Mas Nadhif menangis. Apalagi setelah hampir dua Minggu Wildan tak ada kabar. Polisi masih terus menyelidiki keberadaan anak sambungku itu. Kami hampir tiap hari bolak-balik ke kantor polisi menanyakan perkembangan kasusnya. Di setiap sujud aku juga selalu menyebut nama Wildan agar segera kembali dalam keadaan selamat dan tak kurang suatu apapun. Namun, kami masih diminta sabar. Belum ada titik terang."Dik, gimana jika Erna menjual anak kita?""Insya Allah nggak, Mas. Gak mungkin Mbak Erna setega itu terhadap darah dagingnya.""Tapi, dia tak punya hati meninggalkan Wildan saat dia masih bayi. Apa itu tanda dia punya perasaan?"Aku terdiam. Aku sendiri jangankan meninggalkan anak selamanya. Hanya berpisah beberapa saat saja aku sudah khawatir minta ampun."Dia itu bukan perempuan, Dik. Hatinya mati."Aku menghela napas panjang. Mau diapakan lagi. Berpendapat apapun tentang Erna tidak akan mengubah situasi. Yang ada nambah penyakit karena menahan cemas.Mobil sampai dihalaman rumah. An
Mobil melaju dengan kencang. Mas Fatan tak mau semua yang kami siapkan berakhir sia sia. Dia juga telah menyiapkan segala sesuatunya bersama rekan rekannya. Kami berpacu dengan waktu. Perempuan itu memberikan waktu selama dua hari. Sebelum waktunya berakhir, Wildan sudah harus kembali ke tangan kami.Mas Danu, Mas Bayu, Mas Rizieq, mereka jago beladiri. Tak lupa Mbak Vita ahli IT, sepanjang perjalanan dia memantau posisi Erna lewat sinyal ponsel yang kemarin dia gunakan menghubungiku. Dia pasti sudah merencanakan ini jauh jauh hari. Terbukti dengan keberadaan mereka yang jauh dari ibu kota."Dek, nanti biar kami yang menyelesaikan masalah ini. Kamu tunggu di mobil. Ini urusan laki-laki." Tegas Mas Fatan."Aku mau ikut, Mas. Wildan juga tanggung jawabku.""Kamu baru habis operasi, Dek. Kalau dia menyerang bagian perutmu itu akan sangat fatal." Benar juga. Tapi, aku belum puas jika belum menghadiahkan satu hantaman pada Erna. Perempuan licik yang bersembunyi dibalik kata sakit. "Tak a
Kini aku aku sampai di teras rumah tanpa halangan. Mengintip dari jendela, tapi memang tak ada apa-apa. Terlihat riskan jika aku masuk lewat pintu depan. Akhirnya aku mencoba lewat pintu belakang. Dari arah sana lah terdengar suara suara orang tertawa. Tak hanya satu tapi banyak. Laki-laki dan perempuan.Dengan sangat hati hati aku mengintip dari balik tembok. Mataku membola sempurna. Sungguh biad@p. Mas Fatan dan teman temannya sudah terikat dan dijejerkan di lantai. Ketiga laki-laki itu terlihat mengenaskan. Badannya basah, sepertinya baru saja di guyur air oleh salah satu dari mereka."Mau nyelamatin anak? Mimpi kalian. Apa yang sudah ditangan kami tak akan kami kembalikan." Si gendut tertawa lebar.Dadaku bergemuruh. Tak mungkin aku melawan 10 orang laki-laki dengan tubuh besar itu sendiri. Aku harus apa ya, Allah. Hati hati aku mundur perlahan. Aku harus mencari bantuan.Tepat melewati satu jendela yang sedikit terbuka aku berhenti."Makan! Kamu mau mati, ha!" Setelah itu terden
Baru saja mbak Vita mengutak-atik ponselnya dalam gelap malam ada yang mengetuk kaca mobil kami. Aku dan Mbak Vita sontak membelalakan mata. Untung pintu mobil sudah kukunci."Mba Tari ... Apa jangan jangan anak buah penjahat itu?"Aku masih berusaha mengenali orang orang yang berada diluar dari siluet cahaya yang mengenai tumbuhnya."Dik ... Dik ... Buka pintunya, Sayang."Suara Mas Nadhif terdengar dari luar. Aku dan Mbak Vita saling pandang. Tentu saja kami berdua mendengarkan suara yang sama. "Mas Nadhif?" Lirihku."Jangan, Mbak. Kali aja penjahat itu yang menyamar menjadi Mas Nadhif."Mbak Vita menahan tanganku yang hendak membuka pintu mobil yang memang terkunci dari dalam."Enggak Mbak. Aku yakin itu Mas Nadhif. Aku hafal kok suaranya dan panggilannya untukku."Bergegas aku membuka pintu dan ternyata benar Mas Nadhif berdiri dengan wajah cemas. Aku menghambur kepelukannya. Tak menyangka laki-laki yang kutinggalkan dalam keadaan lemah itu kini berdiri di hadapanku. "Maaf kan,
"Hahaha Tari! Aku gagal lagi bikin kamu sengsara. Lain kali ya, Tari. Aku pasti akan membuat kamu menderita seumur hidup. Kamu itu wanita pembawa sial. Kamu yang menyebabkan aku sebatang kara. Mama meninggal juga gara-gara kamu. Tunggu pembalasanku Tari!"Mas Arsen masih terus mengoceh meski tangannya sudah diborgol. "Lepas! Dia seharusnya kalian tahan!" Dibelakangnya Rani juga meronta ronta hendak melepaskan diri dari polisi."Diam! Kamu penjahatnya jangan menuduh orang yang seharusnya kamu mengemis maaf darinya. Siap siap kamu membusuk di penjara. Ingat, kasus Ammar aman memberat hukuman kalian!"Mas Fatan yang terlihat sangat emosi menimpali."Sudah, Mas. Biarkan saja. Jangan buang-buang energi. Orang-orang seperti itu akan selalu mencari kambing hitam atas kesalahan yang diperbuat sendiri."Aku menahan tangan Mas Fatan yang hendak menghampiri Mas Arsen."Tari ... Temani aku di penjara Tari. Kamu kan masih istriku. Tolong Tari lepaskan aku Tari."Mas Arsen terus meracau. Dia masih
"Biar Mas yang membukakan pintu, Dik. Kamu istirahat lah."Mas Nadhif dengan cekatan pergi keluar. Aku pun kembali merebahkan badan. Tulang terasa remuk semua. Terlebih perut bekas operasi secarku berdenyut perih. Apa aku terlalu banyak bergerak? Sembari istighfar mencoba memejamkan mata.Pintu terbuka."Dik, Ibu dan Mbak Rina datang dari Surabaya. Katanya mau melihat kamu dan si kembar." Wajah Mas Nadhif berbinar-binar. Aku pun sama. Meski, jujur saat ini aku tidak menginginkan kedatangan tamu, siapapun itu. Aku sangat lelah."Apa Mas cerita tentang penculikan Wildan pada Ibumu?" Entah kenapa aku merasa kedatangan mereka karena mengkhawatirkan Wildan. Bukan hanya sekedar ingin melihatku ataupun cucu kembarnya."Iya, Dik. Kemarin Mas menelpon Ibu. Minta do'anya agar Wildan segera diketemukan."Aku mengangguk angguk. Lantas bangun dan merapikan penampilanku yang pasti berantakan."Kalau Adik lelah, tidur ajalah, Sayang. Biar Ibu dan Mbak Rina juga Mas suruh istirahat juga.""Tak apa,
Aku meng-Aaminkan penuh harap. Sungguh ujian diawal pernikahan ini terasa berat. Tergoda dengan mantan yang akhirnya malah menjadi bencana.Setelah sarapan aku dan Mas Nadhif langsung ke kantor polisi untuk memberikan keterangan. Semua bukti yang kami punya akan memberatkan hukuman mereka. Mas Arsen, Rani dan Erna akan menyesali apa yang telah dia lakukan.Kali ini tak ada pertemuan lagi dengan mereka. Sepenuhnya mereka kami serahkan pada pihak yang berwajib, dia sekarang menjadi tanggungjawab polisi. Mas Nadhif pun sama. Semoga benar rasa cinta yang masih ada dihatinya sudah menguap tak bersisa.Menjelang sore kami sudah sampai di rumah."Nduk, ibu ijin ke rumah Fatan, ya. Mumpung ada ibu mertuamu di sini. Ibu ada kesempatan untuk menginap di rumah mas mu. Kasihan dia selama ini selalu mengalah. Karena Ibu lebih memilih tinggal bersamamu, Nduk."Aku menoleh ke arah Ibu. Saat ini kami sedang di taman. Ibu Mas Nadhif sedang asik bermain dengan anak anak. Kebetulan mereka sedang libur k
"Ammar! Ga boleh ngomong begitu, Nak. Tahan lisannya dari berkata yang akan menyakiti hati orang lain!" Sentakku."Sudah, Dik. Tak apa. Ammar masih kecil." Mas Nadhif yang mendengar bentakan kerasku keluar dari kamarnya. "Ammar ke kamar, yuk." Mas Nadhif membawa Ammar ke kamar. Setelah itu aku tak tau apa yang dia lakukan. Aku sudah fokus dengan ibu. Jalannya yang tak bisa cepat kubantu pelan pelan."Maafkan ibu, Nak ... Maafkan Ibu. Ibu sungguh tak sengaja, Ibu tak bisa menahannya. Maafkan Ibu ..." Suara ibu bergetar."Sudah, Bu. Bukan salah Ibu. Tari juga minta maaf atas perkataan Ammar ya, Bu." Aku terus menyiram dan membersihkan tubuh ibu dengan sabun. Tubuh tua nya agak menggigil karena dingin. Memang sudah saatnya aku memiliki water heater agar ibu tak kedinginan jika mandi di kamar mandi. Kemarin kemarin masih berpikir tak akan terpakai karena cuaca yang panas di jakarta ini.Tubuh bagian bawah ibu yang penuh kotoran telah kubersihkan. Kuabaikan bau menyengat yang menusuk nus
Alisa mendengus. "Dan aku ini anak yang rumahnya kalian tempati! Kalau Tante Rina dan Om Bayu masih mau tinggal di sini, tolong sadar diri!"Rina hendak membalas, tapi tiba-tiba Wildan, anak tiri Tari, muncul dari belakang. "Sudah, nggak usah ribut."Semua mata menoleh ke arahnya.Wildan menatap Rina dengan dingin. "Tante, aku sudah diam selama ini karena menghormati Ayah. Tapi kalau Tante dan suami Tante terus-terusan bikin suasana rumah ini nggak nyaman, lebih baik pergi.""Wildan—""Aku serius, Tante. Aku juga capek."Suasana semakin menegang. Rina dan Bayu jelas tak terima, tapi untuk pertama kalinya, mereka memilih diam.---Malam itu, Alisa dan Aleeya duduk berdua di kamar, membicarakan keadaan yang semakin kacau."Ayah makin nggak bisa diandalkan," bisik Aleeya.Alisa mengangguk. "Iya. Dia kayak nggak peduli lagi sama kita.""Tapi dia masih peduli sama Tante Rina, adiknya yang tak tau diri itu." Aleeya mendengus.Alisa menatap langit-langit dengan mata berkaca-kaca. "Bunda perg
Rumah itu tidak lagi terasa seperti rumah.Setelah beberapa hari Tari menghilang, suasana di dalamnya semakin tegang. Anak-anak mulai merasa kehilangan keseimbangan tanpa kehadiran ibu mereka.Nadhif, yang seharusnya menjadi sosok kuat dalam keluarga, justru semakin tenggelam dalam kebingungannya sendiri. Dia lebih sering mengurung diri di kamar, termenung dengan wajah kusut dan mata lelah. Setiap kali ditanya soal Bunda, jawabannya selalu sama:"Ayah sedang berusaha, sabar dulu."Tapi tidak ada usaha yang terlihat. Tidak ada penyelidikan serius, tidak ada pencarian besar-besaran. Bahkan polisi hanya mencatat laporan kehilangan Tari tanpa tindak lanjut berarti.Ini yang membuat Alisa dan Aleeya semakin muak."Ayah nggak peduli sama Bunda!" bentak Alisa suatu malam saat mereka makan bersama.Nadhif yang duduk di ujung meja mendongak dengan wajah lelah. "Alisa, jangan ngomong begitu. Ayah peduli.""Peduli? Peduli dari mana? Seharian Ayah cuma duduk diam, merokok di teras, atau termenung
Nadhif berdiri dengan tubuh menegang."Siapa orang itu?" tanyanya dengan suara serak.Alif memperbesar gambar, mencoba mencari detail yang lebih jelas. Sosok itu memakai masker dan topi, sehingga wajahnya sulit dikenali. Tapi ada satu hal yang mencurigakan. Ketika Tari limbung, sosok itu menoleh ke kamera CCTV.Sekilas, mata laki-laki itu terlihat. Tatapannya… tajam, penuh kebencian. Namun, sayang dia mengunakan masker membuat tak satupun mengenali orang tersebut.Dan Nadhif merasa pernah melihat tatapan itu sebelumnya. Tapi di mana? Pria paruh baya itu terus mencoba mengingat. Tapi, tak ada yang muncul dalam ingatannya.DI TEMPAT TARITari mencoba mempertahankan ketenangannya, meski jantungnya masih berdetak kencang."Apa yang kamu inginkan?" suaranya terdengar lebih tegas daripada yang ia kira.Sosok di hadapannya tersenyum tipis."Aku hanya ingin kita bicara. Tanpa gangguan dari siapa pun."Tari menelan ludah."Kamu nggak perlu sampai menculikku!" Orang itu menatapnya dalam-dalam.
Ruang itu gelap dan pengap. Udara yang masuk terasa begitu minim, membuat dada Tari sesak. Kepalanya masih terasa berat, efek dari sesuatu yang entah bagaimana telah membuatnya kehilangan kesadaran.Perlahan, dia mencoba menggerakkan tubuhnya. Pergelangan tangannya terasa sakit, dan ketika mencoba menariknya, dia sadar… tangannya diikat.Astaga… dimana aku?!Jantungnya berdegup kencang. Tari mengatur napasnya yang memburu, mencoba berpikir dengan jernih. Ia mengingat kejadian terakhir sebelum semuanya gelap.Pagi itu, dia keluar rumah dengan niat menenangkan diri. Dia berjalan ke arah taman kecil di sekitar kompleks, menghirup udara pagi yang segar untuk meredakan emosinya setelah pertengkaran besar dengan Nadhif.Tapi saat itulah… seseorang mendekatinya dari belakang.Tari mencoba mengingat wajah orang itu, tapi yang bisa diingatnya hanya bau menyengat—seperti campuran obat dan sesuatu yang asing.Dan sekarang, dia terbangun di tempat ini.Dengan sisa kekuatan yang ada, Tari mencoba
Bayu menatapnya tajam. "Jangan pikir aku bakal ceraiin kamu! Kamu milik aku, Rina!""Aku mau cerai!" Rina berteriak histeris.Bayu mendekat dengan gerakan mengancam, tapi kali ini Alif dan Ammar langsung berdiri di depan Rina, menghalangi pria itu."Kamu coba sentuh dia lagi, aku nggak bakal tinggal diam," suara Alif dingin. Meski sedikit kesal pada tantenya itu, tapi mereka tak terima Bayu menyakiti perempuan yang tak berdaya.Bayu menatap Alif dan Ammar dengan marah, tapi dia sadar dirinya kalah jumlah.Rina menangis tersedu-sedu di sofa.Di sisi lain, Nadhif menunduk. Dia tidak mengatakan apa pun, tetapi dari raut wajahnya, terlihat jelas bahwa dia terjebak di antara rasa bersalah dan kebodohannya sendiri.Dan di tengah semua kekacauan itu…Tari masih belum ditemukan.***Di sudut lain kota, di sebuah tempat yang gelap dan dingin, Tari duduk di lantai dengan tangan terikat di belakang.Mulutnya dibekap, matanya sembab.Dia telah menghabiskan waktu berjam-jam di ruangan itu, mendeng
Panik melanda rumah itu. Nadhif berdiri di ruang tengah dengan wajah tegang, sementara anak-anaknya berkumpul di sekelilingnya. Mereka semua sudah mencoba menghubungi Tari, tapi ponselnya masih tergeletak di kamar."Ayah, ini nggak wajar. Bunda nggak mungkin pergi begitu aja," suara Alisa bergetar.Alif yang baru tiba dari luar kota langsung bertanya, "Udah cari ke rumah sakit? Kantor polisi?""Belum, ayah pikir bundamu cuma butuh waktu sendiri," kata Nadhif pelan."Tapi sekarang udah dua hari, Yah!" Ammar menekan nada suaranya, tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.Baru saja mereka hendak mengambil langkah serius untuk mencari Tari, tiba-tiba suara gaduh terdengar dari depan rumah.BRAK!Pintu pagar didobrak kasar.Mereka semua menoleh ke arah suara itu.Di sana, berdiri seorang pria berusia empat puluhan, berperawakan tinggi besar dengan wajah sangar dan kumis tebal. Matanya merah, rambutnya berantakan, dan pakaiannya terlihat kusut.Itu Bayu.Suami Rina."Rina!!" suaranya menggel
"Masih banyak cara lain selain terus-menerus ngasih uang! Apa Mas nggak sadar kalau Mbak Rina itu memanfaatkan Mas?!"Nadhif menegang. "Jangan ngomong gitu, Tari. Mbak Rina bukan orang lain.""Justru karena dia bukan orang lain, seharusnya dia tahu diri!" suara Tari meninggi.Nadhif diam sejenak, lalu menggelengkan kepala. "Aku nggak mau bertengkar soal ini, Tari. Aku cuma ingin membantu kakakku."Tari mengepalkan tangannya. "Baik. Kalau Mas tetap mau memenuhi semua permintaan Mbak Rina tanpa peduli sama perasaan aku dan anak-anak, silakan. Tapi jangan salahkan aku kalau aku nggak bisa lagi bersikap baik."Setelah mengucapkan itu, Tari keluar dari kamar dengan perasaan campur aduk—kesal, marah, dan kecewa.Sementara itu, di luar kamar, Rina sedang duduk santai di ruang tamu, seolah tidak terjadi apa-apa.Dan Tari semakin yakin…Kakak iparnya ini tidak akan pergi dalam waktu dekat.Hari-hari berikutnya, suasana di rumah semakin tegang. Tari mulai menjaga jarak dari Nadhif. Dia lebih se
Hari-hari pertama, Tari masih mencoba bersabar dengan kehadiran Rina di rumah mereka. Tapi semakin lama, sikap kakak iparnya itu benar-benar menguji batas kesabarannya.Rina memperlakukan rumah Tari seolah miliknya sendiri.Pagi itu, Tari yang baru turun dari kamar langsung mengernyit saat melihat ruang tamunya berantakan.Baju-baju berserakan di sofa, beberapa wadah makanan kosong tergeletak begitu saja di meja, dan yang lebih parah, Rina sedang duduk santai di depan televisi sambil mengenakan daster Tari.Tari menghela napas panjang, mencoba menahan kesal. "Mbak Rina, ini baju aku, kan?"Rina menoleh sekilas, lalu terkekeh. "Iya, Tari. Maaf ya, tadi Mbak kedinginan. Aku lihat bajumu di lemari, jadi kupakai sebentar. Eh, enak banget bahannya!"Tari mengepalkan tangannya erat, mencoba tetap tersenyum. "Kalau Mbak butuh baju, bilang aja. Aku bisa kasih baju lain.""Ah, nggak usah repot-repot! Ini aja enak kok." Rina kembali fokus menonton sinetron di televisi, sama sekali tidak merasa
Jadi ini alasan sebenarnya Rina datang?—Keesokan harinya…Tari sedang duduk di ruang makan bersama anak-anaknya ketika suara bel rumah berbunyi keras.Dari dapur, Rina langsung berseru, "Ah, pasti paket pesanan aku nih!"Namun, saat Tari membuka pintu…Jantungnya langsung mencelos.Seorang pria bertubuh besar dengan wajah garang berdiri di ambang pintu. Matanya tajam, sorotannya mengancam.Bayu.Suami Rina."Mana istri saya?" suaranya berat dan dingin.Tari terdiam. Ketakutan yang baru saja mereda…Kini muncul lagi. Tari merasa dirinya trauma setelah kejadian kemarin itu.Belum sempat Tari menjawab, suara Rina langsung terdengar dari dalam rumah."Astaghfirullah! Ngapain kamu ke sini, Bayu?!"Rina muncul dari dapur dengan wajah ketakutan, tapi juga marah. Tari melihat ekspresi kakak iparnya berubah drastis—dari sebelumnya yang santai, kini penuh ketegangan.Bayu langsung masuk ke dalam rumah tanpa diundang, langkahnya kasar. Tari refleks mundur, sementara Nadhif yang baru saja kelua