"Keterlaluan mana membiarkan kamu pergi dengan perempuan yang jelas jelas ada hubungan dengan kamu di masa lalu? Maaf ya, Mas. Kalau kamu mau mesra mesraan dengan dia, mau so sweet, sweet an. Monggo! Silahkan. Sekalian kamu jangan pernah balik lagi ke rumah ini!"Mas Nadhif tertegun mendengar ucapanku yang berani. Aku sudah muak dengan drama laki-laki tak tau diri. Lebih baik memutus hubungan dari sekarang dari pada terulang lagi kejadian seperti dulu. Kebodohan yang nyatanya membuat hatiku membeku Tanpa menunggu jawaban darinya aku pergi begitu saja. ***Sudah dua hari Wildan pergi. Dua hari pula hubunganku dengan Mas Nadhif terasa dingin. Aku tak peduli. Aku menyibukkan diri dengan anak anak. Dan mulai menulis novel baru.Wildan sendiri dengan intensif mengirimkan aku pesan. Aku sengaja memberinya ponsel tanpa sepengetahuan Mas Nadhif. "Dik, mau sampai kapan kita seperti yang ini?" Mas Nadhif menghampiriku yang tengah mengetik di ruang kerja."Terserah.""Mas minta, Maaf." Lirihn
"Mas kemarin nengokin Wildan kan? Gimana keadaannya?" Aku langsung mencecar Mas Nadhif dengan pertanyaan."Mas tak tau, Dik." Jawabnya pelan."Tak tau gimana? Kan kamu kemarin ke rumah Mbak Erna!" Suaraku sedikit meninggi. Agak gemas dengan jawaban dari suamiku itu.Mas Nadhif tampak salah tingkah. Sebelah tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Sesekali dia menatapku lalu kembali menunduk. Ibu pun menunggu jawaban dari menantunya itu dengan wajah penuh rasa penasaran."Kemarin Mas hanya ketemu Erna di kafe. Wildan ga ikut." Jawabannya membuat darahku kembali mendidih."Astaghfirullah, Mas! Mungkin memang udah takdirku kali ya, dapat suami yang ga amanah. Kalau masih tersakiti begini, buat apa aku menikah!" Suaraku bergetar hebat. Dada ini terasa sesak."Nduk ... Sabar ... Orang terdekat juga bisa menjadi ujian untuk kita. Jangan bicara seperti itu. Semua yang terjadi merupakan takdir yang harus kita jalani.""Tari capek, Bu. Mending jadi janda kalau punya suami hanya mena
Aku pun segera menyiapkan diri. Bersyukur asip masih banyak di kulkas. Sehingga aku tidak usah khawatir meninggalkan Alisha dan Aleeya."Ibu ikut." "Bu, biar Tari dan Mas Nadhif aja. Ibu tolong jagain anak-anak dirumah ya, Bu. Khawatir Bik Mira kewalahan jika mereka menangis.""Nanti kalau terjadi apa-apa dengan kamu gimana, Nduk?""InsyaAllah gapapa, Bu. Tari masih ingat jurus taekwondo yang dulu pernah tari pelajari kok.""Kamu habis melahirkan, Nduk. Luka di perutmu masih belum sepenuhnya sembuh. Ibu sungguh sangat khawatir, Nduk. Bagaimana kalau kita melaporkan ke polisi.""Ga usah dulu, Bu. Kita belum ada alasan untuk melaporkan kepada polisi. Wildan dibawa oleh ibu kandungnya. Polisi tidak akan menindak laporan kita."Ibu terdiam. Tapi, wajahnya masih saja menyimpan rasa cemas."Ibu do'akan saja, ya. InsyaAllah gapapaa." Tuturku."Iya, Bu. Nadhif akan menjaga Tari. Jika ada apa apa Nadhif akan menelpon polisi."Ibu tertunduk. Hingga akhirnya beliau menganggukkan kepalanya."Hat
"Capek, selalu itu alasan kamu! lihat! tak ada satu sudut pun yang bersih dari kotoran!" em*siku benar-benar tersulut. Berharap pulang cepat bisa istirahat, nyatanya rumah kotor, mainan berserakan seperti kapal pecah. Anak-anak ribut sahut sahutan. Tak ada kedamaian. Sementara, Tari, istriku enak-enakan tidur sambil meny*sui Abrar, anak kami yang bungsu. Dan beralasan badan tak enak, capek, lelah dan entah apalagi, membuatku muak."Aku sudah merapikan rumah, Mas. Tapi, berantakan lagi,"ujarnya beralasan. "Maaf ya, Mas. Aku akan segera merapikannya. Kamu tunggu disini, aku juga akan segera buatkan teh manis hangat, ya. Tolong pegang Abrar sebentar." Tari menyerahkan bayi mungil kami dan segera berlalu. Daster kusam dan wajah tak terawat yang menjadi ciri khas perempuan itu pun menghilang dalam pandangan.Aku berdecak kesal. Namun, tak bisa menolak. Rasa haus dan pusing sudah menyatu. Kalau tidak segera dituntaskan, emosiku bisa makin membara.Tak lama terdengar suara Tari memerintah du
"Iya, Bu. Sebenarnya saya sedang memikirkan hal itu. Tapi, saat ini keadaan sedang tak memungkinkan untuk mengambil seorang pembantu." Akhirnya aku membela diri. Semoga ibunya Tari tak curiga jika aku menyembunyikan gaji dan tabunganku dari Tari."Kalau kamu ga sanggup, biar Ibu yang membayar pembantu kalian.""Tak usah, Bu. Nanti biar Arsen pikirkan untuk itu." Aku pun pamit masuk ke kamar. Rasanya harga diriku dicubit. Mana mungkin aku menerima pertolongan ibunya Tari untuk membayar seorang pembantu, sementara dia hanya seorang penjual sayur di pasar. Hidupnya juga tak lebih baik dariku. Tak mungkin itu.Malam itu setelah makan malam, Ibu pamit pulang menggunakan ojek online. Rumahnya yang tak begitu jauh dari rumahku membuat beliau sudah biasa untuk pulang pergi meski sudah malam."Bagus ya, kamu mulai ngadu sama Ibu kamu!" cetusku saat kami sama sama sudah berada di kamar."Mengadu apa, Mas?" tanyanya pura pura tak paham."Jangan sok polos kamu, Dek. Kamu mempermalukan aku didepa
[Mas, nanti kalau pulang tolong beliin beras sama minyak, ya. Stok di rumah habis.] Tak lama pesan dari Tari masuk ke ponselku. Aku menghela nafas berat. Baru awal bulan aku membeli beras dalam kemasan lima kilo, baru pertengahan bulan, sudah habis. Begitu juga minyak, aku telah menyetok seliter minyak goreng kemasan untuk bulan ini. Tapi, sudah habis aja.[Kamu jangan boros-boros dong, Dek. Masa tanggal segini sudah habis?] Balasku dengan hati kesal.[Yang makan di rumah ini kan banyak, Mas. Aku juga masak sewajarnya.]Balas Tari. Perempuan itu mulai pandai melawan. Aku menaruh ponsel dia atas meja. Malas menanggapi Tari yang kerjaannya hanya mengeluh tiap hari.***Usai jam kantor berakhir aku segera memacu kuda besiku membelah jalanan kota. Kali ini niatku tidak pulang apalagi membeli beras atau minyak untuk Tari. Biar dia berusaha sendiri mendapatkan apa yang dia butuhkan. Dia kira mencari uang itu gampang.Maghrib menjelang, aku sampai pada sebuah toko buah. Mampir sejenak membel
Beberapa kali aku mengetuk pintu, tapi tak ada yang membukakan seperti biasa. Akhirnya aku mengeluarkan kunci cadangan yang memang selalu kubawa.Begitu pintu terbuka, rumah yang biasa berantakan kini terlihat begitu rapi. Tak ada satu mainan pun yang berserakan di lantai."Dek ..." aku berjalan ke kamar. Kamar utama pun bersih. Selimut dan bantal tertata di pojok. Tak ada Tari disini. Aku keluar dan masuk ke kamar anak-anak. Kondisinya sama. Ruangan yang biasanya seperti kapal pecah kini begitu sedap di pandang mata."Astaga, kemana sih perempuan itu!" sungutku sambil merongoh ponsel di saku celana.Dua panggilan berlalu tanpa sahutan. Hingga yang ketiga kalinya suara tari terdengar di seberang sana."Kamu dimana sih? rumah kosong begini!" hardikku begitu suara Tari terdengar."Lho, kamu pulang, Mas? Bukankah mau menginap di rumah Mama?" sahutnya santai."Dek, kamu dimana?" tanyaku mengabaikan pertanyaannya."Aku sedang di rumah Ibuku. Aku rasa aku butuh me time untuk mewaraskan piki
Keesokan harinya sebuah pesan membuat rasa didada jadi tak biasa.[Hai, Arsen. Ini Rani. Apa kabar? maaf ya, aku lancang menghubungi kamu. Tadi, aku ke rumah mama. Eh, malah Mama ngasih nomor hape kamu ke aku.]Sebuah senyuman terbit begitu saja. Aku memperbaiki duduk lalu dengan cepat membalas pesan itu.[Hai juga, Ran. Aku sehat, kamu gimana? wah, udah lama kita ga ketemu? aku kira kamu masih di Batam?] pesan terkirim.Sepengetahuanku Rani dulu merantau ke Batam. Bekerja disana. Karena itu hubungan yang sempat pernah terbina menguap begitu saja. Aku pun sibuk bekerja lalu menikah dan lupa dengan perempuan yang pernah menjadi primadona sewaktu SMA itu.[Enggak. Aku udah balik lagi ke Jakarta. Tadinya aku ingin mengulang kisah kita. Ga disangka kamu sudah menikah, hehehe aku telat, ya!]Garis bibir terus saja melengkung. Aku yakin Rani sedang memberi kode padaku.[Ya, begitu lah, Ran. Dulu itu masa lalu. Tapi, kalau kamu mau punya masa depan dengan lelaki yang sudah punya anak ini, ak
Aku pun segera menyiapkan diri. Bersyukur asip masih banyak di kulkas. Sehingga aku tidak usah khawatir meninggalkan Alisha dan Aleeya."Ibu ikut." "Bu, biar Tari dan Mas Nadhif aja. Ibu tolong jagain anak-anak dirumah ya, Bu. Khawatir Bik Mira kewalahan jika mereka menangis.""Nanti kalau terjadi apa-apa dengan kamu gimana, Nduk?""InsyaAllah gapapa, Bu. Tari masih ingat jurus taekwondo yang dulu pernah tari pelajari kok.""Kamu habis melahirkan, Nduk. Luka di perutmu masih belum sepenuhnya sembuh. Ibu sungguh sangat khawatir, Nduk. Bagaimana kalau kita melaporkan ke polisi.""Ga usah dulu, Bu. Kita belum ada alasan untuk melaporkan kepada polisi. Wildan dibawa oleh ibu kandungnya. Polisi tidak akan menindak laporan kita."Ibu terdiam. Tapi, wajahnya masih saja menyimpan rasa cemas."Ibu do'akan saja, ya. InsyaAllah gapapaa." Tuturku."Iya, Bu. Nadhif akan menjaga Tari. Jika ada apa apa Nadhif akan menelpon polisi."Ibu tertunduk. Hingga akhirnya beliau menganggukkan kepalanya."Hat
"Mas kemarin nengokin Wildan kan? Gimana keadaannya?" Aku langsung mencecar Mas Nadhif dengan pertanyaan."Mas tak tau, Dik." Jawabnya pelan."Tak tau gimana? Kan kamu kemarin ke rumah Mbak Erna!" Suaraku sedikit meninggi. Agak gemas dengan jawaban dari suamiku itu.Mas Nadhif tampak salah tingkah. Sebelah tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Sesekali dia menatapku lalu kembali menunduk. Ibu pun menunggu jawaban dari menantunya itu dengan wajah penuh rasa penasaran."Kemarin Mas hanya ketemu Erna di kafe. Wildan ga ikut." Jawabannya membuat darahku kembali mendidih."Astaghfirullah, Mas! Mungkin memang udah takdirku kali ya, dapat suami yang ga amanah. Kalau masih tersakiti begini, buat apa aku menikah!" Suaraku bergetar hebat. Dada ini terasa sesak."Nduk ... Sabar ... Orang terdekat juga bisa menjadi ujian untuk kita. Jangan bicara seperti itu. Semua yang terjadi merupakan takdir yang harus kita jalani.""Tari capek, Bu. Mending jadi janda kalau punya suami hanya mena
"Keterlaluan mana membiarkan kamu pergi dengan perempuan yang jelas jelas ada hubungan dengan kamu di masa lalu? Maaf ya, Mas. Kalau kamu mau mesra mesraan dengan dia, mau so sweet, sweet an. Monggo! Silahkan. Sekalian kamu jangan pernah balik lagi ke rumah ini!"Mas Nadhif tertegun mendengar ucapanku yang berani. Aku sudah muak dengan drama laki-laki tak tau diri. Lebih baik memutus hubungan dari sekarang dari pada terulang lagi kejadian seperti dulu. Kebodohan yang nyatanya membuat hatiku membeku Tanpa menunggu jawaban darinya aku pergi begitu saja. ***Sudah dua hari Wildan pergi. Dua hari pula hubunganku dengan Mas Nadhif terasa dingin. Aku tak peduli. Aku menyibukkan diri dengan anak anak. Dan mulai menulis novel baru.Wildan sendiri dengan intensif mengirimkan aku pesan. Aku sengaja memberinya ponsel tanpa sepengetahuan Mas Nadhif. "Dik, mau sampai kapan kita seperti yang ini?" Mas Nadhif menghampiriku yang tengah mengetik di ruang kerja."Terserah.""Mas minta, Maaf." Lirihn
"Mas minta maaf, Dik. Mas lelah."Aku diam saja. Wildan akhirnya mau tinggal sementara di rumah perempuan itu demi tak melihat aku dan ayahnya bertengkar."Bicaralah, Sayang. Mas akui Mas salah. Tapi, kali ini Mas mohon. Berikan kesempatan untuk Erna dekat dengan anaknya."Aku membalikkan badan. Menatap laki-laki yang telah menjadi suamiku itu duduk di pinggir ranjang."Terserah. Aku bukan Ibunya. Apapun yang kamu putuskan pada Wildan itu hak kamu. Aku tidak mau ikut campur." "Dik, plis jangan seperti ini."Aku kembali membelakangi Mas Nadhif. Aku tak suka laki-laki yang mudah dikuasai perasaannya oleh orang lain. Biar saja dia mikir sendiri. Baik buruk nya dia juga yang merasakan. Yang penting kelima anakku tetap dalam kendaliku. Walau, terkesan egois. Sebab, sakit sekali hatiku mendengar ucapan Mas Nadhif tadi.***Keesokan harinya, perempuan itu datang. Kali ini penampilannya sangat berbeda. Muka pucat tanpa irisan. Baju nya pun hanya piyama longgar yang menutupi tubuh kurusnya. D
"Saya tak akan pergi sebelum membawa Wildan tinggal dirumah saya.""Silahkan saja. Jika ingin tubuhmu yang kau obral dengan pakaian seksi itu di raba raba security saya. Saya tinggal teriak lalu mereka akan datang menarik kamu pergi dari sini."Dia gelagapan. Dengan cepat dia meraih tas tangannya di atas meja."Saya tak akan menyerah!" Ancamnya dengan wajah penuh amarah dia pergi lalu menaiki mobil merah yang terparkir di halaman rumah."Kenapa, Nduk?" ibu tergesa menghampiri. "Kenapa dia marah?" Lanjut Ibu khawatir.Aku kembali duduk. Mengingat wajah perempuan yang penuh amanah tadi. Sungguh tak terlihat dia adalah wanita yang sedang sek*rat."Aneh, Bu. Dia ngotot untuk membawa Wildan. Dan Tari juga ga melihat dia seperti orang yang sakit keras."Ibu menoleh ke arah mobil merah yang sudah menghilang dibalik gerbang. "Jangan jangan dia berbohong, Nduk.""Tari curiga seperti itu, Bu. Tapi, kata Mas Nadhif dia melihat sendiri hasil pemeriksaan medis mantan istrinya itu."Ibu duduk dis
"Ga perlu Mas jawab, aku paham kok."Mas Nadhif langsung meraih tanganku."Demi Allah, Dik. Mas sangat mencintai Adik. Dia hanya masa lalu yang tiba-tiba datang dan seakan membuka kembali luka yang telah lama Mas lupakan."Laki-laki itu menunduk menyembunyikan wajahnya yang mungkin sekarang sedang menahan tangis. Pasti sangat sakit ditinggal lagi sayang sayangnya. Apalagi dengan cara pengkhianatan yang sangat menyakitkan seperti yang dilakukan perempuan itu."Mas, aku gapapa kok, jika memang Mas harus menemui dia. Mungkin dengan kalian bicara, semua luka dihati Mas akan sembuh.""Gak! Ga Dek. Biarlah luka itu menjadi penghalang bagi Mas untuk melukai wanita lain. Mas tak mau adik sakit dengan masa lalu Mas."MasyaAllah, kenapa sekarang aku yang berkaca-kaca. Jujur, sebenarnya aku juga cemburu jika Mas Nadhif harus kembali membuka komunikasi dengan mantan istrinya itu. Rasanya tak ikhlas jika dia kembali datang tanpa perasaan bersalah lalu mendekati suami dan anakku. Kemarin kemana aja
Mataku berkaca-kaca. Bukan sedih, tapi terharu. Perhatian yang begitu besar dari suamiku menambah imun dan meningkatkan iman. Sehingga aku tak pernah merasakan stres walau setelah melahirkan dua bayi dalam satu waktu."Jangan nangis. Malu dong udah gede." Aku menghambur ke pelukan Mas Nadhif. Bibirku tak henti-henti mengucapkan terimakasih."Maaf ya, perawatannya terpaksa dirumah. Mas khawatir dengan kesehatan adik, jika kita keluar rumah sementara adik baru habis operasi.""Gapapa, Mas. Begini aja aku udah bahagia sekali. Makasih, Ya, Mas."Mas Nadhif mengangguk sambil mengusap lembut kepalaku. Hari ini aku merasa menjadi diriku yang dulu lagi. Creambath, perawatan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Hingga tanpa terasa waktu sudah menjelang siang. Adzan Zuhur terdengar dari mesjid di kampung sebelah. Aku meminta menyudahi kegiatan siang ini. "Anak anak ga rewel kok, Sayang. Kamu lanjutkan saja dulu." Mas Nadhif yang mendengar keluhanku terus meyakinkan."Kasian, Mas. Mereka pasti
"Erna, mantan istri Mas. Usianya tak lama, dokter memperkirakan tinggal 2 bulan lagi, Dik.""Ya Allah ..." Aku spontan menutup mulut dengan tangan. Walau sudah tak ada hubungan apa-apa diantara mereka, tapi aku cemburu. Aku dapat melihat rona sedih di wajah Mas Nadhif. Wajar sih bagaimanapun perempuan itu adalah ibu dari Wildan. Hubungan mereka takkan pernah terputus."Jadi bagaimana, Mas?"Mas Nadhif menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Lama kami sama-sama terdiam."Erna minta Wildan untuk menemani di hari-hari terakhirnya."Degh.Apa yang harus aku lakukan, Tuhan. Aku ingin melarang tapi perempuan itu mempunyai hak sebagai ibunya. Membiarkan Wildan tinggal sementara dengannya, entah kenapa hatiku tak rela."Menurut Mas, gimana?"Mas Nadhif menghela napas panjang. Lalu membuang pandang ke arah jendela."Dia sudah meninggalkan Wildan sejak lama. Bahkan, anak itu mengira ibunya sudah meninggal. Mas bingung. Jika membiarkan Wildan ikut mamanya, pasti dia akan sangat tak nyama
"Selamat ya Bu, Dua putrinya lahir dengan selamat, sempurna tanpa kurang suatu apapun."Putri? Sungguh dua anakku bayi bayi perempuan? Air mata jatuh di sudut mataku. Tak terbayang bahagianya Mas Nadhif, jika tahu anak kami keduanya perempuan. Dokter pun menyerahkan satu persatu bayi itu untuk kucium."Selamat datang, Sayang. Terimakasih sudah hadir dirahim Bunda ..." Bayi mungil itu diam begitu menyentuh tubuhku. Dada rasanya meledak karena begitu bahagia. Terimakasih ya, Allah ..***Setelah kondisi stabil aku pun dipindahkan ke ruang perawatan. Mas Nadhif menghampiriku dengan wajah berbinar begitu pintu ruang operasi terbuka."Sayang, dua anak kita sesuai harapan." Bisiknya. Berkali-kali dia mencium tanganku lalu beralih ke kepala."Terimakasih, Sayang .. terimakasih ..."Aku hanya mengangguk. Setetes air menetes lagi di ujung mata. Alhamdulillah ya Allah.Seminggu aku dirawat, akhirnya diperbolehkan pulang. Meski luka bekas operasi belum lah sembuh total karena tentu saja akan mem