"Ke, kenapa kamu tega sampai merinci itu semua? " ucal Mas tio yang mulai tergagap. "Lho, yang mulai siapa? Kan kalian yang datang ke rumahku dan membahas hal itu, padahal tadinya aku ingin mengikhlaskan hak ku itu untuk kalian, tapi melihat kalian seperti ini kok kayaknya menyenangkan jika aku melihat kalian semua menjadi gembel, " aku tersenyum mengejek pada Mas Tio, Mbak Tiwi dan juga Mbak Meri. Pov authorTio, Tiwi dan Meri tidak menyangka jika Riri akan merinci dengan sedetail itu, bahkan mereka tidak menyangka jika uang yang telah dikeluarkan oleh orang tua Riri adalah sebanyak itu, yang tadinya Riri sudah tidak mengungkit masalah uang itu, gara-gara ketiga saudara Riri mengungkitnya, kini Riri menjadi manusia yang tega. Sedikit terbesit penyesalan dalam benak ketiganya, bagaimana jika Riri benar-benar mengambil kembali hak nya. "Gimana? Mau dengan sukarela menyerahkan sisa uang milikku itu atau mau dengan paksaan? " ucap Riri lagi memecah pikiran ketiga saudaranya itu.
"Ssst, sudah tak usah dipikirkan, atau gini aja, kamu, Mas antar ke rumah Papa dan Mama, Mas gak tega membiarkanmu dirumah sendirian, Mas khawatir sama kamu juga anak kita ini, " Anam memegang perut istrinya yang masih rata itu. "Sudahlah, Mas, aku tak apa-apa. ""Ayolah, Ri, kali ini saja jangan keras kepala, nanti pulang dari kampus, Mas jemput kamu lagi. "Akhirnya Riri pun menuruti keinginan suaminya itu, karena biar bagaimanapun Anam adalah kepala rumah tangga, surganya Riri ada pada Anam, jadi sudah kewajiban Riri untuk menuruti apa yang Anam ucapkan selagi itu baik. ***"Mas pergi dulu ya, kamu di rumah Ma istirahat, nanti pulang kuliah Mas langsung kesini, " titah Anm pada Riri saat mereka sudah ada di depan gerbang rumah orangtua Riri. "Iya, Mas, hati-hati, jaga mata jaga hati, ada istri dan anakmu yang menunggu disini. ""Siap tuan putri, Mas janji akan selalu memberikan hati dan mata ini hanya untukmu, ya udah, Mas pergi dulu ya, " ucap Anam dengan mencium kening Riri, l
"Eh kamu, Ma, ngagetin aja. ""Kamu lagi ngeliatin siapa sih? " tanya Irma yang terheran melihat Anita tak melepaskan pandangannya ke arah kelas Anam. "Eh, kamu tau Anam kelas B2 gak? ""Anam mahasiswa baru yang tinggi, kulit putih dan tampan itu? " Anita mengangguk antusias. Terlihat binar terang di matanya saat sahabatnya ternyata mengetahui pria yang disukainya. "Taulah, siapa yang gak tahu sma tuh laki, dari awal kedatangannya di kampus ini banyak cewek yang membicarakannya. ""Masa sih? Kok aku baru tau? ""Huuu, kamu mah kan memang gak doyan sam makhluk berjenis laki-laki, eh tapi tumben nanyain cowok, ada apa? ""Enak aja ngatain aku gak doyan cowok, aku normal kali.""Ya terus? Ada apa nanyain dia?""Kamu bilang kan tadi kalau gak ada cewek yang gak tau soal Anam kan, termasuk kamu dong? " Irma mengangguk menjawab pertanyaan Anita. "Terus kamu juga tau tentang keluarganya? ""Tau, dia udah punya istri, itu sebabnya meskipun dia termasuk cowok idola di sini tapi karena sudah
"Next time aja lah, masa iya baru kenal udah mepet-mepet, nanti di cap murahannya. ""Ya kali obralan makanya murah, hahahaha, " seloroh Irma sembari merangkul pundak Anita dan mereka pun berjalan beriringan meninggalkan kampus mereka, tanpa mereka sadari sedari tadi ada yang mendengarkan obrolan mereka dengan rahang yang mengeras."Sialan, aku sudah bertahun-tahun aku menyukai Anita tapi sekalipun tak pernah ditanggapinya, dan kini Anita menyukai orang yang baru saja dikenalnya? Ini tak boleh terjadi," ucap orang itu sembari mengepalkan tangannya.***Waktu menunjukkan pukul sebelas siang, dan saat itu juga mata kuliah kedua Anam pun selesai. Anam bergegas membereskan peralatan kuliahnya, setelahnya ia pun melangkah menuju parkiran mobil, ia sudah tak sabar ingin segera sampai di rumah dan bertemu dengan sang istri tercinta sebelum menuju ke pabrik, karena kebetulan hari ini Anam ada jadwal meeting dengan orang yang mau menanam saham di pabrik mereka agar jauh lebih berkembang. "Hei
Anam baru saja keluar dari pabrik, ia baru saja selesai meeting dengan klien, sejauh ini perkembangan Anam terbilang pesat, Anam adalah sosok yang cerdas hingga ia bisa dengan cepat mempelajari apa yang Pak Hadi ajarkan padanya. Kini Anam mengendarai mobilnya menuju rumah. Ia sudah tak sabar untuk memeluk istrinya tersebut. Entah kenapa semakin hari rasa sayang dan cinta Anam pada istrinya semakin menggebu. Bukan, bukan karena Riri sekarang telah menjelma menjadi seorang jutawan. Ini murni dari dalam hati Anam yang terdalam. Terlebih lagi sekarang Riri tengah mengandung buah hatinya yang kedua. Tanpa terasa mobil yang Anam kendarai sudah sampai di halaman rumahnya. Bergegas Anam turun dan mengucapkan salam, tidak lama kemudian terbuka lah pintu rumahnya, Riri, sang istri tercinta sudah menyambutnya dengan senyuman termanis yang ia miliki. "Sudah pulang, Mas, " ucap Riri menyambut suaminya sembari mencium takzim tangan Anam. "Belum Sayang, yang datang ini arwahnya, " seloroh Anam.
"Itulah hidup, tidak akan ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Kita sebagai manusia hanya wajib berusaha dan berdo'a. ""Iya, Mas, dan aku merasa sangat beruntung dikelilingi oleh orang baik seperti kalian, terutama kamu, jangan pernah kamu berubah ya. Mas, meskipun kehidupan kita telah berubah," ucap Riri memeluk suaminya. TokTokTokTerdengar bunyi ketukan di pintu rumah Anam. Anam dan Riri saling lirik. Siapa yang datang bertamu malam begini, pikir mereka. Jika orangtuanya biasanya akan mengabari terlebih dahulu. Jika saudara Anam maupun Riri, mungkin saja, tapi bisa jadi juga bukan, sebab setelah kejadian skak mat kemarin keluarga benalu mereka tidak mengganggu lagi. "Siapa. Mas? ""Gak tahu, Dek, kita lihat saja yuk. " ajak Anam pada Riri. "Yaudah tunggu sebentar, aku pakai jilbab dulu. " lalu Riri meraih jilbab instan yang tersampir di kursi makan. Setelahnya, Riri dan Anam menuju pintu depan dan membukanya. Tampaklah disana, seorang wanita cantik dengan kaos dan
"Mbak, percaya sama aku, ini anak Mas Anam. "Anam dan Anita saling beradu argumen menurut kebenaran masing-masing. Riri kemudian beranjak meninggalkan Anam dan Anita menuju kamarnya. Anam yang terkejut melihat kepergian Riri pun berusaha mengejarnya. "Dek, tolong percaya sama, Mas, Dek, " Riri tak menghiraukan ucapan Anam, ia terus saja menuju kamarnya dan kemudian menutup dan mengunci pintu kamarnya. Anam terus saja mengetuk pintu kamar Riri embari memanggil nama istrinya itu. Sedangkan Anita tersenyum puas. Ia merasa rencananya kali ini berjalan dengan sukses, Anita menghampiri Anam yang masih mengetuk pintu kamar mereka. "Sudahlah, Mas, sebaiknya kamu akui saja kalau ini anAk kamu, dan kamu harus segera nikahi aku, " ucap Anita sembari menarik tangan Anam. Anam pun tak sudi bersentuhan dengan Anita, ia menghempaskan tangan Anita sehingga membuatnya sedikit terhuyung ke belakang. "Jangan pernah sentuh tanganku, aku jijik bersentuhan dengan wanita murahan sepertimu! Apakah tida
Kutatap wajah suamiku seolah aku meminta penjelasan darinya, padahal aku hanya mencari kebohongan dari matanya, dan hasilnya nihil, tak ku temukan kebohongan itu disana, aku sangat hafal dengan suamiku. Bukankah dulu saat Mas Anam merantau ke Jakarta juga dia pernah digoda oleh anak Bos nya? Hal itu yang menyebabkan Mas Anam menghilang cukup lama. Dari pengalaman itu juga yang membuatku berhati-hati dalam mengambil keputusan, aku tak mau salah langkah, dan jika saja itu terjadi maka aku akan sangat menyesal, dan aku tak mau itu terjadi. Hingga saat aku teringat akan sesuatu, aku masih ingat jika aku masih memiliki dua buah tespek di dalam kamarku. Bergegas aku menuju kamarku untuk mengambil tespek itu, Mas Anam berusaha mengejarku dan memberikan penjelasan padaku, ah, rupanya lelakiku ini salah paham, ia kira aki sudah termakan ucapan Anita dan mempercayainya. Faktanya aku tak sebodoh dan senaif itu. Jelas aku lebih percaya dengan suami yang sudah membersamaiku bertahun-tahun ketimba
"Sudahlah Kartika. Kita baru satu hari di sini. Bersabar saja dulu. Setelah nanti kita laksanakan rencana kita dan berhasil maka kita akan tendang mereka semua dari sini, lagian bukankah kamu tertarik sama Amar waktu papa kasih lihat ftonya padamu? Apa kamu gak mau menyingkirkan Aliyah dari kehidupan Amar?" ucap papa yang membutku sedikit terbellak. Rupanya ada bibit pelakor kecil dalam rumah tanggakuYah, meskipun aku sudah menduganya hanya saja aku tidak sangka jika keluargaku akan dihinggapi benalu seperti mereka. Bergegas kumatikan mode rekam di ponselku. Kurasa ini semua sudah cukup sedikit bukti. Nanti akan kucari tahu apa rencana mereka tentang ini.***"Assalamualaikum!"Suara Mas Amar terdengar dari balik pintu. Be
"Kau pikir kau siapa mau menyamakan posisimu dengan suami dan anak-anakku? Apa perlu kuingatkan lagi kalau posisimu dan Papamu itu di sini hanya menumpang? Jadi, sadarlah diri sedikit karena tidak selamanya seorang tuan rumah itu harus welcome pada tamunya," desisku sembari menatap tajam wajah Kartika yang memuakkan itu."Kalau aku tidak mau lalu kau mau apa?" tantang Tika yang juga membalas tatapan mataku tajam."Dengan senang hati aku akan mempersilahkanmu dan Papamu untuk angkat kaki dari rumahku ini," ucapku penuh penekanan. Perlu Kartika ketahui jika seorang Aliyah tidak pernah main-main dalam perkataannya."Memangnya ini rumahmu? Ini rumah Mas Amar, Mas Amar itu kakakku, jadi aku dan Papa juga berhak dong tinggal di sini."
"Ini sarapannya, Yah, kalian juga cepat dimakan sarapannya, ini sudah jam enam lebih lima belas menit sebentar lagi masuk sekolah nanti telat," ucapku pada mas Amar dan ketiga anakku yang masing-masing sudah duduk di kursi makan.Tiba-tiba saja papa dan Kartika datang. Tampak sekali kalau mereka baru bangun tidur. Hal itu bisa terlihat dari wajah papa dan Kartika yang terlihat kusut serta papa yang masih menggunakan piyama dan Kartika yang masih menggunakan daster sebatas lutut.Astaghfirullah … bukankah mas Amar kemarin suda mewanti-wanti Kartika untuk memakai baju lebih sopan jika ingin tinggal di sini? Tapi lihatlah penampilan dia saat ini, daster yang dikenakannya selain hanya sebatas di atas lutut juga tidak memiliki lengan dengan bentuk kerah yang rendah ke arah dada."Wah, udah pada sarapan aja, kok gak bangunin kita?" ucap papa membuka percakapan sembari sesekali ngelap iler di sudut bibi
"Apa kamu gak mau gitu memberikan dukungan moril sama aku?" ucapku sembari tersenyum penuh arti. Aliyah yang seolah mengerti maksudku pun turut tersenyum serta. Ah, sungguh indah ciptaanMU Tuhan. Beruntungnya aku memiliki istri sepertinya."Tadi 'kan sudah diberi dukungan moril.""Itu 'kan moril pada umumnya. Kalau yang aku maksud moril yang jalur khusus, ah masa Bunda gak paham maksud Ayah sih?""Hahaha, kamu ada-ada sih, Yah, udah kayak kendaraan saja ada jalur khususnya," ucap Aliyah sembari tergelak memperlihatkan lesung pipinya yang membuat tambah manis wajah istriku itu.Tiba-tiba saja ada yang berdesir dalam dada ini. Ah, aku jatuh cinta untuk yang kesekian kalinya pada istriku sendiri. Akhirnya aku dan Aliyah pun memadu kasih dalam balutan hubungan halal ini.Pov AliyahAku mengusap keringat di dahi mas Amar, suamiku. Kami baru
"Oh iya, mulai besok baik itu di rumah maupun di kedai jangan lagi berpakaian seperti ini. Terutama di rumah ini, sakit mataku lihat kancing bajumu yang sedari tadi seperti tersiksa karena dipaksa menahan tubuhmu yang besar itu. Pakailah pakaian yang sopan, atau kalau tidak dengan senang hati aku akan memintamu angkat kaki dari rumah ini!" ucapku pada Kartika sembari berdiri berniat ingin meninggalkan ruang tamu yang terasa panas."Iya-iya, Mar, kamu tenang saja, Kartika setelah ini akan memakai baju tertutup kok," ucap Papa cepat."Baguslah kalau begitu, oh iya, Bun, tolong bilang sama Ibu dan Bapak, kita ke rumah mereka besok saja, ini sudah sore takut kemalaman di jalan," ucapku pada Aliyah sebelum benar-benar meninggalkan ruang tamu dan masuk ke dalam kamarku.***"Yah, kamu kenapa?" tanya Aliyah sembari mengusap-usap dadaku yang kata orang bidang akibat dulu setiap hari selalu mendorong gerobak mie ayam
Mungkin dulu aku akan menasehati mati-matian jika istriku Aliyah bertindak barbar dan berbicara frontal pada kakak, almarhum adiknya juga pada Bapak mertuaku. Tapi, kini aku merasakan sendiri bagaimana rasa sakit itu muncul dari dasar hati. Sungguh kali ini aku menyesal kenapa dulu berbuat terlalu baik sama orang-orang yang sudah menyakiti istriku."Huft ... "Kuhembuskan napasku demi menghilangkan sesak yang tiba-tiba menghantam dada."Mas, jangan begitu, biar gimana pun beliau orang tua kamu. Bukankah Mas sendiri yang menyuruhku agar selalu menebar kebaikan dan kesabaran dalam menghadapi sesuatu?"Suara merdu Aliyah mampu menghipnotis pikiranku. Yah, aku lupa jika aku pernah menasehatinya seperti itu. Aku seperti seorang pecundang yang pandai menasehati tapi tidak pandai mengerjakan nasehat yang kubuat."Baiklah, mau berapa lama kalian numpang di sini?"&
Tak berselang lama Dokter dan perawat itu pun masuk kedalam kamar perawatan Lintang. "Gimana rasanya, Bu? Apakah sudah membaik?" tanya Dokter, sedangkan suster meletakkan buah dan pisaunya di nakas sebelah tempat tidur Lintang. "Dokter, bisa jelaskan kenapa kaki saya hilang?" Akhirnya dengan terpaksa dokter pun menceritakan bagaimana kaki lintang bisa diamputasi, air mata tak hentinya jatuh membasahi pipi Lintang. Lintang merasa semua nasib buruk yang menimpanya sungguh tidak adil. Kenapa, kenapa harus dia, bukan Riri saja yang mengalami semua ini, begitu pikir Lintang. Setelah dokter memberikan penjelasan dan berusaha menghibur Lintang, dokter itu pun pamit, karena masih ada pasien yang harus ditangani. "Yasudah Ibu Lintang, sini biar saya yang kupaskan apelnya," ucap perawat pada Lintang, tapi dengan tegas Lintang menolaknya. "Gak usah, Sus, biar saya saja, lebih baik suster keluar, karena saya mau sendiri sambil menikmati buah ini," ucap Lintang pada perawat, akhirnya perawat
"Alhamdulillah, aku kira Mas beneran sudah melakukan itu dengan Lintang.""Enggak Lah, Dek, Mungkin saja Tuhan memang masih menjaga Mas dari niatan jahat Lintang, karena Tuhan tahu hati Mas itu seperti apa.""Terimakasih, mas,""Untuk?""Untuk semuanya, untuk kesetiaanmu, tanggung jawabmu, juga perhatianmu, semoga keluarga kita selalu dalam lindunganNya," Anam dan Riri saling menggenggam erat tangan mereka. Hingga saat Dokter keluar dari ruangan dimana Lintang dirawat."Gimana keadaan adik saya, Dok?" tanya Anam pada Dokter tersebut."Pasien dalam keadaan koma luka bakarnya cukup serius, yakni 60% seandainya pasien sadar, kami terpaksa memutuskan untuk mengamputasi kakinya, karena api yang membakar tubuh pasien telah mematikan saraf-saraf di kakinya hingga harus diamputasi, berdoa saja semoga pasien secepatnya diberikan kesadaran, dan kita segera lakukan oper
"Ya Allah Lintang, kenapa kamu jadi seperti ini sih," ucap Anam dengan wajah sendu."Sabar, Mas, aku juga gak tahu kenapa Lintang sampai segitu bencinya padaku, padahal selama ini aku selalu berusaha baik padanya," ucap Riri."Dek, maafkan Mas ya, Mas sudah gagal mendidik adik Mas.""Ini bukan salahmu, Mas, Lintang dan kamu itu beda rahim, sudah pasti beda watak, bahkan yang satu rahim saja bisa berbeda wataknya, apalagi yang berbeda, aku tak pernah menyalahkanmu, semoga dengan ini menjadikan Lintang sadar sepenuhnya.""Sebenarnya ada yang mau Mas beritahu padamu, kenapa Lintang bisa membencimu.""Kenapa memangnya, Mas?" ucap Riri mengernyitkan dahi.