Tari menghela napas panjang. "Aku tahu, Mas. Tapi Alisa nggak mau dengar. Setiap kali kita mencoba memberitahu, dia malah makin memberontak."Ammar yang sejak tadi berdiri di dekat tangga akhirnya ikut bicara. "Aku dan Alif sudah menyelidiki lebih lanjut, Mas. Rio punya koneksi dengan beberapa orang yang mencurigakan. Teman-temanku bahkan bilang dia pernah terlibat dalam kasus yang lebih besar, tapi berhasil lolos."Nadhif mengepalkan tangannya. "Aku akan bicara dengan seseorang yang bisa menyelesaikan masalah ini. Kalau perlu, aku akan menggunakan koneksiku di kepolisian.""Mas… apakah harus sejauh itu?" Tari menatap suaminya dengan khawatir."Kalau menyangkut keselamatan anak kita, aku nggak akan ragu, Tari." Wajah Nadhif mengeras. "Aku nggak mau melihat Alisa menjadi korban berikutnya."---Sementara itu, di dalam kamar, Alisa duduk di sudut tempat tidurnya dengan ponsel di tangan. Matanya merah akibat menangis. Di layar, ada pesan dari Rio.Aku nggak akan biarkan mereka memisahkan
Setelah insiden pagi itu, suasana di rumah keluarga Nadhif semakin mencekam. Alisa mengurung diri di kamar, merasa malu dan takut menghadapi kenyataan. Sementara itu, Alif, Ammar, dan Abrar masih diselimuti amarah yang belum reda.Di ruang keluarga, Nadhif duduk dengan wajah keras. Dia baru saja selesai berbicara dengan polisi tentang kejadian tadi. Tari duduk di sebelahnya, matanya merah karena menangis."Jadi mereka sudah ditahan?" tanya Tari dengan suara pelan.Nadhif mengangguk. "Untuk sementara, iya. Tapi kita nggak bisa lengah. Rio punya banyak koneksi. Aku yakin dia nggak akan tinggal diam."Ammar yang bersandar di dinding ikut menimpali, "Aku masih nggak percaya Alisa sampai sejauh itu. Kita harus lebih hati-hati. Siapa tahu Rio masih menyimpan rencana lain."Saat itu, Wildan tiba-tiba masuk ke ruangan. "Aku baru dapat informasi dari teman-teman di dunia perfilman, Ayah. Rio ternyata punya hubungan dengan beberapa orang penting. Aku takut ini belum selesai."Nadhif mengernyit.
Di kamar Alisa, suasana mencekam. Aleeya duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan saudara kembarnya yang terlihat gelisah."Lisa, kamu yakin nggak mau bilang ke Ayah soal pesan Rio? Ini udah nggak main-main," ujar Aleeya dengan nada cemas.Alisa menggigit bibirnya, tangannya gemetar saat melihat layar ponselnya yang terus bergetar. "Aku takut, Aleeya. Kalau aku bilang, Ayah pasti makin marah. Aku nggak mau semuanya makin kacau.""Tapi kalau kamu diem aja, dia bisa makin berani! Kita nggak tahu dia bakal ngelakuin apa selanjutnya."Tiba-tiba, terdengar suara kaca pecah dari lantai bawah. Aleeya dan Alisa terlonjak kaget.---Di ruang tamu, Nadhif dan Tari langsung berlari ke arah sumber suara. Mereka menemukan jendela depan pecah, dan di lantai, ada batu besar dengan secarik kertas yang terikat di sekelilingnya.Nadhif mengambil kertas itu dengan tangan gemetar dan membacanya keras-keras. "Kalian pikir semua sudah berakhir? Petugas petugas itu teman saya. Ga mempan kalau meminta bantu
Mobil melaju kencang menembus gelapnya malam. Alisa duduk di kursi belakang, kedua tangannya terikat, sementara Rio terus menekan pedal gas. Di sampingnya, seorang pria berwajah kasar dengan luka di pipi menyeringai puas.Alisa berusaha berpikir jernih. Rio jelas sudah kehilangan akal sehat. Tapi yang lebih mengejutkan adalah ucapannya barusan."Bunda tak pernah cerita jika pernah secara tak langsung membunuh orang yang mencintainya?""Apa maksudmu tadi?" Alisa akhirnya bertanya, suaranya gemetar. "Apa hubungan ibuku dengan semua ini?"Rio tertawa kecil. "Akhirnya penasaran juga, ya?"Ia melirik Alisa melalui kaca spion. "Kamu pikir ibumu sesuci itu? Nggak, Lis. Dia punya masa lalu yang lebih kelam dari yang kamu bayangkan."Alisa menggeleng, menolak mempercayai kata-kata Rio. "Bohong! Ibu nggak mungkin—""Kamu tahu Elzio?" potong Rio tajam.Jantung Alisa mencelos. Nama itu asing, tapi ada sesuatu dalam cara Rio mengatakannya yang membuatnya bergidik."Elzio... siapa?"Rio menyer
Di Tempat ElzioMobil Rio berhenti di depan sebuah rumah tua yang terlihat menyeramkan. Cahaya lampu remang-remang menerangi halaman yang penuh dengan ilalang liar.Alisa menelan ludah. Perasaannya tidak enak."Kita di mana?" tanyanya dengan suara gemetar.Rio tidak menjawab. Ia keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Alisa. Pria dengan luka di pipi menyeret Alisa keluar."Lepaskan aku!" Alisa berusaha memberontak, tapi pria itu mencengkeramnya lebih keras.Mereka berjalan ke depan rumah. Rio mengetuk pintu beberapa kali, lalu menunggu.Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari dalam. Pintu kayu tua itu terbuka dengan berderit.Di baliknya berdiri seorang pria yang tampak lusuh. Rambutnya berantakan, wajahnya dipenuhi janggut yang tak terawat. Matanya kosong, tapi ada kilatan aneh di dalamnya."Om..." Rio memanggilnya dengan lembut, seperti berbicara pada anak kecil.Pria itu menatap mereka satu per satu sebelum matanya jatuh pada Alisa.Sekelebat emosi muncul di matan
Malam semakin larut, dan hawa dingin mulai menyelimuti rumah tua itu. Angin berdesir melewati celah-celah jendela yang tak terawat, membuat suasana semakin mencekam. Alisa duduk di sudut ruangan, tubuhnya tegang. Meski tangannya sudah terbebas, pikirannya masih terkunci dalam ketakutan.Di seberang ruangan, Elzio berjalan mondar-mandir, sesekali tertawa kecil tanpa alasan yang jelas. Tatapannya kosong, seperti seseorang yang tersesat dalam pikirannya sendiri. Sementara itu, Rio duduk di kursi dengan wajah kesal, jelas sekali dia tak suka bagaimana keadaan berbalik melawan rencananya."Kita nggak bisa nunggu Tari datang begitu aja," geram Rio. "Aku nggak mau buang waktu!"Elzio tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia menoleh tajam ke arah Rio. "Diam kau! Aku yang memutuskan di sini!" suaranya bergetar, entah karena emosi atau kondisi mentalnya yang semakin tak stabil.Alisa memanfaatkan momen itu untuk berbicara. "Jika kau ingin ibuku datang, kau harus membiarkanku menghubunginya," katan
Alisa menahan napas. Bunda datang!Pintu rumah terbuka perlahan. Tari melangkah masuk dengan hati-hati, matanya langsung mencari putrinya."Alisa!"Alisa bangkit berdiri, matanya berkaca-kaca. "Bunda!"Namun, sebelum ia bisa melangkah, Rio menarik lengannya kasar. "Jangan bergerak!"Tari menegang, matanya beralih ke Elzio yang berdiri di sudut ruangan."Elzio…" bisiknya.Pria itu perlahan menoleh. Untuk beberapa detik, keduanya hanya saling menatap. Ada begitu banyak emosi di mata Elzio—kerinduan, kemarahan, kepedihan."Tari…" suaranya serak. "Akhirnya kau datang."Tari melangkah maju dengan hati-hati. "Aku tidak pernah ingin menyakitimu, Elzio."Elzio tertawa kecil, tapi tawanya penuh kepahitan. "Tidak? Lalu kenapa aku kehilangan segalanya? Kenapa aku hidup dalam kegelapan selama ini?"Rio menatap Tari penuh kebencian. "Om, jangan dengarkan dia! Tari sudah menghancurkan hidupmu! Sekarang saatnya dia merasakan penderitaan yang sama!"Elzio menatap Rio lama. Kemudian, sesuatu yang tak
Suasana di rumah kembali sunyi setelah keributan yang begitu menegangkan. Tari memandang Alisa yang masih terisak dalam pelukannya, tangannya terus membelai lembut rambut putrinya, mencoba menenangkan gadis kecilnya yang baru saja mengalami kejadian mengerikan.Nadhif mendekati mereka, matanya masih menyiratkan amarah yang belum sepenuhnya reda. “Sudah selesai,” gumamnya lirih.Namun, tak ada yang benar-benar merasa lega. Bayangan kejadian barusan masih membekas di benak masing-masing.Alif berjalan menghampiri Alisa, menunduk di hadapan adiknya. “Kamu baik-baik aja?” tanyanya pelan.Alisa mengangguk, meskipun jelas matanya masih menyimpan ketakutan. “Aku… aku cuma ingin pulang,” bisiknya.Tari mengusap pipi anaknya dengan lembut. “Kita pulang sekarang.”Nadhif berdeham, kemudian menoleh pada Wildan. “Kamu ikut pulang?”Wildan menatap lurus ke arah pintu yang baru saja dilewati polisi yang membawa Rio dan Elzio. Rahangnya mengeras sebelum akhirnya ia menggeleng. “Aku masih ada urusan
Nayla menatap adiknya, mencoba tetap tenang. “Dia pernah nyakitin kamu?”Kania menggigit bibir. Menahan air mata. Lalu mengangguk pelan.“Sekali. Tapi dia bilang cuma karena emosi. Dan aku... aku diem. Karena aku pikir aku layak dapet itu.”“GAK ADA YANG LAYAK DIPUKUL, KANIA!” Nayla membentak sampai semua orang di café menoleh.Kania menunduk makin dalam, menangis pelan.“Gue... cuma pengen dicintai, Nay... gue capek disalahin terus, capek jadi bayangan lo. Jadi anak yang selalu kurang dibanding lo... makanya waktu Reynald datang dan bilang dia nerima gue apa adanya... gue percaya. Tapi ternyata... dia nerima gue cuma karena pengin harta warisan keluarga lo!”Nayla menggenggam tangan Kania erat.“Kamu gak sendiri. Kalau dia nyakitin kamu lagi, gue bakal berdiri di depan lo.”Kania memeluk Nayla sambil menangis. Tangis yang lama ia tahan. Tangis seorang kakak yang baru sadar, selama ini ia mencintai laki-laki yang salah... dan membenci saudara yang paling peduli padanya.Tapi mereka be
Kania duduk di pojok kamar, masih dengan mata sembab. Sudah dua hari sejak malam panjang itu. Pelukan Nayla memang melegakan, tapi luka lama tetap tak bisa sembuh dalam semalam.Suaminya, Reynald, mengetuk pintu lalu masuk tanpa menunggu jawaban. Membawa segelas teh hangat yang katanya “bikin hati adem.”“Sayang... kamu belum makan dari pagi. Mau aku suapin?” tanyanya lembut.Kania hanya menggeleng, menunduk. Reynald menarik kursi dan duduk di depan istrinya, lalu meletakkan teh di meja kecil.“Kamu mikirin malam itu, ya? Yang soal Nayla?”Kania mendesah, matanya menatap kosong. “Aku bingung, Ren... aku lega karena akhirnya jujur, tapi aku juga takut. Takut semua orang beneran ninggalin aku.”Reynald tersenyum. “Gak akan. Aku di sini. Aku suami kamu. Satu-satunya yang kamu bisa andalin.”Tapi tatapan matanya berkata lain. Ada sorot licik di sana. Hanya sedetik. Tapi cukup jelas.Reynald bukan suami ideal. Dia manis saat dibutuhkan. Tapi keras kepala dan manipulatif di belakang. Kania
“Aku juga nggak pernah benci kamu, Nay. Aku cuma... aku terlalu takut sendirian. Aku kira kamu yang pergi karena kamu lebih kuat. Aku salah.”Kania menunduk. Ia tak bicara. Tapi matanya mulai memerah.---Hari itu, tak semua luka sembuh.Tapi untuk pertama kalinya... luka-luka itu diperlihatkan. Dan mungkin, hanya mungkin... itu awal dari penyembuhan.Saat kami berjalan keluar dari kantor itu, Nayla menggenggam tanganku.“Aku tahu ini belum selesai, Lif,” katanya pelan. “Tapi setidaknya... aku nggak sendirian lagi.”Aku memeluknya.Dan di kejauhan, Bunda berdiri menunggu di samping mobil, tersenyum... seolah berkata: selamat datang di awal yang baru, Nak.---Oke! Kita langsung lanjut ke Bab 9 – Ketika IB Mengeluh Season 3. Kali ini kita gali sisi kelam Kania… rahasia yang selama ini dia sembunyikan, dan dampaknya akan bikin keluarga ini makin terbelah. Siap-siap baper, emosi, dan greget!---Hujan mengguyur deras malam itu. Tapi aku tetap nekat ke rumah Bunda. Nayla ingin bertemu Kan
Sudah dua minggu sejak aku dan Nayla pindah sementara ke rumah lama. Rumah kecil yang dulu penuh kenangan masa kecilku, kini jadi tempat pelarian sementara dari prahara yang meracuni rumah besar kami.Tapi masalah rupanya ikut pindah.Hari itu, pagi yang harusnya tenang berubah jadi awal dari babak baru—yang jauh lebih rumit dan panas.Nayla duduk di ruang tamu, memandangi layar ponsel. Air matanya menggenang tapi tak jatuh. Tangannya gemetar, bibirnya bergetar.“Ada apa?” tanyaku, duduk di sampingnya.Ia menyodorkan ponsel. Sebuah video. Direkam diam-diam, entah oleh siapa. Isinya? Naira dan Kania. Sedang duduk di sebuah kafe, tertawa... lalu mulai membicarakan Nayla."Makanya gue tuh heran, Nayla bisa-bisanya ngerasa jadi korban.""Padahal dia tuh dulu anak emas Ibu, dikasih segalanya. Giliran Ibu meninggal, dia kabur bawa semua warisan!""Dan dia masih bisa hidup enak, ya? Ngumpet di rumah suaminya yang kaya itu. Sementara kita dibuang kayak sampah."Suara Kania terdengar getir. Da
“Karena aku juga bingung, Nay... Aku takut salah langkah. Aku takut makin nyakitin kamu atau Wildan.”“Tapi kamu suamiku, Mas. Seharusnya aku yang kamu pilih untuk dilindungi, walau aku tau Wildan juga adikmu. Tapi, kan kamu tahu betul jika aku tak bersalah.”Aku menelan ludah. Nayla benar. Dan rasanya, baru kali ini aku benar-benar merasa seperti suami yang gagal.“Maaf.”“Kalau maaf bisa nyembuhin semuanya, nggak akan ada rumah tangga yang retak, Mas,” katanya lirih.Lalu dia bangkit. Aku meraih tangannya."Nay, maafkan aku..aku berjanji ini tak akan terulang lagi. Aku akan selalu melindungi kamu apapun yang terjadi." Nayla menatapku dengan tatapan ragu. Ya Allah, sungguh istriku sendiri sudah kehilangan kepercayaan padaku. Apa yang harus aku lakukan?---Malamnya, aku duduk sendirian di ruang tamu. Merenung. Ponselku kembali bergetar.Nomor tak dikenal. Lagi."Kau pikir sudah tenang sekarang? Ulang tahun Gio tinggal dua minggu. Pastikan kau hadir. Karena malam itu... akan jadi mal
Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari menyelinap dari sela tirai, tapi tidak mampu menghangatkan udara dingin yang menggantung di rumah ini.Koper-koper sudah tertata di depan pintu. Aku dan Nayla memutuskan pindah sementara ke rumah lama kami—saran Bunda, demi menenangkan semuanya. Tapi rasa bersalah tetap menempel di dadaku, seperti luka yang belum mengering.Nayla diam saja sejak semalam. Wajahnya pucat, matanya bengkak. Tapi dia tidak menangis lagi. Dia hanya... kosong. Dan itu lebih menyakitkan.“Udah siap?” tanyaku pelan.Nayla mengangguk.Aku menggenggam tangannya. Dia tidak menggenggam balik.Saat kami keluar dari kamar, semua orang sudah berkumpul di ruang tengah. Bunda, Abrar, Ammar, Alisa, dan Aleeya. Wildan berdiri di depan jendela, membelakangi kami.“Maaf, semua,” ucapku lirih. “Aku dan Nayla akan pergi sementara. Bukan karena ingin kabur, tapi karena kami butuh ruang.”Bunda mengangguk, lalu memeluk Nayla erat-erat.“Jaga dirimu ya, Nak. Jangan p
Pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Kamu pikir pengakuan anak akan menyelesaikan semua? Aku belum selesai. Lihat saja apa yang akan terjadi di ulang tahun Gio bulan depan.”Aku terdiam.Ulang tahun?Berarti... ancaman ini belum berakhir.Bukan hanya tentang Naira.Bukan hanya tentang Wildan.Ada seseorang lain... yang masih ingin melihat keluarga kami hancur.***Siap banget! Kita lanjutkan dengan drama rumah tangga yang makin panas, penuh emosi, dan bikin pembaca gregetan. Kali ini, hubungan antar anggota keluarga makin diuji... terutama antara Tari, Nayla, dan Wildan—sementara masa lalu terus menghantui dan benih-benih luka baru mulai tumbuh. Yuk, lanjut ke Bab 7 yang makin dramatis!---Sudah lima hari sejak kedatangan Naira dan Gio, tapi bayangannya masih menempel di dinding-dinding rumah ini. Bahkan aroma bajunya terasa tertinggal di sofa, seperti ia belum benar-benar pergi.Wildan berubah. Ia jadi lebih pendiam. Lebih sering termenung sendirian di balkon kamar atas. Tak ada lag
Satu minggu setelah malam pengakuan itu, rumah kami seperti ladang ranjau.Setiap langkah, setiap tatapan, setiap bisikan... bisa meledakkan luka.Wildan jarang bicara. Nayla hampir tak pernah keluar kamar.Dan aku... aku berusaha tetap jadi “kepala keluarga” yang utuh. Tapi sebenarnya aku sendiri limbung.Sampai suatu sore, ketika hujan deras mengguyur dan suara petir saling sahut, bel rumah berbunyi.Bunda yang membukakan pintu.Dan di sanalah dia.Seorang perempuan muda berdiri di ambang pintu, dengan wajah pucat, mata lelah, dan tubuh yang tampak menggigil. Di sampingnya, berdiri seorang bocah kecil—sekitar empat tahun—berpayung biru, memeluk kaki ibunya dengan erat.“Naira...” bisik Bunda, nyaris tidak percaya.Aku berlari ke depan. Wildan yang sedang duduk di tangga langsung berdiri terpaku.Naira mengangkat wajah. Matanya menatap kami satu-satu.Lalu berkata dengan tenang, “Aku nggak datang buat minta maaf atau minta diampuni. Aku cuma mau satu hal: anakku diakui.”Semua membek
“Aku nggak bisa tidur semalaman,” katanya lagi, duduk di sebelahku, berbalut cardigan panjang. “Aku tahu aku salah. Tapi aku... aku cuma pengen kita semua hidup tenang.”Aku menatapnya. “Tenang dengan menyimpan rahasia sebesar itu, Nay? Kamu tahu kan Wildan itu adikku.”“Aku tahu.” Suaranya nyaris seperti bisikan. “Dan justru itu yang bikin aku bingung, Mas. Kalau aku jujur dari awal kamu pasti marah. Kamu pasti hancur.”Aku tertawa kecil—pahit. “Dan sekarang aku nggak hancur?”Dia menunduk.Aku ingin marah. Tapi aku juga tahu, Nayla nggak sepenuhnya salah.Semua ini... rumit.***Siangnya, rumah mulai ramai. Ammar pulang dari Bandung. Abrar juga akhirnya turun dari kamarnya, setelah sekian lama mengurung diri. Nayla sudah menyiapkan makan siang bersama.Tapi suasananya... dingin.Alisa dan Aleeya duduk di pojok ruang makan, tak bicara banyak. Mereka hanya saling pandang setiap kali nama “Wildan” atau “Naira” disebut.“Mbak,” kata Ammar akhirnya memecah sunyi, “aku nemu sesuatu di Twi