"Buang saja, Mas. Aku tak mau mengingat kenangan pahit yang dulu pernah aku alami."Aku menyerahkan kado ter-ga jelas sepanjang masa itu pada Mas Nadhif. Mas Nadhif menerima lalu tersenyum."Sepertinya ada mantan yang menyesal telah membuang berlian." Mas Nadhif membuang kado beserta isinya itu ke tong sampah. Kecuali foto Mas Nadhif merobek potongan gambar yang ada Mas Arsen nya."Jangan meledek ku begitu, Mas." Aku merajuk."Itu Fakta, Sayang. Tapi, tak apa. Itu menandakan jika istriku ini bukan orang sembarangan. Mas bangga mendapatkan kamu, Dik."Mas Nadhif membelai kepalaku. Membantu membuka jilbab yang kukenakan dengan lembut.Perlahan, rambut sepunggungku terurai."MasyaAllah, Mas baru lihat Adik seperti ini," Tangannya terus membelai rambutku dan dengan lembut mendaratkan sebuah kecupan di kening."Maafkan jika sedari dulu aku sudah menyimpan rasa itu padamu. Disaat kamu masih menjadi miliknya."Aku tertawa lebar. Namun, segera menghentikan tawa yang tak seharusnya itu."Mun
"MasyaAllah, Dik. Kamu kenapa? Kok melamun?""Eh, enggak Mas. Aku gapapa."Mas Nadhif hanya tersenyum lalu mengendong Abrar ke kamar mandi. Hah? Aku selama ini tak pernah merasakan dimanja oleh suami. Tapi, dengan Mas Nadhif, aku seakan tak dibiarkan capek. Meski dia juga sibuk mengerjakan pekerjaannya di depan komputer. Namun, untuk pekerjaan rumah tangga dia dengan sigap membantu."Bu, biar Nadhif yang masak. Ibu istirahat aja. Nanti kalau udah mateng kita makan bareng-bareng.""Ndak usah, Nak. Biar ibu sama Bik Inah aja." Tolak ibu. Aku yang sedang menyelesaikan pekerjaan dari ruang tamu menyimak obrolan mereka."Gapapa, Bu. Bik Inah biar ngerjain pekerjaan yang lain. Saya udah lama ga masak. Takut lupa cara menyalakan kompor." Dia terkekeh."Ah, bisa aja. Bener nih, ibu tinggal?""Iya. Serahkan sama cheff Nadhif." Mereka tertawa. Ah, indahnya. Rumah tangga yang selama ini aku idam idamkan. Setiap waktu sholat Mas Nadhif juga disiplin mengiring anak anak ke mesjid. Begitu juga wak
Aku menatap nanar bangunan toko yang hangus dilalap si jago merah itu. Api dengan cepat melahap semua isi toko. Termasuk bangunan yang berada disebelahnya yang merupakan mess karyawan. Aku sengaja memberikan fasilitas untuk karyawan yang belum berkeluarga untuk tinggal disana. Tak besar, tapi tak juga kecil. "Gapapa, Sayang. Rejeki itu titipan. Setiap titipan pasti akan dimintai kembali oleh yang punya. Nanti Mas akan mencarikan tempat yang strategis untuk memulai usaha ini lagi, ya."Mas Nadhif merangkul pundakku. Dengan lemah kepala ini bersandar di bahunya. Meski tanpa air mata, hatiku tetap saja hancur. Perjuangan membangun toko sejak masih menjadi istri Mas Arsen. Sekarang tinggal kenangan. Bukan masalah materi, tapi lebih ke effort ku mengubah nasibku sendiri."Sabar, ya, Dek. InsyaAllah, Allah akan menggantikan dengan rejeki yang lebih banyak lagi." Ujar Mas Fatan dengan suara bergetar.Mas Fatan tentu lebih terpukul. Mata pencahariannya disana. Dia yang lebih banyak menghabis
"Sayang, Mas ikhlas. Mas Fatan itu abangmu, yang artinya Abang Mas juga. Ga salah kita membantu Mas Fatan untuk bangkit. Dia pasti sedih sekali atas musibah ini."Aku merebahkan diri ke dada Mas Nadhif. Sungguh bersyukur Allah memberikan suami seperti Mas Nadhif. Walau dia bekerja lewat komputer nya di rumah tapi tak pernah keberatan membantu pekerjaanku. Soal nafkah juga tak perlu itung-itungan. Setiap bulan aku diberi uang untuk kebutuhanku dan anak-anak. "Mas tau, adik punya uang lebih banyak dari yang Mas berikan. Tapi, Mas sangat berharap, adik ridho menerima yang sedikit ini."Ah, MasyaAllah sekali."Mas, aku sangat berterimakasih Mas. Walau aku bisa mencari uang. Tapi, uang pemberian suami jauh lebih nikmat ketika aku gunakan. Terimakasih banyak ya, Mas."Mas Nadhif mengecup puncak kepalaku. Begitu lah kehidupan kami terasa sangat sempurna. Rasa sakit memiliki suami yang tak peka kini digantikan dengan kehadiran Mas Nadhif yang nyaris tanpa cela. Hingga beberapa bulan kemudian
Aku dan Mas Nadhif saling pandang. Cemas." Maaf, Pak, Bu, saya curiga nih sama janinnya.""Curiga kenapa, Dok? Janin saya sehat kan, Dok?"Dokter cantik itu tersenyum."Tenang, InsyaAllah sehat. Kita coba USG transvag*n*l ya, Bu. Untuk memastikan."Suster dengan sigap membantuku. Dengan berdebar debar aku mengikuti arahan dokter untuk memposisikan diri agar pemeriksaannya cepat selesai.Mas Nadhif juga terlihat sangat khawatir."Tenang, Pak. Ga usah risau. Saya mau memastikan kecurigaan saya aja.""Iya nih, Dok. Saya cemas. Semoga ga kenapa-kenapa, ya, Dok.""Enggak. Bismillah, ya... ibu tarik napas yang dalam, ya ..."Perlahan aku merasakan ada sesuatu yang masuk ke jalan lahirku."Nah, benar, kan?"Dokter itu tersenyum sumringah. "Selamat, ya. Anaknya gamelly. Ada dua kantong janin di dalam."Tak sadar Mas Nadhif bertakbir kencang. Aku pun sama. Anugerah terindah yang Allah berikan disaat suamiku mengharapkan keturunan dariku. Selesai pemeriksaan dokter segera meresepkan vitamin.
Hari ini kabar mengejutkan datang dari Mas Fatan. Pelaku yang menyebabkan kebakaran toko sudah ditemukan. Seorang laki-laki yang juga memiliki toko kue yang sama di seberang jalan tokoku. Motifnya hanya iri karena melihat toko kami lebih rame dibanding tokonya. Malam itu dia menyiramkan bensin lalu membakar tempat usaha kami lalu melenggang tanpa dosa.Lewat rekaman cctv dari toko sebelah pelakunya dapat diringkus. "Syukurlah, pelakunya sudah ditangkap. Seharusnya dia tak perlu melakukan hal buruk begitu. Karena hanya merugikan diri sendiri. Anak Istri pasti akan goncang karena kepala keluarganya mendapat masalah besar."Aku terdiam. Tadinya aku sangat senang penjahat nya ditangkap. Berharap dipenjara dalam waktu yang lama. Tapi, mendengar ucapan Mas Nadhif aku malah jadi kasian. Kepikiran dengan anak dan istrinya. Biarlah semoga menjadi pembelajaran buat dia untuk lebih bijak lagi ketika melakukan sesuatu.Siang menjelang anak anak sedang kumpul di meja makan. Hari ini Alif dan Wilda
Hari perkiraan lahir makin dekat. Aku sudah kewalahan untuk berjalan. Perasaan juga makin tak menentu. Beruntung Mas Nadhif tak pernah lalai menjagaku. Setiap saat dia selalu menjagaku. Menggantikan peranku sementara merawat anak anak."Mas, kira kira siapa perempuan yang dimaksud Wildan, ya?"Mas Nadhif mengusap kepalaku. Matanya yang teduh menatapku lembut."Bukan siapa siapa. Kamu fokus sama anak kembar kita aja, ya. Ga usah mikir macam macam. Biar Mas yang menyelidiki siapa perempuan itu."Jawaban yang tidak membuatku puas."Apa jangan jangan mantan istri kamu, Mas? Yang berarti ibu kandungnya Wildan."Mas Nadhif menggeleng."Bukan. Semoga bukan. Ibu kandung Wildan sudah mati. Dia sudah mati di hatiku apalagi di hati Wildan. Ga usah nyebut nyebut perempuan itu lagi."Dari kalimat yang dia ucapkan jelas masih tersimpan rasa sakit hati yang sangat mendalam. Kecewa yang akhirnya menumbuhkan dendam meski tak harus dilampiaskan.Pagi ini aku memilih duduk di halaman depan sambil menikm
"Selamat ya Bu, Dua putrinya lahir dengan selamat, sempurna tanpa kurang suatu apapun."Putri? Sungguh dua anakku bayi bayi perempuan? Air mata jatuh di sudut mataku. Tak terbayang bahagianya Mas Nadhif, jika tahu anak kami keduanya perempuan. Dokter pun menyerahkan satu persatu bayi itu untuk kucium."Selamat datang, Sayang. Terimakasih sudah hadir dirahim Bunda ..." Bayi mungil itu diam begitu menyentuh tubuhku. Dada rasanya meledak karena begitu bahagia. Terimakasih ya, Allah ..***Setelah kondisi stabil aku pun dipindahkan ke ruang perawatan. Mas Nadhif menghampiriku dengan wajah berbinar begitu pintu ruang operasi terbuka."Sayang, dua anak kita sesuai harapan." Bisiknya. Berkali-kali dia mencium tanganku lalu beralih ke kepala."Terimakasih, Sayang .. terimakasih ..."Aku hanya mengangguk. Setetes air menetes lagi di ujung mata. Alhamdulillah ya Allah.Seminggu aku dirawat, akhirnya diperbolehkan pulang. Meski luka bekas operasi belum lah sembuh total karena tentu saja akan mem
Kini aku aku sampai di teras rumah tanpa halangan. Mengintip dari jendela, tapi memang tak ada apa-apa. Terlihat riskan jika aku masuk lewat pintu depan. Akhirnya aku mencoba lewat pintu belakang. Dari arah sana lah terdengar suara suara orang tertawa. Tak hanya satu tapi banyak. Laki-laki dan perempuan.Dengan sangat hati hati aku mengintip dari balik tembok. Mataku membola sempurna. Sungguh biad@p. Mas Fatan dan teman temannya sudah terikat dan dijejerkan di lantai. Ketiga laki-laki itu terlihat mengenaskan. Badannya basah, sepertinya baru saja di guyur air oleh salah satu dari mereka."Mau nyelamatin anak? Mimpi kalian. Apa yang sudah ditangan kami tak akan kami kembalikan." Si gendut tertawa lebar.Dadaku bergemuruh. Tak mungkin aku melawan 10 orang laki-laki dengan tubuh besar itu sendiri. Aku harus apa ya, Allah. Hati hati aku mundur perlahan. Aku harus mencari bantuan.Tepat melewati satu jendela yang sedikit terbuka aku berhenti."Makan! Kamu mau mati, ha!" Setelah itu terden
Mobil melaju dengan kencang. Mas Fatan tak mau semua yang kami siapkan berakhir sia sia. Dia juga telah menyiapkan segala sesuatunya bersama rekan rekannya. Kami berpacu dengan waktu. Perempuan itu memberikan waktu selama dua hari. Sebelum waktunya berakhir, Wildan sudah harus kembali ke tangan kami.Mas Danu, Mas Bayu, Mas Rizieq, mereka jago beladiri. Tak lupa Mbak Vita ahli IT, sepanjang perjalanan dia memantau posisi Erna lewat sinyal ponsel yang kemarin dia gunakan menghubungiku. Dia pasti sudah merencanakan ini jauh jauh hari. Terbukti dengan keberadaan mereka yang jauh dari ibu kota."Dek, nanti biar kami yang menyelesaikan masalah ini. Kamu tunggu di mobil. Ini urusan laki-laki." Tegas Mas Fatan."Aku mau ikut, Mas. Wildan juga tanggung jawabku.""Kamu baru habis operasi, Dek. Kalau dia menyerang bagian perutmu itu akan sangat fatal." Benar juga. Tapi, aku belum puas jika belum menghadiahkan satu hantaman pada Erna. Perempuan licik yang bersembunyi dibalik kata sakit. "Tak a
Mas Nadhif menangis. Apalagi setelah hampir dua Minggu Wildan tak ada kabar. Polisi masih terus menyelidiki keberadaan anak sambungku itu. Kami hampir tiap hari bolak-balik ke kantor polisi menanyakan perkembangan kasusnya. Di setiap sujud aku juga selalu menyebut nama Wildan agar segera kembali dalam keadaan selamat dan tak kurang suatu apapun. Namun, kami masih diminta sabar. Belum ada titik terang."Dik, gimana jika Erna menjual anak kita?""Insya Allah nggak, Mas. Gak mungkin Mbak Erna setega itu terhadap darah dagingnya.""Tapi, dia tak punya hati meninggalkan Wildan saat dia masih bayi. Apa itu tanda dia punya perasaan?"Aku terdiam. Aku sendiri jangankan meninggalkan anak selamanya. Hanya berpisah beberapa saat saja aku sudah khawatir minta ampun."Dia itu bukan perempuan, Dik. Hatinya mati."Aku menghela napas panjang. Mau diapakan lagi. Berpendapat apapun tentang Erna tidak akan mengubah situasi. Yang ada nambah penyakit karena menahan cemas.Mobil sampai dihalaman rumah. An
Seminggu kemudian berita mencengangkan datang dari orang yang pernah hampir menjadi bagian dari hidupku. Dokter Elzio, laki-laki itu ditangkap karena menyalahi kode etik. Memberikan keterangan palsu untuk pasien berdasarkan request. Bukan berdasarkan diagnosis. Untung Mas Nadhif tidak menghapus foto yang dikirim Erna waktu itu. Semua gambar itu menjadi acuan petugas untuk menyelidiki kasus penculikan Wildan."Berarti Erna tak sakit, Pak?" Tanya Mas NadhifPak polisi yang menangani kasus kami, mengangguk cepat."Surat keterangan itu palsu. Dibuat untuk kepentingan tertentu."Mas Nadhif hempas. Dia pasti tidak menyangka sama sekali jika perempuan itu tega membohonginya. Setelah menghabiskan uangnya yang diberikan cuma-cuma, sekarang anaknya menjadi korban. Entah bagaimana nasib Wildan saat ini. Mas Nadhif seperti orang linglung. Syok berat. Sehingga dia meminta istirahat di mobil menunggu semuanya selesai.Sebelum pulang aku meminta ijin untuk bertemu dokter Elzio yang sudah ditahan. Pe
Aku pun segera menyiapkan diri. Bersyukur asip masih banyak di kulkas. Sehingga aku tidak usah khawatir meninggalkan Alisha dan Aleeya."Ibu ikut." "Bu, biar Tari dan Mas Nadhif aja. Ibu tolong jagain anak-anak dirumah ya, Bu. Khawatir Bik Mira kewalahan jika mereka menangis.""Nanti kalau terjadi apa-apa dengan kamu gimana, Nduk?""InsyaAllah gapapa, Bu. Tari masih ingat jurus taekwondo yang dulu pernah tari pelajari kok.""Kamu habis melahirkan, Nduk. Luka di perutmu masih belum sepenuhnya sembuh. Ibu sungguh sangat khawatir, Nduk. Bagaimana kalau kita melaporkan ke polisi.""Ga usah dulu, Bu. Kita belum ada alasan untuk melaporkan kepada polisi. Wildan dibawa oleh ibu kandungnya. Polisi tidak akan menindak laporan kita."Ibu terdiam. Tapi, wajahnya masih saja menyimpan rasa cemas."Ibu do'akan saja, ya. InsyaAllah gapapaa." Tuturku."Iya, Bu. Nadhif akan menjaga Tari. Jika ada apa apa Nadhif akan menelpon polisi."Ibu tertunduk. Hingga akhirnya beliau menganggukkan kepalanya."Hat
"Mas kemarin nengokin Wildan kan? Gimana keadaannya?" Aku langsung mencecar Mas Nadhif dengan pertanyaan."Mas tak tau, Dik." Jawabnya pelan."Tak tau gimana? Kan kamu kemarin ke rumah Mbak Erna!" Suaraku sedikit meninggi. Agak gemas dengan jawaban dari suamiku itu.Mas Nadhif tampak salah tingkah. Sebelah tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Sesekali dia menatapku lalu kembali menunduk. Ibu pun menunggu jawaban dari menantunya itu dengan wajah penuh rasa penasaran."Kemarin Mas hanya ketemu Erna di kafe. Wildan ga ikut." Jawabannya membuat darahku kembali mendidih."Astaghfirullah, Mas! Mungkin memang udah takdirku kali ya, dapat suami yang ga amanah. Kalau masih tersakiti begini, buat apa aku menikah!" Suaraku bergetar hebat. Dada ini terasa sesak."Nduk ... Sabar ... Orang terdekat juga bisa menjadi ujian untuk kita. Jangan bicara seperti itu. Semua yang terjadi merupakan takdir yang harus kita jalani.""Tari capek, Bu. Mending jadi janda kalau punya suami hanya mena
"Keterlaluan mana membiarkan kamu pergi dengan perempuan yang jelas jelas ada hubungan dengan kamu di masa lalu? Maaf ya, Mas. Kalau kamu mau mesra mesraan dengan dia, mau so sweet, sweet an. Monggo! Silahkan. Sekalian kamu jangan pernah balik lagi ke rumah ini!"Mas Nadhif tertegun mendengar ucapanku yang berani. Aku sudah muak dengan drama laki-laki tak tau diri. Lebih baik memutus hubungan dari sekarang dari pada terulang lagi kejadian seperti dulu. Kebodohan yang nyatanya membuat hatiku membeku Tanpa menunggu jawaban darinya aku pergi begitu saja. ***Sudah dua hari Wildan pergi. Dua hari pula hubunganku dengan Mas Nadhif terasa dingin. Aku tak peduli. Aku menyibukkan diri dengan anak anak. Dan mulai menulis novel baru.Wildan sendiri dengan intensif mengirimkan aku pesan. Aku sengaja memberinya ponsel tanpa sepengetahuan Mas Nadhif. "Dik, mau sampai kapan kita seperti yang ini?" Mas Nadhif menghampiriku yang tengah mengetik di ruang kerja."Terserah.""Mas minta, Maaf." Lirihn
"Mas minta maaf, Dik. Mas lelah."Aku diam saja. Wildan akhirnya mau tinggal sementara di rumah perempuan itu demi tak melihat aku dan ayahnya bertengkar."Bicaralah, Sayang. Mas akui Mas salah. Tapi, kali ini Mas mohon. Berikan kesempatan untuk Erna dekat dengan anaknya."Aku membalikkan badan. Menatap laki-laki yang telah menjadi suamiku itu duduk di pinggir ranjang."Terserah. Aku bukan Ibunya. Apapun yang kamu putuskan pada Wildan itu hak kamu. Aku tidak mau ikut campur." "Dik, plis jangan seperti ini."Aku kembali membelakangi Mas Nadhif. Aku tak suka laki-laki yang mudah dikuasai perasaannya oleh orang lain. Biar saja dia mikir sendiri. Baik buruk nya dia juga yang merasakan. Yang penting kelima anakku tetap dalam kendaliku. Walau, terkesan egois. Sebab, sakit sekali hatiku mendengar ucapan Mas Nadhif tadi.***Keesokan harinya, perempuan itu datang. Kali ini penampilannya sangat berbeda. Muka pucat tanpa irisan. Baju nya pun hanya piyama longgar yang menutupi tubuh kurusnya. D
"Saya tak akan pergi sebelum membawa Wildan tinggal dirumah saya.""Silahkan saja. Jika ingin tubuhmu yang kau obral dengan pakaian seksi itu di raba raba security saya. Saya tinggal teriak lalu mereka akan datang menarik kamu pergi dari sini."Dia gelagapan. Dengan cepat dia meraih tas tangannya di atas meja."Saya tak akan menyerah!" Ancamnya dengan wajah penuh amarah dia pergi lalu menaiki mobil merah yang terparkir di halaman rumah."Kenapa, Nduk?" ibu tergesa menghampiri. "Kenapa dia marah?" Lanjut Ibu khawatir.Aku kembali duduk. Mengingat wajah perempuan yang penuh amanah tadi. Sungguh tak terlihat dia adalah wanita yang sedang sek*rat."Aneh, Bu. Dia ngotot untuk membawa Wildan. Dan Tari juga ga melihat dia seperti orang yang sakit keras."Ibu menoleh ke arah mobil merah yang sudah menghilang dibalik gerbang. "Jangan jangan dia berbohong, Nduk.""Tari curiga seperti itu, Bu. Tapi, kata Mas Nadhif dia melihat sendiri hasil pemeriksaan medis mantan istrinya itu."Ibu duduk dis