Seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan dua sejoli yang pernah berikrar untuk sehidup semati. Angga dan Mita laksana orang asing yang tidak saling mengenal. Mereka hanya bicara seperlunya. Terutama Angga. Lelaki yang pernah meluluhkan hati Mita itu lebih banyak diam.Angga kembali menjatuhkan bobot tubuhnya pada bangku tunggu yang ada di depan stasiun. Setelah hampir tiga puluh menit berdiri di tepi teras stasiun. Menatap ke arah pintu masuk. Hujan mengguyur begitu deras. Sejak kereta yang Angga dan Mita tumpangi berhenti di stasiun kota. Hingga detik kini Angga dan Mita menunggu mobil grab yang ia pesan dari salah' satu aplikasi online, yang belum juga datang. Pengemudi grab itu baru saja mengabarkan jika mobilnya sedang terjebak banjir. Hal yang begitu wajar terjadi di kota saat hujan turun deras seperti saat ini.Mita membisu. Bibirnya terkatub rapat. Tapi tidak dengan benaknya yang begitu ramai. Tatapannya kosong, menatap hujan yang semakin menggila. "Aku belikan kamu
Pada akhirnya setiap manusia akan menerima ganjaran dari setiap perbuatannya. Jika tidak di dunia, pasti diakhirat. Ada yang dibayar, kontan ada juga yang memang Tuhan tangguhkan agar manusia itu semakin lalai dengan kesenangannya atau disebut istidraj. Seperti halnya Mita yang pada akhirnya harus menerima konsekuensi atas perbuatannya. Kehilangan Angga dan putri semata wayangnya. Rumah tangga yang ia bangun bertahun-tahun hancur menyisakan kenangan. Sementara Satya, lelaki yang ia pikir akan memberikannya kebahagiaan, justru lebih dulu pergi meninggalkannya. Tanpa tanggung jawab atau kata maaf. Satya membiarkan Mita jatuh, remuk hingga tak berbentuk. Sendirian. Hari-hari Mita lalui berteman sepi. Tidak hanya sepi, tapi hampa serasa ingin mati. Susah payah Mita menguatkan diri untuk tetap menjalani hari-hari. Walau kepiluan kerap kali datang mengikis relung hati. Dan pada akhirnya hanya Tuhanlah tempat Mita mengadu dan kembali. Bersimpuh memohon ampunan atas dosa dan kelalaian yang
Mita tercengang, bukan karena kagum melainkan tengah menahan perih. Jika dulu Angga menjadi tempatnya mengadu. Kini ia harus terbiasa menjadi orang lain untuk Angga. Ada dinding kokoh yang tidak akan mungkin Mita jangkau. Yang Angga ciptakan untuk dirinya dan Mita.Mita memundurkan beberapa langkah kakinya hingga menyentuh ambang pintu. Ucapan Angga bak bogem mentah yang menamparnya, membuatnya seketika sadar jika dirinya bukanlah siapa-siapa lagi bagi Angga.“Maaf!” lirik MIta dengan suara berat. Pipinya masih basah meninggalkan jejak air mata dan kini hatinya harus remuk kembali. Mita benar-benar merasa hidup sebatang kara. Selepas Angga meninggalkannya.Angga menatap penasaran. “Kamu menangis?” ucap Angga. Cepat-cepat Mita mengusap jejak kesedihan pada pipinya yang kini semakin tirus. Badai rumah tangga yang ia hadapi membuat Mita kehilangan lima kilo berat badannya.“Aku, aku …” Mita menggantung ucapanya. Har
Mita menatap kepergian mobil Angga dari depan teras rumahnya. Jika dulu ia mengantarkanya untuk menunggu Angga pulang kembali. Kini, ia mengantarkan Angga yang entah kapan akan datang kembali.Mita menghela nafas panjang. Memejamkan matanya barang sesaat. Benaknya mencoba mengingat-ingat pesan Angga sebelum lelaki itu pulang meninggalkannya.“Ya, aku harus ikhlas.” Mita mengusap dadanya. Dimana jutaan lara, kecewa dan penyesalan bersamayam di sana. Tidak ada yang bisa merubah hari lalu.Merelakan yang telah terjadi, berdamai dengan keadaan adalah pilihan terkahir Mita. Menyesali dan mengambil hikmah atas semua perbuatanya jauh membuat hati Mita lebih baik. Toh, sekalipun dirinya dan Angga berpisah setidaknya mereka masih memiliki kenangan manis yang tidak akan pernah terlupakan. Juga ada bukti nyata, jika cinta mereka pernah ada dan tidak akan pernah sirna. Yaitu Sifa. Gadis cantik yang beberapa tahun terlahir dari dalam rahimnya.“Bulan
Lembaran kertas merah itu sudah berpindah di tangan Lidya. Lidya mematung seolah terhipnotis. Menatap kepergian Satya naik ke lantai atas. Sudah lama sekali ia tidak memperhatikan lelaki itu. Satya tampak lebih tidak terurus. Bulu-bulu disekitar rahangnya mulai tumbuh, membuatnya terlihat lebih tua dari usianya. Tubuh lelaki itu juga terlihat semakin kurus. Apalagi kulitnya yang semakin coklat dan kusam, berbeda sekali dengan Satya yang dulu tampan dan mempesona. Yang mampu memikat wanita manapun.Apa iya dia sudah berubah? Secepat itu? Atau jangan-jangan ini hanya siasat Satya untuk menarik simpati Lidya lagi?Pikiran-pikiran itu berkecamuk memenuhi isi kepala Lidya. Seperti bisikin malaikat baik dan malaikat jahat. Berdebat untuk menghasut Lidya.Sejenak Lidya menatap lembaran kertas merah lusuh yang ada di tangannya. Tidak banyak jika dibandingkan dengan uang yang Lidya miliki. Tapi Lidya yakin, Satya pasti sudah mendapatkannya dengan susah payah. Seper
Aroma teh melati menyeruak menyadarkan Lidya dari Lamunan. Wanita berwajah sendu itu menoleh ke arah wanita paruh baya yang mengenakan gamis besar muncul dari ambang pintu."Bu!" ucap Lidya. Mendung yang bergelayut pada wajahnya mendadak berubah menjadi sebuah senyuman. Mutia meletakan gelas teh melati di atas meja di depan Lidya. Wanita yang tidak lagi muda itu menatap seksama wajah putri semata wayangnya. Tatapannya mencari-cari seolah menemukan sesuatu yang berbeda."Kamu ada masalah?" celetuk Mutia. Nalurinya sebagai seorang wanita juga ibu tidak bisa dibohongi. Lidya membenarkan posisi duduknya. "Tidak, aku tidak ada masalah apapun," jawab Lidya setenang mungkin. Walaupun hatinya bertanya-tanya bagiamana bisa Mutia tau jika dirinya sedang menyimpan sebuah masalah besar.Mutia mengulas senyuman tipis. "Jangan berbohong ibu tau, Lidya," tutur Mutia lembut. Bibirnya mengulas senyum tipis."Aku tidak apa-apa, Bu. Oh iya di mana Habibi. Apa dia belum selesai mengaji?" Lidya mengalih
Cepat-cepat Mutia menyeka air matanya. Begitu juga dengan Lidya. Mereka tidak ingin Hendri melihat jejak tangisan. Yang justru akan menimbulkan ribuan pertanyaan."Bapak!"Mutia bangkit, membalikan badannya ke arah Hendri yang berdiri di ambang pintu. Sebisa mungkin Mutia bersikap tenang. Ulasan senyuman melengkung pada bibirnya. Menunjukan jika tidak pernah terjadi apapun."Pak!"Lidya buru-buru menghampiri Hendri. Meraih tangan lelaki bertubuh tinggi besar itu dan mengecupnya."Kapan datang?" tanya Hendri mengulas senyum sesaat setelah Lidya melepaskan jabatan tangannya."Ba-baru, Pak." Kegugupan masih melanda Lidya. Takut jika Hendri mendengar pembicaraannya dengan Mutia. Tatapannya menelisik seksama wajah lelaki bertubuh tinggi besar yang ada di depannya. Mencari tanda-tanda yang membuat hati Lidya tidak tenang."Mama!"Suara Habibi membuyarkan segala rasa yang berkecamuk di dalam hati Lidya. Habibi bak pe
Berita gonjang ganjing rumah tangga Lidya sebenarnya sudah sampai ditelinga Hendri sejak lama. Hanya saja sebagai orang tua tidak banyak hal yang bisa Hendri lakukan. Mengingat putri semata wayangnya sangat mencintai Satya. Apalagi ditengah-tengah pernikahan mereka sudah ada Habibi, cucu kesayangan Hendri.Sepak terjang Satya tak pernah lepas dari pantauan Hendri. Berapa banyak wanita lain yang Satya singgahi dan tiduri, semua Hendri tau. Hendri marah dan geram, rasanya ia tidak sabar ingin mencabik-cabik anak mantunya itu. Hanya saja jika teringat Lidya dan Habibi, Hendri mengurungkan niatannya. Sekalipun Hendri tidak terima jika putri semata wayangnya di perlukan seperti itu, tapi Lidya yang menjalini mau menerimanya. Hendri bisa apa. Sebagai orang tua Hendri hanya mampu menasehati dan keputusan sepenuhnya ada di tangan Lidya.Keinginan Lidya menitipkan Habibi di rumah kakek neneknya disambut senang' oleh Hendri. Bahkan penyebab dititipkannya Habibi sudah Hendri kant
Angga sempat menyerah untuk kembali rujuk dengan Mita. Setelah tau jika ada lelaki lain yang kini sedang mendekati mantan istrinya itu. Namun setelah tau jika Mita tidak memilih lelaki itu, Angga kembali bersemangat. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang pernah ia sia-siakan. "Rujuk?" ucap Mita tidak yakin dengan apa yang ia dengar. Angga menganggukkan kepalanya menyakinkan."Mas bercanda, kan?" Mita tersenyum tipis. Menatap ragu."Enggak Mit, aku serius. Aku ingin kita rujuk lagi." Angga menyakinkan."Tapi aku ...""Kenapa dengan kamu?" Angga membuat sedikit lengkungan pada bibirnya. Agar suasana tidak terasa begitu canggung."Aku sudah menyakiti kamu, Mas. Aku bukan wanita baik-baik." Mita tertunduk. Menyembunyikan rasa malu atas semua perbuatannya pada Angga.Angga menatap lekat pada Mita yang duduk di depannya. Semua masalah yang terjadi pada akhirnya hanya sebuah proses pendewasaan diri. Kini ia menemukan sosok Mita yang jauh lebih baik."Aku sudah memaafkannya," balas An
"Ini Bu Mita pemilik catering yang sebulan terakhir ini melayani perusahaan kita, Pak." Wanita cantik berseragam formal itu menjelaskan siapa sosok yang berdiri di depan Angga. Tentu saja Angga kenal betul. Bagaimana tidak, Mita pernah menjadi bagian hidupnya hingga bertahun-tahun.Angga mengangguk mengerti. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya saja pandangannya tidak beralih sedikitpun dari Mita yang berdiri di hadapannya. Membuat Mita merasa tidak nyaman."Jadi semuanya berapa Bu?" Wanita yang berdiri di samping Angga menyiapkan beberapa lembar uang berwarna merah untuk pembayaran.Mita mengabaikan perasaan gugup yang menyelimuti. Ia benar-benar tidak menyangka jika akan bertemu dengan Angga lagi. Ternyata takdir kembali menuntutnya di jalan yang sudah ia ikhlaskan."Besok kami pesan lagi nasi 30 box dan cemilannya sekalian, bisa?" ucap wanita yang berdiri di samping Angga setelah membayar semua pesanannya."Bisa, Mbak," jawab Mita ramah. Senyuman terulas dari bibirnya.
Cukup lama menunggu. Tanda centang pada pesan yang Angga kirimkan pada Mita telah berganti biru. Tanda jika pesan yang ia kirim telah dibaca. "Harusnya aku mengungkapkannya saja dari kemarin." Angga merutuki dirinya sendiri. Mengusap wajahnya kasar. Menunggu pesannya yang tidak kunjung berbalas.Siang menjelang. Angga masih berdiam diri di rumah Marni. Ia belum beranjak pergi kemanapun. Sesekali ia mengecek pesan' yang ia kirimkan pada Mita berharap mantan istrinya itu memberikan jawaban. Namun, hingga sore menjelang, Mita tidak kunjung membalas pesannya. "Apakah dia benar-benar menolakku?" Angga bermonolog dengan dirinya sendiri. Merutuki kebodohannya yang terlalu mengulur waktu. "Atau aku datang saja ke rumah ya dan mengatakan semuanya secara langsung pada Mita?" Angga berbicara dengan dirinya sendiri."Tapi, bagaimana kalau Mita menolakku?" Angga menimbang segala rasa yang berkecamuk di dalam dadanya.Ditempat lain Mita sudah tiba di rumahnya. Pak Aji pun langsung berpamitan pe
Klak.Pak Aji turun dari dalam mobil. Mita mematung di ambang pintu dengan mulut menganga. Mendadak otaknya blank melihat lelaki yang tengah mengulas senyuman ke arahnya."Akhirnya aku sampai juga," ucap Pak Aji membuang nafas lega.Mita mengedipkan matanya beberapa kali. Berharap apa yang ia lihat hanya sebuah mimpi' dan ia akan segera terbangun."Siapa laki-laki itu?" celetukan Marni menyadarkan Mita jika apa yang ia lihat bukanlah mimpi. Pak Aji sudah datang untuk menjemputnya sesuai permintaannya."Selamat pagi." Pak Aji memindai tatapannya pada Mita lalu, mereka yang ada di dalam rumah Marni.Gleg.Mita menelan ludahnya kasar. Terasa begitu pahit sekali. Sepahit kenyataan yang sedang ia hadapi sekarang. Gara-gara kesalahan pahamannya membuat Mita salah sangka dan gegabah mengambil jalan yang salah.Mita menoleh. Tatapannya langsung tertuju pada Angga. Hatinya ketar ketir bukan main. Meskipun mantan suaminya terlihat tenang dan tidak menunjukkan ekspresi apapun. Sekilas Angga mem
Tut ... Tut ...Mita berdecak kesal. Nomor Menager yang menaruh hati padanya tidak bisa dihubungi. Lebih tepatnya lelaki itu tidak mau menjawab panggilannya. "Ayo dong Pak angkat!" gerutu Mita memburui. Tidak sabaran."Nomor yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah ...."Mita mengakhiri panggilannya sepihak. Kesal, karena lagi-lagi suara operator yang menjawab panggilannya.Mita nyaris frustasi. Menatap pada layar ponsel miliknya. Tanda centang pada pesan yang ia kirimkan pada Pak Aji sudah berganti biru, tanda jika lelaki itu sudah dibaca pesannya. Tapi hal itu tidak lantas membuat Pak Aji mau menjawab panggilannya. Apalagi membalas pesannya. Entah marah atau kecewa, setelah lamarannya di tolak Pak Aji seperti sengaja' menjauhi Mita. Mita tertunduk pasrah. Bergelut dengan pikirannya sendiri. Harusnya saat Angga memutuskan untuk berpisah dengannya, saat itu juga Mita menyudahi rasa yang tersisa. Bukan malah menyimpannya yang justru mengundang ribuan luka.Suara canda tawa di luar kamar
Kaki Mita seolah terpatri. Tidak mampu digerakkan sama sekali. Ia menatap pada wanita yang tengah menyambut hangat kedatangan Sifa. Dari caranya, terlihat sekali jika ini bukan pertemuan pertama mereka. Sudah ada pertemuan-pertemuan sebelumnya yang mungkin tidak Mita ketahui. Sifa terlihat sangat akrab, begitu juga sebaliknya. Hati Mita tercubit. Merasa keberadaannya sebagai seorang ibu terancam. Ia takut Mita lebih menyayangi wanita itu daripada dirinya.Pikiran-pikiran buruk berbisik begitu ramai memenuhi isi kepala Mita. Menambah sesak yang menghimpit dadanya.Angga yang berjalan lebih dulu dan menyadari jika Mita tidak mengikutinya menolehkan ke belakang punggung."Mit, ayo!" Angga menginterupsi. Menyadarkan Mita dari lamunan."I-iya!" Mita berjalan mengekori Angga. Untung saja penerangan di depan teras rumah Angga tidak terlalu terang. Hingga tidak ada satupun yang tau jika Mita sedang berusaha payah untuk memaksakan senyuman pada bibirnya. Menyembunyikan ribuan perasaan yang
Mita sadar, sebenarnya ia tidak berhak ikut campur apapun dalam urusan kehidupan Angga. Apalagi terbesit rasa cemburu pada lelaki yang kini bukan lagi suaminya. Mereka memang masih menjalin hubungan baik karena adannya Sifa diantara mereka. Jika bukan karena Sifa, mereka layaknya dua orang asing yang tidak saling mengenal."Mit, ayo!"Mita tergeragap. Dalam hati merutuk kesal. Ia pikir bibirnya sudah berhasil mempertanyakan siapa wanita pemilik nama Alina itu, tapi nyatanya pertanyaan itu hanya terbersit dalam benak Mita belaka."Oh, iya Mas." Mita menyusul Angga masuk ke dalam gedung sekolah yang sudah ramai sekali."Kemana ya Sifa?" Mita bergumam pelan, seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Angga yang berjalan mensejajarinya dapat mendengar jelas suara itu."Itu di sana!" Angga mengacungkan jari telunjuknya ke arah panggung. Di mana Sifa dan teman-temannya sebentar lagi akan tampil.Senyuman mengembang dari bibir Mita saat pandangannya menemukan sosok yang ia cari."Mit, du
"Mama!"Mita berdecak kesal. Kedatangan Sifa yang muncul dari arah pintu rumah menghentikan obrolan antara dirinya dan Angga. Padahal Mita sangat penasaran sekali dengan jawab Angga. Apakah lelaki itu benar sudah memiliki kekasih pengganti dirinya atau belum.Sifa memeluk erat tubuh Mita. Netra Mita menatap lekat pada Angga yang berdiri tidak jauh di depannya. Berharap menemukan jawaban."Aku kangen banget sama mama," ucap Sifa tulus."Iya, mama juga kangen banget sama kamu, Nak." Mita mengusap lembut punggung Sifa. Pandangannya memindai Angga yang melemparkan senyuman ke arahnya. Sorot matanya teduh sama seperti dulu, tidak pernah berubah sama sekali. Salah satu yang membuat hati Mita luluh pada Angga."Sifa, ayo mandi sayang. Nanti kita terlambat." Angga menginterupsi setalah cukup lama Mita dan Sifa berpelukan. Gadis itu melepaskan pelukannya dari tubuh Mita.Mita menyunggingkan senyuman pada Sifa. Sedikit canggung, dan pura-pura ti
"Terima. Terima. Terima."Seluruh karyawan yang berada di tempat itu bersorak. Mita semakin bingung juga gugup. Baru kali ini ia dilamar langsung oleh lelaki yang sama sekali tidak ia cintai. Yang lebih membuat Mita syok, Pak Aji melamarnya di depan umum. Harusnya Mita bahagia, jika saja Mita memiliki perasaan cinta. Tapi sayangnya Mita tidak memiliki perasaan apapun pada Pak Aji.Mita menatap Pak Aji. Sesaat kemudian mencari keberadaan Angga dan laki-laki itu sudah raib di tengah-tengah kerumunan. Tidak hanya karyawan yang bekerja di store tempat Mita bekerja yang berkumpul. Tapi para pengunjung pusat perbelanjaan itu ikut berkumpul menyaksikan Pak Aji melamar Paramita."Di depan semau orang yang ada di sini, aku ingin mengungkapkan perasaan yang sudah sekian lama aku pendam, Mit." Ada ketulusan dari sorot mata Pak Aji."Mit, maukah kamu menikah denganku? Menjadi ibu untuk anak-anakku?"Hening. Mita membisu bagai patung. Ingin menolak, tapi