Hatiku tidak tenang. Sekolah sudah sepi. Tapi Sifa belum juga keluar. Biasanya Sifa tidak pernah seperti ini. Apa jangan-jangan kelas Sifa belum keluar atau ....
Aku menyapu pandanganku ke sekeliling. Sudah tidak ada lagi orang tua murid yang menjemput anak-anaknya. Hanya ada aku yang tersisa sendirian.Aku turun dari motor menghampiri satpam sekolah yang bertugas untuk memastikan keberadaan Sifa."Pak, lihat Sifa putri saya nggak?" tanyaku. Aku yakin lelaki berseragam putih itu pasti hafal betul siapa aku. Hampir setiap hari kami bertemu saat aku menjemput Sifa."Sifa?" ucap Satpam dengan wajah berpikir, lalu menatap ke arah sekolah. Sepertinya apa yang ada di dalam benak lelaki itu sama seperti halnya denganku. Sejak siswa pertama keluar, aku tidak melihat kemunculan Sifa. Hingga seluruh siswa habis tak tersisa. Sifa tidak ada."Kayaknya, Eh ... Nggak ada deh Bu," jawab lelaki itu ragu. Juga tampak tidak enak padaku.Tubuhku gemetar. Pikiran buruk begitu cepat mengacaukan kewarasan yang susah payah aku pertahankan. Takut dan khawatir bercampur menjadi satu."Apa bapak yakin? Terus di mana anak saya dong, Pak?" protesku panik juga takut. Tidak tau harus meluapkan kekesalan ini pada siapa. Padahal aku sudah berangkat lebih awal untuk menjemput Sifa sebelum jam pulang sekolah."Tenang, Bu, sebentar, saya cek dulu di kelas." Lelaki berseragam putih itu pergi meninggalkanku. Aku menunggu dengan perasaan carut marut. Hatiku tidak tenang. Waktu serasa berjalan melambat. Tidak hanya melambat, tapi juga menyiksa batin ini.Lelaki berseragam putih itu berlari dari arah lorong koridor kelas setelah beberapa saat kemudian. Tapi, kenapa sendiri? Dimana Sifa?"Bagaimana Pak, mana Sifa?" Sergahku menatap ke sekitar lelaki yang tengah mengatur nafasnya itu di depanku."Kata guru kelas, tadi suami ibu menjemput Sifa saat jam pelajaran. Katanya ada urusan keluarga?"Aku membekap mulutku yang seketika menganga. Air mata merebak cepat memenuhi pelupuk mata. Aku tidak percaya Mas Angga melakukannya. Aku kira ia hanya mengancamku saja tadi pagi."Bu, anda baik-baik saja kan?"Ucapan penjaga sekolah itu menyadarkan aku. Saat aku sadar, pipiku sudah basah oleh air mata. "I-iya Pak, saya tidak apa-apa," lirihku seperti gumaman. Kerongkonganku serasa tercekat. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Tubuhku terasa begitu ringan. Kebas dan nyaris tidak bisa merasakan apapun.Aku kembali menuju motor dengan langkah gontai. Tubuhku lesu, tidak bertenaga. Aku mengendarai sepeda motor dengan perasaan hancur sehancur-hancurnya. Tapi sepertinya aku tahu ke mana Mas Angga membawa putri kami.Aku mengendarai motorku dengan kecepatan tinggi. Menuju rumah bercat biru yang aku datangi tadi pagi. Aku yakin Mas Angga membawa Sifa ke rumah istri mudanya. Kemana lagi? Tidak mungkin Mas Angga membawa Sifa pulang kampung. Karena itu sangat jauh sekali. Mas Angga juga memiliki tanggung jawab untuk bekerja.Tok ... Tok ...Aku mengetuk pintu rumah wanita murahan itu. Tidak mengetuk, melainkan menggedornya.Klak!Pintu terbuka."Kamu?" Wanita bernama Kinanti itu terhenyak melihat kemunculanku di depan pintu rumahnya."Di mana Mas Angga?" Aku mendesis. Menatap dengan sorot tajam. Bagaikan singa yang siap menerkam wanita murahan itu."Nggak ada, Mas Angga nggak ada di sini!" jawab Kinanti ketus. Wajahnya nampak tegang, mungkin takut kalau aku menyerangnya."Bohong!" sentakku tidak percaya. "Mas Angga pasti ada di sini!" Aku melotot. Api amarah serasa panas membakar jiwa."Mas, cepat' keluar kamu, Mas! Kembalikan Sifa padaku!" Aku berteriak di luar pintu, hendak menyerobot masuk."Dia tidak ada di sini! Tolong, jangan buat keributan di rumah saya." Kinanti mendorong tubuhku menjauh dari pintu dan hendak menutup pintu. Aku tidak tinggal diam, aku menahan pintu agar tidak tertutup dan segera menyerobot masuk. Kemerahan benar-benar menguasaiku."Hay, berhenti!" Kinanti berteriak menghalau langkahku. Mengejarku yang terlanjur masuk ke dalam rumah untuk menggeledah setiap sudut rumah itu."Mas Angga tidak ada di sini. Lebih baik kamu pulang dari rumah saya!" sentak Kinanti.Aku tidak peduli. "Mas Angga keluar kamu! Jangan bersembunyi. Di mana Sifa Mas!" Aku berteriak memeriksa setiap sudut rumah Kinanti. Tanpa mempedulikan omelan Kinanti."Hey, jangan lancang kamu ya! Atau aku akan memanggilkan kamu petugas keamanan." Kinanti mengancamku. Tapi aku sama sekali tidak takut. Aku terus memeriksa seluruh ruangan yang ada di dalam rumah itu.Ucapan Kinanti sungguh-sungguh. Ia benar-benar memangil petugas keamanan untuk mengusirku dari rumahnya. Aku terpaksa menurut, setelah memastikan jika Mas Angga memang tidak ada di rumah Kinanti.Setelah dari rumah Kinanti, aku mencari keberadaan Mas Angga ke tempat kerjanya. Barang kali lelaki itu pergi ke sana. Tapi hasilnya tetap sama, kata teman kerja Mas Angga di kantor, lelaki itu tidak masuk kerja hari ini. Lalu kemana perginya Mas Angga?____Senja melukis jingga di langit barat. Sepanjang hari aku duduk termenung di beranda rumah. Menatap ke arah pintu pagar yang sudah kubuka lebar sejak tadi. Menunggu kepulangan Mas Angga dan Sifa putriku. Tapi hingga suara adzan berkumandang lelaki itu tidak juga kunjung pulang.Aku tidak tau harus menghubungi Mas Angga kemana. Aku baru sadar, jika Mas Angga sudah memblokir nomorku. Entah sejak kapan pastinya, aku tidak tau. Aku lupa, aku benar-benar lena.Saat nelangsa menyisakan jiwa. Sepi nyaris membuatku mati. Aku mencoba menghubungi Mas Satya. Kemana lelaki itu? Penyembuh jiwaku, kenapa dia juga sama sekali tidak pernah menghubungiku?Tut ... Tut ....Panggilan terhubung. Namun tidak terangkat. Biasanya jam segini Mas Satya sudah pulang bekerja. Sementara istrinya masih sibuk di toko roti miliknya."Angkat dong Mas!" lirihku getir. Kini aku merasa benar-benar sendiri. Semua orang yang aku cintai pergi meninggalkan aku.Cahaya matahari menelusup masuk melalui celah-celah jendela kamarku. Menyilaukan pandanganku. Ada yang aneh dengan pagiku hari ini. Biasanya aku harus bangun paling awal untuk menyiapkan semua kebutuhan Mas Angga dan Sifa. Tapi kali ini, sepi seolah ingin membunuhku perlahan. Tidak ada Sifa tidak ada Mas Angga. Aku begitu merindukan suami dan anakku.Aku menangisi diri. Mengapa semua jadi seperti ini. Lalu siapa yang harus aku salahkan sekarang? Diriku sendiri? Atau Mas Angga?Dreet!Ponsel yang tergeletak di atas nakas bergetar. Meskipun malas, tanganku terulur untuk meraihnya. Berharap itu adalah pesan dari Mas Angga.Sebuah notifikasi pesan dari Mas Satya muncul pada layar ponsel. Secercah harapan terbit dalam hati. Ternyata masih ada yang peduli denganku. Aku butuh obat, penenang dari rasa sakit yang menyiksa ini.[Temuin aku di Cafe Marina.] tulis pesan dari Mas Satya.Cepat aku membalas. [Iya Mas.]Tidak menunggu waktu lama aku segera bersiap membersihkan diri. Tidak lupa memoles wajahku dengan make up natural. Hari ini aku tidak terlalu mood untuk berdandan yang berlebihan. Isi kepalaku dipenuhi oleh Mas Angga dan Sifa. Tapi di sisi lain aku juga butuh teman untuk berbagi.Tiga puluh menit berlalu. Aku sampai di cafe Marina. Karena masih terlalu pagi, cafe itu masih sepi. Hanya ada beberapa pengunjung yang datang. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling mencari keberadaan Mas Satya, tapi tidak menemukannya."Mbak Mita ya?"Aku terhenyak dan reflek membalikkan tubuhku. Seorang wanita berhijab berdiri di belakang punggungku, tengah melemparkan senyuman padaku."Saya Lidya istri dari Mas Satya," ucap wanita itu bak petir yang menyambar di siang bolong.'Apa yang ingin wanita ini lakukan? Apakah dia tau tentang perselingkuhanku dengan Mas Satya?'_____Bersambung ....“Aku yang membalas pesanmu di nomor Mas Satya.” Lanjut wanita yang mengaku sebagai istri Mas Satya.Kerongkonganku serasa tercekik. Degupan jantungku mendadak memburu cepat. Wajahku menegang tidak menyangka. Apakah itu berarti wanita ini sudah mengetahui perselingkuhanku dengan Mas Satya. Hatiku takut, jika wanita ini akan mengamuk padaku. Aku mematung seperti halnya orang bodoh.“Mari kita duduk, tidak enak kalau kita ngobrol sambil berdiri seperti ini,” ajak Lidya. Ada senyuman yang terulir dari bibirnya. Sama sekali tidak ada kemarahan. Harusnya jika dia tau aku adalah selingkuhan Mas Satya, Lidya pasti marah padaku. Tapi, wanita ini tampak begitu tenang sekali. Aku menurut, duduk pada salah satu bangku café. Wanita itu duduk pada bangku tepat di sebrang mejaku. “Nama kamu Mita?” tanyanya membuka obrolan. Aku menganggukan kepalaku. Dari mana dia tau? Apa Mas Satya yang bercerita? Ah, tidak mungkin.Wanita berwajah teduh yang mengaku istri Mas Satya itu mengulas senyuman. “Sudah be
Pov Angga.Wiper pada kaca yang ada di depan mobil bergerak ke kiri dan ke kanan. Menyapu titik-titk hujan yang turun meramunkan pandanganku. Ternyata bukan karena gerimis hujan yang turun. Melainkan gerombolan cairan yang memanas memenuhi pelupuk mata ini.Sakit, kecawa, hancur definisi rasa yang berkecamuk menjadi satu. Secara bersamaan menghujam segumpal daging yang apabila daging itu baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan apabila segumpal daging itu buruk maka buruklah seluruh tubuhnya dan segumpal daging itu adalah hatiku.Bough …Bough …Aku menghujani setir mobil sekeras mungkin. Tidak kurasakan sakit sama sekali pada tangan ini. Karena rasa sakitnya telah berbindah pada batin ini yang tersiksa oleh sebuah pengkhianatan.“Kenapa kamu tega sekali mengkhianati pernikahan kita, Mita!” kalimat itu terlontar begitu saja dari bibir ini. Perih merajam sukma yang terluka. Madu yang kuberikan pada Mita nyatanya dibalas racun yang mematikan. Kebohongan demi kebohongan terajut rapi menjad
“Papa.”“Papa.”Aku terbangun dari tidurku saat suara Sifa masuk memenuhi indra pendengaranku. Tangan mungil itu menggoyang lenganku dan membuatku tersadar dari kantuk yang menyergap.Kepalaku terasa berat. Aku baru bisa tidur saat adzan subuh berkumandang. Akhir-akhir ini pikiranku begitu kacau. Apalagi setelah mengetahui jika Mita berselingkuh dengan lelaki lain. Tidak hanya hatiku, hidupku juga hancur. Setiap malam aku berusaha mengumpulkan kepingan puzzle sisa-sisa hidupku yang telah hancur. Mancari alasan yang harus membuatku kuat dan tetap bertahan untuk melewati hari-hari. “Pah.” Panggilan Sifa melemah. Setelah melihat pergerakan tubuhku. Pelan aku membuka mata, mengusap sesaat netra yang terasa begitu lengket ini.“Kenapa, nak?” jawabku dengan suara berat. Karena jujur aku masih mengantuk sekali. Lagian ini hari minggu. Tidak ada salahnya bukan kalau aku bermalas-malasan barang sebentar.Sifa mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan wajah penuh tanya. Aku tau alasannya,
POV Author.Paramita berjalan gontai menyusuri paving blok yang berjajar rapi dihalaman rumahnya hingga ke beranda. Pandangannya kosong menatap rumah yang dulu menjadi impiannya bersama Angga. Susah payah ia membangun istana itu ditahan rantau bersama-sama. Tapi kini rumah itu hanya menjadi saksi bisu bahwa dirinya dan Angga pernah menjadi bagian satu sama lainya.Criet.Suara pintu yang kurang pelumas terdengar. Disambut dengan ruang gelap saat Mita mendorong pintu ke dalam. Hening, tawa Sifa dan celotehan gadis kecil yang kerap kali menyambut kedatangan Mita tak lagi terdengar. Hanya kehampaan yang semakin menyiksa batin wanita itu.Mita berjalan masuk. Mengabaikan ruangan gelap segelap hatinya saat ini. Ia bak layang-layang yang terlepas dari tuanya. Terombang ambing mengikuti arah angin yang membawanya tak tentu arah.Semua terasa tidak adil. Bukankah Angga juga berselingkuh. Bahkan sampai wanita selingkuhannya itu hamil. Tapi kenapa hanya Mita yang harus menanggung derita kehilan
Senyum bahagia mengembang dari bibir Sifa. Gadis kecil bermata indah itu memeluk erat tubuh MIta penuh kerinduan. Seolah telah ribuan purnama mereka tidak pernah bersua.Mita menangis. Lidahnya kelu tidak bisa berucap apapun. Tanganya mengusap lembut rambut Sifa yang ada dalam pelukannya. Ribuan sesal dan umpatan ia tujukan pada dirinya sendiri di dalam hati. Andai saja ia tak seliingkuh pasti semua akan baik-baik saja. Tapi tidak, Bukankah Angga juga melakukanya. Itu berarti, tidak semua kesalahan ada padanya.Pikiran Mita berkecamuk hebat. Ia sadar dirinya salah, tapi Angga juga bersalah. Jika Mita mampu, saat ini juga ia iangin membawa Sifa pergi bersamanya. Agar Angga tidak memisahkan gadis kecil itu lagi dengan dirinya. Persetan setelah ini Angga akan menikah dengan wanita itu. Mita tidak peduli. Ia hanya ingin bersama putri semata wayangnya. Karena hati Mita juga sama sakitnya karena perselingkuhan Angga.Hati Angga perih. Seperti di cabik dan di sayat tipis-tipis. Melihat peman
Kabut pagi yang menyelimuti telah memudar oleh hangatnya cahaya matahari yang mulai meninggi. Embun yang membasahi pucuk-pucuk dedaunan pun juga telah sirna. Berganti dengan kuncup-kuncup bunga yang bermekaran. Keheningan malam yang menenangkan, mulai tergilas dengan hiruk pikuk ramainya kehidupan anak manusia. Kereta yang membawa Angga dan Sifa telah tiba di sebuah stasiun kota kecil di provinsi Jawa tengah. Kereta datang lebih awal dari yang dijadwalkan. Saat kereta tiba stasiun, gadis kecil yang baru keluar dari rumah sakit itu masih terbuai oleh mimpi di atas pangkuan Angga.Angga berinisiatif untuk menggendong Sifa. Tidak peduli jika dia juga harus menurunkan dua koper miliknya dan milik Sifa. Saat ia mengangkat tubuh Sifa dari atas pangkuan, gadis kecil itupun terbangun."Kita sudah sampai ya, pa?" Sifa memaksakan membuka matanya, menatap ke sekeliling gerbong yang sudah kosong. Angga sengaja memilih turun paling akhir agar tidak berdesak-desakan dengan penumpang kereta yang la
Dangan langkah gemetar Mita menghampiri Satya. Lelaki yang berjanji akan menikahinya jika saja Angga menceraikannya dan sebentar lagi, semua itu akan menjadi kenyataan."Jadi total semuanya berapa, Mbak?" Suara lembut itu masuk dalam indra pendengaran Mita. Suara yang membuat wanita itu mabuk kebayang. Perkenalan yang Mita anggap sebagai pelampiasan atas kejenuhannya pada pernikahannya. Justru menyeretnya pada rasa nyaman yang membuatnya lupa jika ia adalah seorang istri dari lelaki lain."Kembalianya ambil saja, Mbak!" Tangan Satya terulur hendak mengambil kantong plastik berisi makanan yang pelayan itu letakan di atas meja."Mas Satya!" Suara Mita pelan, seperti tertahan di kerongkongan.Gerakan tangan Satya terhenti di udara. Suara yang tidak asing terdengar di telinganya membuat jantung Satya berdebar kencang.Mita menatap punggung lelaki yang berdiri di depannya dengan netra berkaca-kaca. Ada gundah yang rasanya ingin ia adukan pada Satya. Tentang rumah tangganya yang berada di u
Sepanjang perjalanan hanya keheningan yang tercipta. Wanita berbalut kerudung merah muda itu bergeming. Satya yang duduk di bangku kemudi juga tidak berani' bertanya. Ia kalah telak. Bagaikan simalakama maju kena mundur pun kena.Dada Lidya bergerak naik turun. Seraya mengatur nafasnya yang memburu karena emosi melihat Mita bertemu dengan Satya lagi. Susah payah ia menjauhkan Satya dari Mita dengan menyita ponsel lelaki itu. Justru dengan mudahnya takdir mempertemukan mereka kembali."Aku benar-benar tidak tau jika Mita juga berada di sana, Ma," lirih Satya. Bak seekor harimau yang sudah kehilangan taringnya. Satya tidak memiliki nyali sama sekali.Lidya melirik tajam pada Satya. Seketika lelaki itupun mengatubkan bibirnya. Jika saja tidak ingat akan keberadaan putra semata wayang mereka, Lidya pasti sudah membuang suami benalu seperti Satya. Lelaki yang hanya mampu nemplok di kehidupan Lidya juga keluarganya."Ini terkahir kalinya kamu bertemu dengan wanita itu, Mas. Jika kamu mengul
Angga sempat menyerah untuk kembali rujuk dengan Mita. Setelah tau jika ada lelaki lain yang kini sedang mendekati mantan istrinya itu. Namun setelah tau jika Mita tidak memilih lelaki itu, Angga kembali bersemangat. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang pernah ia sia-siakan. "Rujuk?" ucap Mita tidak yakin dengan apa yang ia dengar. Angga menganggukkan kepalanya menyakinkan."Mas bercanda, kan?" Mita tersenyum tipis. Menatap ragu."Enggak Mit, aku serius. Aku ingin kita rujuk lagi." Angga menyakinkan."Tapi aku ...""Kenapa dengan kamu?" Angga membuat sedikit lengkungan pada bibirnya. Agar suasana tidak terasa begitu canggung."Aku sudah menyakiti kamu, Mas. Aku bukan wanita baik-baik." Mita tertunduk. Menyembunyikan rasa malu atas semua perbuatannya pada Angga.Angga menatap lekat pada Mita yang duduk di depannya. Semua masalah yang terjadi pada akhirnya hanya sebuah proses pendewasaan diri. Kini ia menemukan sosok Mita yang jauh lebih baik."Aku sudah memaafkannya," balas An
"Ini Bu Mita pemilik catering yang sebulan terakhir ini melayani perusahaan kita, Pak." Wanita cantik berseragam formal itu menjelaskan siapa sosok yang berdiri di depan Angga. Tentu saja Angga kenal betul. Bagaimana tidak, Mita pernah menjadi bagian hidupnya hingga bertahun-tahun.Angga mengangguk mengerti. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya saja pandangannya tidak beralih sedikitpun dari Mita yang berdiri di hadapannya. Membuat Mita merasa tidak nyaman."Jadi semuanya berapa Bu?" Wanita yang berdiri di samping Angga menyiapkan beberapa lembar uang berwarna merah untuk pembayaran.Mita mengabaikan perasaan gugup yang menyelimuti. Ia benar-benar tidak menyangka jika akan bertemu dengan Angga lagi. Ternyata takdir kembali menuntutnya di jalan yang sudah ia ikhlaskan."Besok kami pesan lagi nasi 30 box dan cemilannya sekalian, bisa?" ucap wanita yang berdiri di samping Angga setelah membayar semua pesanannya."Bisa, Mbak," jawab Mita ramah. Senyuman terulas dari bibirnya.
Cukup lama menunggu. Tanda centang pada pesan yang Angga kirimkan pada Mita telah berganti biru. Tanda jika pesan yang ia kirim telah dibaca. "Harusnya aku mengungkapkannya saja dari kemarin." Angga merutuki dirinya sendiri. Mengusap wajahnya kasar. Menunggu pesannya yang tidak kunjung berbalas.Siang menjelang. Angga masih berdiam diri di rumah Marni. Ia belum beranjak pergi kemanapun. Sesekali ia mengecek pesan' yang ia kirimkan pada Mita berharap mantan istrinya itu memberikan jawaban. Namun, hingga sore menjelang, Mita tidak kunjung membalas pesannya. "Apakah dia benar-benar menolakku?" Angga bermonolog dengan dirinya sendiri. Merutuki kebodohannya yang terlalu mengulur waktu. "Atau aku datang saja ke rumah ya dan mengatakan semuanya secara langsung pada Mita?" Angga berbicara dengan dirinya sendiri."Tapi, bagaimana kalau Mita menolakku?" Angga menimbang segala rasa yang berkecamuk di dalam dadanya.Ditempat lain Mita sudah tiba di rumahnya. Pak Aji pun langsung berpamitan pe
Klak.Pak Aji turun dari dalam mobil. Mita mematung di ambang pintu dengan mulut menganga. Mendadak otaknya blank melihat lelaki yang tengah mengulas senyuman ke arahnya."Akhirnya aku sampai juga," ucap Pak Aji membuang nafas lega.Mita mengedipkan matanya beberapa kali. Berharap apa yang ia lihat hanya sebuah mimpi' dan ia akan segera terbangun."Siapa laki-laki itu?" celetukan Marni menyadarkan Mita jika apa yang ia lihat bukanlah mimpi. Pak Aji sudah datang untuk menjemputnya sesuai permintaannya."Selamat pagi." Pak Aji memindai tatapannya pada Mita lalu, mereka yang ada di dalam rumah Marni.Gleg.Mita menelan ludahnya kasar. Terasa begitu pahit sekali. Sepahit kenyataan yang sedang ia hadapi sekarang. Gara-gara kesalahan pahamannya membuat Mita salah sangka dan gegabah mengambil jalan yang salah.Mita menoleh. Tatapannya langsung tertuju pada Angga. Hatinya ketar ketir bukan main. Meskipun mantan suaminya terlihat tenang dan tidak menunjukkan ekspresi apapun. Sekilas Angga mem
Tut ... Tut ...Mita berdecak kesal. Nomor Menager yang menaruh hati padanya tidak bisa dihubungi. Lebih tepatnya lelaki itu tidak mau menjawab panggilannya. "Ayo dong Pak angkat!" gerutu Mita memburui. Tidak sabaran."Nomor yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah ...."Mita mengakhiri panggilannya sepihak. Kesal, karena lagi-lagi suara operator yang menjawab panggilannya.Mita nyaris frustasi. Menatap pada layar ponsel miliknya. Tanda centang pada pesan yang ia kirimkan pada Pak Aji sudah berganti biru, tanda jika lelaki itu sudah dibaca pesannya. Tapi hal itu tidak lantas membuat Pak Aji mau menjawab panggilannya. Apalagi membalas pesannya. Entah marah atau kecewa, setelah lamarannya di tolak Pak Aji seperti sengaja' menjauhi Mita. Mita tertunduk pasrah. Bergelut dengan pikirannya sendiri. Harusnya saat Angga memutuskan untuk berpisah dengannya, saat itu juga Mita menyudahi rasa yang tersisa. Bukan malah menyimpannya yang justru mengundang ribuan luka.Suara canda tawa di luar kamar
Kaki Mita seolah terpatri. Tidak mampu digerakkan sama sekali. Ia menatap pada wanita yang tengah menyambut hangat kedatangan Sifa. Dari caranya, terlihat sekali jika ini bukan pertemuan pertama mereka. Sudah ada pertemuan-pertemuan sebelumnya yang mungkin tidak Mita ketahui. Sifa terlihat sangat akrab, begitu juga sebaliknya. Hati Mita tercubit. Merasa keberadaannya sebagai seorang ibu terancam. Ia takut Mita lebih menyayangi wanita itu daripada dirinya.Pikiran-pikiran buruk berbisik begitu ramai memenuhi isi kepala Mita. Menambah sesak yang menghimpit dadanya.Angga yang berjalan lebih dulu dan menyadari jika Mita tidak mengikutinya menolehkan ke belakang punggung."Mit, ayo!" Angga menginterupsi. Menyadarkan Mita dari lamunan."I-iya!" Mita berjalan mengekori Angga. Untung saja penerangan di depan teras rumah Angga tidak terlalu terang. Hingga tidak ada satupun yang tau jika Mita sedang berusaha payah untuk memaksakan senyuman pada bibirnya. Menyembunyikan ribuan perasaan yang
Mita sadar, sebenarnya ia tidak berhak ikut campur apapun dalam urusan kehidupan Angga. Apalagi terbesit rasa cemburu pada lelaki yang kini bukan lagi suaminya. Mereka memang masih menjalin hubungan baik karena adannya Sifa diantara mereka. Jika bukan karena Sifa, mereka layaknya dua orang asing yang tidak saling mengenal."Mit, ayo!"Mita tergeragap. Dalam hati merutuk kesal. Ia pikir bibirnya sudah berhasil mempertanyakan siapa wanita pemilik nama Alina itu, tapi nyatanya pertanyaan itu hanya terbersit dalam benak Mita belaka."Oh, iya Mas." Mita menyusul Angga masuk ke dalam gedung sekolah yang sudah ramai sekali."Kemana ya Sifa?" Mita bergumam pelan, seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Angga yang berjalan mensejajarinya dapat mendengar jelas suara itu."Itu di sana!" Angga mengacungkan jari telunjuknya ke arah panggung. Di mana Sifa dan teman-temannya sebentar lagi akan tampil.Senyuman mengembang dari bibir Mita saat pandangannya menemukan sosok yang ia cari."Mit, du
"Mama!"Mita berdecak kesal. Kedatangan Sifa yang muncul dari arah pintu rumah menghentikan obrolan antara dirinya dan Angga. Padahal Mita sangat penasaran sekali dengan jawab Angga. Apakah lelaki itu benar sudah memiliki kekasih pengganti dirinya atau belum.Sifa memeluk erat tubuh Mita. Netra Mita menatap lekat pada Angga yang berdiri tidak jauh di depannya. Berharap menemukan jawaban."Aku kangen banget sama mama," ucap Sifa tulus."Iya, mama juga kangen banget sama kamu, Nak." Mita mengusap lembut punggung Sifa. Pandangannya memindai Angga yang melemparkan senyuman ke arahnya. Sorot matanya teduh sama seperti dulu, tidak pernah berubah sama sekali. Salah satu yang membuat hati Mita luluh pada Angga."Sifa, ayo mandi sayang. Nanti kita terlambat." Angga menginterupsi setalah cukup lama Mita dan Sifa berpelukan. Gadis itu melepaskan pelukannya dari tubuh Mita.Mita menyunggingkan senyuman pada Sifa. Sedikit canggung, dan pura-pura ti
"Terima. Terima. Terima."Seluruh karyawan yang berada di tempat itu bersorak. Mita semakin bingung juga gugup. Baru kali ini ia dilamar langsung oleh lelaki yang sama sekali tidak ia cintai. Yang lebih membuat Mita syok, Pak Aji melamarnya di depan umum. Harusnya Mita bahagia, jika saja Mita memiliki perasaan cinta. Tapi sayangnya Mita tidak memiliki perasaan apapun pada Pak Aji.Mita menatap Pak Aji. Sesaat kemudian mencari keberadaan Angga dan laki-laki itu sudah raib di tengah-tengah kerumunan. Tidak hanya karyawan yang bekerja di store tempat Mita bekerja yang berkumpul. Tapi para pengunjung pusat perbelanjaan itu ikut berkumpul menyaksikan Pak Aji melamar Paramita."Di depan semau orang yang ada di sini, aku ingin mengungkapkan perasaan yang sudah sekian lama aku pendam, Mit." Ada ketulusan dari sorot mata Pak Aji."Mit, maukah kamu menikah denganku? Menjadi ibu untuk anak-anakku?"Hening. Mita membisu bagai patung. Ingin menolak, tapi