"Pak, tapi saya hanya jualan disini sebentar saja. Saat jam istirahat dan anak anak pulang sekolah. Dan saya juga selalu membersihkan sampah yang berserakan karena dagangan saya. Lalu kenapa saya dilarang jualan?""Maaf, Pak. Ini peraturan dari pihak sekolah untuk tidak memperkenankan para pedagang mangkal di depan sekolah. Alasannya untuk keamanan anak-anak dan kenyamanan para pengendara."Aku lemas. Tak ada lagi harapan untuk mendekati anakku. Kalau langsung menemui Tari itu sama saja mencari mati. Aku pun mengembalikan gerobak bakso pada yang punya. Omelan dan cacian kuterima dengan terpaksa. Tak ada semangat lagi untuk mencari uang."Mas, aku dikejar-kejar polisi karena melarikan mobil milik dokter Elzio. Aku kira laki-laki itu masih kekasih Mbak Tari. Rupanya mereka sudah putus dan tak mungkin kembali.. dokter itu ternyata tak waras."Monika ternyata sudah dirumah. Wajahnya terlihat sangat pucat. Apalagi tanpa dandanan. Sambil mengisap sebatang rokok, adikku menyembunyikan diriny
"Buang saja, Mas. Aku tak mau mengingat kenangan pahit yang dulu pernah aku alami."Aku menyerahkan kado ter-ga jelas sepanjang masa itu pada Mas Nadhif. Mas Nadhif menerima lalu tersenyum."Sepertinya ada mantan yang menyesal telah membuang berlian." Mas Nadhif membuang kado beserta isinya itu ke tong sampah. Kecuali foto Mas Nadhif merobek potongan gambar yang ada Mas Arsen nya."Jangan meledek ku begitu, Mas." Aku merajuk."Itu Fakta, Sayang. Tapi, tak apa. Itu menandakan jika istriku ini bukan orang sembarangan. Mas bangga mendapatkan kamu, Dik."Mas Nadhif membelai kepalaku. Membantu membuka jilbab yang kukenakan dengan lembut.Perlahan, rambut sepunggungku terurai."MasyaAllah, Mas baru lihat Adik seperti ini," Tangannya terus membelai rambutku dan dengan lembut mendaratkan sebuah kecupan di kening."Maafkan jika sedari dulu aku sudah menyimpan rasa itu padamu. Disaat kamu masih menjadi miliknya."Aku tertawa lebar. Namun, segera menghentikan tawa yang tak seharusnya itu."Mun
"MasyaAllah, Dik. Kamu kenapa? Kok melamun?""Eh, enggak Mas. Aku gapapa."Mas Nadhif hanya tersenyum lalu mengendong Abrar ke kamar mandi. Hah? Aku selama ini tak pernah merasakan dimanja oleh suami. Tapi, dengan Mas Nadhif, aku seakan tak dibiarkan capek. Meski dia juga sibuk mengerjakan pekerjaannya di depan komputer. Namun, untuk pekerjaan rumah tangga dia dengan sigap membantu."Bu, biar Nadhif yang masak. Ibu istirahat aja. Nanti kalau udah mateng kita makan bareng-bareng.""Ndak usah, Nak. Biar ibu sama Bik Inah aja." Tolak ibu. Aku yang sedang menyelesaikan pekerjaan dari ruang tamu menyimak obrolan mereka."Gapapa, Bu. Bik Inah biar ngerjain pekerjaan yang lain. Saya udah lama ga masak. Takut lupa cara menyalakan kompor." Dia terkekeh."Ah, bisa aja. Bener nih, ibu tinggal?""Iya. Serahkan sama cheff Nadhif." Mereka tertawa. Ah, indahnya. Rumah tangga yang selama ini aku idam idamkan. Setiap waktu sholat Mas Nadhif juga disiplin mengiring anak anak ke mesjid. Begitu juga wak
Aku menatap nanar bangunan toko yang hangus dilalap si jago merah itu. Api dengan cepat melahap semua isi toko. Termasuk bangunan yang berada disebelahnya yang merupakan mess karyawan. Aku sengaja memberikan fasilitas untuk karyawan yang belum berkeluarga untuk tinggal disana. Tak besar, tapi tak juga kecil. "Gapapa, Sayang. Rejeki itu titipan. Setiap titipan pasti akan dimintai kembali oleh yang punya. Nanti Mas akan mencarikan tempat yang strategis untuk memulai usaha ini lagi, ya."Mas Nadhif merangkul pundakku. Dengan lemah kepala ini bersandar di bahunya. Meski tanpa air mata, hatiku tetap saja hancur. Perjuangan membangun toko sejak masih menjadi istri Mas Arsen. Sekarang tinggal kenangan. Bukan masalah materi, tapi lebih ke effort ku mengubah nasibku sendiri."Sabar, ya, Dek. InsyaAllah, Allah akan menggantikan dengan rejeki yang lebih banyak lagi." Ujar Mas Fatan dengan suara bergetar.Mas Fatan tentu lebih terpukul. Mata pencahariannya disana. Dia yang lebih banyak menghabis
"Sayang, Mas ikhlas. Mas Fatan itu abangmu, yang artinya Abang Mas juga. Ga salah kita membantu Mas Fatan untuk bangkit. Dia pasti sedih sekali atas musibah ini."Aku merebahkan diri ke dada Mas Nadhif. Sungguh bersyukur Allah memberikan suami seperti Mas Nadhif. Walau dia bekerja lewat komputer nya di rumah tapi tak pernah keberatan membantu pekerjaanku. Soal nafkah juga tak perlu itung-itungan. Setiap bulan aku diberi uang untuk kebutuhanku dan anak-anak. "Mas tau, adik punya uang lebih banyak dari yang Mas berikan. Tapi, Mas sangat berharap, adik ridho menerima yang sedikit ini."Ah, MasyaAllah sekali."Mas, aku sangat berterimakasih Mas. Walau aku bisa mencari uang. Tapi, uang pemberian suami jauh lebih nikmat ketika aku gunakan. Terimakasih banyak ya, Mas."Mas Nadhif mengecup puncak kepalaku. Begitu lah kehidupan kami terasa sangat sempurna. Rasa sakit memiliki suami yang tak peka kini digantikan dengan kehadiran Mas Nadhif yang nyaris tanpa cela. Hingga beberapa bulan kemudian
Aku dan Mas Nadhif saling pandang. Cemas." Maaf, Pak, Bu, saya curiga nih sama janinnya.""Curiga kenapa, Dok? Janin saya sehat kan, Dok?"Dokter cantik itu tersenyum."Tenang, InsyaAllah sehat. Kita coba USG transvag*n*l ya, Bu. Untuk memastikan."Suster dengan sigap membantuku. Dengan berdebar debar aku mengikuti arahan dokter untuk memposisikan diri agar pemeriksaannya cepat selesai.Mas Nadhif juga terlihat sangat khawatir."Tenang, Pak. Ga usah risau. Saya mau memastikan kecurigaan saya aja.""Iya nih, Dok. Saya cemas. Semoga ga kenapa-kenapa, ya, Dok.""Enggak. Bismillah, ya... ibu tarik napas yang dalam, ya ..."Perlahan aku merasakan ada sesuatu yang masuk ke jalan lahirku."Nah, benar, kan?"Dokter itu tersenyum sumringah. "Selamat, ya. Anaknya gamelly. Ada dua kantong janin di dalam."Tak sadar Mas Nadhif bertakbir kencang. Aku pun sama. Anugerah terindah yang Allah berikan disaat suamiku mengharapkan keturunan dariku. Selesai pemeriksaan dokter segera meresepkan vitamin.
Hari ini kabar mengejutkan datang dari Mas Fatan. Pelaku yang menyebabkan kebakaran toko sudah ditemukan. Seorang laki-laki yang juga memiliki toko kue yang sama di seberang jalan tokoku. Motifnya hanya iri karena melihat toko kami lebih rame dibanding tokonya. Malam itu dia menyiramkan bensin lalu membakar tempat usaha kami lalu melenggang tanpa dosa.Lewat rekaman cctv dari toko sebelah pelakunya dapat diringkus. "Syukurlah, pelakunya sudah ditangkap. Seharusnya dia tak perlu melakukan hal buruk begitu. Karena hanya merugikan diri sendiri. Anak Istri pasti akan goncang karena kepala keluarganya mendapat masalah besar."Aku terdiam. Tadinya aku sangat senang penjahat nya ditangkap. Berharap dipenjara dalam waktu yang lama. Tapi, mendengar ucapan Mas Nadhif aku malah jadi kasian. Kepikiran dengan anak dan istrinya. Biarlah semoga menjadi pembelajaran buat dia untuk lebih bijak lagi ketika melakukan sesuatu.Siang menjelang anak anak sedang kumpul di meja makan. Hari ini Alif dan Wilda
Hari perkiraan lahir makin dekat. Aku sudah kewalahan untuk berjalan. Perasaan juga makin tak menentu. Beruntung Mas Nadhif tak pernah lalai menjagaku. Setiap saat dia selalu menjagaku. Menggantikan peranku sementara merawat anak anak."Mas, kira kira siapa perempuan yang dimaksud Wildan, ya?"Mas Nadhif mengusap kepalaku. Matanya yang teduh menatapku lembut."Bukan siapa siapa. Kamu fokus sama anak kembar kita aja, ya. Ga usah mikir macam macam. Biar Mas yang menyelidiki siapa perempuan itu."Jawaban yang tidak membuatku puas."Apa jangan jangan mantan istri kamu, Mas? Yang berarti ibu kandungnya Wildan."Mas Nadhif menggeleng."Bukan. Semoga bukan. Ibu kandung Wildan sudah mati. Dia sudah mati di hatiku apalagi di hati Wildan. Ga usah nyebut nyebut perempuan itu lagi."Dari kalimat yang dia ucapkan jelas masih tersimpan rasa sakit hati yang sangat mendalam. Kecewa yang akhirnya menumbuhkan dendam meski tak harus dilampiaskan.Pagi ini aku memilih duduk di halaman depan sambil menikm
“Karena aku juga bingung, Nay... Aku takut salah langkah. Aku takut makin nyakitin kamu atau Wildan.”“Tapi kamu suamiku, Mas. Seharusnya aku yang kamu pilih untuk dilindungi, walau aku tau Wildan juga adikmu. Tapi, kan kamu tahu betul jika aku tak bersalah.”Aku menelan ludah. Nayla benar. Dan rasanya, baru kali ini aku benar-benar merasa seperti suami yang gagal.“Maaf.”“Kalau maaf bisa nyembuhin semuanya, nggak akan ada rumah tangga yang retak, Mas,” katanya lirih.Lalu dia bangkit. Aku meraih tangannya."Nay, maafkan aku..aku berjanji ini tak akan terulang lagi. Aku akan selalu melindungi kamu apapun yang terjadi." Nayla menatapku dengan tatapan ragu. Ya Allah, sungguh istriku sendiri sudah kehilangan kepercayaan padaku. Apa yang harus aku lakukan?---Malamnya, aku duduk sendirian di ruang tamu. Merenung. Ponselku kembali bergetar.Nomor tak dikenal. Lagi."Kau pikir sudah tenang sekarang? Ulang tahun Gio tinggal dua minggu. Pastikan kau hadir. Karena malam itu... akan jadi mal
Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari menyelinap dari sela tirai, tapi tidak mampu menghangatkan udara dingin yang menggantung di rumah ini.Koper-koper sudah tertata di depan pintu. Aku dan Nayla memutuskan pindah sementara ke rumah lama kami—saran Bunda, demi menenangkan semuanya. Tapi rasa bersalah tetap menempel di dadaku, seperti luka yang belum mengering.Nayla diam saja sejak semalam. Wajahnya pucat, matanya bengkak. Tapi dia tidak menangis lagi. Dia hanya... kosong. Dan itu lebih menyakitkan.“Udah siap?” tanyaku pelan.Nayla mengangguk.Aku menggenggam tangannya. Dia tidak menggenggam balik.Saat kami keluar dari kamar, semua orang sudah berkumpul di ruang tengah. Bunda, Abrar, Ammar, Alisa, dan Aleeya. Wildan berdiri di depan jendela, membelakangi kami.“Maaf, semua,” ucapku lirih. “Aku dan Nayla akan pergi sementara. Bukan karena ingin kabur, tapi karena kami butuh ruang.”Bunda mengangguk, lalu memeluk Nayla erat-erat.“Jaga dirimu ya, Nak. Jangan p
Pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Kamu pikir pengakuan anak akan menyelesaikan semua? Aku belum selesai. Lihat saja apa yang akan terjadi di ulang tahun Gio bulan depan.”Aku terdiam.Ulang tahun?Berarti... ancaman ini belum berakhir.Bukan hanya tentang Naira.Bukan hanya tentang Wildan.Ada seseorang lain... yang masih ingin melihat keluarga kami hancur.***Siap banget! Kita lanjutkan dengan drama rumah tangga yang makin panas, penuh emosi, dan bikin pembaca gregetan. Kali ini, hubungan antar anggota keluarga makin diuji... terutama antara Tari, Nayla, dan Wildan—sementara masa lalu terus menghantui dan benih-benih luka baru mulai tumbuh. Yuk, lanjut ke Bab 7 yang makin dramatis!---Sudah lima hari sejak kedatangan Naira dan Gio, tapi bayangannya masih menempel di dinding-dinding rumah ini. Bahkan aroma bajunya terasa tertinggal di sofa, seperti ia belum benar-benar pergi.Wildan berubah. Ia jadi lebih pendiam. Lebih sering termenung sendirian di balkon kamar atas. Tak ada lag
Satu minggu setelah malam pengakuan itu, rumah kami seperti ladang ranjau.Setiap langkah, setiap tatapan, setiap bisikan... bisa meledakkan luka.Wildan jarang bicara. Nayla hampir tak pernah keluar kamar.Dan aku... aku berusaha tetap jadi “kepala keluarga” yang utuh. Tapi sebenarnya aku sendiri limbung.Sampai suatu sore, ketika hujan deras mengguyur dan suara petir saling sahut, bel rumah berbunyi.Bunda yang membukakan pintu.Dan di sanalah dia.Seorang perempuan muda berdiri di ambang pintu, dengan wajah pucat, mata lelah, dan tubuh yang tampak menggigil. Di sampingnya, berdiri seorang bocah kecil—sekitar empat tahun—berpayung biru, memeluk kaki ibunya dengan erat.“Naira...” bisik Bunda, nyaris tidak percaya.Aku berlari ke depan. Wildan yang sedang duduk di tangga langsung berdiri terpaku.Naira mengangkat wajah. Matanya menatap kami satu-satu.Lalu berkata dengan tenang, “Aku nggak datang buat minta maaf atau minta diampuni. Aku cuma mau satu hal: anakku diakui.”Semua membek
“Aku nggak bisa tidur semalaman,” katanya lagi, duduk di sebelahku, berbalut cardigan panjang. “Aku tahu aku salah. Tapi aku... aku cuma pengen kita semua hidup tenang.”Aku menatapnya. “Tenang dengan menyimpan rahasia sebesar itu, Nay? Kamu tahu kan Wildan itu adikku.”“Aku tahu.” Suaranya nyaris seperti bisikan. “Dan justru itu yang bikin aku bingung, Mas. Kalau aku jujur dari awal kamu pasti marah. Kamu pasti hancur.”Aku tertawa kecil—pahit. “Dan sekarang aku nggak hancur?”Dia menunduk.Aku ingin marah. Tapi aku juga tahu, Nayla nggak sepenuhnya salah.Semua ini... rumit.***Siangnya, rumah mulai ramai. Ammar pulang dari Bandung. Abrar juga akhirnya turun dari kamarnya, setelah sekian lama mengurung diri. Nayla sudah menyiapkan makan siang bersama.Tapi suasananya... dingin.Alisa dan Aleeya duduk di pojok ruang makan, tak bicara banyak. Mereka hanya saling pandang setiap kali nama “Wildan” atau “Naira” disebut.“Mbak,” kata Ammar akhirnya memecah sunyi, “aku nemu sesuatu di Twi
Malam itu, aku menatap Nayla dengan perasaan campur aduk.Aku mencintainya, tentu. Tapi... apa mungkin aku sebenarnya nggak benar-benar mengenalnya?Aku mengamati wajahnya yang tertidur di sebelahku. Damai. Tenang.Tapi kata-kata Wildan masih terngiang-ngiang di kepalaku:“Nama belakang pengirim surat itu sama dengan nama keluarga Nayla.”Aku tahu, Nayla anak tunggal. Tapi... dia pernah bilang punya sepupu-sepupu dari pihak ayahnya yang tinggal di luar kota. Salah satunya, katanya, sempat dekat banget pas kecil... tapi sekarang udah lost contact.Entah kenapa, perutku terasa mual mendadak.---Keesokan harinya, aku sengaja mengambil cuti dari kantor. Tujuanku jelas: aku harus cari tahu.Aku mulai dengan menyelidiki keluarga besar Nayla—sesuatu yang seharusnya kulakukan sebelum menikahinya.Dari hasil penelusuran online dan tanya-tanya ke kerabat yang datang waktu lamaran, aku mendapat satu nama mencurigakan:Kania Hanafiah.Nama ini juga yang muncul di sudut kecil amplop surat yang di
“Mas,” Nayla keluar membawa jaketku. “Dingin.”Aku menyambut jaket itu dan menatap istriku. “Kamu yakin dia nyebut nama Naira?”Nayla mengangguk pelan. “Aku enggak salah dengar. Dia nangis, Mas. Dan wajahnya penuh rasa bersalah.”Aku terdiam, mencoba mencerna. Wildan bukan tipe cowok sentimentil yang gampang nangis, apalagi sampai ngomong sendiri tengah malam. Itu bukan Wildan yang aku kenal.---Hari itu berlalu seperti biasa. Tapi ada satu hal yang terus menarik perhatianku: Wildan.Dia lebih pendiam dari biasanya. Setiap ditanya tentang aktivitasnya selama di Jogja, dia hanya menjawab pendek-pendek. Bahkan saat ditanya soal syuting, dia cuma bilang, “Lagi vakum.”Sampai akhirnya, saat malam mulai turun dan rumah mulai sepi, aku nekat mengetuk pintu kamarnya.Tok tok.“Dan, bisa ngobrol sebentar?”Suara di dalam kamar terdengar berat. “Masuk aja.”Aku membuka pintu perlahan. Wildan duduk di pojok kasur, hoodie masih dipakai meski udara cukup panas.“Ada apa, Kak?” tanyanya pelan.Ak
Aku menatap langit. “Dia paling ngerti gimana dulu Bunda jatuh dan bangkit. Aku tahu, dia pasti punya alasan kenapa ga datang.”Nayla mengangguk. “Tapi tetap aja rasanya aneh kalau dia ga muncul di hari spesialmu.”“Bukan cuma hari spesialku. Tapi hari Bunda juga. Aku cuma takut, jangan-jangan dia... ngerasa bukan bagian dari keluarga ini lagi.”Aku belum selesai bicara saat ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Aku nyalakan loudspeaker tanpa pikir panjang.“Hallo?” ucapku.“Kak Alif, ini... gue.”Suaranya berat. Terdengar seperti baru saja habis berlari atau menangis?“Wildan?”“Hm,” sahutnya pelan.Aku langsung berdiri dari kursi. Nayla ikut menegakkan duduknya.“Lu di mana, bro? Kita semua nungguin. Bahkan Bunda sering nanyain lu.”“Gue di Jogja,” katanya pelan.“Jogja? Serius? Ada apa?”Wildan diam lama. Napasnya terdengar lewat sambungan telepon. Lalu akhirnya, ia berkata, “Gue kabur dari lokasi syuting. Gue pulang ke rumah yang dulu. Rumah waktu nyokap gu
“Alhamdulillah, Tante. Justru saya bersyukur bisa tinggal dekat keluarga suami. Rumah ini hangat. Dan ibu mertua saya, Masya Allah... luar biasa baik dan perhatian.”Ibu yang sedang menyajikan es teh di meja, hanya tersenyum sopan, menimpali, “Namanya juga rumah keluarga, Bu Rosi. Kadang ramai, kadang ribut, tapi tetap saling jaga. Insya Allah, saya tidak akan ikut campur urusan rumah tangga mereka.”Aku bangga melihat Nayla bisa bersikap dewasa. Tapi suasana sedikit canggung setelah itu. Alisa dan Aleeya buru-buru mengganti topik dengan menawarkan permainan kartu di teras. Suasana kembali cair, tapi aku masih memikirkan tentang Damar dan tatapan aneh Abrar pagi tadi.Malamnya, setelah semua tamu pulang, aku menemui Abrar yang duduk di loteng sambil main gitar.“Bar... kamu kenal Damar?” tanyaku pelan.Abrar tak menjawab. Tapi petikan gitarnya berhenti. Ia menunduk, lalu berkata lirih.“Dulu... waktu aku kelas satu SMA, dia kakak kelasku. Sering nge-bully.”Aku terdiam. Tak menyangka.