"Kau tak apa-apa?" tanya Dina melihatku termenung."Kerbau Merah!" jawabku, "Itu yang mengusikku. Kenapa mereka ada di sana? Apakah memang berasal dari sana?""Tenanglah, Kris!" hiburnya mengelus pundakku. "Apa aku harus ke sana lagi?" gumamku, "Harus kuselidiki.""Bukan urusanmu, Kris," jawab Dina, "Tak ada panggilan dari sana, kita tak berhak ke sana!""Apa polisi juga tak bisa mengusutnya?""Untuk kasus hilangnya kedua teman mereka mungkin bisa bekerja sama dengan polisi Myanmar atau interpol. Tak bisa ke sana langsung."Pelik memang untuk urusan kriminal lintas negara begini. Otoritas berwenang saja tak bisa sembarangan masuk. Apalagi superhero online macam diriku. Tak hanya terbatas wilayah negara, tapi juga perusahaan. Kubayangkan suatu hari nanti superhero bisa ke negara manapun untuk menumpas kejahatan. Tak perlu tunduk pada batasan dan birokrasi. Malam hari, kembali kukunjungi Tirtasari di rumahnya. Dina katanya masih berhalangan dan tak bisa datang ke rumah. Kunikmati ma
Kami nikmati malam di pedesaan itu di kamar. Berteman suara jangkrik dan katak yang bersahutan. Kupeluk Selly di ranjang sambil berbincang. "Kelompok Kerbau Merah?" tanyanya mendengarkan ceritaku, "Di Myanmar? Kok bisa?""Entahlah," jawabku mendesah, "Itu yang membuatku penasaran.""Jadi kau akan ke sana sama siapa?""Dengan Tirtasari.""Superhero air itu?""Yah.""Dia hebat," pujinya mengeratkan pelukan, "Berhati-hatilah. Kerbau Merah sangat kuat.""Yah, aku ingin menyelidikinya!" balasku mengecup keningnya, "Siapa dibalik kelompok itu. Apa sebenarnya tujuan mereka? Dan kenapa mereka juga ada di Myanmar?""Berhati-hatilah Kris! Kau harusnya mengajak banyak teman. Mereka berbahaya.""Tenanglah," ujarku menenangkannya, "Semua akan baik-baik saja."Kuciumi pipi kekasihku itu. "Kau akan baik-baik saja di sini?" tanyaku. "Yah, aku akan baik-baik saja. Jangan risaukan!""Anak-anak merindukanmu," lanjutnya mencium pipiku, "Tiap hari kemari. Menanyakanmu terus.""Oh ya?""Iya! Kubilang akhi
Di kantor, teman-teman menanyakan tentang rencanaku. Entah dari mana mereka mengetahuinya. Dari rencana cutiku, atau dari Tirtasari? "Jadi benar kau akan ke Myanmar?" tanya High Quality Man saat kami meminum kopi pagi, "Masih penasaran dengan Kerbau Merah itu?""Akupun ingin ke sana!" timpal Elistrik, "Masih penasaran dengan kedua orang itu.""Menyamar jadi wisatawan ke sana, Kris?" tanya High Quality Man lagi. "Yah, begitulah," jawabku menghela nafas dan melirik ke arah Tirtasari. Perempuan cantik itu pun diam saja tanpa ekspresi menatapku. "Mereka tentu akan lebih waspada!" ungkap Elistrik."Yah, keamanan pasti akan ditingkatkan!" sambung High Quality Man. "Yah," jawabku, "Sepertinya begitu.""Berdua saja?" tanya Buaya Budiman, "Dengan Tirtasari?""Aku sebenarnya ingin ikut!" imbuh Elistrik."Apa kita piknik bareng saja?" kelakar High Quality Man. "Jangan," jawabku, "Nanti jika ada yang butuh superhero di sini bagaimana?""Ah, masih ada superhero lain!" balas High Quality Man,
Esok harinya kami siap untuk menyeberang ke Myanmar lewat darat. Pemeriksaan cukup ketat. Petugas imigrasi menanyakan tujuan kami datang ke sana. Kami jawab dengan berwisata. Meski terlihat raut keraguan dari petugas itu, namun kami pun berhasil menyeberang. Barangkali mereka akan mengawasi kami. Harus waspada. Biro perjalanan Myanmar rekan dari Thailand telah menjemput kami. Cukup ramah dan ceriwis. Tipikal guide turis. Bahasa dapat kuterjemahkan dengan alat. Suasana khas Asia Tenggara masih terasa di negeri ini. Memang benar, lebih alami dan sedikit tertinggal dari Thailand. Kami menginap di hotel yang direkomendasikan guide. Cukup bagus dan tak terlalu mahal. Makan siang yang tersedia pun cukup lumayan. "Lalu bagaimana kita mulai melacak?" tanya Tirtasari setelah makan siang dan menikmati pemandangan dari balkon. "Entahlah," jawabku seperti James Bond yang sedang magang, "Mungkin kita datangi daerah kemarin.""Ah, suasana di sini cukup berbeda dari Thailand," ujar Tirtasari m
Kami menuju kota terdekat. Butuh sekitar dua jam perjalanan. "Siapa namamu?" tanyaku pada si gadis yang cukup cantik itu. "Sun Ahn!" jawabnya. "Berapa usiamu?""Dua puluh tiga tahun.""Dan adikmu?""Dua puluh tahun, ini fotonya!" jawabnya menunjukkan foto adiknya yang ia simpan di dalam dompet. Kuamati foto itu. Adiknya cukup ganteng dan gagah. "Dan kedua orangtuamu?" tanya Tirtasari. "Sudah meninggal! Dulu sakit-sakitan. Lalu meninggal. Hanya adikku satu-satunya keluarga yang kumiliki."Kami pun sampai di kota berikutnya. Kami tadi sempat melewatinya saat berangkat. Pemandangan biasa dan normal. Tak nampak sesuatu yang mereka mencurigakan."Ada rumah sakit besar di sini?" tanyaku baik pada sang guide ataupun si gadis. "Rumah sakit besar?" gumam sang guide, "Sepertinya ada dua di sini. Kenapa kalian tertarik dengan rumah sakit sedari tadi?""Tak apa!" jawabku, "Antar kami ke sana!"Kami sampai di sebuah rumah sakit yang cukup besar. Kami amati bagian depannya. Tak ada aktivit
"Pernah dengar dokter itu?" tanyaku pada Sun Ahn. "Yah, dokter yang cukup terkenal!" jawabnya, "Sering melakukan penelitian yang dipuji banyak orang dan pemerintah.""Bisa kau selidiki?" tanya Tirtasari. "Aku bisa menyamar jadi perawat dan mencoba menyelidikinya.""Bagus!" balasku dan Tirtasari. "Apa yang harus kuselidiki?""Siapa dibalik proyek Kerbau Merah ini," jawabku, "Dimana markas utamanya. Kalau bisa, cari tahu apa maksud mereka.""Baik, akan kucoba.""Kita istirahat dulu!"Kami pun makan malam dengan memesan menu hotel. Menjaga keamanan dan kecurigaan dari orang luar. Menu Myanmar ini mulai nyaman di lidah. Khas hidangan Asia Tenggara yang terpengaruh masakan India. Tirtasari pun nampak lahap menyantapnya. Sun Ahn mulai akrab dan terbuka pada kami. Ia pun tak sungkan lagi berkeluh kesah. "Aku tak menyangka adikku jadi korban percobaan aneh," ungkapnya, "Aku berhasil menemukannya. Tapi dia sudah berubah!""Akankah dia bisa kembali?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca, "Di
Kuteruskan menikmati Tirtasari. Rupanya ia tak tahu jika Sun Ahn terbangun dan sempat melihat kami. Superhero itu memelankan desahan dan suaranya. Namun gairahnya tetap menggelora dengan dahsyat. "Enak sekali bercinta di sini, Sayang!" bisiknya, "Apa karena keeksotisan negeri ini?!""Barangkali!" jawabku terus menggumulinya. Setelah puas, kami beristirahat di kasurku. Lalu Tirtasari kembali ke kasurnya.. Tidur di samping Sun Ahn. Pagi hari, Sun Ahn terus melirik-lirik kami berdua saat sarapan. Entah apa yang dipikirkannya. Semalam ia tahu perbuatan kami. Apakah ia cemburu? Atau bertanya-tanya sebenarnya apa hubungan kami? Namun ia tak berkata apapun. Hanya diam saja selama saraoan. Kuberikan alat komunikasi radio padanya untuk menyamar. Kupasangkan di telinga dan dadanya. Dari dekat wanita ini makin cantik saja. Kulitnya nampak halus dan lembut. Wanginya pun memukau. Ia hanya tersenyum saja selama kupasangkan alat komunikasi. Kuberi tahu padanya teknik untuk menggunakannya da
Malam hari, Dina memberitahuku tentang dokter Pai Sung Ke. "Sudah kulacak Kris!" katanya. "Oh ya, bagaimana?" balasku. "Salah satu dokter terbaik Myanmar," jelasnya, "Pernah belajar di Amerika Serikat. Cukup terkenal dengan berbagai penelitian tentang kesehatan dan stamina tubuh.""Bagus!""Sebelumnya tak pernah terlibat kejahatan," lanjutnya, "Beberapa tahun lalu mulai menghilang dari praktik di rumah sakit dan penelitian. Seperti menghilang.""Yah," jawabku, "Terimakasih, Din!""Oke, tetap hati-hati Kris!""Yah!"Kami beristirahat setelah makan malam. Mengatur strategi untuk esok. Lalu tidur. Tirtasari kembali datang ke kasurku di tengah malam. Rupanya meminta jatah untuk bersetubuh lagi. Kulayani gairahnya yang cukup besar sejak menginjak tanah ini. Apakah memang dia berniat untuk berbulan madu di sini? Atau karena semua ketegangan ini membuatnya bernafsu? Kami saling bercumbu dan menikmati malam. Desahan menghiasi kamar meski kami tahan selirih mungkin. Ah, jadi teringat den
"Belum," jawab para pegawai, "Kami coba lacak dari beberapa kamera cctv yang dapat kita akses! Tapi butuh waktu lama!" "Teruskan!" perintah Dina. "Kami menemukan sesuatu," ungkap salah seorang petugas IT yang memeriksa laptop, "Lihat!" Kami bergegas menuju ke meja pegawai ahli IT yang memeriksa laptop. Terlihat progam di layar laptop seperti yang kami dapati kemarin. Hanya saja sekarang tertulis; Elistrik, Buaya Budiman, Manusia Elang serta para superhero perusahaan yang lain "Nama mereka dicentang," ungkap Tirtasari, "Mungkin menunjukkan korban yang berhasil mereka culik!" "Astaga!" kesah Dina. "Apa maksud semua ini?!* tanya High Quality Man, "Target mereka berubah?! Semula para superhero yang lain tidak ada dalam daftar!" "Entahlah," jawabku, "Apakah sebelumnya hanya mengecoh kita?! Atau memang menyesuaikan dengan apa yang ada?!" "Mereka sengaja memancing kita keluar?!" tanya High Quality Man. "Barangkali?" jawabku. "Kami dapati sesuatu," ungkap pegawai IT yang lain, "Mere
Kalau saja Tirtasari terlambat atau kurang dalam menyemburkan air, barangkali monster itu bisa membakarku. Sebenarnya ini tindakan yang cukup nekat. Menyerap api ke dalam diri sendiri! Namun untungnya aku dapat mempercayai istriku. Barangkali ini yang dinamakan ikatan setelah pernikahan?! Sang monster perlahan terus memudar seiring hisapanku dan semburan air Tirtasari. Ia berusaha berontak dan marah. Namun tetap tak berdaya dalam jebakan kami. Dengan wajah penuh amarah, ia lalu berusaha menghujam dan menyerangku dengan ganas. Untung saja Tirtasari mampu melihatnya dan menyemburkan air padanya lebih deras sebelum mengenai diriku. Splasshh, splasshh, splasshh! Tubuh api itu kian mengecil dan akhirnya musnah ditelan air. Aku dan Tirtasari mampu bernafas lega. Masyarakat pun berteriak-teriak senang. Mereka mengelukan kami yang telah menyelamatkan mereka. Para superhero yang terkalahkan sebelumnya segera kembali ke kantor. Beberapa warga memberi mereka pakaian karena kostum
Di sekitaran minimarket, para superhero terus berupaya melawan musuh berbadan besar dan kekar itu. Namun mereka terus kewalahan. Dihajar habis-habisan dan tersungkur lemah. "Ia akan membunuh mereka!* ungkap Buaya Budiman. Dan di area kerusuhan, para superhero kian kewalahan menghadapi para perusuh yang beringas dan bersenjatakan anaka macam. Mereka kini tersungkur hendak dikeroyok. "Kita harus membantu!" desakku. "Aku juga harus turun!" sahut Tirtasari, "Memadamkan monster api itu!" "Jangan Kris!" cegah Dina, "Tirtasari!" "Mereka bisa mati!" sahutku, "Kita tak punya pilihan lain!" "Yah, kota terancam!" imbuh Tirtasari, "Tidak ada lagi yang bisa melawan monster itu!" Dina memandang pada Bos. Dan sang manajer menghela nafas berat. "Baiklah," jawabnya, "Berhati-hatilah! Jika terdesak langsung mundur! Utamakan keselamatan kalian! Dan kalau bisa, selamatkan teman-teman di sana!" "Baik Bos!" jawabku dan Tirtasari bersamaan. "Kami ikut!" pinta Buaya Budiman dan yang lain
Yah, orang-orang senang karena kebakaran yang melanda rumah dan lingkungan mereka mereda. Tapi mereka cukup kesal dengan bau dan entitas air sungai yang kotor dan jorok. Bahkan beberapa tumpukan sampah menimpa mereka. "Uh, siapa yang buang popok bayi ke sungai?!" keluh salah seorang warga yang tertimpa bungkusan popok bayi kotor. "Juga sampah-sampah ini?!" timpal yang lain karena terkena terpaan sampah, "Dasar! Orang-orang parah, membuang sampah di sungai!" "Kita kan juga sering begitu!" balas warga yang lain. "Ah! Iya, betul juga!" "Hei, siapa yang buang bangkai ke sungai?!" gerutu warga lain kesal karena terkena bungkusan jorok, "Bangkai apa ini?! Tikus?! Menjijikkan!" Sementara itu, superhero angin terus berusaha menyemburkan air pada sang monster. Kebakaran cukup mereda dan menyisakan titik-titik api kecil saja. Ia sekarang lebih banyak menyerang sang monster dengan semburan air sungai. Namun moster itu ternyata cukup cerdas. Ia menyeberang sungai dengan nyalanya yang mela
Yah, monster itu menyerang helikopter yang ditumpangi paparazi. Terlihat di layar, semburan api yang mengerikan menerpa mereka. Lalu suara terbakar dan teriakan-teriakan. "Ia membakar kami!" pekik sang wartawan, "Ia membakar kita!" "Sial!" umpat Dina dan teman-teman. Terlihat dari layar lain, helikopter itu terbakar dan berputar-putar tak karuan. Sepertinya rekaman live dari seorang netizen. "Lihat itu!" teriakan orang-orang di bawah, "Awas!" Pesawat itu hendak jatuh menerpa kerumunan orang di bawah. Mereka pun panik dan berusaha menyelamatkan diri. Superhero angin segera meluncur ke bawah. Ia gunakan kekuatan angin untuk mengangkat helikopter itu ke atas dan menghindari terjatuh menimpa orang-orang. "Wuuu!" pekik orang-orang tertegun. Dengan kekuatan angin pula, sang superhero menghembuskan api di helikopter agar padam. Sang wartawan, kameraman dan pilot melompat ke bawah. Mereka pun diselamatkan dengan energi angin sang superhero. Mendarat di jalan dengan selamat.
Dari layar terlihat beberapa perusuh nampak aneh. Tubuh mereka kecil, layaknya orang pedesaan. Menenteng berbagai senjata. Mulai dari senjata tajam hingga tongkat kayu. "Siapa kalian?!" tanya para superhero, "Sengaja membikin rusuh?! Pulanglah! Kalian tak nampak seorang demonstran!" Mereka seolah tak mau mendengar dan terus merangsek maju sambil menyiapkan senjata. Para superhero nampak waspada. "Mereka sepertinya penyusup!" ungkap beberapa polisi yang mendekat pada superhero, "Bukan bagian dari para demonstran!" "Inilah yang ditakutkan dari aksi demontrasi!" susul polisi yang lain, "Hadirnya para penyusup dan provokator?" "Mundur kalian!" bentak para polisi, "Atau kami tindak keras!" Para penyerang tak menggubris peringatan itu dan terus maju. "Biar kami hadapi!" terang para superhero bersiap. Mereka lalu saling bertarung. Para penyerang nampak ganas dan mengarahkan senjata mereka secara membabi-buta. Para superhero pun mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka untu
Terlihat dari video live, para superhero bantuan mulai datang. Ada dua superhero yang hendak membantu melawan monster api. Video dari para superhero bantuan pun dapat terlihat di layar. Mereka beterbangan dan meloncat-loncat dari gedung ke gedung untuk mengatasi musuh. "Bagaimana kita akan mengatasi ini?!" tanya superhero yang datang. "Entahlah, kucoba meniupnya dengan energi yang angin milikku," jawab superhero angin, "Tapi malah tambah besar!" Kebakaran pun kian melanda di sana-sini. Beberapa gedung dan bangunan terbakar. Begitu juga dengan beberapa orang yang malang. Beberapa kendaraan, baik mobil ataupun sepeda motor juga tak lepas dari kobaran api. Para pengendaranya terlihat kocar-kacir dan sebagian terbakar. "Lihat, ada yang terjebak dalam mobil!" pekik beberapa orang di bawah. Sebagian merekamnya secara live. "Ada anak-anak di dalam!" seru yang lain, "Sepertinya satu keluarga!" "Mereka akan terbakar habis!" "Superhero," panggil Dina pada para superhero yang me
"Mohon bantuan!" pekik Manusia Elang lewat radio komunikasi. "Ada apa?!" balas Dina dari kantor. "Ada musuh yang kuat! Ia muncul dari perampokan di minimarket dan menyerangku!" "Identifikasi penyerang!" balas Dina, "Kenapa video tak muncul dari kostummu?!" "Perangkat video mungkin rusak karena perkelahian! Dia sangat kuat dan bertubuh besar! Berbaju serba hitam!" Kami saling pandang di kantor. "Kerbau Merah?!" gumam Dina padaku. "Barangkali!" jawabku. "Kami butuh bantuan!" pekik superhero lain yang menangani kebakaran. "Apa yang terjadi?!" tanya Dina. "Musuh yang kuat!" balasnya, "Berkekuatan api!" Kami kembali saling pandang dan cemas. "Ia muncul dari api kebakaran!" lanjut sang pelapor, "Sangat kuat dan besar!" "Perangkat videomu rusak?!" tanya Dina. "Entahlah! Mungkin terbakar karena panas!" "Kita harus bantu mereka!" usulku pada Dina dan yang lain. "Jangan Kris!" cegah Dina, "Kalian offline! Biar dibantu superhero lain!" "Stok superhero kita makin m
"Semoga semua dapat kita atasi," imbuhku untuk menenangkan mereka. Kunikmati ketiga istriku dalam eksotika pemandangan kota. Chantrea dan Chanthou makin ketagihan dinikmati dalam suasana yang jauh berbeda dari pedesaannya ini. Hari berikutnya berjalan seperti sebelumnya. Kami terus waspada dan bersiaga di kantor. Hal yang cukup menjemukan bagi teman-teman yang terpaksa offline. "Jadi kapan mereka akan menyerang?!" keluh Buaya Budiman, "Nampaknya kita bosan menunggu! Apa benar mereka akan menyerang?" "Apa benar informasi yang kau dapat, Kris?!" imbuh High Quality Man. "Entahlah," jawabku, "tapi sepertinya kita harus tetap waspada!" "Jangan-jangan mereka merubah rencana?!" kesah Buaya Budiman. "Kita tak tahu apa-apa," sahut Elistrik nampak lebih santai. "Mungkin perlu kita lihat lagi laptop itu!" desak Buaya Budiman. "Kenapa?" tanya Elistrik. "Lihat saja! Barangkali ada petunjuk lain." Kami pun mengamati lagi laptop itu yang sebelumnya disimpan Tirtasari. Tak ada ya