Aku tidak bisa menyembunyikan senyumanku jika teringat adegan panas yang aku lakukan bersama Mas Satya. Sungguh diluar dugaanku. Tidak hanya memberikan kasih sayang yang tidak mampu Mas Angga berikan. Mas Satya juga memberikan kehangatan yang akhir-akhir ini tidak kudapatkan dari suamiku. Mas Satya jauh lebih hebat daripada Mas Angga saat berada di atas ranjang. Ia memu*skanku hampir beberapa kali. Jika saja suamiku adalah Mas Satya pasti hidupku akan bahagia.
Aku berdecak kesal saat mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Hendak menghubungi Santi. Kalau sebentar lagi aku akan menjemput Sifa. Tapi benda pintar milikku justru kehabisan baterai."Ya sudahlah, aku pulang aja dulu," gumanku pada diriku sendiri. Aku ingin membasuh tubuhku yang terasa lengket karena bekas berperang dengan Mas Satya.Sepanjang perjalanan aku terus teringat manisnya cinta yang baru saja aku nikmati bersama Mas Satya. Rasa-rasanya aku ingin mengulanginya sekali lagi."Bu, rumah bercat hijau itu, kan?"Aku tersadar dari lamunan. Tidak terasa mobil grab yang membawaku sudah hampir sampai di depan rumah. Aku melongok sedikit ke arah jendela."Oh iya itu Pak," jawabku menegakan posisi dudukku.Perlahan mobil grab yang membawaku berjalan menepi dan berhenti di depan rumah. Setelah membayar aku segera turun dari dalam mobil itu."Mama!"Deg.Jantungku nyaris melompat saat suara teriakan Sifa menggema. Aku membalikkan tubuhku cepat dan benar saja sosok yang tengah berlari ke arahku adalah Sifa."Si-Sifa!" Aku speechless, sampai kesulitan untuk berkata-kata. Yang ada di dalam benakku hanya bagiamana bisa Sifa ada di sini?"Mama, urusan mama sudah selesai?" Gadis kecil itu mendongak menatapku. Sementara otaku berusaha berpikir positif tentang keberadaannya yang sudah sampai di rumah."Sifa kok sudah ada di rumah? Kan mama belum jemput Sifa. Sifa dianterin Tante Santi?" tanyaku penasaran."Nggak Ma, tadi Sifa pulang sama Papa."Deg.Mampus aku!Reflek aku memegangi dadaku. Takut jantungku mencelos dari tempatnya. Bagaimana ini kalau Mas Angga tanya yang macam-macam sama aku?Aku mengayunkan kakiku masuk ke dalam rumah. Tidak peduli seberapa berdebarnya jantung ini karena takut. Aku berusaha bersikap biasa saja, seperti tidak pernah terjadi apapun.."Mas!" Panggilku pada Mas Angga yang tengah bersantai di bangku sofa ruang televisi. Lelaki yang mengenakan setelan kaos oblong putih dan celana pendek itupun menoleh."Mit, dari mana kamu? Acara Bu RT lagi?" ucap Mas Angga menatapku datar."I-iya Mas," jawabku terbata. Aku tidak bisa membayangkan wajahku saat ini. Tapi yang pasti aku berusaha untuk tetap tenang di depan Mas Angga."Kirain ngurusin bapak di rumah sakit.""Apa?" Aku terhenyak kaget. "Ma-maksud Mas Angga apa?" Suaraku memekik. Itu adalah alasan yang aku katakan pada Santi saat menitipkan Sifa. Apakah Mas Angga tau? Tapi kalau pun tau harusnya dia kan marah sama aku."Ah enggak lupakan saja." Mas Angga mengibaskan telapak tangannya ke udara. Ia kembali mengalihkan pandangan pada layar televisi yang menyala.Aku mematung menatap Mas Angga. Hatiku gamang, apa jangan-jangan Mas Angga memang tau. Tapi kenapa diam saja?"Ma!"Aku tersadar saat Sifa memanggilku. "Eh, iya Sifa, kenapa?""Aku laper Ma." Sifa merengek. Sepertinya aku memang harus meladeni Sifa dulu."Iya, yuk mama masakin. Kamu mau makan apa?" Aku mengajak Sifa ke dapur. Tapi pikiranku masih mengganjal tentang ucapan Mas Angga barusan.____Dreet ... Dreet ...Beberapa pesan masuk ke ponselku setelah benda pintar itu kuaktifkan. Beberapa pesan dari Mas Satya dan Juga Santi. Aku tertuju pada pesan yang Santi kirimkan padaku. Pesan ini jauh lebih penting untukku.[Mit, dimana? Suami kamu pulang nyariin kamu.][Mit, Sifa di bawa pulang Angga.][Mit, balas dong.]Aku membuang nafas panjang. Semua sudah terlambat. Gara-gara aku lupa ngeces hp selamam, aku tidak tau kalau Santi mengirimkan pesan padaku.Aku menggulirkan kursor ke bawah.[Tadi si Angga nanyain kamu, aku bilang aja kalau kamu sedang jenguk bapak kamu di rumah sakit. Nggak salah, kan Mita?]Tanganku gemetar seketika. Jadi benar Mas Angga tau kalau aku sedang berbohong. Tapi kenapa dia diam saja?Klak!Pintu kamar terbuka. Mas Angga muncul dari balik pintu dengan wajah datar. Bibirnya terkunci rapat. Tidak mengatakan apapun. Ia menoleh ke arahku sekilas saat menutup pintu kamar kembali dan berjalan ke arah ranjang.Apakah aku harus menjelaskan semuanya pada Mas Angga? Tapi, dari mana aku harus menjelaskannya atau pura-pura tidak tau saja.Benakku berjibaku dengan diriku sendiri. Otakku yang biasanya encer mendadak tumpul saat ini.Akhirnya aku dan Mas Angga tidak bicara apapun. Karena lelaki itu sudah tidur terlelap di sampingku.__Seperti biasanya dan yang sudah-sudah. Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan bergelut dengan semua pekerjaan rumah yang menanti. Ya, meskipun gaji Mas Angga sudah lumayan, tapi lelaki itu masih enggan untuk menyewakan pembantu untukku. Padahal aku sudah sering kali mengeluh padanya tentang pekerjaan rumah yang nyaris membuatku stres. Apalagi di tambah dengan sikap dinginnya padaku. Serasa aku tidak memiliki siapapun di dunia ini dan benar-benar sendiri. Hanya Mas Satyalah penghiburku."Mama!"Suara riang Sifa menggema. Gadis kecilku yang sudah siap untuk berangkat sekolah itu berlari menuju meja makan. Di susul Mas Angga dari belakang. Dengan wajah datar yang masih sama seperti biasanya.Aku menatap suamiku sejenak. Tanya yang berkecamuk semalaman belum juga usai. Kenapa Mas Angga tidak mengkonfirmasi padaku tentang kebohongan yang sudah aku lakukan? Padahalkan dia tau kalau aku ini yatim piatu dan sementara bapak Mas Adam sudah meninggal beberapa tahun yang lalu."Ma, aku mau ikan itu ya!" Sifa menunjuk ikan nila goreng yang ada di atas meja. Aku menurut dan mengambilkannya."Mas Angga mau lauk apa?" tanyaku hangat."Aku sarapan roti saja," jawab Mas Angga datar. Tanpa kuambilkan Mas Angga mengambil roti itu sendiri. Aku memilih diam dan kembali duduk.Mobil Mas Angga sudah menghilang di ujung jalan. Aku segera melanjutkan pekerjaanku yang tertunda. Sibuk berkencan dengan Mas Satya, membuat pakaian kotor menumpuk di kamar mandi.Aku memilih satu persatu pakaian yang akan aku masukkan ke dalam mesin cuci. Kebiasaanku memang memilih baju-baju tertentu agar tidak rusak saat dicuci. Saat aku memasukkan celana kerja Mas Angga, sebuah benda terjatuh di lantai.Mataku mengawasi benda tersebut. Benda yang tidak asing untukku yang notabenenya adalah seorang ibu-ibu.Entah mengapa tanganku gemetar mengambil benda pintar tersebut. Dua garis merah yang terpampang jelas membuat hatiku nyeri."Testpack siapa ini?" lirihku tertahan di kerongkongan yang terasa tercekik.____Bersambung ....Seharian aku merebahkan tubuhku di sofa yang ada di depan ruang televisi. Kepalaku berdenyut-denyut hebat. Banyangan alat pendeteksi kehamilan bergaris dua itu berhasil membuat hatiku tidak tenang. Aku bagaikan ikan yang melompat dari dalam air. Nyaris ingin mati. Tespek milik siapa itu? Siapa yang sudah hamil? Kenapa ada di dalam saku celana Mas Angga? Apa jangan-jangan Mas Angga berselingkuh di belakangku?Hatiku nyeri membayangkan hal itu. Seperti ada belati yang menyayat-nyayat hati ini. Aku frustasi juga emosi dengan pikiranku sendiri. Sampai-sampai Sifa yang tidak tau apa-apa menjadi sasaran kemarahanku.Entah pergi kemana gadis kecilku itu sekarang. Aku tidak peduli. Yang ada di dalam pikiranku, banyang-bayang pengkhianat Mas Angga yang semakin nyata di pelupuk mata.Seharian aku tidak mandi. Rambutku awut-awutan. Pakaian yang aku kenakan masih sama seperti semalam. Aku tidak bisa berpikir jernih. Hatiku hancur sehancur-hancurnya jika benar Mas Angga berselingkuh. Tut ... Tu
Dadaku kian sesak. Sampai-sampai aku tidak mampu untuk sekedar menangis. Tubuhku gemetar hebat, semua pikiran buruk carut marut memenuhi isi kepalaku. Apa yang sudah selama ini Mas Angga lakukan di belakangku? Apakah dia bermain hati dengan wanita lain? Apakah ini salah satu alasan Mas Angga bersikap dingin padaku. Sikap yang salama ini aku anggap wajar untuk kami yang sudah menikah cukup lama. Pikiran-pikiran itu berkecamuk. Membuat kepalaku begitu sakit. Aku memilih menyandarkan kepalaku pada sandaran bangku mobil. Hingga mobil yang membawaku tiba di depan rumah. “Sudah sampai, Bu,” ucap pengemudi melirikku dari kaca yang ada di atas stir mobil. Aku menarik tubuhku yang terasa berat dari sandaran bangku. Pandanganku langsung tertuju ke arah rumah. Mobil Mas Angga belum ada, berarti lelaki itu belum juga pulang. Semakin parah rasa sakit ini.Langkahku gontai masuk ke dalam rumah. Aku langsung menunju kamar Sifa, memastikan jika putriku tidak bangun saat aku meninggalkanya dan ben
Istri?Apa aku tidak salah dengar? Mas Angga mengkhianatiku sebelum aku mengkhianatinya?Aku membeku beberapa detik. Pandanganku meramun menatap wanita muda yang berdiri tidak jauh dari pintu. Kelopak mataku sudah dipenuhi oleh genangan air mata yang tertahan."Dia juga istriku, Mita. Kami sudah menikah beberapa bulan yang lalu." Mas Angga menurunkan sedikit intonasi suaranya. Dadanya bergerak naik turun seperti sedang menahan sesuatu. Entah mengapa ucapan itu terdengar begitu sakit masuk dalam indra pendengaranku. Seperti ditikam dengan pisau berkali-kali. Tapi tidak berdarah.Pandanganku yang meramun karena penuh dengan air mata beralih pada Mas Angga. Menatap tajam pada lelaki itu. "Jadi ini alasan kamu lembur setiap malam, Mas?" Bibirku mendesis mengintimidasi. Memberikan penekanan di setiap ucapanku. Agar Mas Angga tau jika aku sedang sekarat karena perbuatannya. Aku dibohongi, aku di khianati.Mas Angga menatap mataku. Setitik tatapan kasihan terlukis. Lalu berganti dengan tatap
Hatiku tidak tenang. Sekolah sudah sepi. Tapi Sifa belum juga keluar. Biasanya Sifa tidak pernah seperti ini. Apa jangan-jangan kelas Sifa belum keluar atau ....Aku menyapu pandanganku ke sekeliling. Sudah tidak ada lagi orang tua murid yang menjemput anak-anaknya. Hanya ada aku yang tersisa sendirian.Aku turun dari motor menghampiri satpam sekolah yang bertugas untuk memastikan keberadaan Sifa."Pak, lihat Sifa putri saya nggak?" tanyaku. Aku yakin lelaki berseragam putih itu pasti hafal betul siapa aku. Hampir setiap hari kami bertemu saat aku menjemput Sifa."Sifa?" ucap Satpam dengan wajah berpikir, lalu menatap ke arah sekolah. Sepertinya apa yang ada di dalam benak lelaki itu sama seperti halnya denganku. Sejak siswa pertama keluar, aku tidak melihat kemunculan Sifa. Hingga seluruh siswa habis tak tersisa. Sifa tidak ada."Kayaknya, Eh ... Nggak ada deh Bu," jawab lelaki itu ragu. Juga tampak tidak enak padaku.Tubuhku gemetar. Pikiran buruk begitu cepat mengacaukan kewarasan
“Aku yang membalas pesanmu di nomor Mas Satya.” Lanjut wanita yang mengaku sebagai istri Mas Satya.Kerongkonganku serasa tercekik. Degupan jantungku mendadak memburu cepat. Wajahku menegang tidak menyangka. Apakah itu berarti wanita ini sudah mengetahui perselingkuhanku dengan Mas Satya. Hatiku takut, jika wanita ini akan mengamuk padaku. Aku mematung seperti halnya orang bodoh.“Mari kita duduk, tidak enak kalau kita ngobrol sambil berdiri seperti ini,” ajak Lidya. Ada senyuman yang terulir dari bibirnya. Sama sekali tidak ada kemarahan. Harusnya jika dia tau aku adalah selingkuhan Mas Satya, Lidya pasti marah padaku. Tapi, wanita ini tampak begitu tenang sekali. Aku menurut, duduk pada salah satu bangku café. Wanita itu duduk pada bangku tepat di sebrang mejaku. “Nama kamu Mita?” tanyanya membuka obrolan. Aku menganggukan kepalaku. Dari mana dia tau? Apa Mas Satya yang bercerita? Ah, tidak mungkin.Wanita berwajah teduh yang mengaku istri Mas Satya itu mengulas senyuman. “Sudah be
Pov Angga.Wiper pada kaca yang ada di depan mobil bergerak ke kiri dan ke kanan. Menyapu titik-titk hujan yang turun meramunkan pandanganku. Ternyata bukan karena gerimis hujan yang turun. Melainkan gerombolan cairan yang memanas memenuhi pelupuk mata ini.Sakit, kecawa, hancur definisi rasa yang berkecamuk menjadi satu. Secara bersamaan menghujam segumpal daging yang apabila daging itu baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan apabila segumpal daging itu buruk maka buruklah seluruh tubuhnya dan segumpal daging itu adalah hatiku.Bough …Bough …Aku menghujani setir mobil sekeras mungkin. Tidak kurasakan sakit sama sekali pada tangan ini. Karena rasa sakitnya telah berbindah pada batin ini yang tersiksa oleh sebuah pengkhianatan.“Kenapa kamu tega sekali mengkhianati pernikahan kita, Mita!” kalimat itu terlontar begitu saja dari bibir ini. Perih merajam sukma yang terluka. Madu yang kuberikan pada Mita nyatanya dibalas racun yang mematikan. Kebohongan demi kebohongan terajut rapi menjad
“Papa.”“Papa.”Aku terbangun dari tidurku saat suara Sifa masuk memenuhi indra pendengaranku. Tangan mungil itu menggoyang lenganku dan membuatku tersadar dari kantuk yang menyergap.Kepalaku terasa berat. Aku baru bisa tidur saat adzan subuh berkumandang. Akhir-akhir ini pikiranku begitu kacau. Apalagi setelah mengetahui jika Mita berselingkuh dengan lelaki lain. Tidak hanya hatiku, hidupku juga hancur. Setiap malam aku berusaha mengumpulkan kepingan puzzle sisa-sisa hidupku yang telah hancur. Mancari alasan yang harus membuatku kuat dan tetap bertahan untuk melewati hari-hari. “Pah.” Panggilan Sifa melemah. Setelah melihat pergerakan tubuhku. Pelan aku membuka mata, mengusap sesaat netra yang terasa begitu lengket ini.“Kenapa, nak?” jawabku dengan suara berat. Karena jujur aku masih mengantuk sekali. Lagian ini hari minggu. Tidak ada salahnya bukan kalau aku bermalas-malasan barang sebentar.Sifa mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan wajah penuh tanya. Aku tau alasannya,
POV Author.Paramita berjalan gontai menyusuri paving blok yang berjajar rapi dihalaman rumahnya hingga ke beranda. Pandangannya kosong menatap rumah yang dulu menjadi impiannya bersama Angga. Susah payah ia membangun istana itu ditahan rantau bersama-sama. Tapi kini rumah itu hanya menjadi saksi bisu bahwa dirinya dan Angga pernah menjadi bagian satu sama lainya.Criet.Suara pintu yang kurang pelumas terdengar. Disambut dengan ruang gelap saat Mita mendorong pintu ke dalam. Hening, tawa Sifa dan celotehan gadis kecil yang kerap kali menyambut kedatangan Mita tak lagi terdengar. Hanya kehampaan yang semakin menyiksa batin wanita itu.Mita berjalan masuk. Mengabaikan ruangan gelap segelap hatinya saat ini. Ia bak layang-layang yang terlepas dari tuanya. Terombang ambing mengikuti arah angin yang membawanya tak tentu arah.Semua terasa tidak adil. Bukankah Angga juga berselingkuh. Bahkan sampai wanita selingkuhannya itu hamil. Tapi kenapa hanya Mita yang harus menanggung derita kehilan
Angga sempat menyerah untuk kembali rujuk dengan Mita. Setelah tau jika ada lelaki lain yang kini sedang mendekati mantan istrinya itu. Namun setelah tau jika Mita tidak memilih lelaki itu, Angga kembali bersemangat. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang pernah ia sia-siakan. "Rujuk?" ucap Mita tidak yakin dengan apa yang ia dengar. Angga menganggukkan kepalanya menyakinkan."Mas bercanda, kan?" Mita tersenyum tipis. Menatap ragu."Enggak Mit, aku serius. Aku ingin kita rujuk lagi." Angga menyakinkan."Tapi aku ...""Kenapa dengan kamu?" Angga membuat sedikit lengkungan pada bibirnya. Agar suasana tidak terasa begitu canggung."Aku sudah menyakiti kamu, Mas. Aku bukan wanita baik-baik." Mita tertunduk. Menyembunyikan rasa malu atas semua perbuatannya pada Angga.Angga menatap lekat pada Mita yang duduk di depannya. Semua masalah yang terjadi pada akhirnya hanya sebuah proses pendewasaan diri. Kini ia menemukan sosok Mita yang jauh lebih baik."Aku sudah memaafkannya," balas An
"Ini Bu Mita pemilik catering yang sebulan terakhir ini melayani perusahaan kita, Pak." Wanita cantik berseragam formal itu menjelaskan siapa sosok yang berdiri di depan Angga. Tentu saja Angga kenal betul. Bagaimana tidak, Mita pernah menjadi bagian hidupnya hingga bertahun-tahun.Angga mengangguk mengerti. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya saja pandangannya tidak beralih sedikitpun dari Mita yang berdiri di hadapannya. Membuat Mita merasa tidak nyaman."Jadi semuanya berapa Bu?" Wanita yang berdiri di samping Angga menyiapkan beberapa lembar uang berwarna merah untuk pembayaran.Mita mengabaikan perasaan gugup yang menyelimuti. Ia benar-benar tidak menyangka jika akan bertemu dengan Angga lagi. Ternyata takdir kembali menuntutnya di jalan yang sudah ia ikhlaskan."Besok kami pesan lagi nasi 30 box dan cemilannya sekalian, bisa?" ucap wanita yang berdiri di samping Angga setelah membayar semua pesanannya."Bisa, Mbak," jawab Mita ramah. Senyuman terulas dari bibirnya.
Cukup lama menunggu. Tanda centang pada pesan yang Angga kirimkan pada Mita telah berganti biru. Tanda jika pesan yang ia kirim telah dibaca. "Harusnya aku mengungkapkannya saja dari kemarin." Angga merutuki dirinya sendiri. Mengusap wajahnya kasar. Menunggu pesannya yang tidak kunjung berbalas.Siang menjelang. Angga masih berdiam diri di rumah Marni. Ia belum beranjak pergi kemanapun. Sesekali ia mengecek pesan' yang ia kirimkan pada Mita berharap mantan istrinya itu memberikan jawaban. Namun, hingga sore menjelang, Mita tidak kunjung membalas pesannya. "Apakah dia benar-benar menolakku?" Angga bermonolog dengan dirinya sendiri. Merutuki kebodohannya yang terlalu mengulur waktu. "Atau aku datang saja ke rumah ya dan mengatakan semuanya secara langsung pada Mita?" Angga berbicara dengan dirinya sendiri."Tapi, bagaimana kalau Mita menolakku?" Angga menimbang segala rasa yang berkecamuk di dalam dadanya.Ditempat lain Mita sudah tiba di rumahnya. Pak Aji pun langsung berpamitan pe
Klak.Pak Aji turun dari dalam mobil. Mita mematung di ambang pintu dengan mulut menganga. Mendadak otaknya blank melihat lelaki yang tengah mengulas senyuman ke arahnya."Akhirnya aku sampai juga," ucap Pak Aji membuang nafas lega.Mita mengedipkan matanya beberapa kali. Berharap apa yang ia lihat hanya sebuah mimpi' dan ia akan segera terbangun."Siapa laki-laki itu?" celetukan Marni menyadarkan Mita jika apa yang ia lihat bukanlah mimpi. Pak Aji sudah datang untuk menjemputnya sesuai permintaannya."Selamat pagi." Pak Aji memindai tatapannya pada Mita lalu, mereka yang ada di dalam rumah Marni.Gleg.Mita menelan ludahnya kasar. Terasa begitu pahit sekali. Sepahit kenyataan yang sedang ia hadapi sekarang. Gara-gara kesalahan pahamannya membuat Mita salah sangka dan gegabah mengambil jalan yang salah.Mita menoleh. Tatapannya langsung tertuju pada Angga. Hatinya ketar ketir bukan main. Meskipun mantan suaminya terlihat tenang dan tidak menunjukkan ekspresi apapun. Sekilas Angga mem
Tut ... Tut ...Mita berdecak kesal. Nomor Menager yang menaruh hati padanya tidak bisa dihubungi. Lebih tepatnya lelaki itu tidak mau menjawab panggilannya. "Ayo dong Pak angkat!" gerutu Mita memburui. Tidak sabaran."Nomor yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah ...."Mita mengakhiri panggilannya sepihak. Kesal, karena lagi-lagi suara operator yang menjawab panggilannya.Mita nyaris frustasi. Menatap pada layar ponsel miliknya. Tanda centang pada pesan yang ia kirimkan pada Pak Aji sudah berganti biru, tanda jika lelaki itu sudah dibaca pesannya. Tapi hal itu tidak lantas membuat Pak Aji mau menjawab panggilannya. Apalagi membalas pesannya. Entah marah atau kecewa, setelah lamarannya di tolak Pak Aji seperti sengaja' menjauhi Mita. Mita tertunduk pasrah. Bergelut dengan pikirannya sendiri. Harusnya saat Angga memutuskan untuk berpisah dengannya, saat itu juga Mita menyudahi rasa yang tersisa. Bukan malah menyimpannya yang justru mengundang ribuan luka.Suara canda tawa di luar kamar
Kaki Mita seolah terpatri. Tidak mampu digerakkan sama sekali. Ia menatap pada wanita yang tengah menyambut hangat kedatangan Sifa. Dari caranya, terlihat sekali jika ini bukan pertemuan pertama mereka. Sudah ada pertemuan-pertemuan sebelumnya yang mungkin tidak Mita ketahui. Sifa terlihat sangat akrab, begitu juga sebaliknya. Hati Mita tercubit. Merasa keberadaannya sebagai seorang ibu terancam. Ia takut Mita lebih menyayangi wanita itu daripada dirinya.Pikiran-pikiran buruk berbisik begitu ramai memenuhi isi kepala Mita. Menambah sesak yang menghimpit dadanya.Angga yang berjalan lebih dulu dan menyadari jika Mita tidak mengikutinya menolehkan ke belakang punggung."Mit, ayo!" Angga menginterupsi. Menyadarkan Mita dari lamunan."I-iya!" Mita berjalan mengekori Angga. Untung saja penerangan di depan teras rumah Angga tidak terlalu terang. Hingga tidak ada satupun yang tau jika Mita sedang berusaha payah untuk memaksakan senyuman pada bibirnya. Menyembunyikan ribuan perasaan yang
Mita sadar, sebenarnya ia tidak berhak ikut campur apapun dalam urusan kehidupan Angga. Apalagi terbesit rasa cemburu pada lelaki yang kini bukan lagi suaminya. Mereka memang masih menjalin hubungan baik karena adannya Sifa diantara mereka. Jika bukan karena Sifa, mereka layaknya dua orang asing yang tidak saling mengenal."Mit, ayo!"Mita tergeragap. Dalam hati merutuk kesal. Ia pikir bibirnya sudah berhasil mempertanyakan siapa wanita pemilik nama Alina itu, tapi nyatanya pertanyaan itu hanya terbersit dalam benak Mita belaka."Oh, iya Mas." Mita menyusul Angga masuk ke dalam gedung sekolah yang sudah ramai sekali."Kemana ya Sifa?" Mita bergumam pelan, seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Angga yang berjalan mensejajarinya dapat mendengar jelas suara itu."Itu di sana!" Angga mengacungkan jari telunjuknya ke arah panggung. Di mana Sifa dan teman-temannya sebentar lagi akan tampil.Senyuman mengembang dari bibir Mita saat pandangannya menemukan sosok yang ia cari."Mit, du
"Mama!"Mita berdecak kesal. Kedatangan Sifa yang muncul dari arah pintu rumah menghentikan obrolan antara dirinya dan Angga. Padahal Mita sangat penasaran sekali dengan jawab Angga. Apakah lelaki itu benar sudah memiliki kekasih pengganti dirinya atau belum.Sifa memeluk erat tubuh Mita. Netra Mita menatap lekat pada Angga yang berdiri tidak jauh di depannya. Berharap menemukan jawaban."Aku kangen banget sama mama," ucap Sifa tulus."Iya, mama juga kangen banget sama kamu, Nak." Mita mengusap lembut punggung Sifa. Pandangannya memindai Angga yang melemparkan senyuman ke arahnya. Sorot matanya teduh sama seperti dulu, tidak pernah berubah sama sekali. Salah satu yang membuat hati Mita luluh pada Angga."Sifa, ayo mandi sayang. Nanti kita terlambat." Angga menginterupsi setalah cukup lama Mita dan Sifa berpelukan. Gadis itu melepaskan pelukannya dari tubuh Mita.Mita menyunggingkan senyuman pada Sifa. Sedikit canggung, dan pura-pura ti
"Terima. Terima. Terima."Seluruh karyawan yang berada di tempat itu bersorak. Mita semakin bingung juga gugup. Baru kali ini ia dilamar langsung oleh lelaki yang sama sekali tidak ia cintai. Yang lebih membuat Mita syok, Pak Aji melamarnya di depan umum. Harusnya Mita bahagia, jika saja Mita memiliki perasaan cinta. Tapi sayangnya Mita tidak memiliki perasaan apapun pada Pak Aji.Mita menatap Pak Aji. Sesaat kemudian mencari keberadaan Angga dan laki-laki itu sudah raib di tengah-tengah kerumunan. Tidak hanya karyawan yang bekerja di store tempat Mita bekerja yang berkumpul. Tapi para pengunjung pusat perbelanjaan itu ikut berkumpul menyaksikan Pak Aji melamar Paramita."Di depan semau orang yang ada di sini, aku ingin mengungkapkan perasaan yang sudah sekian lama aku pendam, Mit." Ada ketulusan dari sorot mata Pak Aji."Mit, maukah kamu menikah denganku? Menjadi ibu untuk anak-anakku?"Hening. Mita membisu bagai patung. Ingin menolak, tapi