Senyum bahagia mengembang dari bibir Sifa. Gadis kecil bermata indah itu memeluk erat tubuh MIta penuh kerinduan. Seolah telah ribuan purnama mereka tidak pernah bersua.Mita menangis. Lidahnya kelu tidak bisa berucap apapun. Tanganya mengusap lembut rambut Sifa yang ada dalam pelukannya. Ribuan sesal dan umpatan ia tujukan pada dirinya sendiri di dalam hati. Andai saja ia tak seliingkuh pasti semua akan baik-baik saja. Tapi tidak, Bukankah Angga juga melakukanya. Itu berarti, tidak semua kesalahan ada padanya.Pikiran Mita berkecamuk hebat. Ia sadar dirinya salah, tapi Angga juga bersalah. Jika Mita mampu, saat ini juga ia iangin membawa Sifa pergi bersamanya. Agar Angga tidak memisahkan gadis kecil itu lagi dengan dirinya. Persetan setelah ini Angga akan menikah dengan wanita itu. Mita tidak peduli. Ia hanya ingin bersama putri semata wayangnya. Karena hati Mita juga sama sakitnya karena perselingkuhan Angga.Hati Angga perih. Seperti di cabik dan di sayat tipis-tipis. Melihat peman
Kabut pagi yang menyelimuti telah memudar oleh hangatnya cahaya matahari yang mulai meninggi. Embun yang membasahi pucuk-pucuk dedaunan pun juga telah sirna. Berganti dengan kuncup-kuncup bunga yang bermekaran. Keheningan malam yang menenangkan, mulai tergilas dengan hiruk pikuk ramainya kehidupan anak manusia. Kereta yang membawa Angga dan Sifa telah tiba di sebuah stasiun kota kecil di provinsi Jawa tengah. Kereta datang lebih awal dari yang dijadwalkan. Saat kereta tiba stasiun, gadis kecil yang baru keluar dari rumah sakit itu masih terbuai oleh mimpi di atas pangkuan Angga.Angga berinisiatif untuk menggendong Sifa. Tidak peduli jika dia juga harus menurunkan dua koper miliknya dan milik Sifa. Saat ia mengangkat tubuh Sifa dari atas pangkuan, gadis kecil itupun terbangun."Kita sudah sampai ya, pa?" Sifa memaksakan membuka matanya, menatap ke sekeliling gerbong yang sudah kosong. Angga sengaja memilih turun paling akhir agar tidak berdesak-desakan dengan penumpang kereta yang la
Dangan langkah gemetar Mita menghampiri Satya. Lelaki yang berjanji akan menikahinya jika saja Angga menceraikannya dan sebentar lagi, semua itu akan menjadi kenyataan."Jadi total semuanya berapa, Mbak?" Suara lembut itu masuk dalam indra pendengaran Mita. Suara yang membuat wanita itu mabuk kebayang. Perkenalan yang Mita anggap sebagai pelampiasan atas kejenuhannya pada pernikahannya. Justru menyeretnya pada rasa nyaman yang membuatnya lupa jika ia adalah seorang istri dari lelaki lain."Kembalianya ambil saja, Mbak!" Tangan Satya terulur hendak mengambil kantong plastik berisi makanan yang pelayan itu letakan di atas meja."Mas Satya!" Suara Mita pelan, seperti tertahan di kerongkongan.Gerakan tangan Satya terhenti di udara. Suara yang tidak asing terdengar di telinganya membuat jantung Satya berdebar kencang.Mita menatap punggung lelaki yang berdiri di depannya dengan netra berkaca-kaca. Ada gundah yang rasanya ingin ia adukan pada Satya. Tentang rumah tangganya yang berada di u
Sepanjang perjalanan hanya keheningan yang tercipta. Wanita berbalut kerudung merah muda itu bergeming. Satya yang duduk di bangku kemudi juga tidak berani' bertanya. Ia kalah telak. Bagaikan simalakama maju kena mundur pun kena.Dada Lidya bergerak naik turun. Seraya mengatur nafasnya yang memburu karena emosi melihat Mita bertemu dengan Satya lagi. Susah payah ia menjauhkan Satya dari Mita dengan menyita ponsel lelaki itu. Justru dengan mudahnya takdir mempertemukan mereka kembali."Aku benar-benar tidak tau jika Mita juga berada di sana, Ma," lirih Satya. Bak seekor harimau yang sudah kehilangan taringnya. Satya tidak memiliki nyali sama sekali.Lidya melirik tajam pada Satya. Seketika lelaki itupun mengatubkan bibirnya. Jika saja tidak ingat akan keberadaan putra semata wayang mereka, Lidya pasti sudah membuang suami benalu seperti Satya. Lelaki yang hanya mampu nemplok di kehidupan Lidya juga keluarganya."Ini terkahir kalinya kamu bertemu dengan wanita itu, Mas. Jika kamu mengul
"KINANTI!" Mita memekik sekuat tenaga yang tersisa. Wanita bernama Kinanti itupun terhenti, begitu juga suaminya, Indra."Bu, mau kemana Bu?" Dua perawat menghalau Mita yang hendak turun dari bed pasien."Dasar wanita jal*ng!" umpat Mita geram. Sekilas ia melihat tangan Kinanti yang melingkar pada lengan Indra. Lalu pada wajah ayu wanita itu. Mita pasti berpikir jika Kinanti sudah mempermainkan Angga. Indra menatap pada istrinya menuntut jawab. Ia tidak mengerti mengapa Mita menyebut istrinya sebagai wanita murahan.Mita susah payah mengatur nafasnya yang nyaris putus. Kekuatan yang sesaat lalu mendadak sirna. Tubuh Mita kembali lemas, wajahnya pucat bak mayat hidup."Di mana kamu ...." Mita terengah-engah. Sorot matanya yang basah menatap tajam Kinanti. Wanita yang ia pikir adalah istri kedua suaminya."Bu, ibu istirahat dulu, ya! Biar dokter memeriksa keadaan ibu dulu." Perawat menahan tubuh Mira, berusaha membaringkannya. Tapi Mita menolak keras. "Ada apa ini, Ma?" Indra penasar
Jadi Mas Angga tidak berselingkuh? Wanita itu bukan istri muda Mas Angga? Tapi kenapa Mas Angga membohongiku?Pikiran-pikiran itu berkecamuk memenuhi benak Paramita. Hampir lima menit wanita yang terbaring di atas bed pasien itu tenggelam dalam pikirannya sendiri. Setelah mendengarkan penjelasan dari Kinanti, jika dirinya bukanlah istri muda Angga, seperti yang Angga akui pada Mita."Untuk urusan pastinya kenapa Pak Angga melakukan itu, saya dan istri saya tidak tau, Bu. Yang jelas, Kinanti tidak ada hubungan apapun dengan Pak Angga." Indra menutup penjelasannya.Apa jangan-jangan karena aku selingkuh dan Mas Angga ingin membalas dendam padaku. Biar aku merasakan sakit yang sama seperti apa yang ia rasakan? Hati Mita merintih nyeri. Ia merasa menjadi manusia paling berdosa jika saja benar apa yang Angga lakukan hanya untuk membalaskan rasa sakitnya dan sebenarnya Angga sama sekali tidak pernah berselingkuh dengan wanita manapun.Rasa bersalah menghujam, mencabik-cabik hati Mita. Jika
Sepanjang malam netra Angga nyaris terjaga. Sekejap pun ia tidak bisa lena. Di dalam benaknya hanya ada nama Mita, Mita dan Mita. Cinta itu masih teramat besar untuk Mita. Sebesar kekhawatirannya saat ini. Sekalipun Angga terus berusaha untuk menepisnya. Tapi rasa itu seolah mendarah daging dan semakin merajalela di dalam dada."Bagiamana Mita di rumah sakit? Siapa yang akan menemaninya? Dia kan tidak punya siapa-siapa selain aku."Pikiran itu memenuhi isi kepala Angga. Namun di sisi lain, ada perasaan lain yang justru membuatnya terluka. Menyadari jika Mita tidak hanya sudah membagi tubuhnya, tapi juga cintanya."Untuk apa? Mita kan sudah tidak membutuhkan aku. Pasti sekarang dia akan meminta kekasihnya untuk menemaninya di rumah sakit'."Bibir Angga tersenyum kecut. Menertawakan pikirannya sendiri. Untuk apa ia memikirkan wanita yang sudah membagi cintanya. Hati Angga terasa pilu. Ia bak seorang pecundang yang menyedihkan. Angga kembali teringat pesan-pesan WhatsApp Mita dan Satya.
Sakit di dalam hati Angga sudah tidak bisa di deskripsikan lagi. Luka yang Mita torehkan menghancurkan seluruh isi hati berserta harga diri Angga sebagai seorang suami dan juga laki-laki."Memangnya kenapa, kamu tidak suka?" Suara Angga ketus. Tapi lelehan air mata membasahi pipinya.Mita sudah tidak tahan. Ia membalikan badannya miring ke arah Angga. Menatap punggung Angga, yang berbaring memunggunginya. Mita terisak, perlahan ia bergeser dan memeluk tubuh Angga dari belakang. Mita tidak sanggup menahan sesak itu sendiri. Harus ia akui jika dirinya merindukan Angga.Nyeri. Itulah yang pertama kali Angga rasakan. Hidupnya seolah berada diambang batas kehancuran. Tiada lagi harapan, yang ada hanya sebuah penyesalan. Kenapa Mita setega itu kepadanya?"Maafkan aku, Mas! Aku tau aku salah. Maafkan aku Mas!" Mita tergugu. Suaranya putus-putus, dadanya begitu sesak. Mita menenggelamkan wajahnya di punggung Angga.Rahang Angga menggerat. Menahan diri agar bibirnya tidak mengeluarkan isakan.
Angga sempat menyerah untuk kembali rujuk dengan Mita. Setelah tau jika ada lelaki lain yang kini sedang mendekati mantan istrinya itu. Namun setelah tau jika Mita tidak memilih lelaki itu, Angga kembali bersemangat. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang pernah ia sia-siakan. "Rujuk?" ucap Mita tidak yakin dengan apa yang ia dengar. Angga menganggukkan kepalanya menyakinkan."Mas bercanda, kan?" Mita tersenyum tipis. Menatap ragu."Enggak Mit, aku serius. Aku ingin kita rujuk lagi." Angga menyakinkan."Tapi aku ...""Kenapa dengan kamu?" Angga membuat sedikit lengkungan pada bibirnya. Agar suasana tidak terasa begitu canggung."Aku sudah menyakiti kamu, Mas. Aku bukan wanita baik-baik." Mita tertunduk. Menyembunyikan rasa malu atas semua perbuatannya pada Angga.Angga menatap lekat pada Mita yang duduk di depannya. Semua masalah yang terjadi pada akhirnya hanya sebuah proses pendewasaan diri. Kini ia menemukan sosok Mita yang jauh lebih baik."Aku sudah memaafkannya," balas An
"Ini Bu Mita pemilik catering yang sebulan terakhir ini melayani perusahaan kita, Pak." Wanita cantik berseragam formal itu menjelaskan siapa sosok yang berdiri di depan Angga. Tentu saja Angga kenal betul. Bagaimana tidak, Mita pernah menjadi bagian hidupnya hingga bertahun-tahun.Angga mengangguk mengerti. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya saja pandangannya tidak beralih sedikitpun dari Mita yang berdiri di hadapannya. Membuat Mita merasa tidak nyaman."Jadi semuanya berapa Bu?" Wanita yang berdiri di samping Angga menyiapkan beberapa lembar uang berwarna merah untuk pembayaran.Mita mengabaikan perasaan gugup yang menyelimuti. Ia benar-benar tidak menyangka jika akan bertemu dengan Angga lagi. Ternyata takdir kembali menuntutnya di jalan yang sudah ia ikhlaskan."Besok kami pesan lagi nasi 30 box dan cemilannya sekalian, bisa?" ucap wanita yang berdiri di samping Angga setelah membayar semua pesanannya."Bisa, Mbak," jawab Mita ramah. Senyuman terulas dari bibirnya.
Cukup lama menunggu. Tanda centang pada pesan yang Angga kirimkan pada Mita telah berganti biru. Tanda jika pesan yang ia kirim telah dibaca. "Harusnya aku mengungkapkannya saja dari kemarin." Angga merutuki dirinya sendiri. Mengusap wajahnya kasar. Menunggu pesannya yang tidak kunjung berbalas.Siang menjelang. Angga masih berdiam diri di rumah Marni. Ia belum beranjak pergi kemanapun. Sesekali ia mengecek pesan' yang ia kirimkan pada Mita berharap mantan istrinya itu memberikan jawaban. Namun, hingga sore menjelang, Mita tidak kunjung membalas pesannya. "Apakah dia benar-benar menolakku?" Angga bermonolog dengan dirinya sendiri. Merutuki kebodohannya yang terlalu mengulur waktu. "Atau aku datang saja ke rumah ya dan mengatakan semuanya secara langsung pada Mita?" Angga berbicara dengan dirinya sendiri."Tapi, bagaimana kalau Mita menolakku?" Angga menimbang segala rasa yang berkecamuk di dalam dadanya.Ditempat lain Mita sudah tiba di rumahnya. Pak Aji pun langsung berpamitan pe
Klak.Pak Aji turun dari dalam mobil. Mita mematung di ambang pintu dengan mulut menganga. Mendadak otaknya blank melihat lelaki yang tengah mengulas senyuman ke arahnya."Akhirnya aku sampai juga," ucap Pak Aji membuang nafas lega.Mita mengedipkan matanya beberapa kali. Berharap apa yang ia lihat hanya sebuah mimpi' dan ia akan segera terbangun."Siapa laki-laki itu?" celetukan Marni menyadarkan Mita jika apa yang ia lihat bukanlah mimpi. Pak Aji sudah datang untuk menjemputnya sesuai permintaannya."Selamat pagi." Pak Aji memindai tatapannya pada Mita lalu, mereka yang ada di dalam rumah Marni.Gleg.Mita menelan ludahnya kasar. Terasa begitu pahit sekali. Sepahit kenyataan yang sedang ia hadapi sekarang. Gara-gara kesalahan pahamannya membuat Mita salah sangka dan gegabah mengambil jalan yang salah.Mita menoleh. Tatapannya langsung tertuju pada Angga. Hatinya ketar ketir bukan main. Meskipun mantan suaminya terlihat tenang dan tidak menunjukkan ekspresi apapun. Sekilas Angga mem
Tut ... Tut ...Mita berdecak kesal. Nomor Menager yang menaruh hati padanya tidak bisa dihubungi. Lebih tepatnya lelaki itu tidak mau menjawab panggilannya. "Ayo dong Pak angkat!" gerutu Mita memburui. Tidak sabaran."Nomor yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah ...."Mita mengakhiri panggilannya sepihak. Kesal, karena lagi-lagi suara operator yang menjawab panggilannya.Mita nyaris frustasi. Menatap pada layar ponsel miliknya. Tanda centang pada pesan yang ia kirimkan pada Pak Aji sudah berganti biru, tanda jika lelaki itu sudah dibaca pesannya. Tapi hal itu tidak lantas membuat Pak Aji mau menjawab panggilannya. Apalagi membalas pesannya. Entah marah atau kecewa, setelah lamarannya di tolak Pak Aji seperti sengaja' menjauhi Mita. Mita tertunduk pasrah. Bergelut dengan pikirannya sendiri. Harusnya saat Angga memutuskan untuk berpisah dengannya, saat itu juga Mita menyudahi rasa yang tersisa. Bukan malah menyimpannya yang justru mengundang ribuan luka.Suara canda tawa di luar kamar
Kaki Mita seolah terpatri. Tidak mampu digerakkan sama sekali. Ia menatap pada wanita yang tengah menyambut hangat kedatangan Sifa. Dari caranya, terlihat sekali jika ini bukan pertemuan pertama mereka. Sudah ada pertemuan-pertemuan sebelumnya yang mungkin tidak Mita ketahui. Sifa terlihat sangat akrab, begitu juga sebaliknya. Hati Mita tercubit. Merasa keberadaannya sebagai seorang ibu terancam. Ia takut Mita lebih menyayangi wanita itu daripada dirinya.Pikiran-pikiran buruk berbisik begitu ramai memenuhi isi kepala Mita. Menambah sesak yang menghimpit dadanya.Angga yang berjalan lebih dulu dan menyadari jika Mita tidak mengikutinya menolehkan ke belakang punggung."Mit, ayo!" Angga menginterupsi. Menyadarkan Mita dari lamunan."I-iya!" Mita berjalan mengekori Angga. Untung saja penerangan di depan teras rumah Angga tidak terlalu terang. Hingga tidak ada satupun yang tau jika Mita sedang berusaha payah untuk memaksakan senyuman pada bibirnya. Menyembunyikan ribuan perasaan yang
Mita sadar, sebenarnya ia tidak berhak ikut campur apapun dalam urusan kehidupan Angga. Apalagi terbesit rasa cemburu pada lelaki yang kini bukan lagi suaminya. Mereka memang masih menjalin hubungan baik karena adannya Sifa diantara mereka. Jika bukan karena Sifa, mereka layaknya dua orang asing yang tidak saling mengenal."Mit, ayo!"Mita tergeragap. Dalam hati merutuk kesal. Ia pikir bibirnya sudah berhasil mempertanyakan siapa wanita pemilik nama Alina itu, tapi nyatanya pertanyaan itu hanya terbersit dalam benak Mita belaka."Oh, iya Mas." Mita menyusul Angga masuk ke dalam gedung sekolah yang sudah ramai sekali."Kemana ya Sifa?" Mita bergumam pelan, seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Angga yang berjalan mensejajarinya dapat mendengar jelas suara itu."Itu di sana!" Angga mengacungkan jari telunjuknya ke arah panggung. Di mana Sifa dan teman-temannya sebentar lagi akan tampil.Senyuman mengembang dari bibir Mita saat pandangannya menemukan sosok yang ia cari."Mit, du
"Mama!"Mita berdecak kesal. Kedatangan Sifa yang muncul dari arah pintu rumah menghentikan obrolan antara dirinya dan Angga. Padahal Mita sangat penasaran sekali dengan jawab Angga. Apakah lelaki itu benar sudah memiliki kekasih pengganti dirinya atau belum.Sifa memeluk erat tubuh Mita. Netra Mita menatap lekat pada Angga yang berdiri tidak jauh di depannya. Berharap menemukan jawaban."Aku kangen banget sama mama," ucap Sifa tulus."Iya, mama juga kangen banget sama kamu, Nak." Mita mengusap lembut punggung Sifa. Pandangannya memindai Angga yang melemparkan senyuman ke arahnya. Sorot matanya teduh sama seperti dulu, tidak pernah berubah sama sekali. Salah satu yang membuat hati Mita luluh pada Angga."Sifa, ayo mandi sayang. Nanti kita terlambat." Angga menginterupsi setalah cukup lama Mita dan Sifa berpelukan. Gadis itu melepaskan pelukannya dari tubuh Mita.Mita menyunggingkan senyuman pada Sifa. Sedikit canggung, dan pura-pura ti
"Terima. Terima. Terima."Seluruh karyawan yang berada di tempat itu bersorak. Mita semakin bingung juga gugup. Baru kali ini ia dilamar langsung oleh lelaki yang sama sekali tidak ia cintai. Yang lebih membuat Mita syok, Pak Aji melamarnya di depan umum. Harusnya Mita bahagia, jika saja Mita memiliki perasaan cinta. Tapi sayangnya Mita tidak memiliki perasaan apapun pada Pak Aji.Mita menatap Pak Aji. Sesaat kemudian mencari keberadaan Angga dan laki-laki itu sudah raib di tengah-tengah kerumunan. Tidak hanya karyawan yang bekerja di store tempat Mita bekerja yang berkumpul. Tapi para pengunjung pusat perbelanjaan itu ikut berkumpul menyaksikan Pak Aji melamar Paramita."Di depan semau orang yang ada di sini, aku ingin mengungkapkan perasaan yang sudah sekian lama aku pendam, Mit." Ada ketulusan dari sorot mata Pak Aji."Mit, maukah kamu menikah denganku? Menjadi ibu untuk anak-anakku?"Hening. Mita membisu bagai patung. Ingin menolak, tapi