"Lho, mau dibawa kemana perabotan Arsen? Hentikan! Ini bukan punya Tari!" Teriak Mama."Tari, hentikan! Ini barang-barangku! Kamu ga ada hak untuk membawa ini semua!" Aku pun ikut mencegah. Tapi, tak ada yang mempedulikan. Tari, sibuk mengarahkan orang-orang sewaan nya untuk mengangkut barang.Hampir sejam semuanya beres dimasukkan ke dalam truk. Meski Mama berteriak-teriak melarang, percuma mereka bekerja seperti tak punya telinga.Rumah sudah kosong melompong. Sofa, lemari bahkan karpet dilantai saja dibawa Tari. Hanya kasur rusak dikamar utama yang tersisa."Itu kado pernikahan dariku."lirih Tari tanpa menatapku sama sekali."Dek, tolong, mas minta maaf." Aku menarik tangannya. Tapi, perempuan itu menepis kasar."Kamu ga ingat perjanjian kita, Mas? Jika kamu menikah, semua yang pernah kita miliki bersama menjadi milikku dan anak-anak. Bersyukur kamu masih kuijinkan untuk tinggal.""Tapi, aku masih suamimu!" Aku memelas. Gimana aku hidup jika semuanya dibawa oleh Tari."Apa kamu ga
"Kira-kira laku berapa, ya, Ar?" Tanya Mama ketika kami sedang makan."500juta lebih itu, Ma!" Timpal Rani. "Kalau laku segitu, belikan aku kalung ya, Mas!" Lanjutnya."Kok kalung, kalian kan belum punya rumah." Timpal Mama."Kan sementara bisa tinggal disini, nemenin Mama." Jawab Rani sembari tersenyum. Aku melirik ke arah Mama yang tampak tak suka."Kalau sementara, boleh. Tapi, kalau selamanya, ga bisa." Mama menekan ucapannya."Nanti selesai kuliah Monik pasti akan tinggal disini."lanjutnya lagi."Iya, Ma. Tenang aja. Arsen pastikan sebelum Monik selesai pendidikan. Arsen dan Rani sudah memiliki rumah sendiri." "Bagus. Kalian harus mandiri. Kayak dulu sama Tari." Sahut mama. Hal itu membuat Rani mencebikkan bibir. Beruntung Mama tak melihat reaksi Rani.Hampir dua Minggu aku dirumah saja. Pemasukan tak ada. Kami makan dari hasil penjualan perhiasan Mama."Gimana rumah sudah laku, Ar?" Tanya Mama.Aku yang masih kebingungan mencari dokumen rumah itu hanya diam."Arsen!" Sentak Ma
Mendengar perdebatan kami, suara anak-anak yang sedang becanda di dalam terhenti. "Papa ..." Pekik Alif dari jauh, disampingnya Ammar yang menatapku datar."Alif, sini, sayang." Aku melambaikan tangan. Namun, Alif menggeleng-gelengkan kepalanya."Kenapa? Yuk, sama Papa. Kita beli mainan yuk." Bujukku."Ga mau, Papa. Mainan Alif dan Ammar sudah banyak dibelikan teman-teman Mama. Teman-teman Mama baik-baik, Pa. Alif juga dikasih jajanan yang banyak." Ciloteh Alif. "Tuh, anak anda aja udah ga butuh anda, Pak. Pulang aja sana. Sebelum Mas Fatan datang. Saya dengar Mas Fatan alergi banget sama kamu, bawaannya pengen makan orang katanya."" Ledek laki-laki yang bernama Elzio itu."Diam! Kau hanya orang luar!" "Iya, sayangnya orang luar ini akan segera masuk dalam kehidupan mantan istri anda!" jawabnya tegas."Jangan mimpi! Saya tak akan pernah menceraikan Tari. Kami sudah punya tiga anak. Mana mungkin kami berpisah lalu mengorbankan anak-anak."Laki-laki itu tertawa terbahak-bahak. "Anda
"Kenapa, Ma?" Suara tangis Mama makin kencang."Mama rasanya ga kuat kalau Rani tinggal disini. Kamu lihat di kamar dan ruang tamu. Istri kamu udah seperti ratu disini. Mama capek. Mama mau kamu segera bawa istri kamu dari sini. Mama lebih baik tinggal sendiri seperti dulu, Ar." Isak Mama. Aku menghela napas panjang. Rani sudah berkali kali aku mengatakan jika dia harus membantu Mama jika mau tinggal disini."Maafkan Rani, ya, Ma. Arsen akan mengingatkan dia lagi." Mama masih terisak. Aku meninggalkan beliau dan masuk ke dalam. Benar saja ruang tamu berantakan. Kulit kuaci bertebaran di atas lantai. tapi, tak ada Rani. Aku berjalan cepat ke kamar. Mataku membola. Piring kotor dan gelas bekas minumnya tergeletak di lantai begitu saja. Pakaian kotor juga di tumpuk di pojokan. Dan orangnya tidur telentang dengan mulut terbuka hingga mengeluarkan suara yang sedikit menganggu. "Ya ampun Rani!" Aku menggoyangkan tubuh perempuan yang hanya memakai kaos pendek dan ketat hingga menampakkan
Keesokan harinya. Pagi pagi aku sudah rapi. Beberapa lamaran yang kukirim lewat email di internet mendapatkan feedback. Aku dipanggil untuk interview. "Semoga lancar ya, Ar," ujar Mama tulus."Aamiin, tolong bantu do'a ya, Ma." Sahutku lalu mencium tangan Mama takzim."Pasti, Nak." Mama mengantarkan hingga sampai ke motor. Terlihat sekali jika Mama sangat berharap aku segera bekerja. Sudah sebulan ini Mama terpaksa menjual perhiasan-perhiasannya untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Ditambah kiriman untuk Monik yang tak boleh tidak.Jalanan ibukota masih tak terlalu padat. Aku sampai di alamat yang disebut oleh pihak perusahaan itu sebelum waktunya. Sembari menunggu, aku duduk di warung kecil yang berada di seberang jalan gedung itu.Memesan segelas teh hangat untuk menghangatkan tubuhku dan menghilang grogi. Perusahaan itu terdiri dari lima lantai. Dari warung dengan jelas aku dapat melihat lalu lalang karyawan yang mulai berdatangan. Setelah menghabiskan minuman, aku segera menuju
Rani diam saja. "Kalau kamu mau menemui Mba Tari lalu minta dipinjemin modal aku pasti akan senang. Aku ingin jualan lagi, Mas."Mendengar rengekan Rani akhirnya aku mencoba mendatangi Tari. Kali ini sepakat datang ke restoran milik Tari. Melihat menu menu yang tampak lezat. Kami pun sepakat memesan makanan. Nanti tinggal panggil Tari biar dapat gratis.Toh, tari juga masih istriku."Enak banget, Mas. Pantes rame terus. Iklannya juga keren keren." Seru Rani dengan makanan penuh di mulut.Aku hanya mengangguk -angguk tak begitu peduli. Makanan di depanku lebih istimewa dari pada ocehan Rani yang tak berkualitas.Usai makan, pelayanan memberikan bill yang harus dibayar. Mataku membola melihat nominal yang harus dibayar. Hampir tiga juta. Padahal hanya makan siang dengan menu andalan dan makanan ringan sebagai hidangan penutup.Tapi, senyumku kembali merona."Saya suaminya Bu Tari, pemilik restoran ini." Aku mengucapkan dengan penuh percaya diri.Pelayan itu saling pandang. Dua perempuan i
"Sehari tiga juta keren banget kerjaan lu pada! Gw dapetin tiga juta butuh waktu sebulan!" Umpat mereka sembari menatap dengan pandangan mengejek. Apes! Apes banget.***Jam sudah menunjukkan angka sebelas malam. Badan serasa diinjak warga sekampung. Rani banyak diam. Kami sudah sampai dirumah setelah kerja rodi di restoran milik Tari. Sungguh isti bej4t macam apa itu."Kalian dari mana? Kok baru pulang?" Tanya Mama khawatir.Aku tak menjawab. Berjalan gontai lalu menghempaskan tubuh ke sofa. Sementara Rani berlalu masuk kamar."Ada apa sih, Ar? Kalian kenapa?" Mama duduk di sampingku.Aku pun menceritakan semuanya pada Mama. "Jadi istri kamu itu telah menjual rumah dan uangnya dibelikan restoran lalu kalian di suruh sebagai pencuci piring disana?" Wajah mama memerah marah."Bukan sebagai pencuci piring, Ma. Karena kami ga bisa bayar makanan yang kami makan.""Menantu kur4ng aj4r! Kita harus membuat dia menyesal!""Ma, Tari sepertinya mau menggugat cerai Arsen, Ma." Lirihku lemah."Ce
"Ngapain kemari, Bro?" Remon menepuk pundakku sambil tertawa mengejek."Lu yang ngapain kesini?" Cetusku."Lho, gw kesini mau nganter kado buat anak lu! Ammar ulang tahun kan? Nih, gw udah siapin kado." Remo memamerkan sebuah kado besar dia pegang. Entah apa isinya yang jelas dari luar terlihat kado itu bernilai mahal. Aku syok. Sama sekali tak ingat jika hari ini hari ulang tahun anakku sendiri."Elu? Ga bawa kado?" Ejeknya. Aku bergeming.Remon lalu menyalami Ibu. Mereka tampak sangat akrab. Tak lama mobil putih milik Tari masuk ke halaman. Suara anak-anak terdengar heboh hendak turun. Benar saja Alif dan Ammar berteriak ramai, ditangannya sudah penuh kotak kotak kado. Ciloteh khas anak-anak keluar dari bibir mungilnya. Saat dekat denganku, harapan akan disapa dan dipeluk mus-nah sudah. Mereka justru sibuk membuka kado yang dibawa."Nih, tambahan dari Om." Seru Remon sambil mengacungkan kado yang dia bawa."Wah, makasih Om Emon!" Mata Ammar berbinar-binar.Dari arah mobil, Tari dat
Aku pun segera menyiapkan diri. Bersyukur asip masih banyak di kulkas. Sehingga aku tidak usah khawatir meninggalkan Alisha dan Aleeya."Ibu ikut." "Bu, biar Tari dan Mas Nadhif aja. Ibu tolong jagain anak-anak dirumah ya, Bu. Khawatir Bik Mira kewalahan jika mereka menangis.""Nanti kalau terjadi apa-apa dengan kamu gimana, Nduk?""InsyaAllah gapapa, Bu. Tari masih ingat jurus taekwondo yang dulu pernah tari pelajari kok.""Kamu habis melahirkan, Nduk. Luka di perutmu masih belum sepenuhnya sembuh. Ibu sungguh sangat khawatir, Nduk. Bagaimana kalau kita melaporkan ke polisi.""Ga usah dulu, Bu. Kita belum ada alasan untuk melaporkan kepada polisi. Wildan dibawa oleh ibu kandungnya. Polisi tidak akan menindak laporan kita."Ibu terdiam. Tapi, wajahnya masih saja menyimpan rasa cemas."Ibu do'akan saja, ya. InsyaAllah gapapaa." Tuturku."Iya, Bu. Nadhif akan menjaga Tari. Jika ada apa apa Nadhif akan menelpon polisi."Ibu tertunduk. Hingga akhirnya beliau menganggukkan kepalanya."Hat
"Mas kemarin nengokin Wildan kan? Gimana keadaannya?" Aku langsung mencecar Mas Nadhif dengan pertanyaan."Mas tak tau, Dik." Jawabnya pelan."Tak tau gimana? Kan kamu kemarin ke rumah Mbak Erna!" Suaraku sedikit meninggi. Agak gemas dengan jawaban dari suamiku itu.Mas Nadhif tampak salah tingkah. Sebelah tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Sesekali dia menatapku lalu kembali menunduk. Ibu pun menunggu jawaban dari menantunya itu dengan wajah penuh rasa penasaran."Kemarin Mas hanya ketemu Erna di kafe. Wildan ga ikut." Jawabannya membuat darahku kembali mendidih."Astaghfirullah, Mas! Mungkin memang udah takdirku kali ya, dapat suami yang ga amanah. Kalau masih tersakiti begini, buat apa aku menikah!" Suaraku bergetar hebat. Dada ini terasa sesak."Nduk ... Sabar ... Orang terdekat juga bisa menjadi ujian untuk kita. Jangan bicara seperti itu. Semua yang terjadi merupakan takdir yang harus kita jalani.""Tari capek, Bu. Mending jadi janda kalau punya suami hanya mena
"Keterlaluan mana membiarkan kamu pergi dengan perempuan yang jelas jelas ada hubungan dengan kamu di masa lalu? Maaf ya, Mas. Kalau kamu mau mesra mesraan dengan dia, mau so sweet, sweet an. Monggo! Silahkan. Sekalian kamu jangan pernah balik lagi ke rumah ini!"Mas Nadhif tertegun mendengar ucapanku yang berani. Aku sudah muak dengan drama laki-laki tak tau diri. Lebih baik memutus hubungan dari sekarang dari pada terulang lagi kejadian seperti dulu. Kebodohan yang nyatanya membuat hatiku membeku Tanpa menunggu jawaban darinya aku pergi begitu saja. ***Sudah dua hari Wildan pergi. Dua hari pula hubunganku dengan Mas Nadhif terasa dingin. Aku tak peduli. Aku menyibukkan diri dengan anak anak. Dan mulai menulis novel baru.Wildan sendiri dengan intensif mengirimkan aku pesan. Aku sengaja memberinya ponsel tanpa sepengetahuan Mas Nadhif. "Dik, mau sampai kapan kita seperti yang ini?" Mas Nadhif menghampiriku yang tengah mengetik di ruang kerja."Terserah.""Mas minta, Maaf." Lirihn
"Mas minta maaf, Dik. Mas lelah."Aku diam saja. Wildan akhirnya mau tinggal sementara di rumah perempuan itu demi tak melihat aku dan ayahnya bertengkar."Bicaralah, Sayang. Mas akui Mas salah. Tapi, kali ini Mas mohon. Berikan kesempatan untuk Erna dekat dengan anaknya."Aku membalikkan badan. Menatap laki-laki yang telah menjadi suamiku itu duduk di pinggir ranjang."Terserah. Aku bukan Ibunya. Apapun yang kamu putuskan pada Wildan itu hak kamu. Aku tidak mau ikut campur." "Dik, plis jangan seperti ini."Aku kembali membelakangi Mas Nadhif. Aku tak suka laki-laki yang mudah dikuasai perasaannya oleh orang lain. Biar saja dia mikir sendiri. Baik buruk nya dia juga yang merasakan. Yang penting kelima anakku tetap dalam kendaliku. Walau, terkesan egois. Sebab, sakit sekali hatiku mendengar ucapan Mas Nadhif tadi.***Keesokan harinya, perempuan itu datang. Kali ini penampilannya sangat berbeda. Muka pucat tanpa irisan. Baju nya pun hanya piyama longgar yang menutupi tubuh kurusnya. D
"Saya tak akan pergi sebelum membawa Wildan tinggal dirumah saya.""Silahkan saja. Jika ingin tubuhmu yang kau obral dengan pakaian seksi itu di raba raba security saya. Saya tinggal teriak lalu mereka akan datang menarik kamu pergi dari sini."Dia gelagapan. Dengan cepat dia meraih tas tangannya di atas meja."Saya tak akan menyerah!" Ancamnya dengan wajah penuh amarah dia pergi lalu menaiki mobil merah yang terparkir di halaman rumah."Kenapa, Nduk?" ibu tergesa menghampiri. "Kenapa dia marah?" Lanjut Ibu khawatir.Aku kembali duduk. Mengingat wajah perempuan yang penuh amanah tadi. Sungguh tak terlihat dia adalah wanita yang sedang sek*rat."Aneh, Bu. Dia ngotot untuk membawa Wildan. Dan Tari juga ga melihat dia seperti orang yang sakit keras."Ibu menoleh ke arah mobil merah yang sudah menghilang dibalik gerbang. "Jangan jangan dia berbohong, Nduk.""Tari curiga seperti itu, Bu. Tapi, kata Mas Nadhif dia melihat sendiri hasil pemeriksaan medis mantan istrinya itu."Ibu duduk dis
"Ga perlu Mas jawab, aku paham kok."Mas Nadhif langsung meraih tanganku."Demi Allah, Dik. Mas sangat mencintai Adik. Dia hanya masa lalu yang tiba-tiba datang dan seakan membuka kembali luka yang telah lama Mas lupakan."Laki-laki itu menunduk menyembunyikan wajahnya yang mungkin sekarang sedang menahan tangis. Pasti sangat sakit ditinggal lagi sayang sayangnya. Apalagi dengan cara pengkhianatan yang sangat menyakitkan seperti yang dilakukan perempuan itu."Mas, aku gapapa kok, jika memang Mas harus menemui dia. Mungkin dengan kalian bicara, semua luka dihati Mas akan sembuh.""Gak! Ga Dek. Biarlah luka itu menjadi penghalang bagi Mas untuk melukai wanita lain. Mas tak mau adik sakit dengan masa lalu Mas."MasyaAllah, kenapa sekarang aku yang berkaca-kaca. Jujur, sebenarnya aku juga cemburu jika Mas Nadhif harus kembali membuka komunikasi dengan mantan istrinya itu. Rasanya tak ikhlas jika dia kembali datang tanpa perasaan bersalah lalu mendekati suami dan anakku. Kemarin kemana aja
Mataku berkaca-kaca. Bukan sedih, tapi terharu. Perhatian yang begitu besar dari suamiku menambah imun dan meningkatkan iman. Sehingga aku tak pernah merasakan stres walau setelah melahirkan dua bayi dalam satu waktu."Jangan nangis. Malu dong udah gede." Aku menghambur ke pelukan Mas Nadhif. Bibirku tak henti-henti mengucapkan terimakasih."Maaf ya, perawatannya terpaksa dirumah. Mas khawatir dengan kesehatan adik, jika kita keluar rumah sementara adik baru habis operasi.""Gapapa, Mas. Begini aja aku udah bahagia sekali. Makasih, Ya, Mas."Mas Nadhif mengangguk sambil mengusap lembut kepalaku. Hari ini aku merasa menjadi diriku yang dulu lagi. Creambath, perawatan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Hingga tanpa terasa waktu sudah menjelang siang. Adzan Zuhur terdengar dari mesjid di kampung sebelah. Aku meminta menyudahi kegiatan siang ini. "Anak anak ga rewel kok, Sayang. Kamu lanjutkan saja dulu." Mas Nadhif yang mendengar keluhanku terus meyakinkan."Kasian, Mas. Mereka pasti
"Erna, mantan istri Mas. Usianya tak lama, dokter memperkirakan tinggal 2 bulan lagi, Dik.""Ya Allah ..." Aku spontan menutup mulut dengan tangan. Walau sudah tak ada hubungan apa-apa diantara mereka, tapi aku cemburu. Aku dapat melihat rona sedih di wajah Mas Nadhif. Wajar sih bagaimanapun perempuan itu adalah ibu dari Wildan. Hubungan mereka takkan pernah terputus."Jadi bagaimana, Mas?"Mas Nadhif menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Lama kami sama-sama terdiam."Erna minta Wildan untuk menemani di hari-hari terakhirnya."Degh.Apa yang harus aku lakukan, Tuhan. Aku ingin melarang tapi perempuan itu mempunyai hak sebagai ibunya. Membiarkan Wildan tinggal sementara dengannya, entah kenapa hatiku tak rela."Menurut Mas, gimana?"Mas Nadhif menghela napas panjang. Lalu membuang pandang ke arah jendela."Dia sudah meninggalkan Wildan sejak lama. Bahkan, anak itu mengira ibunya sudah meninggal. Mas bingung. Jika membiarkan Wildan ikut mamanya, pasti dia akan sangat tak nyama
"Selamat ya Bu, Dua putrinya lahir dengan selamat, sempurna tanpa kurang suatu apapun."Putri? Sungguh dua anakku bayi bayi perempuan? Air mata jatuh di sudut mataku. Tak terbayang bahagianya Mas Nadhif, jika tahu anak kami keduanya perempuan. Dokter pun menyerahkan satu persatu bayi itu untuk kucium."Selamat datang, Sayang. Terimakasih sudah hadir dirahim Bunda ..." Bayi mungil itu diam begitu menyentuh tubuhku. Dada rasanya meledak karena begitu bahagia. Terimakasih ya, Allah ..***Setelah kondisi stabil aku pun dipindahkan ke ruang perawatan. Mas Nadhif menghampiriku dengan wajah berbinar begitu pintu ruang operasi terbuka."Sayang, dua anak kita sesuai harapan." Bisiknya. Berkali-kali dia mencium tanganku lalu beralih ke kepala."Terimakasih, Sayang .. terimakasih ..."Aku hanya mengangguk. Setetes air menetes lagi di ujung mata. Alhamdulillah ya Allah.Seminggu aku dirawat, akhirnya diperbolehkan pulang. Meski luka bekas operasi belum lah sembuh total karena tentu saja akan mem