sibuk soalnya, apa tak bisa lain waktu saja? " tolakku pada mereka karena jujur saja aku malas meladeni mereka sepagi ini dan itu pasti akan membuat mood ku seketika hancur. "Emmm, sebentar saja, Ri. ""Oke, baiklah, katakan saja ada perlu apa sampai kalian bertiga datang ke rumah orang miskin ini? ""Sebenarnya kami mau minta uang jasa orang tua kami padamu, Ri, " ucap Mas Tio tegas. "Maksudnya, Mas? ""Jadi, selama ini kan kamu diasuh oleh orang tua kami, nah selama itu juga berarti orang tua kami berjasa dalam hidupmu, jadi kami sebagai
Jasa, jasa dan jasa saja yang mereka tau, dasar mereka semua memang picik. Sungguh aku malu mengakui mereka sebagai saudara. Sekilas aku dan Mas Anam saling lirik, Mas Anam hanya mengedikkan bahunya tanda jika keputusan ada ditanganku. "Baiklah, sebelum aku memberikan apa yang kalian minta, mari kita berhitung terlebih dahulu, dan sebelumnya aku pastikan sekali lagi, apa kalian yakin akan minta balas jasa berupa uang dariku? " tanyaku pada ketiga orang itu dan mereka kompak menganggukkan kepala. "Oke, mari kita berhitung terlebih dahulu, agar kalian paham siapa seharusnya disini yang mengembalikan jasa, aku atau kalian." ucapku sembari mengambil kertas dan pulpen yang ada di laci meja ruang tamu. "Apa maksud kamu membalas jasamu? " tanya Mbak Tiwi bingung, dan sepertinya bukan hanya Mbak Tiwi, Mas Tio dan Mbak Meri yang bingung melainkan Mas Anam juga. "Kalian lihat dan dengarkan saja aku, maka kalian akan paham. ""Sekarang mari kita ulas dari awal dulu ya, aku diasuh oleh orang
"Ke, kenapa kamu tega sampai merinci itu semua? " ucal Mas tio yang mulai tergagap. "Lho, yang mulai siapa? Kan kalian yang datang ke rumahku dan membahas hal itu, padahal tadinya aku ingin mengikhlaskan hak ku itu untuk kalian, tapi melihat kalian seperti ini kok kayaknya menyenangkan jika aku melihat kalian semua menjadi gembel, " aku tersenyum mengejek pada Mas Tio, Mbak Tiwi dan juga Mbak Meri. Pov authorTio, Tiwi dan Meri tidak menyangka jika Riri akan merinci dengan sedetail itu, bahkan mereka tidak menyangka jika uang yang telah dikeluarkan oleh orang tua Riri adalah sebanyak itu, yang tadinya Riri sudah tidak mengungkit masalah uang itu, gara-gara ketiga saudara Riri mengungkitnya, kini Riri menjadi manusia yang tega. Sedikit terbesit penyesalan dalam benak ketiganya, bagaimana jika Riri benar-benar mengambil kembali hak nya. "Gimana? Mau dengan sukarela menyerahkan sisa uang milikku itu atau mau dengan paksaan? " ucap Riri lagi memecah pikiran ketiga saudaranya itu.
"Sudahlah Kartika. Kita baru satu hari di sini. Bersabar saja dulu. Setelah nanti kita laksanakan rencana kita dan berhasil maka kita akan tendang mereka semua dari sini, lagian bukankah kamu tertarik sama Amar waktu papa kasih lihat ftonya padamu? Apa kamu gak mau menyingkirkan Aliyah dari kehidupan Amar?" ucap papa yang membutku sedikit terbellak. Rupanya ada bibit pelakor kecil dalam rumah tanggakuYah, meskipun aku sudah menduganya hanya saja aku tidak sangka jika keluargaku akan dihinggapi benalu seperti mereka. Bergegas kumatikan mode rekam di ponselku. Kurasa ini semua sudah cukup sedikit bukti. Nanti akan kucari tahu apa rencana mereka tentang ini.***"Assalamualaikum!"Suara Mas Amar terdengar dari balik pintu. Be
"Kau pikir kau siapa mau menyamakan posisimu dengan suami dan anak-anakku? Apa perlu kuingatkan lagi kalau posisimu dan Papamu itu di sini hanya menumpang? Jadi, sadarlah diri sedikit karena tidak selamanya seorang tuan rumah itu harus welcome pada tamunya," desisku sembari menatap tajam wajah Kartika yang memuakkan itu."Kalau aku tidak mau lalu kau mau apa?" tantang Tika yang juga membalas tatapan mataku tajam."Dengan senang hati aku akan mempersilahkanmu dan Papamu untuk angkat kaki dari rumahku ini," ucapku penuh penekanan. Perlu Kartika ketahui jika seorang Aliyah tidak pernah main-main dalam perkataannya."Memangnya ini rumahmu? Ini rumah Mas Amar, Mas Amar itu kakakku, jadi aku dan Papa juga berhak dong tinggal di sini."
"Ini sarapannya, Yah, kalian juga cepat dimakan sarapannya, ini sudah jam enam lebih lima belas menit sebentar lagi masuk sekolah nanti telat," ucapku pada mas Amar dan ketiga anakku yang masing-masing sudah duduk di kursi makan.Tiba-tiba saja papa dan Kartika datang. Tampak sekali kalau mereka baru bangun tidur. Hal itu bisa terlihat dari wajah papa dan Kartika yang terlihat kusut serta papa yang masih menggunakan piyama dan Kartika yang masih menggunakan daster sebatas lutut.Astaghfirullah … bukankah mas Amar kemarin suda mewanti-wanti Kartika untuk memakai baju lebih sopan jika ingin tinggal di sini? Tapi lihatlah penampilan dia saat ini, daster yang dikenakannya selain hanya sebatas di atas lutut juga tidak memiliki lengan dengan bentuk kerah yang rendah ke arah dada."Wah, udah pada sarapan aja, kok gak bangunin kita?" ucap papa membuka percakapan sembari sesekali ngelap iler di sudut bibi
"Apa kamu gak mau gitu memberikan dukungan moril sama aku?" ucapku sembari tersenyum penuh arti. Aliyah yang seolah mengerti maksudku pun turut tersenyum serta. Ah, sungguh indah ciptaanMU Tuhan. Beruntungnya aku memiliki istri sepertinya."Tadi 'kan sudah diberi dukungan moril.""Itu 'kan moril pada umumnya. Kalau yang aku maksud moril yang jalur khusus, ah masa Bunda gak paham maksud Ayah sih?""Hahaha, kamu ada-ada sih, Yah, udah kayak kendaraan saja ada jalur khususnya," ucap Aliyah sembari tergelak memperlihatkan lesung pipinya yang membuat tambah manis wajah istriku itu.Tiba-tiba saja ada yang berdesir dalam dada ini. Ah, aku jatuh cinta untuk yang kesekian kalinya pada istriku sendiri. Akhirnya aku dan Aliyah pun memadu kasih dalam balutan hubungan halal ini.Pov AliyahAku mengusap keringat di dahi mas Amar, suamiku. Kami baru
"Oh iya, mulai besok baik itu di rumah maupun di kedai jangan lagi berpakaian seperti ini. Terutama di rumah ini, sakit mataku lihat kancing bajumu yang sedari tadi seperti tersiksa karena dipaksa menahan tubuhmu yang besar itu. Pakailah pakaian yang sopan, atau kalau tidak dengan senang hati aku akan memintamu angkat kaki dari rumah ini!" ucapku pada Kartika sembari berdiri berniat ingin meninggalkan ruang tamu yang terasa panas."Iya-iya, Mar, kamu tenang saja, Kartika setelah ini akan memakai baju tertutup kok," ucap Papa cepat."Baguslah kalau begitu, oh iya, Bun, tolong bilang sama Ibu dan Bapak, kita ke rumah mereka besok saja, ini sudah sore takut kemalaman di jalan," ucapku pada Aliyah sebelum benar-benar meninggalkan ruang tamu dan masuk ke dalam kamarku.***"Yah, kamu kenapa?" tanya Aliyah sembari mengusap-usap dadaku yang kata orang bidang akibat dulu setiap hari selalu mendorong gerobak mie ayam
Mungkin dulu aku akan menasehati mati-matian jika istriku Aliyah bertindak barbar dan berbicara frontal pada kakak, almarhum adiknya juga pada Bapak mertuaku. Tapi, kini aku merasakan sendiri bagaimana rasa sakit itu muncul dari dasar hati. Sungguh kali ini aku menyesal kenapa dulu berbuat terlalu baik sama orang-orang yang sudah menyakiti istriku."Huft ... "Kuhembuskan napasku demi menghilangkan sesak yang tiba-tiba menghantam dada."Mas, jangan begitu, biar gimana pun beliau orang tua kamu. Bukankah Mas sendiri yang menyuruhku agar selalu menebar kebaikan dan kesabaran dalam menghadapi sesuatu?"Suara merdu Aliyah mampu menghipnotis pikiranku. Yah, aku lupa jika aku pernah menasehatinya seperti itu. Aku seperti seorang pecundang yang pandai menasehati tapi tidak pandai mengerjakan nasehat yang kubuat."Baiklah, mau berapa lama kalian numpang di sini?"&
Tak berselang lama Dokter dan perawat itu pun masuk kedalam kamar perawatan Lintang. "Gimana rasanya, Bu? Apakah sudah membaik?" tanya Dokter, sedangkan suster meletakkan buah dan pisaunya di nakas sebelah tempat tidur Lintang. "Dokter, bisa jelaskan kenapa kaki saya hilang?" Akhirnya dengan terpaksa dokter pun menceritakan bagaimana kaki lintang bisa diamputasi, air mata tak hentinya jatuh membasahi pipi Lintang. Lintang merasa semua nasib buruk yang menimpanya sungguh tidak adil. Kenapa, kenapa harus dia, bukan Riri saja yang mengalami semua ini, begitu pikir Lintang. Setelah dokter memberikan penjelasan dan berusaha menghibur Lintang, dokter itu pun pamit, karena masih ada pasien yang harus ditangani. "Yasudah Ibu Lintang, sini biar saya yang kupaskan apelnya," ucap perawat pada Lintang, tapi dengan tegas Lintang menolaknya. "Gak usah, Sus, biar saya saja, lebih baik suster keluar, karena saya mau sendiri sambil menikmati buah ini," ucap Lintang pada perawat, akhirnya perawat
"Alhamdulillah, aku kira Mas beneran sudah melakukan itu dengan Lintang.""Enggak Lah, Dek, Mungkin saja Tuhan memang masih menjaga Mas dari niatan jahat Lintang, karena Tuhan tahu hati Mas itu seperti apa.""Terimakasih, mas,""Untuk?""Untuk semuanya, untuk kesetiaanmu, tanggung jawabmu, juga perhatianmu, semoga keluarga kita selalu dalam lindunganNya," Anam dan Riri saling menggenggam erat tangan mereka. Hingga saat Dokter keluar dari ruangan dimana Lintang dirawat."Gimana keadaan adik saya, Dok?" tanya Anam pada Dokter tersebut."Pasien dalam keadaan koma luka bakarnya cukup serius, yakni 60% seandainya pasien sadar, kami terpaksa memutuskan untuk mengamputasi kakinya, karena api yang membakar tubuh pasien telah mematikan saraf-saraf di kakinya hingga harus diamputasi, berdoa saja semoga pasien secepatnya diberikan kesadaran, dan kita segera lakukan oper
"Ya Allah Lintang, kenapa kamu jadi seperti ini sih," ucap Anam dengan wajah sendu."Sabar, Mas, aku juga gak tahu kenapa Lintang sampai segitu bencinya padaku, padahal selama ini aku selalu berusaha baik padanya," ucap Riri."Dek, maafkan Mas ya, Mas sudah gagal mendidik adik Mas.""Ini bukan salahmu, Mas, Lintang dan kamu itu beda rahim, sudah pasti beda watak, bahkan yang satu rahim saja bisa berbeda wataknya, apalagi yang berbeda, aku tak pernah menyalahkanmu, semoga dengan ini menjadikan Lintang sadar sepenuhnya.""Sebenarnya ada yang mau Mas beritahu padamu, kenapa Lintang bisa membencimu.""Kenapa memangnya, Mas?" ucap Riri mengernyitkan dahi.