"Nami punya pacar?""Nggak ada, Ma."Mamanya Nami pasti sempat curiga saat putrinya tiba-tiba kelojotan dengan wajah memerah bak kepiting rebus setelah membaca pesan seseorang."Masa? Pipi kamu merona soalnya."Nami pernah mendengar jika seorang ibu bisa merasakan apa yang dirasakan anak-anaknya, meski anak-anaknya tidak mengatakan apa-apa.Mungkinkah mamanya Nami juga bisa merasakan hati Nami yang berbunga?"Nggak, kok, Ma. Kami cuma ... teman."Nami menjabarkan hubungannya dengan Samudra adalah teman. Itu sangat jelas untuk membatasi diri agar tidak serakah."Teman yang seperti apa bikin kamu merona? Dia laki-laki, kan?""Iya, Ma."Mamanya Nami menghela napas lega,"Syukurlah. Maaf, mama sebelumnya sempat curiga kamu doyan sesama bunga telang. Abisnya kamu kayak nggak ada ngenalin pacar ke mama.""Bunga telang?"Mamanya Nami membisikkan sesuatu ke telinga Nami. Nami terkikik setelah mendengar penjelasan tentang bunga telang yang menggambarkan mahkota kesucian perempuan. "Nggak, lah,
“Saya baik, Mas.”Untuk kedua kalinya Nami cukup kaget dengan kemunculan Samudra di depan rumahnya. Pria itu kelihatan menyesal dengan sungguh-sungguh. Ia meminta maaf sampai membawa satu pot bunga melati. Ya. Satu pot bunga melati yang baunya wangi semerbak dan sukses mengingatkan Nami pada aroma Mbak Kunti. “Maafkan saya.”Tidak sampai disitu keterkejutan Nami. Rupanya Junot menyusul beberapa menit kemudian. Junot membawakan kue donat beraneka toping sebagai bentuk permintaan maaf. “Nona Naminya Kak Samudra, saya minta maaf. Mulut saya pantas dicolekin jalapeno.”“Yang serius kalau minta maaf,” tegur Samudra yang menilai Junot bercanda dalam meminta maaf. “Aku serius, Kak.” Meski Junot takut jika Nami benar-benar memiliki cabe Jalapeno dan menjejalkannya ke mulut. “Nona, saya minta maaf. Saya bodoh, nggak punya otak, dan pantas dihina balik.”Nami tersenyum lembut. Ia menggeleng pelan dan menarik napas dalam. “Saya sama sekali nggak marah,” ucap Nami setelah menghembuskan nap
“Jika saya sudah menikah, maka saya akan mengurus adopsi Tama, Megumi, dan Jelo. Saya masih proses mencari jodoh yang mau menerima kondisi saya dan keinginan-keinginan saya.”Nami menatap kagum pada Samudra. Memang dirinya tidak salah pilih idola. Nami sangat yakin jika Tuhan sudah menyiapkan seorang wanita berkelas untuk Samudra. Dalam bayangan Nami, pasti orang itu tinggi, putih, cantik, fashionable, rambutnya indah tergerai panjang, dan memiliki hati sebaik Samudra. Hati Nami perih membayangkannya. Namun sebagai seorang penggemar, ia tidak boleh egois. Jika itu terbaik untuk Samudra, Nami akan mendoakannya. “Umm … begini, Nak Samudra … masalahnya Nona Raline juga ada keinginan untuk mengadopsi Tama, Megumi, dan Jelo. Nona Raline dan pacar barunya akan segera menikah. Sayang persyaratan keduanya belum mencukupi, karena kami mengharuskan pasangan yang ingin mengadopsi minimal menjalani pernikahan selama lima tahun. Itu pun masih ada syarat-syarat lain yang pastinya ribet.”Nami dan
“Oh, maaf, Nona!”Samudra memungut ponsel Nami yang sama persis modelnya dengan miliknya. Samudra memeriksa ponsel Nami untuk memastikan apakah benda itu baik-baik saja. Melihat sambungan telepon Nami masih terhubung, bahkan tidak sengaja mode loudspeakernya aktif. Terdengar suara Rauf yang memanggil-manggil Nami.“Nami, kamu masih di sana? Kamu sama siapa?”Karena terlalu gugup akibat ketahuan berhubungan dengan Rauf, Nami lekas merebut ponsel dan memutuskan panggilan sepihak. Samudra dan Nami sama-sama diam. Sampai menimbulkan respon senyap dari Tama, Megumi, dan Jelo yang heran melihat dua orang dewasa di hadapannya saling diam.“Ponsel saya baik-baik aja, Mas.”“Maaf sekali, Nona. Saya tadi terlalu bersemangat dan tidak memperhatikan lagi kalau nona sedang bertelepon.”Samudra tadinya kasihan dengan Nami yang hanya duduk sendirian di bangku panjang. Ia meminta izin pada Tama, Megumi, dan Jelo untuk mengajak Nami bermain. Ketiganya setuju dengan mudah dan sontak membuat Samudra te
“Chef ada perlu apa ke sini?”Nami berusaha untuk bersikap ramah, selayaknya tamu yang dipersilakan masuk ke rumah. Disajikan minuman dan cemilan serta tak lupa dipersilakan duduk. Samudra sempat menawarkan diri untuk ditemani. Namun Nami mengatakan jika ia tak masalah menghadapi Chef David sendirian. Samudra hanya khawatir jika Nami masih takut bertemu lawan jenis. “Maaf baru bisa menemui kamu. Keluarga Arvarendra sedang sibuk mempersiapkan pernikahan Nona Raline. Jadi waktu saya sangat sedikit untuk memegang ponsel.”Nami mengerti, meski ia juga tak meminta penjelasan tentang alasan David tidak membalas pesannya yang menceritakan tentang pelecehan yang ia terima. “Saya ke sini ingin melihat kondisi kamu. Maaf, karena saya terkesan menghilang begitu saja. Sungguh saya ingin sekali langsung menemui kamu saat itu. Tetapi …. ““Saya ngerti, Chef. Saya jauh lebih baik sekarang. Terima kasih sudah khawatir dan masih bersedia menemui saya.”Nami merasa bersalah, karena sempat berpikir j
Samudra memencet bell rumah Nami berulang kali. Samudra menelepon hampir ratusan kali dengan puluhan spam pesan yang tak terbaca dan tak terjawab sama sekali. Nami menghilang bak ditelan bumi. “Nona! Nona Nami! Ini saya!” Tidak ada respon dari pemilik rumah. Samudra terus menggedor dengan raut cemas bukan main. Alhasil apa yang Samudra perbuat malah menimbulkan perhatian tetangga sekitar rumah Nami yang kebetulan lewat. Si tetangga menatap hati-hati pada Samudra yang berpakaian begitu tertutup. Celana jeans, kaos oversize lengan sesiku lebih, ditambah aksesori masker, topi, dan kacamata. Itu terlihat aneh untuk ukuran anak muda yang seharusnya tahu cara memadu padankan fashion. “Maaf, anda mencari gadis yang tinggal sendiri di sini?” si tetangga mengambil sikap untuk tidak terlalu dekat. Tingkat kepercayaan masyarakat akan orang asing sedang anjlok belakangan ini. Si tetangga hanya tidak ingin kehilangan nyawa akibat orang asing yang menggedor-gedor pintu rumah orang lain. “Halo,
“Samudra, Nami kedatangan … tamu.”Samudra menerima telepon dari ibunya setelah dua jam kemudian. Ibunya Samudra mengatakan kata tamu dengan begitu hati-hati. Seakan-akan ibunya Samudra sempat mencari kata lain yang lebih pas untuk menggambarkan orang yang datang ke rumah Nami, sebelum akhirnya pasrah dengan kata tamu.“Siapa, Bu?”“Ibu sedikit sulit menjelaskannya. Nami sudah sadar?”“Iya, Bu. Dia ada di sebelahku.”Lantas Samudra mengatakan jika Nami kedatangan tamu. “Siapa?” tanya Nami yang diteruskan Samudra pada ibunya. “Nami kapan bisa pulang?”Pertanyaan ibunya, tentu cukup mencurigakan bagi Samudra. Nami yang masih lemas juga penasaran dengan tamu yang datang. “Belum tahu, Bu. Apa bisa tamunya datang lagi sekitar lusa saja? Katakan saja jika Nona Nami sedang diopname.”“Anu, Samudra. Sepertinya telah terjadi sesuatu.”Ibunya Samudra benar-benar sulit menjelaskannya. Samudra dan Nami saling melempar tatapan membingungkan. “Ibu, ada apa?”Nami meminta izin pada Samudra untuk
Samudra tahu jika Nami tidak bermaksud ingin benar-benar mati. Nami dan mereka yang menyebutkan kematian, tidaklah sungguh ingin mati. Mereka hanya lelah dan membutuhkan pertolongan akan deraan hidup yang menghantam kehidupan. Ujian naik level setiap manusia memang berbeda. Samudra sebagai manusia yang punya hati nurani, tentu tidak akan meninggalkan Nami sendirian disaat terpuruknya. Nami terpaksa harus merelakan rumah yang penuh kenangan suka dan duka bersama mendiang papanya. Entah bagaimana kelanjutannya, Nami dibawa Samudra ke suatu tempat. Nami kembali disuntik penenang agar bisa menstabilkan mentalnya yang carut marut. Jejak air mata berkumpul di wajah ayu Nami yang biasanya terlihat paling cerah saat di hadapan orang lain. “Sam, kakak kira udah cukup kamu terlalu dalam masuk ke masalah yang Nami. Yang kemarin, kakak sama ayah dan ibu masih biarin kamu mendampingi Nami, meski kamu jelas nggak salah sama sekali. Namun sekarang sudah cukup, Bro. Kamu kembali fokus sama pekerj