Menikah adalah impian semua perempuan atau mungkin impian semua orang. Bisa menghabiskan sisa hidup bersama dengan orang yang disayangi. Tapi apakah rasa sayang itu akan tetap sama seiring dengan berjalannya waktu? Apakah rasa sayang itu tidak akan pernah berubah?
Aku berada dititik jenuh mencintai. Ketika seribu rayuan tidak mampu menyemikan cinta yang dulu pernah tumbuh subur di dalam hatiku. Cintaku pada Mas Angga perlahan mengikis seiring dengan berjalannya waktu. Kami seperti orang asing yang hidup di takdir yang sama, namun di jalan yang berbeda.Hingga dia datang membawa sejuta rasa yang membuat hari-hariku berwarna dan aku memutuskan untuk merajut cinta terlarang itu. Tanpa aku peduli, apakah Mas Angga juga merasakan cinta menjenuhkan seperti apa yang aku rasakan kini?Ini kisahku, Paramita._____[Selamat pagi Istriku.] Senyuman seketika mengembang dari bibirku membaca deretan pesan dari seseorang yang belum pernah sekalipun aku jumpa. Tapi keberadaannya selalu terasa. Membuat rindu serta debaran di dalam dada.[Selamat menjalani aktifitas. Jangan lupa makan dan mencintaiku ya. Karena merindu itu juga butuh tenaga.]Tulisnya lagi. Terkesan alai sih, tapi itulah yang membuatku bahagia. Dia mengisi ruang kosong yang tidak pernah bisa diisi oleh Mas Angga, suamiku. "Ma, udah!" Panggilan Sifa menyadarkan aku dari lamunan. Cepat aku memasukan ponsel ke dalam saku celana dan segera menghampiri Sifa yang baru selesai Pup. Ah, aku jadi belum sempat membalas pesan Mas Satya kan."Belajar cebok sendiri dong dek. Jangan apa-apa mama terus," gerutuku kesal pada putri semata wayangku dengan Mas Angga yang sudah berusia enam tahun dan duduk di kelas TK B. Tapi untuk hal seperti ini, dia selalu meminta bantuanku. Nyebelin bukan?Jangan tanya pagiku seperti apa. Aku melewati pagi yang memu
Suara deru mesin mobil membuatku cepat-cepat mengakhiri panggilan. Tanpa berpamitan pada Mas Satya. Aku, yakin lelaki itu pasti sudah tau alasannya.Cepat aku meringkuk di atas pembaringan. Tidak lupa menutup tubuhku dengan selimut. Pura-pura tidur sebelum Mas Angga masuk ke kamar.Aku mendengar suara derit pintu kamar terbuka. Aku tidak berani membuka mata. Hanya saja, telingaku menajam menangkap setiap suara yang terdengar. Hingga Mas Angga membaringkan tubuhnya di sampingku. Lama kelamaan aku mendengar dengkuran halus Mas Angga yang sudah tidur.Entah mengapa, udara dingin malam ini membuatku sadar jika sudah lama sekali aku dan Mas Angga tidak pernah melakukan kewajiban kami. Mengenal Mas Satya membuatku lupa untuk menuntut hakku pada Mas Angga.____Hari-hari aku lalui seperti biasanya. Menyembunyikan perselingkuhanku dengan Mas Satya dari suamiku. Aku tetap melayani kebutuhan Mas Angga juga putriku seperti biasanya. Tidak ada yang berubah. Menyiapkan makan, menemani Sifa belajar
"Sifa!" Susah payah aku menyebut nama putriku sendiri. Kerongkonganku serasa tercekik."Mas, kok!" Jariku terulur ke arah Mas Angga yang berdiri di depanku. Tapi lidahkku terasa kelu untuk berucap."Kamu dari mana? Tumben rapi sekali?" Mas Angga menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Menunjukkan jika ada yang berbeda dari diriku. Tentu saja aku berbeda. Paramitha yang Mas Angga lihat setiap hari hanyalah seorang wanita rumahan, seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya memakai daster. Jarang bersolek. Ya, bisa dibilang aku memang malas untuk mempercantik diri. Tapi semua berubah, setelah aku mengenal Mas Satya. Aku belajar berdandan, dan membeli beberapa pakaian untuk menunjang penampilanku. Penampilan yang hanya aku tunjukkan untuk Mas Satya. Yang notabenenya adalah suami orang."Mit!""Eh, iya Mas!" Aku tergeragap. Sadar jika Mas Mas Angga menggerakkan telapak tangannya di depan wajahku. "Ehm, anu, mas, tadi aku habis dari tempat arisan Bu RT," jawabku. Tentu saja berdu
Aku tidak bisa menyembunyikan senyumanku jika teringat adegan panas yang aku lakukan bersama Mas Satya. Sungguh diluar dugaanku. Tidak hanya memberikan kasih sayang yang tidak mampu Mas Angga berikan. Mas Satya juga memberikan kehangatan yang akhir-akhir ini tidak kudapatkan dari suamiku. Mas Satya jauh lebih hebat daripada Mas Angga saat berada di atas ranjang. Ia memu*skanku hampir beberapa kali. Jika saja suamiku adalah Mas Satya pasti hidupku akan bahagia.Aku berdecak kesal saat mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Hendak menghubungi Santi. Kalau sebentar lagi aku akan menjemput Sifa. Tapi benda pintar milikku justru kehabisan baterai."Ya sudahlah, aku pulang aja dulu," gumanku pada diriku sendiri. Aku ingin membasuh tubuhku yang terasa lengket karena bekas berperang dengan Mas Satya. Sepanjang perjalanan aku terus teringat manisnya cinta yang baru saja aku nikmati bersama Mas Satya. Rasa-rasanya aku ingin mengulanginya sekali lagi."Bu, rumah bercat hijau itu, kan?"Aku tersada
Seharian aku merebahkan tubuhku di sofa yang ada di depan ruang televisi. Kepalaku berdenyut-denyut hebat. Banyangan alat pendeteksi kehamilan bergaris dua itu berhasil membuat hatiku tidak tenang. Aku bagaikan ikan yang melompat dari dalam air. Nyaris ingin mati. Tespek milik siapa itu? Siapa yang sudah hamil? Kenapa ada di dalam saku celana Mas Angga? Apa jangan-jangan Mas Angga berselingkuh di belakangku?Hatiku nyeri membayangkan hal itu. Seperti ada belati yang menyayat-nyayat hati ini. Aku frustasi juga emosi dengan pikiranku sendiri. Sampai-sampai Sifa yang tidak tau apa-apa menjadi sasaran kemarahanku.Entah pergi kemana gadis kecilku itu sekarang. Aku tidak peduli. Yang ada di dalam pikiranku, banyang-bayang pengkhianat Mas Angga yang semakin nyata di pelupuk mata.Seharian aku tidak mandi. Rambutku awut-awutan. Pakaian yang aku kenakan masih sama seperti semalam. Aku tidak bisa berpikir jernih. Hatiku hancur sehancur-hancurnya jika benar Mas Angga berselingkuh. Tut ... Tu
Dadaku kian sesak. Sampai-sampai aku tidak mampu untuk sekedar menangis. Tubuhku gemetar hebat, semua pikiran buruk carut marut memenuhi isi kepalaku. Apa yang sudah selama ini Mas Angga lakukan di belakangku? Apakah dia bermain hati dengan wanita lain? Apakah ini salah satu alasan Mas Angga bersikap dingin padaku. Sikap yang salama ini aku anggap wajar untuk kami yang sudah menikah cukup lama. Pikiran-pikiran itu berkecamuk. Membuat kepalaku begitu sakit. Aku memilih menyandarkan kepalaku pada sandaran bangku mobil. Hingga mobil yang membawaku tiba di depan rumah. “Sudah sampai, Bu,” ucap pengemudi melirikku dari kaca yang ada di atas stir mobil. Aku menarik tubuhku yang terasa berat dari sandaran bangku. Pandanganku langsung tertuju ke arah rumah. Mobil Mas Angga belum ada, berarti lelaki itu belum juga pulang. Semakin parah rasa sakit ini.Langkahku gontai masuk ke dalam rumah. Aku langsung menunju kamar Sifa, memastikan jika putriku tidak bangun saat aku meninggalkanya dan ben
Istri?Apa aku tidak salah dengar? Mas Angga mengkhianatiku sebelum aku mengkhianatinya?Aku membeku beberapa detik. Pandanganku meramun menatap wanita muda yang berdiri tidak jauh dari pintu. Kelopak mataku sudah dipenuhi oleh genangan air mata yang tertahan."Dia juga istriku, Mita. Kami sudah menikah beberapa bulan yang lalu." Mas Angga menurunkan sedikit intonasi suaranya. Dadanya bergerak naik turun seperti sedang menahan sesuatu. Entah mengapa ucapan itu terdengar begitu sakit masuk dalam indra pendengaranku. Seperti ditikam dengan pisau berkali-kali. Tapi tidak berdarah.Pandanganku yang meramun karena penuh dengan air mata beralih pada Mas Angga. Menatap tajam pada lelaki itu. "Jadi ini alasan kamu lembur setiap malam, Mas?" Bibirku mendesis mengintimidasi. Memberikan penekanan di setiap ucapanku. Agar Mas Angga tau jika aku sedang sekarat karena perbuatannya. Aku dibohongi, aku di khianati.Mas Angga menatap mataku. Setitik tatapan kasihan terlukis. Lalu berganti dengan tatap
Hatiku tidak tenang. Sekolah sudah sepi. Tapi Sifa belum juga keluar. Biasanya Sifa tidak pernah seperti ini. Apa jangan-jangan kelas Sifa belum keluar atau ....Aku menyapu pandanganku ke sekeliling. Sudah tidak ada lagi orang tua murid yang menjemput anak-anaknya. Hanya ada aku yang tersisa sendirian.Aku turun dari motor menghampiri satpam sekolah yang bertugas untuk memastikan keberadaan Sifa."Pak, lihat Sifa putri saya nggak?" tanyaku. Aku yakin lelaki berseragam putih itu pasti hafal betul siapa aku. Hampir setiap hari kami bertemu saat aku menjemput Sifa."Sifa?" ucap Satpam dengan wajah berpikir, lalu menatap ke arah sekolah. Sepertinya apa yang ada di dalam benak lelaki itu sama seperti halnya denganku. Sejak siswa pertama keluar, aku tidak melihat kemunculan Sifa. Hingga seluruh siswa habis tak tersisa. Sifa tidak ada."Kayaknya, Eh ... Nggak ada deh Bu," jawab lelaki itu ragu. Juga tampak tidak enak padaku.Tubuhku gemetar. Pikiran buruk begitu cepat mengacaukan kewarasan
Angga sempat menyerah untuk kembali rujuk dengan Mita. Setelah tau jika ada lelaki lain yang kini sedang mendekati mantan istrinya itu. Namun setelah tau jika Mita tidak memilih lelaki itu, Angga kembali bersemangat. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang pernah ia sia-siakan. "Rujuk?" ucap Mita tidak yakin dengan apa yang ia dengar. Angga menganggukkan kepalanya menyakinkan."Mas bercanda, kan?" Mita tersenyum tipis. Menatap ragu."Enggak Mit, aku serius. Aku ingin kita rujuk lagi." Angga menyakinkan."Tapi aku ...""Kenapa dengan kamu?" Angga membuat sedikit lengkungan pada bibirnya. Agar suasana tidak terasa begitu canggung."Aku sudah menyakiti kamu, Mas. Aku bukan wanita baik-baik." Mita tertunduk. Menyembunyikan rasa malu atas semua perbuatannya pada Angga.Angga menatap lekat pada Mita yang duduk di depannya. Semua masalah yang terjadi pada akhirnya hanya sebuah proses pendewasaan diri. Kini ia menemukan sosok Mita yang jauh lebih baik."Aku sudah memaafkannya," balas An
"Ini Bu Mita pemilik catering yang sebulan terakhir ini melayani perusahaan kita, Pak." Wanita cantik berseragam formal itu menjelaskan siapa sosok yang berdiri di depan Angga. Tentu saja Angga kenal betul. Bagaimana tidak, Mita pernah menjadi bagian hidupnya hingga bertahun-tahun.Angga mengangguk mengerti. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya saja pandangannya tidak beralih sedikitpun dari Mita yang berdiri di hadapannya. Membuat Mita merasa tidak nyaman."Jadi semuanya berapa Bu?" Wanita yang berdiri di samping Angga menyiapkan beberapa lembar uang berwarna merah untuk pembayaran.Mita mengabaikan perasaan gugup yang menyelimuti. Ia benar-benar tidak menyangka jika akan bertemu dengan Angga lagi. Ternyata takdir kembali menuntutnya di jalan yang sudah ia ikhlaskan."Besok kami pesan lagi nasi 30 box dan cemilannya sekalian, bisa?" ucap wanita yang berdiri di samping Angga setelah membayar semua pesanannya."Bisa, Mbak," jawab Mita ramah. Senyuman terulas dari bibirnya.
Cukup lama menunggu. Tanda centang pada pesan yang Angga kirimkan pada Mita telah berganti biru. Tanda jika pesan yang ia kirim telah dibaca. "Harusnya aku mengungkapkannya saja dari kemarin." Angga merutuki dirinya sendiri. Mengusap wajahnya kasar. Menunggu pesannya yang tidak kunjung berbalas.Siang menjelang. Angga masih berdiam diri di rumah Marni. Ia belum beranjak pergi kemanapun. Sesekali ia mengecek pesan' yang ia kirimkan pada Mita berharap mantan istrinya itu memberikan jawaban. Namun, hingga sore menjelang, Mita tidak kunjung membalas pesannya. "Apakah dia benar-benar menolakku?" Angga bermonolog dengan dirinya sendiri. Merutuki kebodohannya yang terlalu mengulur waktu. "Atau aku datang saja ke rumah ya dan mengatakan semuanya secara langsung pada Mita?" Angga berbicara dengan dirinya sendiri."Tapi, bagaimana kalau Mita menolakku?" Angga menimbang segala rasa yang berkecamuk di dalam dadanya.Ditempat lain Mita sudah tiba di rumahnya. Pak Aji pun langsung berpamitan pe
Klak.Pak Aji turun dari dalam mobil. Mita mematung di ambang pintu dengan mulut menganga. Mendadak otaknya blank melihat lelaki yang tengah mengulas senyuman ke arahnya."Akhirnya aku sampai juga," ucap Pak Aji membuang nafas lega.Mita mengedipkan matanya beberapa kali. Berharap apa yang ia lihat hanya sebuah mimpi' dan ia akan segera terbangun."Siapa laki-laki itu?" celetukan Marni menyadarkan Mita jika apa yang ia lihat bukanlah mimpi. Pak Aji sudah datang untuk menjemputnya sesuai permintaannya."Selamat pagi." Pak Aji memindai tatapannya pada Mita lalu, mereka yang ada di dalam rumah Marni.Gleg.Mita menelan ludahnya kasar. Terasa begitu pahit sekali. Sepahit kenyataan yang sedang ia hadapi sekarang. Gara-gara kesalahan pahamannya membuat Mita salah sangka dan gegabah mengambil jalan yang salah.Mita menoleh. Tatapannya langsung tertuju pada Angga. Hatinya ketar ketir bukan main. Meskipun mantan suaminya terlihat tenang dan tidak menunjukkan ekspresi apapun. Sekilas Angga mem
Tut ... Tut ...Mita berdecak kesal. Nomor Menager yang menaruh hati padanya tidak bisa dihubungi. Lebih tepatnya lelaki itu tidak mau menjawab panggilannya. "Ayo dong Pak angkat!" gerutu Mita memburui. Tidak sabaran."Nomor yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah ...."Mita mengakhiri panggilannya sepihak. Kesal, karena lagi-lagi suara operator yang menjawab panggilannya.Mita nyaris frustasi. Menatap pada layar ponsel miliknya. Tanda centang pada pesan yang ia kirimkan pada Pak Aji sudah berganti biru, tanda jika lelaki itu sudah dibaca pesannya. Tapi hal itu tidak lantas membuat Pak Aji mau menjawab panggilannya. Apalagi membalas pesannya. Entah marah atau kecewa, setelah lamarannya di tolak Pak Aji seperti sengaja' menjauhi Mita. Mita tertunduk pasrah. Bergelut dengan pikirannya sendiri. Harusnya saat Angga memutuskan untuk berpisah dengannya, saat itu juga Mita menyudahi rasa yang tersisa. Bukan malah menyimpannya yang justru mengundang ribuan luka.Suara canda tawa di luar kamar
Kaki Mita seolah terpatri. Tidak mampu digerakkan sama sekali. Ia menatap pada wanita yang tengah menyambut hangat kedatangan Sifa. Dari caranya, terlihat sekali jika ini bukan pertemuan pertama mereka. Sudah ada pertemuan-pertemuan sebelumnya yang mungkin tidak Mita ketahui. Sifa terlihat sangat akrab, begitu juga sebaliknya. Hati Mita tercubit. Merasa keberadaannya sebagai seorang ibu terancam. Ia takut Mita lebih menyayangi wanita itu daripada dirinya.Pikiran-pikiran buruk berbisik begitu ramai memenuhi isi kepala Mita. Menambah sesak yang menghimpit dadanya.Angga yang berjalan lebih dulu dan menyadari jika Mita tidak mengikutinya menolehkan ke belakang punggung."Mit, ayo!" Angga menginterupsi. Menyadarkan Mita dari lamunan."I-iya!" Mita berjalan mengekori Angga. Untung saja penerangan di depan teras rumah Angga tidak terlalu terang. Hingga tidak ada satupun yang tau jika Mita sedang berusaha payah untuk memaksakan senyuman pada bibirnya. Menyembunyikan ribuan perasaan yang
Mita sadar, sebenarnya ia tidak berhak ikut campur apapun dalam urusan kehidupan Angga. Apalagi terbesit rasa cemburu pada lelaki yang kini bukan lagi suaminya. Mereka memang masih menjalin hubungan baik karena adannya Sifa diantara mereka. Jika bukan karena Sifa, mereka layaknya dua orang asing yang tidak saling mengenal."Mit, ayo!"Mita tergeragap. Dalam hati merutuk kesal. Ia pikir bibirnya sudah berhasil mempertanyakan siapa wanita pemilik nama Alina itu, tapi nyatanya pertanyaan itu hanya terbersit dalam benak Mita belaka."Oh, iya Mas." Mita menyusul Angga masuk ke dalam gedung sekolah yang sudah ramai sekali."Kemana ya Sifa?" Mita bergumam pelan, seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Angga yang berjalan mensejajarinya dapat mendengar jelas suara itu."Itu di sana!" Angga mengacungkan jari telunjuknya ke arah panggung. Di mana Sifa dan teman-temannya sebentar lagi akan tampil.Senyuman mengembang dari bibir Mita saat pandangannya menemukan sosok yang ia cari."Mit, du
"Mama!"Mita berdecak kesal. Kedatangan Sifa yang muncul dari arah pintu rumah menghentikan obrolan antara dirinya dan Angga. Padahal Mita sangat penasaran sekali dengan jawab Angga. Apakah lelaki itu benar sudah memiliki kekasih pengganti dirinya atau belum.Sifa memeluk erat tubuh Mita. Netra Mita menatap lekat pada Angga yang berdiri tidak jauh di depannya. Berharap menemukan jawaban."Aku kangen banget sama mama," ucap Sifa tulus."Iya, mama juga kangen banget sama kamu, Nak." Mita mengusap lembut punggung Sifa. Pandangannya memindai Angga yang melemparkan senyuman ke arahnya. Sorot matanya teduh sama seperti dulu, tidak pernah berubah sama sekali. Salah satu yang membuat hati Mita luluh pada Angga."Sifa, ayo mandi sayang. Nanti kita terlambat." Angga menginterupsi setalah cukup lama Mita dan Sifa berpelukan. Gadis itu melepaskan pelukannya dari tubuh Mita.Mita menyunggingkan senyuman pada Sifa. Sedikit canggung, dan pura-pura ti
"Terima. Terima. Terima."Seluruh karyawan yang berada di tempat itu bersorak. Mita semakin bingung juga gugup. Baru kali ini ia dilamar langsung oleh lelaki yang sama sekali tidak ia cintai. Yang lebih membuat Mita syok, Pak Aji melamarnya di depan umum. Harusnya Mita bahagia, jika saja Mita memiliki perasaan cinta. Tapi sayangnya Mita tidak memiliki perasaan apapun pada Pak Aji.Mita menatap Pak Aji. Sesaat kemudian mencari keberadaan Angga dan laki-laki itu sudah raib di tengah-tengah kerumunan. Tidak hanya karyawan yang bekerja di store tempat Mita bekerja yang berkumpul. Tapi para pengunjung pusat perbelanjaan itu ikut berkumpul menyaksikan Pak Aji melamar Paramita."Di depan semau orang yang ada di sini, aku ingin mengungkapkan perasaan yang sudah sekian lama aku pendam, Mit." Ada ketulusan dari sorot mata Pak Aji."Mit, maukah kamu menikah denganku? Menjadi ibu untuk anak-anakku?"Hening. Mita membisu bagai patung. Ingin menolak, tapi