"Mau pulang?" Aku yang sedang memijit mijit keyboard ponsel mau memesan taksi online mengangkat kepala. "Lho? Pak Nadhif?"Laki-laki itu tersenyum."Saya juga baru selesai ketemu klien, tadi niatnya mau langsung pulang. Kebetulan ketemu Bu Tari disini.""Hah? Serius Pak? Kok bisa kebetulan.""Yah, mungkin jodoh, Bu." Mataku membola."Hahah becanda, Bu. Hanya kebetulan. Klien saya juga di kantor ini." Ralat nya. Tapi masih menyisakan senyum, yang membuat hatiku tiba tiba berdebar aneh.Aku menghela napas lega. Kami serentak tertawa kecil. Ternyata ayahnya Wildan ini bisa juga mencairkan suasana. ***"Dek, mas bangga sama kamu. Jawaban kamu pada paparazi itu keren banget. Kelas!""Ah, biasa aja, Mas. Aku hanya bicara fakta." Timpalku."Iya, ibu pun seneng denger nya. Semoga setelah ini tak ada lagi berita miring tentang kamu ya, Nduk.""Iya, Bu. Aamiin semoga, Bu."Sore ini kami sedang duduk santai di depan. Ngeteh dan mengawasi anak-anak yang sedang lesehan di teras sambil mewarnai.
"janda? yang gatel? Ini saya kasih tau mana yang gantel itu, ya! Niiih ... Ini ... Rasakan nih. Makan tuh janda gatel." Ibu dengan beringas mengacak acak rambut Mami Karla dengan kedua tangannya. Mahkota yang pasti ditata di salon dengan bayaran mahal, seketika berubah seperti rambut emak emak yang habis diseruduk kerbau. Berantakan.Perempuan muda yang mirip dokter Viola yang tempo hari bertemu denganku itu berteriak-teriak. "Heh! beraninya keroyokan! Dasar kampungan. Ga tau malu. Lepas!" Pekiknya. Ibu tak menghiraukan. Tangannya tetap lincah mengeksekusi mami Karla yang terlihat memprihatinkan."Makan nih, janda. Anakmu yang gatal, nyamperin anakku terus, sekarang nuduh anakku yang gatal!" Ibu tak menghiraukan ocehan Dokter Viola, maupun lolongan mami yang memprihatinkan."Ampun, dasar kampungan! Lepas! Violaa ... Bantuin Mami, Vi!" Pekiknya.Mendengar Maminya berteriak memanggil, Viola seperti punya kekuatan untuk melepaskan diri. Pak Rudi jadi kewalahan.Aku ngefreeze, terpak
Setelah puas berorasi di depan, laki-laki itu mengirim pesan padaku. Aku membalas dengan mengirim emoticon "AMPUN SUHU!" eh, tak lama gambar profil laki-laki berjas putih mengenakan stetoskop itu berubah menjadi putih. Aku di blokir. Lucu sekali. Aku menaruh kembali ponsel di atas meja. Melanjutkan pekerjaanku di atas komputer. Terkadang hal hal seperti itu juga aku butuhkan agar tidak mengantuk ketika merangkai rangkai kata."Bunda, tadi kenapa sih, Bun? Siapa yang marah-marah sama kita?" Alif yang mulai paham situasi menghampiriku. Mengharap jawaban dari pertanyaan yang dia lontarkan."Ga ada, Sayang. Hanya orang yang tak rela kita berbuat baik, mengungkapkan kebenaran."Alif menunduk dalam."Kenapa, Sayang? Apa ada yang menganggu pikiranmu?"Alif kembali menatapku."Kemarin di sekolah teman teman ribut ngatain Alif anak pelakor, Bunda. Memang pelakor itu apa, Bunda?"Dadaku tiba-tiba bergemuruh. Ini akibatnya jika aku sedikit saja salah bertingkah."Ga sayang, bunda bukan pelakor.
"Maaf Pak, saya tak bisa!" Ucapku tegas."Ga bisa? Kamu bisa seperti sekarang ini karena saya, Tari. Kamu bisa setenar sekarang karena saya! Bisa bisanya kamu menolak saya, sementara diluar sana banyak yang mau menjadi istri saya."Telingaku berdenging mendengar ucapan laki-laki tau tahu diri ini. "Dengar ya, Pak Raka yang terhormat. Sebelum saya mengenal anda, tulisan saya sudah booming. Beberapa rumah produksi menawarkan kerjasama. Tapi, saya memilih Anda. Karena saya melihat anda profesional. Namun, jika anda menganggap keberhasilan saya karena anda. Mohon maaf, saya pamit. Beberapa waktu lalu Rans entertainment menawarkan kerjasama dengan saya. Kali ini saya akan terima.""Lho ... Lho Tari ...kok bawa bawa pekerjaan?"Aku tersenyum sinis."Anda yang duluan, kan! Silahkan buat surat pembatalan kerjasama. Kembalikan semua naskah naskah saya yang sudah masuk. Dan kita tak ada hubungan apa apa lagi!""Ga bisa gitu Tari! Gimana dengan cost yang selama ini keluar?""Hah, itu urusan and
"Bunda, Wildan udah tiga hari ini ga masuk sekolah." Pulang pulang Alif terlihat murung."Kenapa sayang? Wildan sakit?"Alif menggeleng."Alif ga tahu bunda. Ponselnya juga ga aktif. Kata Bu guru, Wildan lagi sakit dan berobat keluar kota bersama ayahnya. Apa dia mau pindah juga, Bun?"Anakku itu tampak sangat sedih. Wildan yang paling dekatnya. Berangkat ngaji pun bersama Aku mensejajarkan tubuh dengan Alif."Ga mungkin, kalau mau pindah dia pasti ngabarin Alif.""Bunda, kita kerumahnya aja, Yuk."Aku berpikir sejenak. Ga ada salahnya aku berkunjung, anggaplah menjalin silaturahmi karena Pak Nadhif juga orang baik. Sebelum kesana, aku pun belanja ke supermarket membeli beberapa jenis buah untuk Pak Nadhif dan cemilan untuk Wildan.Ammar dan Abrar aku titipkan pada Ibu. Khawatir jika nanti benar mereka sakit, dua anak ini akan menganggu istirahat mereka.Setelah semua beres aku dan Alif segera meluncur ke rumah Wildan. Sesampainya disana."Digembok, Bun. Jangan jangan benar mereka u
Setelah kunjunganku ke rumah Pak Nadhif beberapa waktu lalu, hubunganku dengan keluarga itu semakin dekat. Wildan sering menginap disini, begitu juga dengan Alif. Anak itu selalu merengek agar aku mengijinkan dia tidur dirumah Wildan."Kalau sama Nadhif kamu ga ada perasaan, Nduk?"Ibu yang sedang menyiangi sayuran memancing dengan pertanyaan."Belum, Bu. Tari masih fokus sama karir Tari. Biaya pendidikan anak-anak besar. Tari mau mereka terpenuhi semua kebutuhannya hingga dewasa nanti. Apalagi Tari pernah gagal. Tari tak mau terulang lagi."Ikan dalam penggorengan sudah matang. Aku bergegas mengeluarkan dan menaruhnya di piring. Wanginya menguar ke penjuru dapur ini."Kamu tak gagal. Hanya diberikan ujian dengan pasangan yang terus menguji keimanan. Dan kamu berhasil melewati semuanya, kan?""Iya, sih, Bu. Tapi, untuk saat ini jangan dulu lah. Tari masih takut. Biarlah seiring berjalannya waktu, jalani aja dulu."Aku menghela napas. Tak kupungkiri, setiap berdoa aku selalu meminta jo
"Bun, mau, ya? Alif ingin merasakan makan bareng lagi seperti dulu waktu masih ada papa."Aku membuang napas panjang. Alif benar benar ingin punya seorang ayah seperti Wildan. Anak kelas 5 SD ini masih belum paham jika aku khawatir nanti akan menjadi fitnah. Secara Pak Nadhif juga seorang single parents."Kalau Alif sama Wildan aja gimana? Kan ada Ayahnya Wildan yang jagain. Bunda pulang duluan?" Tawarku pada Alif.Anak itu cemberut."Hayolah, Bu. Sesekali. Kasian Alif. Mereka sudah mengharapkan untuk hari ini."Akhirnya aku pasrah. Kami bersama menaiki mobil Pak Nadhif. Mobilku sendiri aku tinggal dan titipkan ke Pak satpam untuk nanti aku ambil.Wajah Alif langsung berbinar. Dengan riang mereka berlari ke arah dimana mobil Pak Nadhif terparkir."Lho? Wildan kok dibelakang?""Gapapa, Tante. Tante di depan aja. Aku mau duduk sama Alif. Kita mau ngobrol seru."Astaga ... Gimana ini? "Hayo, Bu. Silahkan. Gapapa di depan aja. Anak-anak biar dibelakang."Pak Nadhif membukakan pintu mobil
Perempuan itu melepaskan genggamannya dari Elzio. Wajahnya memerah marah."Awas kamu ya, Mbak! Kamu udah bikin abang dan ibuku sengsara. Aku tak akan membiarkan kamu bebas begitu saja!"Ingatanku langsung kembali. Monika. Pantas aku merasa tak asing dengan wajahnya. Sejak menikah hanya beberapa kali bertemu itupun di tahun pertama pernikahan kami. Anak itu katanya kuliah di Bandung. Tapi, sampai aku bercerai dengan abangnya tak pernah ada kabar apapun tetang dia. Entah sudah selesai kuliah, entah sudah kerja, aku tak tahu Mas Arsen tak pernah cerita."Kamu menyalahkan saya? Lupa ya? Makannya tanya sama Abang kamu itu? Selama menikah dengan saya, apa yang sudah dia lakukan pada saya dan anak-anak? Dan sekarang kamu menyalahkan saya? Apa ga terbalik?"Wajah Monika terdiam pucat. Raut garang yang tadi di sombongkan lenyap entah kemana. Dia kira aku masih Tari yang dulu. Sorry, ye!"Saya sudah muak berurusan dengan keluarga kalian. Jangan pernah ganggu keluarga saya lagi. Jika itu terjadi
Pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Kamu pikir pengakuan anak akan menyelesaikan semua? Aku belum selesai. Lihat saja apa yang akan terjadi di ulang tahun Gio bulan depan.”Aku terdiam.Ulang tahun?Berarti... ancaman ini belum berakhir.Bukan hanya tentang Naira.Bukan hanya tentang Wildan.Ada seseorang lain... yang masih ingin melihat keluarga kami hancur.***Siap banget! Kita lanjutkan dengan drama rumah tangga yang makin panas, penuh emosi, dan bikin pembaca gregetan. Kali ini, hubungan antar anggota keluarga makin diuji... terutama antara Tari, Nayla, dan Wildan—sementara masa lalu terus menghantui dan benih-benih luka baru mulai tumbuh. Yuk, lanjut ke Bab 7 yang makin dramatis!---Sudah lima hari sejak kedatangan Naira dan Gio, tapi bayangannya masih menempel di dinding-dinding rumah ini. Bahkan aroma bajunya terasa tertinggal di sofa, seperti ia belum benar-benar pergi.Wildan berubah. Ia jadi lebih pendiam. Lebih sering termenung sendirian di balkon kamar atas. Tak ada lag
Satu minggu setelah malam pengakuan itu, rumah kami seperti ladang ranjau.Setiap langkah, setiap tatapan, setiap bisikan... bisa meledakkan luka.Wildan jarang bicara. Nayla hampir tak pernah keluar kamar.Dan aku... aku berusaha tetap jadi “kepala keluarga” yang utuh. Tapi sebenarnya aku sendiri limbung.Sampai suatu sore, ketika hujan deras mengguyur dan suara petir saling sahut, bel rumah berbunyi.Bunda yang membukakan pintu.Dan di sanalah dia.Seorang perempuan muda berdiri di ambang pintu, dengan wajah pucat, mata lelah, dan tubuh yang tampak menggigil. Di sampingnya, berdiri seorang bocah kecil—sekitar empat tahun—berpayung biru, memeluk kaki ibunya dengan erat.“Naira...” bisik Bunda, nyaris tidak percaya.Aku berlari ke depan. Wildan yang sedang duduk di tangga langsung berdiri terpaku.Naira mengangkat wajah. Matanya menatap kami satu-satu.Lalu berkata dengan tenang, “Aku nggak datang buat minta maaf atau minta diampuni. Aku cuma mau satu hal: anakku diakui.”Semua membek
“Aku nggak bisa tidur semalaman,” katanya lagi, duduk di sebelahku, berbalut cardigan panjang. “Aku tahu aku salah. Tapi aku... aku cuma pengen kita semua hidup tenang.”Aku menatapnya. “Tenang dengan menyimpan rahasia sebesar itu, Nay? Kamu tahu kan Wildan itu adikku.”“Aku tahu.” Suaranya nyaris seperti bisikan. “Dan justru itu yang bikin aku bingung, Mas. Kalau aku jujur dari awal kamu pasti marah. Kamu pasti hancur.”Aku tertawa kecil—pahit. “Dan sekarang aku nggak hancur?”Dia menunduk.Aku ingin marah. Tapi aku juga tahu, Nayla nggak sepenuhnya salah.Semua ini... rumit.***Siangnya, rumah mulai ramai. Ammar pulang dari Bandung. Abrar juga akhirnya turun dari kamarnya, setelah sekian lama mengurung diri. Nayla sudah menyiapkan makan siang bersama.Tapi suasananya... dingin.Alisa dan Aleeya duduk di pojok ruang makan, tak bicara banyak. Mereka hanya saling pandang setiap kali nama “Wildan” atau “Naira” disebut.“Mbak,” kata Ammar akhirnya memecah sunyi, “aku nemu sesuatu di Twi
Malam itu, aku menatap Nayla dengan perasaan campur aduk.Aku mencintainya, tentu. Tapi... apa mungkin aku sebenarnya nggak benar-benar mengenalnya?Aku mengamati wajahnya yang tertidur di sebelahku. Damai. Tenang.Tapi kata-kata Wildan masih terngiang-ngiang di kepalaku:“Nama belakang pengirim surat itu sama dengan nama keluarga Nayla.”Aku tahu, Nayla anak tunggal. Tapi... dia pernah bilang punya sepupu-sepupu dari pihak ayahnya yang tinggal di luar kota. Salah satunya, katanya, sempat dekat banget pas kecil... tapi sekarang udah lost contact.Entah kenapa, perutku terasa mual mendadak.---Keesokan harinya, aku sengaja mengambil cuti dari kantor. Tujuanku jelas: aku harus cari tahu.Aku mulai dengan menyelidiki keluarga besar Nayla—sesuatu yang seharusnya kulakukan sebelum menikahinya.Dari hasil penelusuran online dan tanya-tanya ke kerabat yang datang waktu lamaran, aku mendapat satu nama mencurigakan:Kania Hanafiah.Nama ini juga yang muncul di sudut kecil amplop surat yang di
“Mas,” Nayla keluar membawa jaketku. “Dingin.”Aku menyambut jaket itu dan menatap istriku. “Kamu yakin dia nyebut nama Naira?”Nayla mengangguk pelan. “Aku enggak salah dengar. Dia nangis, Mas. Dan wajahnya penuh rasa bersalah.”Aku terdiam, mencoba mencerna. Wildan bukan tipe cowok sentimentil yang gampang nangis, apalagi sampai ngomong sendiri tengah malam. Itu bukan Wildan yang aku kenal.---Hari itu berlalu seperti biasa. Tapi ada satu hal yang terus menarik perhatianku: Wildan.Dia lebih pendiam dari biasanya. Setiap ditanya tentang aktivitasnya selama di Jogja, dia hanya menjawab pendek-pendek. Bahkan saat ditanya soal syuting, dia cuma bilang, “Lagi vakum.”Sampai akhirnya, saat malam mulai turun dan rumah mulai sepi, aku nekat mengetuk pintu kamarnya.Tok tok.“Dan, bisa ngobrol sebentar?”Suara di dalam kamar terdengar berat. “Masuk aja.”Aku membuka pintu perlahan. Wildan duduk di pojok kasur, hoodie masih dipakai meski udara cukup panas.“Ada apa, Kak?” tanyanya pelan.Ak
Aku menatap langit. “Dia paling ngerti gimana dulu Bunda jatuh dan bangkit. Aku tahu, dia pasti punya alasan kenapa ga datang.”Nayla mengangguk. “Tapi tetap aja rasanya aneh kalau dia ga muncul di hari spesialmu.”“Bukan cuma hari spesialku. Tapi hari Bunda juga. Aku cuma takut, jangan-jangan dia... ngerasa bukan bagian dari keluarga ini lagi.”Aku belum selesai bicara saat ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Aku nyalakan loudspeaker tanpa pikir panjang.“Hallo?” ucapku.“Kak Alif, ini... gue.”Suaranya berat. Terdengar seperti baru saja habis berlari atau menangis?“Wildan?”“Hm,” sahutnya pelan.Aku langsung berdiri dari kursi. Nayla ikut menegakkan duduknya.“Lu di mana, bro? Kita semua nungguin. Bahkan Bunda sering nanyain lu.”“Gue di Jogja,” katanya pelan.“Jogja? Serius? Ada apa?”Wildan diam lama. Napasnya terdengar lewat sambungan telepon. Lalu akhirnya, ia berkata, “Gue kabur dari lokasi syuting. Gue pulang ke rumah yang dulu. Rumah waktu nyokap gu
“Alhamdulillah, Tante. Justru saya bersyukur bisa tinggal dekat keluarga suami. Rumah ini hangat. Dan ibu mertua saya, Masya Allah... luar biasa baik dan perhatian.”Ibu yang sedang menyajikan es teh di meja, hanya tersenyum sopan, menimpali, “Namanya juga rumah keluarga, Bu Rosi. Kadang ramai, kadang ribut, tapi tetap saling jaga. Insya Allah, saya tidak akan ikut campur urusan rumah tangga mereka.”Aku bangga melihat Nayla bisa bersikap dewasa. Tapi suasana sedikit canggung setelah itu. Alisa dan Aleeya buru-buru mengganti topik dengan menawarkan permainan kartu di teras. Suasana kembali cair, tapi aku masih memikirkan tentang Damar dan tatapan aneh Abrar pagi tadi.Malamnya, setelah semua tamu pulang, aku menemui Abrar yang duduk di loteng sambil main gitar.“Bar... kamu kenal Damar?” tanyaku pelan.Abrar tak menjawab. Tapi petikan gitarnya berhenti. Ia menunduk, lalu berkata lirih.“Dulu... waktu aku kelas satu SMA, dia kakak kelasku. Sering nge-bully.”Aku terdiam. Tak menyangka.
Hari itu masih pagi, tapi rumah sudah seperti pasar kecil. Tawa bercampur dengan aroma sarapan yang menggoda. Ayam goreng, nasi uduk, sambal teri, dan tahu bacem memenuhi meja makan. Ibu memang selalu tahu caranya membuat momen-momen sederhana terasa istimewa.Nayla duduk bersamaku di ruang tamu setelah kami selesai sarapan. Di tangannya, ada album foto pernikahan semalam yang sudah dicetak kilat oleh fotografer langganan. Dia membuka satu per satu, tersenyum melihat ekspresi wajahku yang katanya "kaku banget kayak patung lilin."“Lif, kamu beneran tegang banget semalam. Nih lihat, senyumnya kayak dipaksa.”Aku mengintip. “Itu namanya senyum ikhlas penuh tanggung jawab.”Nayla tergelak, “Penuh tanggung jawab atau penuh rasa takut?”Aku mencubit hidungnya pelan. “Takut kamu kabur sebelum akad.”Dia mencibir manja, lalu kembali membalik lembar demi lembar album itu. Di sela-sela itu, matanya tiba-tiba berhenti. Wajahnya berubah sedikit lebih tenang, tapi ada sesuatu yang kupahami dari t
Aku mendekat. Duduk di sampingnya.“Lelah?” bisikku.Dia angkat kepala pelan, matanya lembut menatapku. “Sedikit. Tapi hatiku senang.”Aku tersenyum. Menggenggam tangannya. “Terima kasih, Nay. Sudah mau menikah denganku. Anak sulung dari keluarga ramai, kadang ribut, kadang absurd tapi penuh cinta.”Dia tertawa kecil, lalu bersandar di bahuku. “Justru itu yang bikin aku jatuh cinta. Keluarga kamu hangat. Aku bisa lihat dari cara kamu memperlakukan adik-adikmu, cara kamu menatap ibumu, dan bahkan cara kamu bicara ke ayah walau dia bukan ayah kandungmu. kamu anak sulung yang tidak pernah lelah menjaga mereka dan menjadi panutan.”Aku menghela napas pelan. Ada haru yang menggantung di kerongkongan.“Dan kamu... adalah istirahat terbaik dari semua lelah itu,” ucapku akhirnya.Nayla tersenyum lagi. Tapi kali ini, senyumnya membawa damai yang tak bisa digambarkan. Kami tidak saling bicara lama setelah itu. Hanya saling menatap. Memeluk. Dan saling berjanji dalam diam: untuk saling menjaga,