Hening, semua membisu juga mematung. Baik Mita yang masih bersimpuh di lantai, ataupun Marni yang berdiri di samping Angga. Sorot mata mereka sama-sama menatap pada Angga. Sosok itu berhasil membuat lidah keduanya menjadi Kelu."Bukan Mita yang salah. Tapi aku yang tidak sempurna, Bu!" ucap Angga lirih. Wajahnya menunduk semakin dalam. Hatinya kerdil jika sadar dirinya tak lagi sempurna. Mita tercengang. Menyadarkan dirinya berulang kali. Apakah telinganya sudah salah dengar? Pengakuan Angga terus berputar mendengung memenuhi isi kepalanya. Jika lelaki itu impoten.Marni membalikkan tubuhnya kasar. Entah apa yang sedang ada di dalam benaknya. Marah, kecewa bercampur menjadikan satu. Ia berjalan menuju kamarnya dan berhenti sejenak saat melihat cucunya tengah berdiri dengan pipi basah di ambang pintu kamar. Marni dan Sifa saling bersitatap untuk beberapa saat. Lalu Marni menghampiri gadis kecil itu dan membawanya masuk ke dalam kamar.Pertengkaran Mita dan Angga berlalu. Bersama malam
Seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkan dua sejoli yang pernah berikrar untuk sehidup semati. Angga dan Mita laksana orang asing yang tidak saling mengenal. Mereka hanya bicara seperlunya. Terutama Angga. Lelaki yang pernah meluluhkan hati Mita itu lebih banyak diam.Angga kembali menjatuhkan bobot tubuhnya pada bangku tunggu yang ada di depan stasiun. Setelah hampir tiga puluh menit berdiri di tepi teras stasiun. Menatap ke arah pintu masuk. Hujan mengguyur begitu deras. Sejak kereta yang Angga dan Mita tumpangi berhenti di stasiun kota. Hingga detik kini Angga dan Mita menunggu mobil grab yang ia pesan dari salah' satu aplikasi online, yang belum juga datang. Pengemudi grab itu baru saja mengabarkan jika mobilnya sedang terjebak banjir. Hal yang begitu wajar terjadi di kota saat hujan turun deras seperti saat ini.Mita membisu. Bibirnya terkatub rapat. Tapi tidak dengan benaknya yang begitu ramai. Tatapannya kosong, menatap hujan yang semakin menggila. "Aku belikan kamu
Pada akhirnya setiap manusia akan menerima ganjaran dari setiap perbuatannya. Jika tidak di dunia, pasti diakhirat. Ada yang dibayar, kontan ada juga yang memang Tuhan tangguhkan agar manusia itu semakin lalai dengan kesenangannya atau disebut istidraj. Seperti halnya Mita yang pada akhirnya harus menerima konsekuensi atas perbuatannya. Kehilangan Angga dan putri semata wayangnya. Rumah tangga yang ia bangun bertahun-tahun hancur menyisakan kenangan. Sementara Satya, lelaki yang ia pikir akan memberikannya kebahagiaan, justru lebih dulu pergi meninggalkannya. Tanpa tanggung jawab atau kata maaf. Satya membiarkan Mita jatuh, remuk hingga tak berbentuk. Sendirian. Hari-hari Mita lalui berteman sepi. Tidak hanya sepi, tapi hampa serasa ingin mati. Susah payah Mita menguatkan diri untuk tetap menjalani hari-hari. Walau kepiluan kerap kali datang mengikis relung hati. Dan pada akhirnya hanya Tuhanlah tempat Mita mengadu dan kembali. Bersimpuh memohon ampunan atas dosa dan kelalaian yang
Mita tercengang, bukan karena kagum melainkan tengah menahan perih. Jika dulu Angga menjadi tempatnya mengadu. Kini ia harus terbiasa menjadi orang lain untuk Angga. Ada dinding kokoh yang tidak akan mungkin Mita jangkau. Yang Angga ciptakan untuk dirinya dan Mita.Mita memundurkan beberapa langkah kakinya hingga menyentuh ambang pintu. Ucapan Angga bak bogem mentah yang menamparnya, membuatnya seketika sadar jika dirinya bukanlah siapa-siapa lagi bagi Angga.“Maaf!” lirik MIta dengan suara berat. Pipinya masih basah meninggalkan jejak air mata dan kini hatinya harus remuk kembali. Mita benar-benar merasa hidup sebatang kara. Selepas Angga meninggalkannya.Angga menatap penasaran. “Kamu menangis?” ucap Angga. Cepat-cepat Mita mengusap jejak kesedihan pada pipinya yang kini semakin tirus. Badai rumah tangga yang ia hadapi membuat Mita kehilangan lima kilo berat badannya.“Aku, aku …” Mita menggantung ucapanya. Har
Mita menatap kepergian mobil Angga dari depan teras rumahnya. Jika dulu ia mengantarkanya untuk menunggu Angga pulang kembali. Kini, ia mengantarkan Angga yang entah kapan akan datang kembali.Mita menghela nafas panjang. Memejamkan matanya barang sesaat. Benaknya mencoba mengingat-ingat pesan Angga sebelum lelaki itu pulang meninggalkannya.“Ya, aku harus ikhlas.” Mita mengusap dadanya. Dimana jutaan lara, kecewa dan penyesalan bersamayam di sana. Tidak ada yang bisa merubah hari lalu.Merelakan yang telah terjadi, berdamai dengan keadaan adalah pilihan terkahir Mita. Menyesali dan mengambil hikmah atas semua perbuatanya jauh membuat hati Mita lebih baik. Toh, sekalipun dirinya dan Angga berpisah setidaknya mereka masih memiliki kenangan manis yang tidak akan pernah terlupakan. Juga ada bukti nyata, jika cinta mereka pernah ada dan tidak akan pernah sirna. Yaitu Sifa. Gadis cantik yang beberapa tahun terlahir dari dalam rahimnya.“Bulan
Lembaran kertas merah itu sudah berpindah di tangan Lidya. Lidya mematung seolah terhipnotis. Menatap kepergian Satya naik ke lantai atas. Sudah lama sekali ia tidak memperhatikan lelaki itu. Satya tampak lebih tidak terurus. Bulu-bulu disekitar rahangnya mulai tumbuh, membuatnya terlihat lebih tua dari usianya. Tubuh lelaki itu juga terlihat semakin kurus. Apalagi kulitnya yang semakin coklat dan kusam, berbeda sekali dengan Satya yang dulu tampan dan mempesona. Yang mampu memikat wanita manapun.Apa iya dia sudah berubah? Secepat itu? Atau jangan-jangan ini hanya siasat Satya untuk menarik simpati Lidya lagi?Pikiran-pikiran itu berkecamuk memenuhi isi kepala Lidya. Seperti bisikin malaikat baik dan malaikat jahat. Berdebat untuk menghasut Lidya.Sejenak Lidya menatap lembaran kertas merah lusuh yang ada di tangannya. Tidak banyak jika dibandingkan dengan uang yang Lidya miliki. Tapi Lidya yakin, Satya pasti sudah mendapatkannya dengan susah payah. Seper
Aroma teh melati menyeruak menyadarkan Lidya dari Lamunan. Wanita berwajah sendu itu menoleh ke arah wanita paruh baya yang mengenakan gamis besar muncul dari ambang pintu."Bu!" ucap Lidya. Mendung yang bergelayut pada wajahnya mendadak berubah menjadi sebuah senyuman. Mutia meletakan gelas teh melati di atas meja di depan Lidya. Wanita yang tidak lagi muda itu menatap seksama wajah putri semata wayangnya. Tatapannya mencari-cari seolah menemukan sesuatu yang berbeda."Kamu ada masalah?" celetuk Mutia. Nalurinya sebagai seorang wanita juga ibu tidak bisa dibohongi. Lidya membenarkan posisi duduknya. "Tidak, aku tidak ada masalah apapun," jawab Lidya setenang mungkin. Walaupun hatinya bertanya-tanya bagiamana bisa Mutia tau jika dirinya sedang menyimpan sebuah masalah besar.Mutia mengulas senyuman tipis. "Jangan berbohong ibu tau, Lidya," tutur Mutia lembut. Bibirnya mengulas senyum tipis."Aku tidak apa-apa, Bu. Oh iya di mana Habibi. Apa dia belum selesai mengaji?" Lidya mengalih
Cepat-cepat Mutia menyeka air matanya. Begitu juga dengan Lidya. Mereka tidak ingin Hendri melihat jejak tangisan. Yang justru akan menimbulkan ribuan pertanyaan."Bapak!"Mutia bangkit, membalikan badannya ke arah Hendri yang berdiri di ambang pintu. Sebisa mungkin Mutia bersikap tenang. Ulasan senyuman melengkung pada bibirnya. Menunjukan jika tidak pernah terjadi apapun."Pak!"Lidya buru-buru menghampiri Hendri. Meraih tangan lelaki bertubuh tinggi besar itu dan mengecupnya."Kapan datang?" tanya Hendri mengulas senyum sesaat setelah Lidya melepaskan jabatan tangannya."Ba-baru, Pak." Kegugupan masih melanda Lidya. Takut jika Hendri mendengar pembicaraannya dengan Mutia. Tatapannya menelisik seksama wajah lelaki bertubuh tinggi besar yang ada di depannya. Mencari tanda-tanda yang membuat hati Lidya tidak tenang."Mama!"Suara Habibi membuyarkan segala rasa yang berkecamuk di dalam hati Lidya. Habibi bak pe