KSIBP 61 "Gila! Aku benar-benar tidak habis pikir Mas Yasa bisa melakukan hal ini!" Yani mengacak rambutnya frustasi. Dia sungguh tidak menyangka kalau Yasa punya persiapan seperti ini. Mereka bertiga stress bersama di mobil yang diparkirkan di pinggir sebuah jalan yang biasa di pakai anak-anak muda untuk nongkrong. "Sepertinya kakakmu memang sudah merencanakan hal ini," tebak Angkasa sambil membayangkan sikap Yasa selama ini. "Enggak mungkin!" Ibu menolak keras. "Aku ibunya, aku lebih tahu seberapa tinggi tingkat kecerdasan anak-anakku, dan dia jauh di bawah bapaknya." Yani dan Angkasa memugar otaknya lebih keras lagi, tapi sayangnya mereka tidak menemukan alasan yang cocok. "Sudahlah, pokoknya sekarang kita pulang ke rumah," titah Ibu, "dan kamu Angkasa, untuk sementara ini tinggallah di rumah. Kalian harus bekerja keras bersama-sama untuk menemukan dimana barang-barang berharga itu dia simpan. Yani setuju dengan cepat, tapi tidak dengan Angkasa. Pikirannya saat ini begitu ka
KSIBP 62 "Cerdas! Aku suka gayamu, anak muda," puji orang tuanya Panji. "Tunggu, sebelum sertifikat ini berpindah dari tanganku ke tangan kalian atas nama Yani, aku ingin membuat perjanjian dulu agar tidak ada penyalahgunaan atau ingkar janji di antara kita." Angkasa mengambil sertifikat itu kembali dan memeluknya di dada. Sebisa mungkin dia harus meminimalisir kesalahan, agar nanti jika terjadi sesuatu, dampaknya tidak akan terlalu parah dan besar. Meski Yani adalah istrinya, dia tetap harus waspada. Bisnis tetaplah bisnis. Orang-orangnya Panji langsung menyiapkan alat-alat yang diperlukan, tidak lupa dengan orang-orang yang akan menjadi saksi. Bahkan, ada pengambilan video dengan keterangan lengkap yang bisa digunakan sebagai bukti kalau pihak Yani nanti mengelak dan tidak mau menggantinya. Dengan percaya diri Yani menandatangani semuanya, dia sangar yakin kalau dirinya akan diterima, dan mendapatkan kemewahan yang sudah seharusnya dia dapatkan dari dulu. "Tenang saja, kami sa
KSIBP 63 Hati Qiera bagai tersayat ketika mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh wanita yang dia sebut Mama selama ini. Rasa sayang dalam dada ternyata hilang seketika setelah tahu kalau mereka berbeda kasta. Sekarang Qiera tahu apa arti status, kehormatan, kekayaan, dan rasa cinta. Ternyata semuanya memang berhubungan, tapi sayangnya, aku tidak termasuk orang yang takut akan dunia, batinnya membenarkan. Setelah mengatakan itu, mamanya pergi tanpa berpatah kata lagi. Atau mungkin menanyakan apa kehidupan Qiera selanjutnya, tidak. Dari sikapnya dia seperti menunjukkan kalau dirinya sudah tidak peduli lagi dengan Qiera. "Papa harap kamu tidak memasukkan perkataan mamamu ke dalam hari, ya, Ra. Bagaimanapun kamu tetap anak kamu," ucap Papa, lalu pergi meninggalkannya. Qiera ingin menangis ketika semua yang dua miliki tiba-tiba hilang dan berbalik membencinya. Jika bisa memilih, ia lebih memilih kehilangan hal duniawi, tapi tetap mendapatkan kasih sayang orang tuanya. Akan tetap
KSIBP 64 "Nanti antarkan saja aku ke alamat perumahan yang bisa disewa. Kebetulan aku masih punya uang tambahan," pinta Qiera yang ditolak mentah-mentah oleh Mala. "Aku tidak mungkin mengizinkan kamu dan anak-anak tinggal sendiri begitu, Ra. Meski sekarang kamu bukanlah anak dari orang tuamu, tetap saja keselamatan kalian selalu ada yang mengintai," tegas Mala, "sudahlah, ikut ke rumahku saja." Harun lagi-lagi diam. Dia tidak tahu harus bahagia atau sedih ketika Qiera mengangguk. "Baiklah. Untuk sementara aku akan tinggal di rumah kamu, tapi ke depannya nanti kamu harus menghargai apapun keputusanku, ya?" Qiera memberikan Mala pilihan. Mala yang selama ini terlihat galak malah sangat menurut ketika berhadapan dengan Qiera. Bahkan tanpa segan dan tanpa berpikir panjang dia langsung memberikan penawaran untuk menjadi madunya. Namun, tidak dengan Qiera. Dia tahu hati wanita akan tetap terluka jika lelaki yang dicintainya punya wanita lain, apalagi sampai menjadi suami orang lain. Mes
KSIBP 65 "Bukannya anak sah keluarga Qiera sudah kembali?" tanya Mama Diko sambil melihat heran ke arah anaknya yang terlihat frustasi. "Iya, kemarin." Diko menjawab singkat sambil memijat pelipisnya yang terasa berat. "Tapi kenapa kau malah duduk di sini?" Diko menatap mamanya terkejut. "Maksudnya?" "Pura-pura lolos lagi." Mama Diko menatap ke arah suaminya yang duduk di komputer dan sesekali melihat ke arah istri dan anaknya yang tengah berbincang. "Aku memang gak tahu maksud Mama. Aku mau ke kamar." Diko bangkit dari duduknya dengan jalan yang tidak seperti biasanya. Bisa dipastikan kalau beberapa malam ini dia lembur karena sebagian orang kepercayaan cuti bersamaan. Ada yang istrinya melahirkan, anak-anaknya ulang tahun, bahkan ada yang menikahkan anaknya. "Kalau Yani menjadi anak mereka, bukankah tidak mungkin Qiera masih mau tinggal di sana? Jadi kapan kau akan keluar dari zona kamu dan membantunya?" jelas Mama Diko membuat anak satu-satunya itu menghentikan langkah. Di
KSIBP 66 Diko pergi ke rumah Mala dengan hati yang ragu. Apalagi ketika mengingat kalau sahabatnya Harun juga dulu pernah jatuh hati padanya, tapi sayangnya tidak berani mengungkapkan. Sebelum sampai di rumah Mala, lagi-lagi Diko menepikan mobilnya di salah satu restoran yang menyediakan makanan laut. "Apa aku belikan mereka cumi bakar dulu?" gumamnya bertanya-tanya. Dirinya tahu kalau cumi bakar adalah salah satu makanan yang disukai Harun dan Mala, jadi bisa mengurangi sedikit rasa tidak percaya dirinya. Diko masuk ke restoran itu dan tidak lama pulang dengan bawaan yang memenuhi tangannya karena dia membeli banyak makanan. Termasuk kesukaan Qiera dan juga kedua anaknya. "Ah, rasanya aku sudah menjadi seorang ayah." Diko tersenyum aneh. Tidak lupa dia juga membeli beberapa ikat bunga yang sama. "Sepetinya aku memang sudah cocok menjadi kepala keluarga mereka," lanjutnya bangga. Diko kembali melajukan mobilnya ke arah rumah Mala dan segera masuk ke halaman rumah yang kebetulan
KSIBP 67 Sejak datang ke rumah Diko, Qiera dan kedua anaknya benar-benar menjalani kehidupan dengan sangat baik. Sama seperti di rumah orang tuanya dan Mala. Setelah percakapan beberapa waktu lalu dengan Diko, Qiera selalu menjauhi lelaki itu. Karena untuk saat ini, dia masih ingin sendiri, dan tidak mau menerima lelaki sembarangan. Begitupun Diko. Saat ini dia merasa malu dan harus bersembunyi karena sudah berani mengatakan keinginannya secara langsung untuk menikahi Qiera. "Bodohnya aku ... harusnya waktu itu aku pikir-pikir dulu agar hubungan di antara kita tatap baik. Kalau sudah seperti ini, siapa yang mau bertanggung jawab?" gerutu Diko kepada dirinya sendiri. "Kenapa? Jangan bilang kau tidak berhasil membujuk Qiera untuk menikah denganmu?" tanya mamanya yang malah terdengar seperti sindiran. "Seorang gadis yang cerdas saja tidak akan menerima ajakan menikah dari seorang lelaki tanpa mengetahui latar belakangnya lebih dulu. Apalagi Qiera, dia adalah wanita yang berpengalama
KSIBP 68 "Siapa yang berani tidak membersihkan kamar-kamarku? Atau mungkin di sini ada pembantu yang benci padaku dan sengaja melakukan hal ini?" teriaknya sambil menatap para maid yang hanya bisa menunjukkan kepala. "Tidak mungkin, Sayang. Selama ini mereka selalu bekerja dengan baik tanpa membedakan yang satu dengan yang lainnya. Jadi, meski kamu orang baru, mereka akan langsung patuh," jelas mama Qiera kembali membuka Yani kalah telak. "Sepertinya kamar itu memang tidak mau ditempati olehmu." Om Dion mulai mengeluarkan kata-kata ajaibnya. "Mana ada! Aku tidak percaya dengan hal-hal seperti itu!" geramnya tidak tahan lagi. "Ya sudah, kalau tidak percaya kenapa harus mengumpulkan kita di sini? Bukankah tidak ada gunanya?" Om Dion memasang wajah kesal dan datar, raut inilah yang ditakuti kedua orang tuanya Qiera karena pamannya juga punya kekuasaan di rumah ini. "Sudahlah, Sayang, jangan marah-marah terus," bujuk Mama Qiera lagi. "Aku jamin hal seperti ini akan terus terjadi. K