Alisa menahan napas. Bunda datang!Pintu rumah terbuka perlahan. Tari melangkah masuk dengan hati-hati, matanya langsung mencari putrinya."Alisa!"Alisa bangkit berdiri, matanya berkaca-kaca. "Bunda!"Namun, sebelum ia bisa melangkah, Rio menarik lengannya kasar. "Jangan bergerak!"Tari menegang, matanya beralih ke Elzio yang berdiri di sudut ruangan."Elzio…" bisiknya.Pria itu perlahan menoleh. Untuk beberapa detik, keduanya hanya saling menatap. Ada begitu banyak emosi di mata Elzio—kerinduan, kemarahan, kepedihan."Tari…" suaranya serak. "Akhirnya kau datang."Tari melangkah maju dengan hati-hati. "Aku tidak pernah ingin menyakitimu, Elzio."Elzio tertawa kecil, tapi tawanya penuh kepahitan. "Tidak? Lalu kenapa aku kehilangan segalanya? Kenapa aku hidup dalam kegelapan selama ini?"Rio menatap Tari penuh kebencian. "Om, jangan dengarkan dia! Tari sudah menghancurkan hidupmu! Sekarang saatnya dia merasakan penderitaan yang sama!"Elzio menatap Rio lama. Kemudian, sesuatu yang tak
Suasana di rumah kembali sunyi setelah keributan yang begitu menegangkan. Tari memandang Alisa yang masih terisak dalam pelukannya, tangannya terus membelai lembut rambut putrinya, mencoba menenangkan gadis kecilnya yang baru saja mengalami kejadian mengerikan.Nadhif mendekati mereka, matanya masih menyiratkan amarah yang belum sepenuhnya reda. “Sudah selesai,” gumamnya lirih.Namun, tak ada yang benar-benar merasa lega. Bayangan kejadian barusan masih membekas di benak masing-masing.Alif berjalan menghampiri Alisa, menunduk di hadapan adiknya. “Kamu baik-baik aja?” tanyanya pelan.Alisa mengangguk, meskipun jelas matanya masih menyimpan ketakutan. “Aku… aku cuma ingin pulang,” bisiknya.Tari mengusap pipi anaknya dengan lembut. “Kita pulang sekarang.”Nadhif berdeham, kemudian menoleh pada Wildan. “Kamu ikut pulang?”Wildan menatap lurus ke arah pintu yang baru saja dilewati polisi yang membawa Rio dan Elzio. Rahangnya mengeras sebelum akhirnya ia menggeleng. “Aku masih ada urusan
Keduanya kembali terdiam, hingga akhirnya rasa lelah mengalahkan ketakutan mereka. Perlahan, Alisa pun terlelap dalam genggaman saudari kembarnya.DI TEMPAT YANG BERBEDA…Di dalam ruang tahanan sementara, Rio duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyiratkan kemarahan. Bahunya yang terluka sudah diperban, tapi rasa sakit yang ia rasakan jauh lebih dalam dari sekadar luka fisik.Seorang pria duduk di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi datar.“Kau benar-benar kacau, anak muda.”Rio menoleh, menatap pria itu dengan tajam. “Siapa kau?”Pria itu menyeringai tipis. “Seseorang yang tahu betul bagaimana rasanya dikhianati.”Rio memicingkan mata. “Apa maksudmu?”Pria itu menyandarkan kepalanya ke dinding. “Hanya saja… aku tertarik padamu. Aku bisa membantumu, jika kau mau.”Rio menyipitkan mata, curiga. “Bantu apa?”Pria itu tertawa kecil. “Balas dendam, tentu saja.”Rio terdiam. Lalu perlahan, sebuah senyum miring terukir di wajahnya.Mungkin… ini kesempatannya. Rasa sakit hati pad
Tari menelan ludah, tangannya mulai gemetar.Seolah memahami ada yang tidak beres, Nadhif yang baru keluar dari kamar mandi langsung menghampiri Tari. “Ada apa?”Tari menunjukkan ponselnya.Nadhif membaca pesan itu. Rahangnya mengeras.“Aku akan cari tahu siapa yang mengirim ini.”Tapi Tari tahu… perasaan mencekam yang menyelimutinya tidak akan hilang begitu saja.Ketakutan itu kembali.Kedamaian yang baru saja mereka rasakan…Telah direnggut lagi. Siapa lagi pelakunya? Rio lagi? Apa Elzio? Tak mungkin mereka keluar dari penjara secepat itu?***Malam di vila itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin pantai yang bertiup lembut seharusnya membawa ketenangan, tapi di dalam kamar, Tari justru merasakan hawa yang menyesakkan. Pesan singkat di ponselnya masih terpampang di layar, membuat dadanya semakin berdebar.Siapa pun yang mengirim pesan itu tahu persis bagaimana menghancurkan ketenangannya.Tari menoleh ke arah Nadhif, yang masih berdiri di dekat jendela dengan ekspresi serius. Ia
Tiba-tiba…Tok… Tok… Tok…Ketukan pelan terdengar dari jendela kamar.Tari menahan napas, jantungnya berdegup kencang.Matanya langsung tertuju pada jendela, tapi yang terlihat hanyalah bayangan hitam di balik tirai.Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya dan menelepon Nadhif yang tidur di kamar sebelah."Mas… Ada seseorang di luar," bisiknya.Tak sampai satu menit, pintu kamar Tari terbuka, dan Nadhif masuk dengan wajah serius. Ia melangkah cepat menuju jendela, lalu membuka tirai dengan gerakan cepat.Tidak ada siapa-siapa.Namun, sesuatu di lantai luar jendela membuat Tari bergidik ngeri.Sebuah boneka lusuh tergeletak di sana.Dan di dadanya…Terdapat secarik kertas dengan tulisan tangan yang tidak rapi."Apa kamu takut, Tari?"Tari menggigit bibirnya, napasnya tersengal saat menatap boneka lusuh itu. Tulisan di kertas kecil yang terselip di dadanya membuat bulu kuduknya meremang.Nadhif menatap boneka itu dengan ekspresi gelap. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam. Ia segera
Tari menelan ludah, hatinya mendadak tak enak."Mbak Rina dengar dari siapa?" tanyanya hati-hati.Mbak Rina mengibaskan tangan santai. "Ya, ada lah. Namanya juga kampung, semua orang suka ngomongin urusan orang lain," katanya sambil terkekeh.Nadhif menghela napas, jelas tak nyaman dengan pembicaraan ini."Apa yang mereka bilang?"Rina langsung menaruh tasnya di sofa lalu duduk dengan santai. "Katanya, ada yang meneror kalian? Ada urusan sama orang yang pernah kalian musuhi? Waduh, Ndif… kok hidup kamu jadi kayak sinetron sih?"Tari dan Nadhif saling bertukar pandang. Mereka belum berniat membicarakan masalah ini dengan orang luar, bahkan dengan keluarga sendiri.Tapi Mbak Rina memang selalu begitu. Kepo dan tak bisa menahan rasa ingin tahunya."Udah lah, Mbak. Jangan bahas itu," ujar Nadhif akhirnya.Rina mendengus. "Lho, aku ini kakak kamu! Masa aku nggak boleh tahu masalah keluarga sendiri?"Tari mencoba tersenyum, berusaha menenangkan situasi. "Bukan begitu, Mbak. Masalah ini cuku
Jadi ini alasan sebenarnya Rina datang?—Keesokan harinya…Tari sedang duduk di ruang makan bersama anak-anaknya ketika suara bel rumah berbunyi keras.Dari dapur, Rina langsung berseru, "Ah, pasti paket pesanan aku nih!"Namun, saat Tari membuka pintu…Jantungnya langsung mencelos.Seorang pria bertubuh besar dengan wajah garang berdiri di ambang pintu. Matanya tajam, sorotannya mengancam.Bayu.Suami Rina."Mana istri saya?" suaranya berat dan dingin.Tari terdiam. Ketakutan yang baru saja mereda…Kini muncul lagi. Tari merasa dirinya trauma setelah kejadian kemarin itu.Belum sempat Tari menjawab, suara Rina langsung terdengar dari dalam rumah."Astaghfirullah! Ngapain kamu ke sini, Bayu?!"Rina muncul dari dapur dengan wajah ketakutan, tapi juga marah. Tari melihat ekspresi kakak iparnya berubah drastis—dari sebelumnya yang santai, kini penuh ketegangan.Bayu langsung masuk ke dalam rumah tanpa diundang, langkahnya kasar. Tari refleks mundur, sementara Nadhif yang baru saja kelua
Hari-hari pertama, Tari masih mencoba bersabar dengan kehadiran Rina di rumah mereka. Tapi semakin lama, sikap kakak iparnya itu benar-benar menguji batas kesabarannya.Rina memperlakukan rumah Tari seolah miliknya sendiri.Pagi itu, Tari yang baru turun dari kamar langsung mengernyit saat melihat ruang tamunya berantakan.Baju-baju berserakan di sofa, beberapa wadah makanan kosong tergeletak begitu saja di meja, dan yang lebih parah, Rina sedang duduk santai di depan televisi sambil mengenakan daster Tari.Tari menghela napas panjang, mencoba menahan kesal. "Mbak Rina, ini baju aku, kan?"Rina menoleh sekilas, lalu terkekeh. "Iya, Tari. Maaf ya, tadi Mbak kedinginan. Aku lihat bajumu di lemari, jadi kupakai sebentar. Eh, enak banget bahannya!"Tari mengepalkan tangannya erat, mencoba tetap tersenyum. "Kalau Mbak butuh baju, bilang aja. Aku bisa kasih baju lain.""Ah, nggak usah repot-repot! Ini aja enak kok." Rina kembali fokus menonton sinetron di televisi, sama sekali tidak merasa
“Karena aku juga bingung, Nay... Aku takut salah langkah. Aku takut makin nyakitin kamu atau Wildan.”“Tapi kamu suamiku, Mas. Seharusnya aku yang kamu pilih untuk dilindungi, walau aku tau Wildan juga adikmu. Tapi, kan kamu tahu betul jika aku tak bersalah.”Aku menelan ludah. Nayla benar. Dan rasanya, baru kali ini aku benar-benar merasa seperti suami yang gagal.“Maaf.”“Kalau maaf bisa nyembuhin semuanya, nggak akan ada rumah tangga yang retak, Mas,” katanya lirih.Lalu dia bangkit. Aku meraih tangannya."Nay, maafkan aku..aku berjanji ini tak akan terulang lagi. Aku akan selalu melindungi kamu apapun yang terjadi." Nayla menatapku dengan tatapan ragu. Ya Allah, sungguh istriku sendiri sudah kehilangan kepercayaan padaku. Apa yang harus aku lakukan?---Malamnya, aku duduk sendirian di ruang tamu. Merenung. Ponselku kembali bergetar.Nomor tak dikenal. Lagi."Kau pikir sudah tenang sekarang? Ulang tahun Gio tinggal dua minggu. Pastikan kau hadir. Karena malam itu... akan jadi mal
Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari menyelinap dari sela tirai, tapi tidak mampu menghangatkan udara dingin yang menggantung di rumah ini.Koper-koper sudah tertata di depan pintu. Aku dan Nayla memutuskan pindah sementara ke rumah lama kami—saran Bunda, demi menenangkan semuanya. Tapi rasa bersalah tetap menempel di dadaku, seperti luka yang belum mengering.Nayla diam saja sejak semalam. Wajahnya pucat, matanya bengkak. Tapi dia tidak menangis lagi. Dia hanya... kosong. Dan itu lebih menyakitkan.“Udah siap?” tanyaku pelan.Nayla mengangguk.Aku menggenggam tangannya. Dia tidak menggenggam balik.Saat kami keluar dari kamar, semua orang sudah berkumpul di ruang tengah. Bunda, Abrar, Ammar, Alisa, dan Aleeya. Wildan berdiri di depan jendela, membelakangi kami.“Maaf, semua,” ucapku lirih. “Aku dan Nayla akan pergi sementara. Bukan karena ingin kabur, tapi karena kami butuh ruang.”Bunda mengangguk, lalu memeluk Nayla erat-erat.“Jaga dirimu ya, Nak. Jangan p
Pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Kamu pikir pengakuan anak akan menyelesaikan semua? Aku belum selesai. Lihat saja apa yang akan terjadi di ulang tahun Gio bulan depan.”Aku terdiam.Ulang tahun?Berarti... ancaman ini belum berakhir.Bukan hanya tentang Naira.Bukan hanya tentang Wildan.Ada seseorang lain... yang masih ingin melihat keluarga kami hancur.***Siap banget! Kita lanjutkan dengan drama rumah tangga yang makin panas, penuh emosi, dan bikin pembaca gregetan. Kali ini, hubungan antar anggota keluarga makin diuji... terutama antara Tari, Nayla, dan Wildan—sementara masa lalu terus menghantui dan benih-benih luka baru mulai tumbuh. Yuk, lanjut ke Bab 7 yang makin dramatis!---Sudah lima hari sejak kedatangan Naira dan Gio, tapi bayangannya masih menempel di dinding-dinding rumah ini. Bahkan aroma bajunya terasa tertinggal di sofa, seperti ia belum benar-benar pergi.Wildan berubah. Ia jadi lebih pendiam. Lebih sering termenung sendirian di balkon kamar atas. Tak ada lag
Satu minggu setelah malam pengakuan itu, rumah kami seperti ladang ranjau.Setiap langkah, setiap tatapan, setiap bisikan... bisa meledakkan luka.Wildan jarang bicara. Nayla hampir tak pernah keluar kamar.Dan aku... aku berusaha tetap jadi “kepala keluarga” yang utuh. Tapi sebenarnya aku sendiri limbung.Sampai suatu sore, ketika hujan deras mengguyur dan suara petir saling sahut, bel rumah berbunyi.Bunda yang membukakan pintu.Dan di sanalah dia.Seorang perempuan muda berdiri di ambang pintu, dengan wajah pucat, mata lelah, dan tubuh yang tampak menggigil. Di sampingnya, berdiri seorang bocah kecil—sekitar empat tahun—berpayung biru, memeluk kaki ibunya dengan erat.“Naira...” bisik Bunda, nyaris tidak percaya.Aku berlari ke depan. Wildan yang sedang duduk di tangga langsung berdiri terpaku.Naira mengangkat wajah. Matanya menatap kami satu-satu.Lalu berkata dengan tenang, “Aku nggak datang buat minta maaf atau minta diampuni. Aku cuma mau satu hal: anakku diakui.”Semua membek
“Aku nggak bisa tidur semalaman,” katanya lagi, duduk di sebelahku, berbalut cardigan panjang. “Aku tahu aku salah. Tapi aku... aku cuma pengen kita semua hidup tenang.”Aku menatapnya. “Tenang dengan menyimpan rahasia sebesar itu, Nay? Kamu tahu kan Wildan itu adikku.”“Aku tahu.” Suaranya nyaris seperti bisikan. “Dan justru itu yang bikin aku bingung, Mas. Kalau aku jujur dari awal kamu pasti marah. Kamu pasti hancur.”Aku tertawa kecil—pahit. “Dan sekarang aku nggak hancur?”Dia menunduk.Aku ingin marah. Tapi aku juga tahu, Nayla nggak sepenuhnya salah.Semua ini... rumit.***Siangnya, rumah mulai ramai. Ammar pulang dari Bandung. Abrar juga akhirnya turun dari kamarnya, setelah sekian lama mengurung diri. Nayla sudah menyiapkan makan siang bersama.Tapi suasananya... dingin.Alisa dan Aleeya duduk di pojok ruang makan, tak bicara banyak. Mereka hanya saling pandang setiap kali nama “Wildan” atau “Naira” disebut.“Mbak,” kata Ammar akhirnya memecah sunyi, “aku nemu sesuatu di Twi
Malam itu, aku menatap Nayla dengan perasaan campur aduk.Aku mencintainya, tentu. Tapi... apa mungkin aku sebenarnya nggak benar-benar mengenalnya?Aku mengamati wajahnya yang tertidur di sebelahku. Damai. Tenang.Tapi kata-kata Wildan masih terngiang-ngiang di kepalaku:“Nama belakang pengirim surat itu sama dengan nama keluarga Nayla.”Aku tahu, Nayla anak tunggal. Tapi... dia pernah bilang punya sepupu-sepupu dari pihak ayahnya yang tinggal di luar kota. Salah satunya, katanya, sempat dekat banget pas kecil... tapi sekarang udah lost contact.Entah kenapa, perutku terasa mual mendadak.---Keesokan harinya, aku sengaja mengambil cuti dari kantor. Tujuanku jelas: aku harus cari tahu.Aku mulai dengan menyelidiki keluarga besar Nayla—sesuatu yang seharusnya kulakukan sebelum menikahinya.Dari hasil penelusuran online dan tanya-tanya ke kerabat yang datang waktu lamaran, aku mendapat satu nama mencurigakan:Kania Hanafiah.Nama ini juga yang muncul di sudut kecil amplop surat yang di
“Mas,” Nayla keluar membawa jaketku. “Dingin.”Aku menyambut jaket itu dan menatap istriku. “Kamu yakin dia nyebut nama Naira?”Nayla mengangguk pelan. “Aku enggak salah dengar. Dia nangis, Mas. Dan wajahnya penuh rasa bersalah.”Aku terdiam, mencoba mencerna. Wildan bukan tipe cowok sentimentil yang gampang nangis, apalagi sampai ngomong sendiri tengah malam. Itu bukan Wildan yang aku kenal.---Hari itu berlalu seperti biasa. Tapi ada satu hal yang terus menarik perhatianku: Wildan.Dia lebih pendiam dari biasanya. Setiap ditanya tentang aktivitasnya selama di Jogja, dia hanya menjawab pendek-pendek. Bahkan saat ditanya soal syuting, dia cuma bilang, “Lagi vakum.”Sampai akhirnya, saat malam mulai turun dan rumah mulai sepi, aku nekat mengetuk pintu kamarnya.Tok tok.“Dan, bisa ngobrol sebentar?”Suara di dalam kamar terdengar berat. “Masuk aja.”Aku membuka pintu perlahan. Wildan duduk di pojok kasur, hoodie masih dipakai meski udara cukup panas.“Ada apa, Kak?” tanyanya pelan.Ak
Aku menatap langit. “Dia paling ngerti gimana dulu Bunda jatuh dan bangkit. Aku tahu, dia pasti punya alasan kenapa ga datang.”Nayla mengangguk. “Tapi tetap aja rasanya aneh kalau dia ga muncul di hari spesialmu.”“Bukan cuma hari spesialku. Tapi hari Bunda juga. Aku cuma takut, jangan-jangan dia... ngerasa bukan bagian dari keluarga ini lagi.”Aku belum selesai bicara saat ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Aku nyalakan loudspeaker tanpa pikir panjang.“Hallo?” ucapku.“Kak Alif, ini... gue.”Suaranya berat. Terdengar seperti baru saja habis berlari atau menangis?“Wildan?”“Hm,” sahutnya pelan.Aku langsung berdiri dari kursi. Nayla ikut menegakkan duduknya.“Lu di mana, bro? Kita semua nungguin. Bahkan Bunda sering nanyain lu.”“Gue di Jogja,” katanya pelan.“Jogja? Serius? Ada apa?”Wildan diam lama. Napasnya terdengar lewat sambungan telepon. Lalu akhirnya, ia berkata, “Gue kabur dari lokasi syuting. Gue pulang ke rumah yang dulu. Rumah waktu nyokap gu
“Alhamdulillah, Tante. Justru saya bersyukur bisa tinggal dekat keluarga suami. Rumah ini hangat. Dan ibu mertua saya, Masya Allah... luar biasa baik dan perhatian.”Ibu yang sedang menyajikan es teh di meja, hanya tersenyum sopan, menimpali, “Namanya juga rumah keluarga, Bu Rosi. Kadang ramai, kadang ribut, tapi tetap saling jaga. Insya Allah, saya tidak akan ikut campur urusan rumah tangga mereka.”Aku bangga melihat Nayla bisa bersikap dewasa. Tapi suasana sedikit canggung setelah itu. Alisa dan Aleeya buru-buru mengganti topik dengan menawarkan permainan kartu di teras. Suasana kembali cair, tapi aku masih memikirkan tentang Damar dan tatapan aneh Abrar pagi tadi.Malamnya, setelah semua tamu pulang, aku menemui Abrar yang duduk di loteng sambil main gitar.“Bar... kamu kenal Damar?” tanyaku pelan.Abrar tak menjawab. Tapi petikan gitarnya berhenti. Ia menunduk, lalu berkata lirih.“Dulu... waktu aku kelas satu SMA, dia kakak kelasku. Sering nge-bully.”Aku terdiam. Tak menyangka.