Mama mengambil kesempatan masuk ke dalam rumah di saat Tari sedang sibuk di wawancara. Aku tak sempat menyimak karena ditarik Mama dan duduk di ruang tamu. Ibu tari yang melihat kami, terdiam. Mungkin malu untuk berteriak takut nanti malah akan memancing kegaduhan.Hampir tiga puluh menit kami menunggu, hingga orang-orang seperti wartawan itu pergi. "Tak tau malu kalian ini! Tak menyangka bisa seapes ini saya punya besan!" Sentak Ibu begitu masuk dan melihat kami duduk dengan santai."Tenang Bu Siti. Justru ibu beruntung punya besan seperti saya. Kalau pun Arsen akhirnya menikah lagi, dia tetap akan bertanggungjawab kok dengan Tari dan anak-anak." Sela Mama."Halah, omong kosong, janji kampanye!" Cibir ibu nya Tari.Bersyukur tak ada Mas Fatan. Mobil putihnya juga tak terlihat diluar. Kemungkinan sedang pergi sama anak-anakku, entah kemana. Karena sedari tadi aku juga tak melihat anak-anak di rumah ini. Tak lama Rani datang dengan menaiki ojek online. Perempuan itu menggeret koper ya
Seharian mereka di kamar. Tak ada tanda-tanda anak-anak berada disana. Beberapa kali aku mengetuk pintu, tapi tak ada sahutan. Hanya Bik asih, pembantu Tari yang bolak-balik di dapur. Dia samanya dengan Tari. Tak buka suara walau sudah dibentak Mama. Apa yang disuruh Mama dianggap angin lalu."Ran, kamu masak gih sana. Mama laper." Ujar Mama pada Rani yang duduk santai di sofa. Rani menatapku.Aku membuang pandangan ke jendela. Enak aja, aku capek habis membereskan kamar yang ditinggalkan Tari tadi. Sekarang, harus masak pula."Masak apa, Ma? Itu kan ada pembantu?" Rengeknya."Kamu ga liat. Mama ga dianggap sama sekali. Jangankan membantu, menjawab mama pun dia tak mau!"Rani membuang napas kasar. Lalu bangkit menuju dapur. Biar dia belajar menjadi istri. Jangan hanya bisa bersantai-santai."Ma, masak apa? Kompornya ga ada. Ini kulkas juga udah dicopot kabelnya, ga ada apa-apa di dalamnya, kosong." Teriak Rani. Mama bangkit dengan kesal. Aku tak peduli, masih sibuk mencari lowongan ke
"Lho, mau dibawa kemana perabotan Arsen? Hentikan! Ini bukan punya Tari!" Teriak Mama."Tari, hentikan! Ini barang-barangku! Kamu ga ada hak untuk membawa ini semua!" Aku pun ikut mencegah. Tapi, tak ada yang mempedulikan. Tari, sibuk mengarahkan orang-orang sewaan nya untuk mengangkut barang.Hampir sejam semuanya beres dimasukkan ke dalam truk. Meski Mama berteriak-teriak melarang, percuma mereka bekerja seperti tak punya telinga.Rumah sudah kosong melompong. Sofa, lemari bahkan karpet dilantai saja dibawa Tari. Hanya kasur rusak dikamar utama yang tersisa."Itu kado pernikahan dariku."lirih Tari tanpa menatapku sama sekali."Dek, tolong, mas minta maaf." Aku menarik tangannya. Tapi, perempuan itu menepis kasar."Kamu ga ingat perjanjian kita, Mas? Jika kamu menikah, semua yang pernah kita miliki bersama menjadi milikku dan anak-anak. Bersyukur kamu masih kuijinkan untuk tinggal.""Tapi, aku masih suamimu!" Aku memelas. Gimana aku hidup jika semuanya dibawa oleh Tari."Apa kamu ga
"Kira-kira laku berapa, ya, Ar?" Tanya Mama ketika kami sedang makan."500juta lebih itu, Ma!" Timpal Rani. "Kalau laku segitu, belikan aku kalung ya, Mas!" Lanjutnya."Kok kalung, kalian kan belum punya rumah." Timpal Mama."Kan sementara bisa tinggal disini, nemenin Mama." Jawab Rani sembari tersenyum. Aku melirik ke arah Mama yang tampak tak suka."Kalau sementara, boleh. Tapi, kalau selamanya, ga bisa." Mama menekan ucapannya."Nanti selesai kuliah Monik pasti akan tinggal disini."lanjutnya lagi."Iya, Ma. Tenang aja. Arsen pastikan sebelum Monik selesai pendidikan. Arsen dan Rani sudah memiliki rumah sendiri." "Bagus. Kalian harus mandiri. Kayak dulu sama Tari." Sahut mama. Hal itu membuat Rani mencebikkan bibir. Beruntung Mama tak melihat reaksi Rani.Hampir dua Minggu aku dirumah saja. Pemasukan tak ada. Kami makan dari hasil penjualan perhiasan Mama."Gimana rumah sudah laku, Ar?" Tanya Mama.Aku yang masih kebingungan mencari dokumen rumah itu hanya diam."Arsen!" Sentak Ma
Mendengar perdebatan kami, suara anak-anak yang sedang becanda di dalam terhenti. "Papa ..." Pekik Alif dari jauh, disampingnya Ammar yang menatapku datar."Alif, sini, sayang." Aku melambaikan tangan. Namun, Alif menggeleng-gelengkan kepalanya."Kenapa? Yuk, sama Papa. Kita beli mainan yuk." Bujukku."Ga mau, Papa. Mainan Alif dan Ammar sudah banyak dibelikan teman-teman Mama. Teman-teman Mama baik-baik, Pa. Alif juga dikasih jajanan yang banyak." Ciloteh Alif. "Tuh, anak anda aja udah ga butuh anda, Pak. Pulang aja sana. Sebelum Mas Fatan datang. Saya dengar Mas Fatan alergi banget sama kamu, bawaannya pengen makan orang katanya."" Ledek laki-laki yang bernama Elzio itu."Diam! Kau hanya orang luar!" "Iya, sayangnya orang luar ini akan segera masuk dalam kehidupan mantan istri anda!" jawabnya tegas."Jangan mimpi! Saya tak akan pernah menceraikan Tari. Kami sudah punya tiga anak. Mana mungkin kami berpisah lalu mengorbankan anak-anak."Laki-laki itu tertawa terbahak-bahak. "Anda
"Kenapa, Ma?" Suara tangis Mama makin kencang."Mama rasanya ga kuat kalau Rani tinggal disini. Kamu lihat di kamar dan ruang tamu. Istri kamu udah seperti ratu disini. Mama capek. Mama mau kamu segera bawa istri kamu dari sini. Mama lebih baik tinggal sendiri seperti dulu, Ar." Isak Mama. Aku menghela napas panjang. Rani sudah berkali kali aku mengatakan jika dia harus membantu Mama jika mau tinggal disini."Maafkan Rani, ya, Ma. Arsen akan mengingatkan dia lagi." Mama masih terisak. Aku meninggalkan beliau dan masuk ke dalam. Benar saja ruang tamu berantakan. Kulit kuaci bertebaran di atas lantai. tapi, tak ada Rani. Aku berjalan cepat ke kamar. Mataku membola. Piring kotor dan gelas bekas minumnya tergeletak di lantai begitu saja. Pakaian kotor juga di tumpuk di pojokan. Dan orangnya tidur telentang dengan mulut terbuka hingga mengeluarkan suara yang sedikit menganggu. "Ya ampun Rani!" Aku menggoyangkan tubuh perempuan yang hanya memakai kaos pendek dan ketat hingga menampakkan
Keesokan harinya. Pagi pagi aku sudah rapi. Beberapa lamaran yang kukirim lewat email di internet mendapatkan feedback. Aku dipanggil untuk interview. "Semoga lancar ya, Ar," ujar Mama tulus."Aamiin, tolong bantu do'a ya, Ma." Sahutku lalu mencium tangan Mama takzim."Pasti, Nak." Mama mengantarkan hingga sampai ke motor. Terlihat sekali jika Mama sangat berharap aku segera bekerja. Sudah sebulan ini Mama terpaksa menjual perhiasan-perhiasannya untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Ditambah kiriman untuk Monik yang tak boleh tidak.Jalanan ibukota masih tak terlalu padat. Aku sampai di alamat yang disebut oleh pihak perusahaan itu sebelum waktunya. Sembari menunggu, aku duduk di warung kecil yang berada di seberang jalan gedung itu.Memesan segelas teh hangat untuk menghangatkan tubuhku dan menghilang grogi. Perusahaan itu terdiri dari lima lantai. Dari warung dengan jelas aku dapat melihat lalu lalang karyawan yang mulai berdatangan. Setelah menghabiskan minuman, aku segera menuju
Rani diam saja. "Kalau kamu mau menemui Mba Tari lalu minta dipinjemin modal aku pasti akan senang. Aku ingin jualan lagi, Mas."Mendengar rengekan Rani akhirnya aku mencoba mendatangi Tari. Kali ini sepakat datang ke restoran milik Tari. Melihat menu menu yang tampak lezat. Kami pun sepakat memesan makanan. Nanti tinggal panggil Tari biar dapat gratis.Toh, tari juga masih istriku."Enak banget, Mas. Pantes rame terus. Iklannya juga keren keren." Seru Rani dengan makanan penuh di mulut.Aku hanya mengangguk -angguk tak begitu peduli. Makanan di depanku lebih istimewa dari pada ocehan Rani yang tak berkualitas.Usai makan, pelayanan memberikan bill yang harus dibayar. Mataku membola melihat nominal yang harus dibayar. Hampir tiga juta. Padahal hanya makan siang dengan menu andalan dan makanan ringan sebagai hidangan penutup.Tapi, senyumku kembali merona."Saya suaminya Bu Tari, pemilik restoran ini." Aku mengucapkan dengan penuh percaya diri.Pelayan itu saling pandang. Dua perempuan i
"Kamu ....?"Mami Karla menunjuk nunjukku dengan raut tak percaya. Tanganku terangkat begitu saja. Emosi menguasai diri. Ternyata, dia lah yang menerorku, melontarkan kata kata yang selalu merendahkan."Anda tidak punya hak untuk menghina saya. Jika anda tidak mau anak anda menikah dengan saya, tunjukkan power anda sebagai seorang ibu yang berkuasa atas anaknya. Jangan seperti anak kecil, main teror dan pakai drama murahan!"Mata mami Karla melotot lotot menahan amarah. Aku membalas tatapan itu, kemudian berlalu meninggalkan tempat yang sedari awal sudah memberikan kesan tak mengenakkan.Abrar mulai risih dalam gendongan. Aku segera memasukkan ke mobil dan menaruhnya di baby car seat. Dengan cepat aku pun pergi, melajukan mobil tanpa menengok lagi. Sudahlah, aku tak akan pernah menginjakkan kaki lagi di rumah itu. Dan tak akan tergoda bujuk rayu, iming iming pernikahan yang indah. Tak akan. Harapan itu tak akan tercipta selama orang tua dari salah satu pihak memiliki ego yang tinggi.
"Terimakasih, Pak Nadhif. Kalau tidak ada bapak, saya tak tahu apa yang akan dia lakukan pada saya.""Bunda ..."Alir berlari dari dalam sambil menangis. "Tak apa Sayang."Aku mengusap kepala Alif yang masih terisak dalam pelukan"Tadi, Alif menelpon saya, Bu. Jadi, saya buru buru kesini.""Oh, jadi Alif juga menolong bunda?" Aku meraup wajah Alif yang masih basah karena air mata. Anak sulungku itu menganggukkan kepala."Makasih, Sayang." Berkali kali aku mencium pipi Alif. Bukannya risih, Alif malah makin mengencangkan tangis."Bunda, kalau bunda mau menikah lagi. Alif setuju, Bunda. Jangan sampai bunda disakiti papa lagi."Aku meringis. Pak Nadhif hanya tersenyum lalu menunduk.Tak lama Ibu dan Bik Inah pulang dari pasar. Pantas saja, saat Mas Arsen menyerangku, tak ada yang keluar membantu. Dan sepertinya laki-laki itu memata-matai rumahku. Sehingga tau aku hanya sama anak-anak saja dirumah. Sungguh nekat. Padahal, ada Pak Rudi di depan.***Setelah kejadian itu, aku makin khawati
"Berantem lagi, Nduk?"Ibu yang sedang duduk di sofa menatapku yang datang dengan wajah kusut. Ibu memang tidak ikut jalan jalan. Entah kenapa. Aku menjatuhkan bobot tubuh disamping Ibu."Semakin Tari rajin istikharah, semakin sering perdebatan terjadi diantara kami.""Tidak apa, jangan berhenti. Bukan sholatnya yang membuat hubungan kalian terlihat berantakan. Tapi, memang cara Allah menunjukkan langkah mana yang akan ditempuh."Ibu meraih tanganku. "Nduk, tadi Ayahnya Wildan kesini. Dia nitip salam. Sekaligus minta maaf karena sudah ngerepotin kamu.""Duh? Iya kah Bu? Tari benar-benar tak enak, Wildan tadi tak diajak gara gara Mas Elzio ga berkenan.""Udah gapapa. Elzio mungkin ingin lebih dekat dengan kamu dan anak-anak."***"Saya mau ketemu anak anak saya! Saya papanya!"Suara ribut-ribut dari luar membuatku bergegas keluar. "Maaf, Bu. Orangnya ini ngotot minta masuk ke dalam." Pak Rudi terlihat kewalahan memegang mas Arsen yang berontak dan berteriak-teriak seperti orang ga w
Mas Fatan ternyata juga memperhatikan tiga anak yang sedang berlarian di putihnya pantai sore ini. "Iya, Mas. Aku juga tiba-tiba sayang sama Wildan. Walau penasaran kemana ibunya. Tapi, itu tak penting kan?"Mas Fatan tertawa lebar."Kamu takut bapaknya duda, ya?"Aku menepuk lengan Mas Fatan kencang."Terus? Maksudnya?" Dia malah makin terkekeh."Tari, makan dulu, yuk. Ajak anak-anak." Mbak Rahma yang sedari tadi menyiapkan makanan bersama ibu menghampiri."Hayuk, kita makan dulu."Anak-anak berlarian begitu girang. Aku memvideokan lalu mengirimkan pada Pak Nadhif sebagai bukti bahwa anaknya bahagia jalan sama kami.[Terimakasih, Bu Tari. Sudah lama Wildan tak tertawa selepas itu.][Sama-sama, Pak.]Tak terasa malam mulai naik. Sekitar jam sebelas malam kami baru sampai dirumah."Bunda, Wildan nginap di rumah kita aja, Ya."Aku menoleh ke arah Wildan yang terlihat menunduk dalam."Bunda minta ijin ke ayahnya dulu, ya.""Horeee ... Wil, kita main lagi, yuk." Mereka serentak berteriak
"Mami?" Mas El menatap ibunya dengan tatapan tak percaya."Kenapa? Hayuk, ajak calon istri kamu makan. Mami tadi masak ikan pindang kesukaan kamu. Biar calon istri kamu tahu gimana rasanya. Nanti tinggal mami kasih resep supaya bisa masak sendiri."Mata Mas El berbinar, nyaris berkaca-kaca. Sementara aku serasa melayang. Badan tak ada tenaga. Kenapa jadi begini? Sama sekali tak sesuai dengan ekspektasiku. Padahal, aku berharap cuma lima menit disini lalu pulang."Ayo, Ri. Kita makan." Suara Mas El bergetar. Pasti dia terharu. Beda denganku yang syok parah. "Maaf sebelumnya, Tante.""Lho, kok Tante. Panggil mami dong. Sebentar lagi kan kamu akan menjadi anak mami." Aku meringis. Apa iya kejadiannya akan seperti itu."Eh iya, Mami." Aku gugup. "Apa, Sayang? Kamu mau nanya apa, Cantik?"Mas El menatapku dengan senyuman yang tak pernah pupus dari bibirnya. Aku tertunduk. "Hmm ... Mi, maaf kalau Mami tak berkenan dengan pertanyaan Tari nanti. Hmm ... Bukankah Mami sudah punya calon unt
"Alif, mau jalan jalan?" Alif yang termenung hanya diam saja mendengar tawaran Mas El. Seminggu ini aku meminta ijin pada pihak sekolah agar mengijinkan Alif untuk belajar di rumah saja."Ammar mau, Pa.." teriak Ammar lalu berlari ke arah Mas Elzio. Duh, kenapa Ammar bisa memanggil 'papa' gitu sih. Seharusnya anak-anak tak usah dekat dengan Mas El setelah ini. Apalagi sampai memanggilnya papa."Mas, mulai sekarang ga usah repot-repot untuk datang kesini."Wajah Mas El langsung berubah."Kenapa? Aku datang untuk Alif." "Ada baiknya kita tak lagi berhubungan, Mas. Aku tak ingin ada masalah lagi.""Masalah apa? Kamu tiba-tiba menjauh seperti ini? Salahku apa, Ri?" Matanya menatapku lekat. "Kamu baca ini, Mas." Aku menyodorkan ponselku padanya. Mas El membaca semua pesan yang dikirim orang tak dikenal itu dengan wajah serius. "Siapa yang berani mengancammu seperti ini, Ri?"Aku mengangkat bahu. Mana kutahu. Yang jelas orang itu ada sangkut pautnya dengan dokter muda itu, bukan?"Ri,
Aku memijit kepala yang terasa berdenyut."Maafkan Alif ya, Sayang." Aku mengusap wajah Wildan lembut. Dia menatapku lalu tersenyum."Gapapa, Tante. Aku juga salah sudah membalas Alif.""Tak apa, Bu Tari. Saya mohon maaf anak saya juga telah melukai anak Ibu." Aku tersenyum tipis. Tak menyangka Alif yang terlihat baik baik saja ternyata menyimpan duka atas perpisahanku dengan Mas Arsen."Saya akan mengganti biaya pengobatan Wildan, Pak. Boleh minta nomor rekeningnya.""Oh, ga usah, Bu. Wildan ga kenapa-kenapa, kok. Cuma lebam sedikit saja. Nanti biar saya kompres dengan air es."Aku memanggil Bik Inah. Minta tolong merawat luka di wajah Wildan. Meski sedikit memaksa, karena ayahnya, Mas Nadhif tadinya tak mau merepotkan dan hendak segera pulang. Tapi, tetap sebagai rasa tanggung jawabku pada anaknya aku memohon untuk tinggal sebentar.Setelah selesai, laki-laki itu pamit. Sungguh aku tak enak hati dibuatnya. Wajah Wildan lebam lebih parah dibanding Alif."Nduk, tolong hati hati bicar
Nasi udah menjadi bubur. Lelaki itu sama saja dengan Ayah. Pasti tak mau mendengar keluh kesah istri, hingga kabur tanpa jejak."Abrar kurang sehat. Kamu lihat sana gih. Biar Ibu sama Bik Inah yang masak. Kamu juga pasti mau menulis kan?""Heh, iya Bu. Tari pamit ke atas, ya. Ibu beneran gapapa tari tinggal?"Ibu malah terkekeh."Halah, biasanya tiap hari juga ditinggal sama kamu." Aku pun terkekeh. Memanglah sebagai seorang penulis yang punya dunianya sendiri aku lebih sering berduaan dengan komputer dan ponsel. Mau gimana lagi, dapat uangnya dari sana.***"Tak habis pikir Mas sama ibunya Elzio itu. Apa dia tidak tahu siapa kamu, Dek?" Mas Fatan yang baru datang menggerutu dengan wajah kesal. Tangan terulur memberikan kunci mobilku. "Gapapa, Mas. Aku ga butuh nama besar kok. Jadi, ga peduli orang mau kenal atau tidak. Yang penting aku bisa membesarkan anak-anak tanpa bantuan laki-laki yang selalu melihatku salah.""Iya, sih. Setidaknya kasih kesempatan untuk kamu menjelaskan siapa
"Lho? Kenapa naik ojek, Nduk? Mobil kamu mana?" Ibu membuka pintu dengan wajah terheran-heran."Ketinggalan di toko, Bu?" Aku menyimpan tas di atas meja lalu menjatuhkan bobot tubuh di sofa. Merebahkan badan hingga punggung bersandar dengan nyamannya. Aku bahkan tadi tak kepikiran untuk kembali ke toko mengambil mobil. Saking dongkolnya hati ini."Ada apa, Nduk? Cerita ke Ibu."Ibu yang sudah duduk disampingku menatap cemas. Apa tampangku begitu kusut? Ah, perasaan aku biasa saja. Meski agak sakit hati."Ga ada apa-apa, Bu." "Jangan bohong, Tari. Ibu tahu karakter kamu. Gimana makan siangnya dengan keluarga Elzio? Lancar? Kenapa bukan dia yang mengantarkan kamu pulang?" Sederet pertanyaan yang harus aku jawab membuat aku kembali menegakkan badan.Kuhirup udara dengan rakus agar apa yang aku ceritakan bisa melegakan perasaan."Mas El, sudah dijodohkan, Bu. Seorang dokter juga. Undangan dari maminya sepertinya untuk mengenalkan perempuan itu pada Tari.""Ha? Kenapa bisa begitu? Bukanny