Bergetar bibir Megan membaca pesan itu. Dia langsung membuang hp itu, bersamaan dengan jantungnya yang bergemuruh hebat. Hanya gemeletuk giginya yang terdengar karena menahan amarah. Bagaimana bisa Mas Danangnya bisa sepulas itu tidur? Servis seperti apa yang kakak madunya telah berikan.
"Kurang ajar. Tak ada malu. Perempuan sialan!" Hati Megan benar-benar seperti dibakar hidup-hidup. Panas luar biasa. Sakit luar biasa sakit, sampai-sampai merah matanya. Menggenang air mata Megan menahan sakit hati. Logikanya tahu bahwa Safira adalah istri Danang, tapi melihat pria itu telanjang begitu membuatnya membara. Dia merasa sedang dikhianati, sedang dipermainkan dan diejek. "Seharusnya aku tak perlu sesakit ini. Seharusnya ...." Megan berusaha mengafirmasi dirinya bahwa semua itu bukan menjadi masalah namun susah sekali baginya. Kelebat bayangan saat Danang sangat bernafsu mencumbunya tanpa jeda, membuat M"Kenapa kamu marah-marah padaku, Mas? Kamu yang gila! Kenapa gak peduli padaku lagi?! Sekedar menelpon atau membalas cepat WA ku kamu gak bisa. Biarkan saja aku mati. " "Sinting. Benar-benar sinting. Aku sibuk mencari nafkah! Kamu tahu kondisiku saat ini. Uangku di Safira, sekarang aku harus mendapatkan uang baru untuk memenuhi kebutuhan kita semua. Kamu malah seperti anak kecil begini!" Sekali lagi, Danang meraih kursi plastik hijau itu lalu melemparkannya ke arah dinding lagi hingga menimbulkan suara yang cukup memekak. Sekarang, dia baru ingat, dia telah meninggalkan rapat yang penting dan dia tahu, banyak konsekuensi buruk yang sedang dia timbulkan. Hanya karena istri mudanya yang merajuk tanpa pikir. Danang frustasi dan dia merasa sangat nelangsa. "Kamu tega sama aku, Mas. Teganya kamu mengabaikanku!" "Aku kerja! Paham bahasa tidak?" "Tidak! Kamu sibuk tidur sama Mbah Safira. Ini fotomu! Apa maksudnya i
"Jangan pergi Safira. Papa mohon. Bertahanlah demi Rio dan Amira. Mereka butuh orang tua yang utuh. Melihat kamu dan Danang satu kamar lagi, mereka senang sekali. Tidur mereka pun nyenyak." "Tapi aku tak pernah tidur nyenyak sejak Mas Danang ketahuan menikah lagi, Pa." Safira menengadah menatap langit-langit ruang tamu. Dia sedang di rumah mertuanya, menjemput kedua anaknya yang ingin bermain di rumah mbah. "Kami paham perasaanmu, Nak. Mungkin kalau Mama di posisimu tak akan setegar kamu. Bisa langsung gila, Mama. Tapi Mama minta banget sama kamu, Safira. Pertahankan putraku jadi suamimu." Bu Andin ikut bicara menahan kesedihan. Salah satu do'anya adalah melihat anak-anaknya harmonis tapi justru doanya jadi ujiannya. Pernikahan putra kesayangannya di ambang kehancuran. Ia tahu, menjadi Safira memang sangat sulit. "Aku gak bisa, Ma. Aku akan tetap melaya
Rio langsung menggeret tangan adiknya agar mau masuk ke dalam kamar. Meski terpaksa, Amira mau mengikuti langkah Abangnya. Bell rumah berdenting dan Safira sudah berada di depan pintu. Ia menarik napasnya kuat-kuat. Safira membuka pintu dengan wajah yang datar. "Assalamu'alaikum, Bun." "Waalaikumsalam." Danang menoleh ke belakang, ke arah mobil. "Bun ...." "Tak ada tempat dia di sini. Pergi bawa gundikmu dari sini, Mas." "Aku minta tolong, Bun. Aku gak pegang uang sama sekali dan semua uang, kamu yang pegang. Aku gak bisa sewain Megan tempat tinggal." "Ya itu urusanmu. Kamu yang punya istri, kok bebani aku?" Safira langsung menutup pintu. Danang segera menahannya dengan tangannya. "Bund ... Jangan gini apa, Bun. Please." "Pergi kamu, Mas! Jangan mentang-mentang kemarin kita tidur bersama, kamu merasa aku nerima kamu apalagi nerima pelacur itu. Tidak seperti yang kamu pikirkan." "Ya. Aku sudah tahu. Kamu gak tulus layanin aku. Kamu sengaja, hanya buat manasin Megan. Dia
"Safira!" seru Danang tak terima dengan ucapan istri pertamanya itu. "Jangan berteriak memanggil namaku, Mas. Kalau kamu tidak setuju dengan perintahku, silahkan bawa dia pergi dari sini." "Jangan asal kamu bicara. Ini juga rumahku dan aku berhak untuk menentukan siapa saja yang boleh tinggal di sini." "Ooh jelas. Tapi ingat, ada uangku di rumah ini juga. Posisiku lebih kuat di sini karena aku lah istri pertamamu dan sudah 13 tahun berada di rumah ini. Kamu mau bawa ke pengadilan? Ayo. Aku jabanin." "Pakailah hatimu, Safira," desis Danang berusaha melembut. Dia sungguh nelangsa. "Kan kamu yang mengajariku tak punya hati, Mas. Andai kamu punya hati, tak akan kamu seperti ini. Dan satu lagi, jika kamu menentangku maka aku akan mengadukan ini pada kedua orang tuamu. Menurutmu bagaimana?" Danang kikuk kebingungan. Melawan Safira saat
"Kalau kamu menentangku, kita bisa bicara di pengadilan biar jelas. Ibu bapakmu sudah menganggapku anak jadi jangan macam-macam kamu. Aku masih bertahan dalam pernikahan ini karena mereka. Tapi jika aku sudah tak sanggup, tak ada seorang pun bisa mencegahku. Aku wanita merdeka, Mas. Ingat itu." Safira meraih handuk yang bersusun di laci tempel di dinding dekat kamar mandi. Ia lalu meletakkannya di atas dada suaminya dengan sentakan hingga pria itu sedikit terdorong. Danang hanya bisa menangkap handuk itu dan berusaha berdiri tegak. Pria itu menoleh pada Safira yang melenggang keluar kamar. 'Ooh Allah, seharusnya semua berjalan mulus. Aku memilih poligami daripada berzina. Aku memilih yang halal tapi kenapa makin dipersulit?' batin Danang mengerutu masih mematung. Pria itu tidak sadar bahwa pertanyaan hatinya itu bukan hanya dua itu yang menjadi pilihan. Tapi ada yang ke-tiga. Mengapa tidak menundukkan pandangan?
"Apa katamu, Mas?!!!" Memilih tak menjawab, Danang mendengkus dan membawa Amira ke kamar Megan. Dengan wajah merah padam, Safira sudah melangkah satu langkah berniat mengejar, tapi ia menarik kembali kakinya. Ia melihat Amira tersenyum pada Megan, saat wanita itu meraih Amira dari pelukan suaminya. 'Amira ...," desis hatinya sedih bersamaan dengab emosinya yang langsung mereda. Pandangan Safira berkeliling karena gelisah tak tahu harus berkata dan berbuat apa. Ia mengusap wajahnya kasar lalu menghembuskan napasnya berkali-kali. "Ini gila. Setelah mengambil suamiku, wanita itu mengambil putriku. Ini tidak bisa dibiarkan," lirih Safira sendirian. Tiba-tiba sesuatu terpikirkan di dalam otaknya. Segera dia menelpon nomor mertuanya. "Kenapa, Fir?" "Mama gak ke Cemara Indah?" "Ka
Sedangkan di sisi lain, Danang sedang berbinar senang karena proyek yang dia kejar bersama teamnya akhirnya berhasil goal. Ia tersenyum puas melihat secarik kertas pemberitahuan atas keberhasilan perusahaan. Ini artinya, uang puluhan juta akan segera masuk ke rekening barunya. "Aku akan segera membawa Megan keluar dari rumah agar tidak terjadi konflik dengan Safira," lirihnya membayangkan semua akan baik-baik saja. Saat dia asik dengn khayalannya, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Diana muncul dengan wajah tegang. "Permisi, Pak." "Ya, Diana. Masuk saja. Bagaimana? Apa acara menyambut kesuksesan kita di proyek kali ini?" Makin tegang wajah Diana melihat pendar binar kebahagiaan terpancar dari atasannya itu. "Pak, maaf, ini titipan dari Pak Boss." "Baiklah. Letakkan saja di situ. Oh ya, atur saja aca
"Kenapa dari tadi diam di kamar? Layani dong mertuamu. Sampai dia pulang, mantunya gak nongol-nongol." Ucapan Safira terdengar menyindir. Kedua tangannya disilangkan di depan dada dengan penuh rasa percaya diri. Wanita itu berdiri tegak di tengah pintu kamar adik madunya. "Apa maksudnya Mbak undang Mama ke sini? Sengaja supaya aku dihina-hina?" "Loh, pertanyaan macam apa ini? Mau aku undang apa gak, tentu saja karena aku menantu sahnya dan ada dua cucunya di sini. Kenapa? Sakit ya gak diterima mertua? Iri ya pengen seperti aku, disayang mertua? Mimpi kamu! Bagaimana kamu bisa memetik buah yang manis sedangkan kamu menanam benih dari hasil curian." "Cukup, Mbak! Cukup hina saya! Jangan hanya salahkan saya terus menerus. Mas Danang yang mencari saya bahkan sampai mencari saya sampai ke desa! Suami Mbak itu yang tidak mampu menahan perasaannya sama saya! Kenapa hanya saya saja yang Mbak sudutkan?! Harusnya Mbak berkaca diri, kenapa sampai begitu suaminya Mbak!" Wuuuussssh!
"Silahkan, Mas. Urusanmu sekarang hanya dengan Rio dan Amira." Safira merentangkan tangan kanannya menegaskan sikapnya. Tak punya pilihan, Danang terpaksa keluar membawa kekecewaan yang pekat. Cukup lama dia terpekur menatap langit taman rumah sakit itu. Suara kaki ke sana kemari para pengunjung sama sekali tak bisa mengusik pikirannya. Ia mengingat-ingat bagaimana berwibawanya dia saat hidup bersama Safira. Sekarang, ia bahkan mendatangi orang lain untuk mencari peluang. "Aku dipecat, karena sayangku pada Megan. Aku juga kehilangan keluarga sempurnaku, kehilangan kepercayaan putraku karena cintaku pada Megan. Sekarang aku akan punya anak cacat karena menikahi Megan. Apa yang telah merasukiku hingga bisa sejauh ini? Jika benar-benar cinta, kenapa sekarang aku bahkan malas untuk menemuinya? Apa yang kemarin itu nafsu?Tapi tak mungkin aku melepaskan Megan begitu saja sebab janjiku pada ibunya. " gumam Danang sendirian. Tiba-tiba ponselnya berdering dan nampak yang memanggilnya a
"Malam ini, aku akan mengajak Safira rujuk." "Mas!" "Apa? Kenapa?" Danang mengangkat rahangnya. "Kamu jangan gila! Aku gak mau dimadu!" Seperti hilang rasa sakit di tubuh Megan. Dia berusaha bangkit dan duduk di ranjang. Matanya tajam melihat ke arah Danang. Sedangkan pria itu terus saja memperbaiki rambutnya. Sama sekali dia tak menoleh pada istrinya itu. "Kamu mabuk, ya, Megan? Yang belakangan datang dalam kehidupanku siapa?" "Tapi, Mas. Kamu bilang kamu mencintaiku ...." Megan tergugu. Sakit sekali di dalam batinnya. Dia tidak terima dimadu. Memang wanita itu sudah tak memiliki isi otak. Entah tertinggal di mana. "Aku memang mencintaimu, Sayang. Tapi aku butuh Safira. Aku malah heran, kenapa aku mencintai kamu padahal kamu tidak bisa memberikan aku apa-apa. Giliran dapat anak, malah cacat. Jadi jangan was-was, aku tetap mencintaimu meskipun nanti rujuk dengan Safira." "Mas, kalimatmu itu menyakitiku," lirih Megan mengusap pipinya yang basah. "Kok sakit? Harus
Sedangkan di sisi lain. Saat perjalanan pulang, David menoleh pada Tasya yang sedang asik memainkan ponselnya. "Gimana? Masih setia kan kamu sama suamimu?" tanya David. "Ya iyalah. Nanti kalau suamiku berhenti berlayar, aku mau resign. Jadi ibu rumah tangga full." "Ah yang bener kamu, Sya? Janganlah dulu." Tasya cekikikan senang melihat bosnya itu serius panik. "Bilang aja, Bapak mau kasih aku tugas jadi mak jomblang." David mengelus tengkuknya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya fokus memegang kemudi. Tasya seolah bisa membaca pikirannya. "Gimana ya, Sya. Aku mau sembunyikan juga, cuman kamu yang cocok tempatku bicara. Jadi menurutmu, kira-kira Safira mau gak terima aku?" Bukannya menjawab, Tasya justru melongo. Alhasil, buku catatan kecil di atas dashboard terlempar di atas paha Tasya. "Masuk lalat dua mangkuk tuh di mulutmu!" "Ish Bapak! Aku shock aja. Kirain kecurigaanku gak bener. Rupanya ...." "Aku gak punya pilihan selain jujur. Aku sudah jatu
"Dia juga melambangkan cinta dan kebahagiaan," sanggah Tasya yang membuat David jadi salah tingkah. Safira terhenyak. "Loh! Kok pada ngobrol di depan pintu? Ayo! Masuk!" seru Danang. Tasya dan David pun masuk, langsung duduk di sofa. Safira meletakkan bunga itu di laci samping Rio. Danang mengusap hidungnya mencoba menetralkan perasaannya. Tiba-tiba dia menjadi sangat benci pria yang sudah memberikan mantan istrinya itu bunga. 'Kampungan' umpat hati Danang. "Jadi Rio sakit apa, Fir?" tanya Tasya saat Safira memperbaiki selimut Rio. Safira terdiam. "Jatuh di rumah. Tapi tepat mengenai saraf belakangnya," jawab Danang dengan cepat. "Oooh sayang. Kasihan. Mudahan lekas sembuh. Ngomong-ngomong Adeknya mana? Kangen sama cuitannya yang menggemaskan." "Kan anak kecil gak boleh masuk sini, Sya. Jadi, dia dibawa sama pengasuhnya di rumah mertuaku." Tasya mengangguk-angguk sembari mencuri pandang terhadap Danang yang terlihat datar. Ia jadi sungkan pada pria itu seba
Sekarang bahkan wanita tua itu sudah berdiri di depan pintu dan Megan hanya bisa menahan napas. Seolah ia benar-benar takut untuk menghirup udara. "Susul Mbokmu, Megan. Kehadiranmu mengancam keselamatan cucu-cucuku!" "Maafkan saya, Nyai. Maafkan saya. Saya khilaf. Saya hanya ingin Rio makan. Saya salah." "Jangan bicara kamu." Bu Sartini mendekat dengan ekspresi menakutkan. Urat-urat di wajah tuanya mengeras dengan bola mata seperti akan melompat untuk menggerogoti Megan. "Ibuk! Please, Buk! Tolong jangan buat kegaduhan di sini!" seru Danang menarik keras Bu Sartini. "Lepaskan aku!" "Buk! Tolong." Danang bertahan dengan seluruh kekuatannya meski terdorong keras oleh Bu Sartini. Namun wanita itu berhasil meraih lengan Megan. Ditariknya tangan wanita itu hingga tubuh Megan jatuh. "Aaaakh!" Megan mengerang kesakitan. Danang semakin kuat menarik bahu Sartini yang mencoba untuk kembali meraih istrinya. "Berhenti! Ini bukan tempat untuk membuat kegaduhan!" seru sa
"Apa Down Syndrome maksudnya, Dok?" tanya Danang tercekat. Dokter mengangguk pasti. Gerakan kepala pria berseragam putih itu seperti hantaman meteor terbesar pada dunia Megan yang bergelar sebagai calon ibu. "Gugurkan saja, Dok," ucap Danang tanpa segan. Tak bernapas Megan mendengarnya. "Terkait itu, kami tidak bisa asal ambil keputusan seperti itu. Lagi pula kita perlu melakukan pemeriksaan lanjutan melalui tes darah. Pemeriksaan ini untuk memastikan kromosom janin positif trisomi 21 atau tidak." "Tapi saya tidak mau memiliki anak yang cacat mental, Dok! Dua anak saya sebelumnya normal, kok. Ganteng dan cantik. Pintar-pintar juga. Saya gak bisa!" Menetes deras air mata Megan, tanpa ada isakan, tanpa ada suara sedikit pun. Sakit di tubuhnya lebih sakit mendengar berita yang sekarang dia dengar. Apalagi ucapan suaminya, bagai belati setiap kalimatnya. "Untuk tindakan terminasi atau aborsi, dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan di trimester kedua melalui USG untuk melihat
"Ma-maafkan saya, Mbak! Lepaskan!" Safira justru menekan kakinya hingga Megan semakin sulit untuk menarik napas. "Kenapa kamu menjadi hama yang menggerogoti keluargaku, ha? Sudah kamu rebut suamiku sekarang kamu siksa anakku. Dimana hati nuranimu, perempuan?!" "Tak ada yang merebut siapa pun, Mbak. Mas Danang yang datang pada saya!" "Sebelum itu pasti ada kesepakatan kan? Jangan coba-coba berdalih kamu." Kaki Safira yang masih menggunakan sendal slop dengan highheels yang cukup tinggi, sekarang naik tepat di atas leher Megan. Wanita muda itu gemetar. Tangannya mencoba melepaskan kaki Safira namun Safira semakin menekannya keras. Itulah kekuatan seorang ibu yang sedang murka. Bpahkan Megan tak kuasa menggeser tubuhnya sendiri. "Saya emosi karena Rio tak mau makan, Mbak! Saya sayang anak-anak!" Byuuuuur! Safira menyiram wajah Megan dengan centong yang pecah itu. Megan refleks memiringkan wajahnya namun itu tentu saja sudah terlambat. Banyak air yang sudah masuk dalam
Flash back! "Bunda, aku kangen Abang!" seru Amira lewat telepon. "Ya sudah, nanti siang ke rumah Papa aja sama Mimi. Kalian naik grab." "Boleh saya pengetin paha ayam sekilo gak, Nyah?" sambung Mimi. "Ada ayam di kulkas? Nanti aku jemput pulang dari sana sekalian ajak anak-anak jalan ke hypermart." "Nanti saya beli duluan. Biasa nanti ada lewat dagang ayam, Nyah." "Oke!" Siang itu, setelah masak 1 kg paha ayam full, Mimi bersama Amira langsung ke rumah Cemara Indah. "Pasti Abang sudah pulang sekolah. Nanti adek janji, kalau diajak nginap juga, jangan mau. Oke?" ucap Mimi sembari memangku Amira. Amira mengangguk tanda mengerti. Setelah sampai rumah, Mimi terkejut mendengar suara tangisan Rio yang sangat kecang. Ia langsung melepaskan Amira dan berlari mencari sumber suara. Bagai tersambar ribuat kilatan petir, Mimi melihat Rio diperlakukan sangat jahat oleh ibu tirinya. Membuncah hebat isi dada Mimi. Tanpa pikir panjang, dia langsung mendorong Megan ke arah dindi
"Makan," ucap Megan ketus meletakkan begitu saja piring berisi nasi dan ikan nila goreng di depan Rio yang baru pulang sekolah. "Aku kan gak suka ikan nila. Aku mau ayam." "Papamu tidak kasih uang banyak! Dia cuman kasih 50 ribu! Jangan banyak permintaan." "Aku gak mau. Aku mau pulang saja ke bunda," ucap Rio meninggalkan makanannya, masuk ke dalam kamar. Megan menggigit giginya sendiri menahan amarah. Di matanya, Rio anak kecil yang kurang ajar. Tak bisa menghargainya. Anak itu tak pernah tersenyum padanya. Benar-benar keturunan Safira yang mengesalkan hati. "Dia dan ibunya sama-sama spesies makluk menyebalkan!" Terlihat Danang sudah rapi dengan kemeja batik dan tas jinjing. "Mau kemana, Mas, siang-siang gini?" "Bahas bisnis itu sama temen. Rio sudah makan?" "Tuh, nasinya ditinggalin. Katanya mau makan ayam goreng." "Lah, kenapa kamu gak belikan ayam? Kamu kan tahu bagaimana selera Rio. Gak sehari dua hari kamu asuh dia sebelumnya. Tahu ada Rio mau datang, kam