Setelah kunjunganku ke rumah Pak Nadhif beberapa waktu lalu, hubunganku dengan keluarga itu semakin dekat. Wildan sering menginap disini, begitu juga dengan Alif. Anak itu selalu merengek agar aku mengijinkan dia tidur dirumah Wildan."Kalau sama Nadhif kamu ga ada perasaan, Nduk?"Ibu yang sedang menyiangi sayuran memancing dengan pertanyaan."Belum, Bu. Tari masih fokus sama karir Tari. Biaya pendidikan anak-anak besar. Tari mau mereka terpenuhi semua kebutuhannya hingga dewasa nanti. Apalagi Tari pernah gagal. Tari tak mau terulang lagi."Ikan dalam penggorengan sudah matang. Aku bergegas mengeluarkan dan menaruhnya di piring. Wanginya menguar ke penjuru dapur ini."Kamu tak gagal. Hanya diberikan ujian dengan pasangan yang terus menguji keimanan. Dan kamu berhasil melewati semuanya, kan?""Iya, sih, Bu. Tapi, untuk saat ini jangan dulu lah. Tari masih takut. Biarlah seiring berjalannya waktu, jalani aja dulu."Aku menghela napas. Tak kupungkiri, setiap berdoa aku selalu meminta jo
"Bun, mau, ya? Alif ingin merasakan makan bareng lagi seperti dulu waktu masih ada papa."Aku membuang napas panjang. Alif benar benar ingin punya seorang ayah seperti Wildan. Anak kelas 5 SD ini masih belum paham jika aku khawatir nanti akan menjadi fitnah. Secara Pak Nadhif juga seorang single parents."Kalau Alif sama Wildan aja gimana? Kan ada Ayahnya Wildan yang jagain. Bunda pulang duluan?" Tawarku pada Alif.Anak itu cemberut."Hayolah, Bu. Sesekali. Kasian Alif. Mereka sudah mengharapkan untuk hari ini."Akhirnya aku pasrah. Kami bersama menaiki mobil Pak Nadhif. Mobilku sendiri aku tinggal dan titipkan ke Pak satpam untuk nanti aku ambil.Wajah Alif langsung berbinar. Dengan riang mereka berlari ke arah dimana mobil Pak Nadhif terparkir."Lho? Wildan kok dibelakang?""Gapapa, Tante. Tante di depan aja. Aku mau duduk sama Alif. Kita mau ngobrol seru."Astaga ... Gimana ini? "Hayo, Bu. Silahkan. Gapapa di depan aja. Anak-anak biar dibelakang."Pak Nadhif membukakan pintu mobil
Perempuan itu melepaskan genggamannya dari Elzio. Wajahnya memerah marah."Awas kamu ya, Mbak! Kamu udah bikin abang dan ibuku sengsara. Aku tak akan membiarkan kamu bebas begitu saja!"Ingatanku langsung kembali. Monika. Pantas aku merasa tak asing dengan wajahnya. Sejak menikah hanya beberapa kali bertemu itupun di tahun pertama pernikahan kami. Anak itu katanya kuliah di Bandung. Tapi, sampai aku bercerai dengan abangnya tak pernah ada kabar apapun tetang dia. Entah sudah selesai kuliah, entah sudah kerja, aku tak tahu Mas Arsen tak pernah cerita."Kamu menyalahkan saya? Lupa ya? Makannya tanya sama Abang kamu itu? Selama menikah dengan saya, apa yang sudah dia lakukan pada saya dan anak-anak? Dan sekarang kamu menyalahkan saya? Apa ga terbalik?"Wajah Monika terdiam pucat. Raut garang yang tadi di sombongkan lenyap entah kemana. Dia kira aku masih Tari yang dulu. Sorry, ye!"Saya sudah muak berurusan dengan keluarga kalian. Jangan pernah ganggu keluarga saya lagi. Jika itu terjadi
Kami pun berjalan bersisian kembali ke meja. Wildan dan Alif ternyata sudah selesai makan. Untung mereka tidak tahu kejadian tadi dibelakang. Kasian mental anakku nanti.Usai makan kami pun segera pulang. Aku sendiri memilih memesan taksi online untuk kembali ke sekolah mengambil mobil. Namun, Pak Nadhif melarang dan memaksa mengantarku kesana. Sesampainya aku dan Alif memisahkan diri, pulang dengan mobilku sendiri. Kami pun beriringan dan berpisah di persimpangan."Bunda, Alif suka sama Om Nadhif. Sebenarnya, Om Nadhif itu baik banget tau, Bun. Rajin sholat. Kalau Alif main disana. Setiap adzan kita pasti ke mesjid."Aku tersenyum sambil terus fokus menyetir."Bunda juga suka ...""Bunda juga suka? Waah, asiiik, berarti bunda mau dong menikah dengan Om Nadhif? Horeee ... Horee ... Punya ayah baru ... Hore ...!"Aku yang sedang menyetir tersentak panik. "Alif ... Alif dengarkan bunda dulu.""Ga perlu lagi Bunda. Alif sudah senang bunda akhirnya jujur. Nanti Alif akan bilang ke Wildan
"Ibu gimana Tari aja, Nak. Ibu tidak mau memaksakan. Jika Tari bersedia, ibu pun tidak akan keberatan."Aduh, dadaku tiba-tiba bergemuruh. Suara itu sangat kukenal. Pasti Pak Nadhif. "Saya minta izin untuk bicara langsung dengan Tari, Bu.""Oh, boleh boleh, sebentar Ibu panggilkan, ya."Aku bergegas masuk ke kamar begitu mendengar langkah kaki ibu mendekat."Nduk, ada Nadhif diluar. Dia mau membicarakan sesuatu padamu." Aku menoleh, dada ini benar-benar tak bisa kompromi. Debarnya makin menjadi jadi."Mau membicarakan apa, Bu?" Tanyaku hanya untuk mengulur waktu. Ibu duduk disamping lalu merangkul pundakku."Nduk, Nak Nadhif mau melamar kamu. Sekarang dia menunggu diluar untuk menanyakan langsung. Keluar lah, temui dia. Jawab sesuai dengan hati nurani kamu. Jangan karena terpaksa atau karena merasa tak enak."Aku menundukkan kepala. Lalu menghirup udara dengan rakus. Mencoba menyelami ke dalam sana. Apakah jawaban yang terlintas dalam benak ini berasa dari sana atau hanya karena ha
Aku mengangguk cepat. Bersyukur Pak Nadhif sangat bijak tidak mendesakku atau menguasai pikiran ini. Dalam jeda waktu itu aku bisa meminta petunjuk pada Allah atas jawaban yang akan kuberikan nanti. Seminggu, InsyaAllah cukup untuk aku memutuskan.***"Benar dugaanmu, Dek. Arsen masih berkeliaran di sekolah. Mas tadi sudah menghajar dan mengancam akan memenjarakan dia jika masih berani mendekati Alif atau Ammar."Mas Fatan yang baru pulang dari sekolah Alif bercerita. Diwajahnya masih terlihat emosi."Lalu? Dia gimana, Mas?""Iya, Nak. Kamu yakin dia tak akan menganggu Alif lagi?"Ibu pun cemas."InsyaAllah setelah ini dia tak akan berani lagi datang ke sekolah Alif. Fatan juga sudah meminta tolong sama security untuk tidak mengijinkan orang lain menjemput Alif kecuali Fatan dan Tari, Bu."Aku dan ibu sama sama menghela napas lega. Walau, kekhawatiran ini tak sepenuhnya hilang. Aku yakin Mas Arsen mencari celah lain agar bisa bertemu Alif. Siang ini aku sendiri yang akan menjemput Al
Ternyata kehidupan Mas Elzio sudah berubah total, sangat jauh dari apa yang aku pernah lihat. Rumah mewahnya terjual karena sang dokter kecanduan judi online. Pertunangannya dengan dokter Viola juga kandas. Siapa yang sudi menikah dengan laki-laki yang hanya akan menjadi penyakit. Yang tersisa hanya mobil miliknya yang sekarang dibawa kabur Monika.Saat ini dia tak lagi bekerja di rumah sakit lantaran sering tidak masuk dan mengabaikan pasiennya. Tak disangka, kesempatan emas untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya, malah disia-siakan begitu saja."Lalu gimana Mas El ketemu dengan Monika, Bu?" Mami Karla mengusap air matanya yang sejak dia mulai bercerita sudah basah."Mami ga tau, Nak. Perempuan itu entah dari mana asalnya. Mami malah tidak tau jika Elzio punya hubungan dengan perempuan lain setelah putus dengan Viola."Sepertinya, Monika memang sengaja mendekati Mas El untuk mendekatiku. Beruntung aku dan laki-laki itu juga tak punya hubungan apa apa lagi. S
"InsyaAllah, saya bersedia menjadi ibu sambung untuk Wildan."Ibu dan Pak Nadhif secara bersamaan mengucapkan Alhamdulillah. Raut Pak Nadhif berubah cerah. "Terimakasih, Bu Tari. Saya berjanji akan menjadi suami yang baik dan ayah yang baik juga untuk anak-anak kita nanti."Hatiku mengharu biru. Semoga ya Allah, apa yang aku putuskan hari ini adalah yang terbaik untuk dunia dan akhiratku.Tak berlama-lama, seminggu kemudian keluarga besar Pak Nadhif datang melamar secara resmi. ibunya jauh jauh datang dari Surabaya untuk berkenalan denganku. Begitu juga dengan dua kakaknya yang selama ini tak pernah diceritakan Pak Nadhif, juga ikut serta. Serta kerabat lain yang aku belum kenal."Nadhif pandai mencari istri. Kamu cantik sekali, Nak." Ibu meraup wajahku begitu aku bersalaman dengannya."Iya, Bu. Nadhif ga pernah cerita jika calon istrinya ini penulis terkenal. Aku ga perlu repot-repot minta tanda tangan deh." Timpal perempuan berhijab biru yang merupakan kakak tertua Pak Nadhif."Ibu
“Karena aku juga bingung, Nay... Aku takut salah langkah. Aku takut makin nyakitin kamu atau Wildan.”“Tapi kamu suamiku, Mas. Seharusnya aku yang kamu pilih untuk dilindungi, walau aku tau Wildan juga adikmu. Tapi, kan kamu tahu betul jika aku tak bersalah.”Aku menelan ludah. Nayla benar. Dan rasanya, baru kali ini aku benar-benar merasa seperti suami yang gagal.“Maaf.”“Kalau maaf bisa nyembuhin semuanya, nggak akan ada rumah tangga yang retak, Mas,” katanya lirih.Lalu dia bangkit. Aku meraih tangannya."Nay, maafkan aku..aku berjanji ini tak akan terulang lagi. Aku akan selalu melindungi kamu apapun yang terjadi." Nayla menatapku dengan tatapan ragu. Ya Allah, sungguh istriku sendiri sudah kehilangan kepercayaan padaku. Apa yang harus aku lakukan?---Malamnya, aku duduk sendirian di ruang tamu. Merenung. Ponselku kembali bergetar.Nomor tak dikenal. Lagi."Kau pikir sudah tenang sekarang? Ulang tahun Gio tinggal dua minggu. Pastikan kau hadir. Karena malam itu... akan jadi mal
Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari menyelinap dari sela tirai, tapi tidak mampu menghangatkan udara dingin yang menggantung di rumah ini.Koper-koper sudah tertata di depan pintu. Aku dan Nayla memutuskan pindah sementara ke rumah lama kami—saran Bunda, demi menenangkan semuanya. Tapi rasa bersalah tetap menempel di dadaku, seperti luka yang belum mengering.Nayla diam saja sejak semalam. Wajahnya pucat, matanya bengkak. Tapi dia tidak menangis lagi. Dia hanya... kosong. Dan itu lebih menyakitkan.“Udah siap?” tanyaku pelan.Nayla mengangguk.Aku menggenggam tangannya. Dia tidak menggenggam balik.Saat kami keluar dari kamar, semua orang sudah berkumpul di ruang tengah. Bunda, Abrar, Ammar, Alisa, dan Aleeya. Wildan berdiri di depan jendela, membelakangi kami.“Maaf, semua,” ucapku lirih. “Aku dan Nayla akan pergi sementara. Bukan karena ingin kabur, tapi karena kami butuh ruang.”Bunda mengangguk, lalu memeluk Nayla erat-erat.“Jaga dirimu ya, Nak. Jangan p
Pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Kamu pikir pengakuan anak akan menyelesaikan semua? Aku belum selesai. Lihat saja apa yang akan terjadi di ulang tahun Gio bulan depan.”Aku terdiam.Ulang tahun?Berarti... ancaman ini belum berakhir.Bukan hanya tentang Naira.Bukan hanya tentang Wildan.Ada seseorang lain... yang masih ingin melihat keluarga kami hancur.***Siap banget! Kita lanjutkan dengan drama rumah tangga yang makin panas, penuh emosi, dan bikin pembaca gregetan. Kali ini, hubungan antar anggota keluarga makin diuji... terutama antara Tari, Nayla, dan Wildan—sementara masa lalu terus menghantui dan benih-benih luka baru mulai tumbuh. Yuk, lanjut ke Bab 7 yang makin dramatis!---Sudah lima hari sejak kedatangan Naira dan Gio, tapi bayangannya masih menempel di dinding-dinding rumah ini. Bahkan aroma bajunya terasa tertinggal di sofa, seperti ia belum benar-benar pergi.Wildan berubah. Ia jadi lebih pendiam. Lebih sering termenung sendirian di balkon kamar atas. Tak ada lag
Satu minggu setelah malam pengakuan itu, rumah kami seperti ladang ranjau.Setiap langkah, setiap tatapan, setiap bisikan... bisa meledakkan luka.Wildan jarang bicara. Nayla hampir tak pernah keluar kamar.Dan aku... aku berusaha tetap jadi “kepala keluarga” yang utuh. Tapi sebenarnya aku sendiri limbung.Sampai suatu sore, ketika hujan deras mengguyur dan suara petir saling sahut, bel rumah berbunyi.Bunda yang membukakan pintu.Dan di sanalah dia.Seorang perempuan muda berdiri di ambang pintu, dengan wajah pucat, mata lelah, dan tubuh yang tampak menggigil. Di sampingnya, berdiri seorang bocah kecil—sekitar empat tahun—berpayung biru, memeluk kaki ibunya dengan erat.“Naira...” bisik Bunda, nyaris tidak percaya.Aku berlari ke depan. Wildan yang sedang duduk di tangga langsung berdiri terpaku.Naira mengangkat wajah. Matanya menatap kami satu-satu.Lalu berkata dengan tenang, “Aku nggak datang buat minta maaf atau minta diampuni. Aku cuma mau satu hal: anakku diakui.”Semua membek
“Aku nggak bisa tidur semalaman,” katanya lagi, duduk di sebelahku, berbalut cardigan panjang. “Aku tahu aku salah. Tapi aku... aku cuma pengen kita semua hidup tenang.”Aku menatapnya. “Tenang dengan menyimpan rahasia sebesar itu, Nay? Kamu tahu kan Wildan itu adikku.”“Aku tahu.” Suaranya nyaris seperti bisikan. “Dan justru itu yang bikin aku bingung, Mas. Kalau aku jujur dari awal kamu pasti marah. Kamu pasti hancur.”Aku tertawa kecil—pahit. “Dan sekarang aku nggak hancur?”Dia menunduk.Aku ingin marah. Tapi aku juga tahu, Nayla nggak sepenuhnya salah.Semua ini... rumit.***Siangnya, rumah mulai ramai. Ammar pulang dari Bandung. Abrar juga akhirnya turun dari kamarnya, setelah sekian lama mengurung diri. Nayla sudah menyiapkan makan siang bersama.Tapi suasananya... dingin.Alisa dan Aleeya duduk di pojok ruang makan, tak bicara banyak. Mereka hanya saling pandang setiap kali nama “Wildan” atau “Naira” disebut.“Mbak,” kata Ammar akhirnya memecah sunyi, “aku nemu sesuatu di Twi
Malam itu, aku menatap Nayla dengan perasaan campur aduk.Aku mencintainya, tentu. Tapi... apa mungkin aku sebenarnya nggak benar-benar mengenalnya?Aku mengamati wajahnya yang tertidur di sebelahku. Damai. Tenang.Tapi kata-kata Wildan masih terngiang-ngiang di kepalaku:“Nama belakang pengirim surat itu sama dengan nama keluarga Nayla.”Aku tahu, Nayla anak tunggal. Tapi... dia pernah bilang punya sepupu-sepupu dari pihak ayahnya yang tinggal di luar kota. Salah satunya, katanya, sempat dekat banget pas kecil... tapi sekarang udah lost contact.Entah kenapa, perutku terasa mual mendadak.---Keesokan harinya, aku sengaja mengambil cuti dari kantor. Tujuanku jelas: aku harus cari tahu.Aku mulai dengan menyelidiki keluarga besar Nayla—sesuatu yang seharusnya kulakukan sebelum menikahinya.Dari hasil penelusuran online dan tanya-tanya ke kerabat yang datang waktu lamaran, aku mendapat satu nama mencurigakan:Kania Hanafiah.Nama ini juga yang muncul di sudut kecil amplop surat yang di
“Mas,” Nayla keluar membawa jaketku. “Dingin.”Aku menyambut jaket itu dan menatap istriku. “Kamu yakin dia nyebut nama Naira?”Nayla mengangguk pelan. “Aku enggak salah dengar. Dia nangis, Mas. Dan wajahnya penuh rasa bersalah.”Aku terdiam, mencoba mencerna. Wildan bukan tipe cowok sentimentil yang gampang nangis, apalagi sampai ngomong sendiri tengah malam. Itu bukan Wildan yang aku kenal.---Hari itu berlalu seperti biasa. Tapi ada satu hal yang terus menarik perhatianku: Wildan.Dia lebih pendiam dari biasanya. Setiap ditanya tentang aktivitasnya selama di Jogja, dia hanya menjawab pendek-pendek. Bahkan saat ditanya soal syuting, dia cuma bilang, “Lagi vakum.”Sampai akhirnya, saat malam mulai turun dan rumah mulai sepi, aku nekat mengetuk pintu kamarnya.Tok tok.“Dan, bisa ngobrol sebentar?”Suara di dalam kamar terdengar berat. “Masuk aja.”Aku membuka pintu perlahan. Wildan duduk di pojok kasur, hoodie masih dipakai meski udara cukup panas.“Ada apa, Kak?” tanyanya pelan.Ak
Aku menatap langit. “Dia paling ngerti gimana dulu Bunda jatuh dan bangkit. Aku tahu, dia pasti punya alasan kenapa ga datang.”Nayla mengangguk. “Tapi tetap aja rasanya aneh kalau dia ga muncul di hari spesialmu.”“Bukan cuma hari spesialku. Tapi hari Bunda juga. Aku cuma takut, jangan-jangan dia... ngerasa bukan bagian dari keluarga ini lagi.”Aku belum selesai bicara saat ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Aku nyalakan loudspeaker tanpa pikir panjang.“Hallo?” ucapku.“Kak Alif, ini... gue.”Suaranya berat. Terdengar seperti baru saja habis berlari atau menangis?“Wildan?”“Hm,” sahutnya pelan.Aku langsung berdiri dari kursi. Nayla ikut menegakkan duduknya.“Lu di mana, bro? Kita semua nungguin. Bahkan Bunda sering nanyain lu.”“Gue di Jogja,” katanya pelan.“Jogja? Serius? Ada apa?”Wildan diam lama. Napasnya terdengar lewat sambungan telepon. Lalu akhirnya, ia berkata, “Gue kabur dari lokasi syuting. Gue pulang ke rumah yang dulu. Rumah waktu nyokap gu
“Alhamdulillah, Tante. Justru saya bersyukur bisa tinggal dekat keluarga suami. Rumah ini hangat. Dan ibu mertua saya, Masya Allah... luar biasa baik dan perhatian.”Ibu yang sedang menyajikan es teh di meja, hanya tersenyum sopan, menimpali, “Namanya juga rumah keluarga, Bu Rosi. Kadang ramai, kadang ribut, tapi tetap saling jaga. Insya Allah, saya tidak akan ikut campur urusan rumah tangga mereka.”Aku bangga melihat Nayla bisa bersikap dewasa. Tapi suasana sedikit canggung setelah itu. Alisa dan Aleeya buru-buru mengganti topik dengan menawarkan permainan kartu di teras. Suasana kembali cair, tapi aku masih memikirkan tentang Damar dan tatapan aneh Abrar pagi tadi.Malamnya, setelah semua tamu pulang, aku menemui Abrar yang duduk di loteng sambil main gitar.“Bar... kamu kenal Damar?” tanyaku pelan.Abrar tak menjawab. Tapi petikan gitarnya berhenti. Ia menunduk, lalu berkata lirih.“Dulu... waktu aku kelas satu SMA, dia kakak kelasku. Sering nge-bully.”Aku terdiam. Tak menyangka.