Home / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / Bab 91: Buton di Simpang Jalan Takdir

Share

Bab 91: Buton di Simpang Jalan Takdir

Author: Oceania
last update Last Updated: 2025-04-03 22:05:58

Di atas tanah yang tak pernah menyerah, di bawah langit yang menyimpan bisikan para leluhur, Buton kembali dipertaruhkan.

Angin Timur Membawa Kabar

Langit Buton senantiasa menyimpan rahasia. Ombak yang berkejaran di tepian pantai tak hanya menyapa pasir yang setia, tetapi juga membawa bisikan masa lalu ke telinga mereka yang mau mendengar. Kali ini, angin dari utara tak sekadar membawa bau garam, tetapi juga aroma kepentingan asing yang semakin tajam menusuk tanah leluhur.

Di pusat kekuasaan, meja-meja panjang bergetar. Tender minyak Buton telah diputuskan, dan bahwa salah satu anggota BRICS kini menjadi pemegang kendali. Lima miliar barel minyak tersimpan di perut bumi, menunggu untuk disedot, mengundang sekawanan pemangsa yang mengintai dari kejauhan. Ini adalah kekuatan energi di ruang pertarungan pasifik, Buton adalah jembatan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Kini telah dikuasai oleh anggota BRICS. Meningkatkan ketegangan ketika barat semakin kehilangan sumber daya dari negeri-
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 92: Balaba—Tarian Jiwa, Napas Leluhur

    Di bawah cahaya rembulan yang lembut menyapu hamparan tanah Buton, Lintang berdiri tegak. Angin malam membelai wajahnya, membawa bisikan masa lalu yang terukir dalam setiap butir pasir dan hembusan angin laut. Malam ini, ia akan menapaki jejak leluhur melalui tarian Balaba, menyelami samudra makna yang tersembunyi di balik setiap gerakan.Menyatu dengan BalabaLintang telah beranjak dewasa. Pencariannya akan jati diri membawanya kembali ke akar budaya Buton, tempat tarian Balaba bukan sekadar seni gerak, melainkan manifestasi jiwa dan filosofi hidup. Dengan langkah ringan namun pasti, ia memasuki sanggar tempat para penari Balaba berlatih. Dinding-dinding kayu tua menjadi saksi bisu perjalanan generasi yang menari untuk menghormati leluhur dan alam semesta.Seorang maestro Balaba, La Ode Rafi, menyambutnya dengan senyum bijak. "Anakku, tarian ini bukan sekadar gerakan. Ia adalah doa yang mengalir melalui tubuh, menyatu dengan napas dan pikiran. Dalam Balaba, kita belajar tentang Kangk

    Last Updated : 2025-04-05
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 93 — Kabanti di Atas Tanah yang Bergetar

    Mentari menyelinap perlahan dari celah awan-awan tipis yang menggantung seperti kelambu raksasa di atas bumi Buton. Cahaya keemasan memantul di atas dedaunan Lambusango yang basah oleh embun, menari-nari di antara rimba yang masih menyimpan kisah-kisah purba. Burung-burung menyanyikan kabanti pagi—bait-bait yang tidak ditulis, tetapi diturunkan dalam aliran darah dan getaran tanah. Di sinilah Lintang kembali menapaki tanah leluhurnya, bukan hanya dengan kaki, melainkan dengan hati yang telah belajar membaca semesta.Hati Lintang penuh dengan kehangatan dan kekaguman saat ia merasakan kehadiran nenek moyangnya di setiap hembusan angin dan setiap rayuan matahari. Ia merasa terhubung dengan alam dan sejarah yang mengalir di dalam dirinya, membimbing langkahnya menuju kebenaran yang lebih dalam. Dalam keheningan pagi yang masih merona, Lintang merenungkan betapa beruntungnya dirinya dapat kembali ke tanah kelahirannya, di mana segala sesuatu terasa begitu hidup dan penuh makna.Setiap lan

    Last Updated : 2025-04-06
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 94: Ombak Perdagangan di Tengah Badai Tarif

    Di bawah langit Buton yang membentang luas, Lintang duduk di tepi pantai, merenungi cakrawala yang seolah menyimpan rahasia dunia. Angin laut berbisik lembut, membawa kabar dari negeri-negeri jauh. Di kejauhan, perahu-perahu nelayan berayun pelan, seirama dengan gelombang yang tak henti-hentinya mencumbu pantai. Namun, di balik ketenangan itu, dunia tengah bergolak oleh badai kebijakan yang mengguncang perekonomian global.Pagi itu, Lintang masih tetap duduk di Pantai Pulau Batu Atas; ia memegang handphone-nya dan memutar Radio Digital dan mendengarkan berita internasional dari BBC London. Terdengar dengan jelas bahwa pada awal April 2025, Presiden Amerika Serikat mengumumkan kenaikan tarif impor sebesar 10% secara menyeluruh, dengan tarif lebih tinggi diberlakukan pada negara-negara seperti China, Uni Eropa, Jepang, dan Vietnam. Kebijakan ini, yang disebut sebagai "Liberation Day" oleh pemerintahan AS, dimaksudkan untuk melindungi industri domestik dan mengurangi defisit perdagangan.

    Last Updated : 2025-04-07
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 95: Dalam Rahim Bumi, Di Bawah Naungan Bintang

    Dalam hati yang suci, di situ langit akan memberikan naunganMentari menyelinap perlahan dari celah-awan tipis yang menggantung bagai kelambu raksasa di atas bumi Buton, menyinari setiap sudut hutan Lambusango dengan sinar keemasan yang lembut. Setiap helai dedaunan yang basah oleh embun seolah menari, memancarkan kisah-kisah purba yang diturunkan dari darah para leluhur. Di tengah keagungan alam itu, Lintang melangkah perlahan, bukan hanya dengan kakinya, tetapi dengan hati yang telah belajar membaca bisikan semesta.Di tepi jalan setapak yang dibatasi oleh akar-akar beringin raksasa, Lintang merasakan kehadiran nenek moyangnya. Setiap langkahnya seakan disemarakkan oleh zikir yang meresap dalam denyut nadinya, mengingatkannya bahwa tanah ini adalah warisan sakral yang harus dijaga untuk generasi mendatang. Ia menatap langit dengan penuh haru, seolah-olah mengundang para leluhur untuk kembali menatap dunia modern yang mulai berubah drastis.Suara angin berdesir, menyampaikan pesan-pe

    Last Updated : 2025-04-08
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 96: Nyanyian Langit, Janji yang Tertulis di Laut

    Mentari baru saja menyingsing dari balik sela-sela awan nan tipis, menciptakan lengkung cahaya keemasan yang perlahan merayap di atas bumi Buton. Udara pagi begitu segar, menyelimuti dedaunan Lambusango yang basah oleh embun, seolah-olah setiap tetesnya mengandung bisikan rahasia masa lalu yang diturunkan dari para leluhur. Di antara keriuhan alam yang hening itu, Lintang berjalan perlahan dengan langkah penuh penghayatan. Bukan hanya dengan kakinya yang menapak, melainkan dengan hati yang telah belajar membaca bahasa alam dan memahami makna setiap helai daun yang berguguran.Di tepi jalan setapak yang berliku, akar-akaran pohon beringin tua mencuat bak tangan-tangan raksasa yang menggapai langit. Setiap sentuhan Lintang pada tanah yang lekat itu seolah menjadi sebuah zikir, memanggil kembali kekuatan yang telah lama tersembunyi dalam darah Buton. Di balik setiap hiruk-pikuk dedaunan, terukir kenangan para leluhur yang pernah menorehkan jejaknya dalam setiap riak napas bumi. Warisan i

    Last Updated : 2025-04-11
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 97: Kearifan yang Berakar, Masa Depan yang Bertunas

    Langit Buton pada pagi itu seolah membuka tirai keabadian, membiarkan sinar mentari menyelinap perlahan dari celah-awan tipis yang menggantung layaknya kelambu raksasa, menyiram bumi dengan cahaya keemasan yang lembut nan mempesona. Di antara desiran angin yang membawa aroma tanah basah dan embun pagi, Lintang berjalan pelan di tepian hutan Lambusango. Setiap langkahnya adalah doa yang tertulis dalam denyut nadi, setiap tapak kaki adalah jejak sejarah yang tak terhapuskan oleh waktu. Bumi Buton, yang telah menyimpan rahasia-rahasiannya sejak zaman para leluhur, kini kembali mengundang putra-putrinya untuk menyelami makna hidup yang hakiki.Di kejauhan, ombak laut yang bergulung dengan anggun memeluk pantai, mengalunkan simfoni alam yang menggetarkan jiwa. Suara burung-burung malam yang masih berkicau memberi irama pada napas semesta, seakan alam menyuarakan kabanti yang tak tertulis, namun tersampaikan lewat bisikan angin dan riak ombak. Dalam keheningan itu, Lintang terhanyut dalam r

    Last Updated : 2025-04-11
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 98: Sumpah di Ujung Tanah Leluhur

    Malam Buton menjelang fajar dengan keagungan yang tak terperi; langit memancarkan kemilau bintang dan rembulan yang seolah menyimpan rahasia yang telah lama ditulis oleh para leluhur. Di tengah heningnya malam, Lintang berdiri di tepi hutan Lambusango, di mana angin lembut menari bersama dedaunan basah yang mengantarkan harum tanah basah. Di situ, alam dan waktu seakan berpadu menjadi satu, menyusun simfoni hidup yang menggetarkan jiwa.Dalam kesunyian itu, Lintang merasakan denyut nadi tanah yang berbicara dalam bahasa yang hanya bisa dipahami oleh hati yang telah lama berkelana dalam ranah kebijaksanaan. Setiap batu, setiap dahan, setiap hela napas alam, seolah mengajaknya untuk kembali ke akar—untuk memahami bahwa setiap butir pasir adalah saksi bisu perjalanan sejarah yang tak ternilai. Ia tahu, bahwa tanggung jawabnya bukanlah sekadar mewarisi tanah, melainkan juga menjaga agar warisan leluhur tidak luntur oleh waktu dan tamparan zaman yang bergulir tanpa henti.Subuh yang Menggi

    Last Updated : 2025-04-12
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 99: Jejak-Jejak Cahaya di Tengah Badai Zaman

    Langit Buton terbentang luas, seperti kanvas langit yang dihiasi dengan kilau bintang dan sinar rembulan yang bagai mengukir puisi di atas permukaan dunia. Malam itu, ketika angin berhembus lembut dari lautan yang tak pernah berhenti menyanyikan lagu-lagu purba, Lintang berdiri di atas bukit tinggi, memandangi cakrawala yang seolah menyimpan ribuan rahasia tak tertulis. Di sanalah, di titik temu antara langit dan bumi, ia merasakan getaran zaman—sebuah panggilan yang telah lama terpendam dalam sanubarinya, menuntunnya menuju suatu takdir yang melampaui jangkauan pikiran fana.Lintang telah melewati berbagai liku; ia telah menari dalam Balaba, menelusuri naskah-naskah kabanti yang dihiasi tinta kisah leluhur, dan kini ia menjadi penjaga warisan yang harus dipertahankan di tengah pergolakan dunia modern. Ia tahu, bahwa tanah Buton bukan hanya sekadar hamparan bumi, melainkan harta karun yang mengandung darah, air, dan napas para pendahulu yang pernah berjuang—satu w

    Last Updated : 2025-04-13

Latest chapter

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 144 – Tangan Besi dan Lidah Tanah

    Di balik udara hangat Lambusango, Lintang menyaksikan kabut pekat mulai menggantung. Bukan kabut embun, melainkan kabut politik, dikirim dari kantor-kantor gelap para oligarki yang tak senang gerakan Madrasah Langit terus berakar dan menjalar.Pagi itu, berita mengejutkan menghentak komunitas: Sinta, sahabat karib sekaligus ibu Lintang, ditahan. Tuduhan: provokasi, menghalang-halangi pembangunan nasional. Polisi bersenjata lengkap mendatangi rumahnya di pinggir hutan, menggiringnya seperti penjahat besar.Lintang berdiri membatu di depan Madrasah, napasnya berat. Sinta, yang selalu menanam pohon dengan anak-anak, yang mengajari tentang tanah sebagai ibu, kini diikat oleh tangan hukum yang dikendalikan uang. Dia merasa marah dan putus asa, namun juga penuh tekad untuk melawan ketidakadilan yang terjadi. Dengan langkah mantap, Lintang memutuskan untuk mencari bantuan dari teman-teman seperjuangannya di Madrasah Langit. Mereka berkomitmen

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 143 – Bayang Oligarki dan Labirin Kebenaran

    Matahari pagi menyinari lembah Lambusango dengan lembut, menelusup celah daun bambu dan menciptakan simfoni cahaya di lantai hutan. Di aula Madrasah Langit, para peserta berkumpul dalam lingkaran—aneka wajah lintas benua, anak muda datang dengan harapan beradab. Namun di balik kelembutan fajar, bergulir badai tak kasat mata: gerakan oligarki telah menyusup, ingin mencabik jaring peradaban yang baru dirajut.Mereka bertekad untuk menjaga kebenaran dan keadilan tetap terang, meskipun harus melewati labirin yang rumit dan penuh intrik. Para peserta Madrasah Langit siap untuk melawan kekuatan gelap yang ingin menguasai dan mengontrol; mereka bersatu dalam semangat persaudaraan dan kebijaksanaan. Dengan tekad yang bulat, mereka siap membuat perubahan dan melawan kekuasaan oligarki yang tidak dapat diabaikan.Lintang menatap layar besar yang memajang daftar peserta terbaru. Di antara nama-nama petani dan nelayan, muncul sejumlah “mentor” dan “investor” baru: Conrad Vanderholt, nama yang men

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 142 – Jejak Padi, Sayap Cendrawasih, dan Sinar Timur Laut

    Pagi itu, medan mentari Merauke tak lagi menyapa dari balik awan, melainkan menyemai cahaya keemasan yang menembus sekat pepohonan sagu dan merangkul atap rumah petani baru di Hamparan Persawahan Karang Mulia. Lintang melangkah melintasi pematang sawah, air menggenangi tanah liat yang lunak, memantulkan sinar mentari seakan permadani cermin. Di hadapannya terbentang ribuan hektar padi varietas unggul, hamparan hijau tak bertepi yang dikembangan pemerintah demi kemandirian pangan global.Di sana, ia menemui Pak Mawar, petani keturunan Papua yang memimpin kelompok tani di Merauke. Wajah Pak Mawar teduh seperti kayu ulin tua, dan sorot matanya memancarkan kebanggaan kepada sawah yang dibangun bersama masyarakat adat. “Kita tidak hanya menanam padi,” ujar Pak Mawar sambil mengusap mutir biji padi di telapak tangannya, “kita merajut masa depan. Persawahan ini—sawah tematik seribu hari—dapat memberi makan jutaan perut. Padi menanam dir

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 141 – Jejak Benih di Seluruh Penjuru

    Pagi merambat lembut di kaki Bukit Merauke ketika Lintang menginjakkan kaki di hamparan ladang Papua. Embun menetes di daun sagu, dan kabut tipis menyelimuti barisan pohon kelapa dan ubi kayu. Di sana, sekelompok petani Papua—lelaki dan perempuan bertopi bambu, kulitnya menolak terik—menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat datang di Merauke, Kak,” sambut Yanto, koordinator komunitas tani lokal. “Di sini, si kaya dan si miskin menanam bersama. Anak‑anak muda kami belajar bercocok tanam demplot jagung hibrida, sagu liar, dan bahkan menanam padi organik di lahan rawa.”Lintang mengangguk, terpesona. Ia mendekati salah satu petani muda yang sedang meracik bibit padi organik.“Bagaimana kalian membebaskan diri dari ketergantungan impor beras?” tanyanya.Petani itu tersenyum, “Kami menerapkan rotasi tanaman dengan sagu dan ubi kayu agar tanah tak terlelah, serta menanam var

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 140 – Bayang Oligarki dan Cahaya Petani

    Kala fajar pertama menembus ufuk timur Buton, cahaya keemasan menyapa bentang hutan Lambusango. Senandung burung Parakohau bergema menembus rimbun pepohonan, seolah menjadi lagu pembuka bagi hari yang penuh janji. Di pelataran Madrasah Langit, anak-anak berlarian membawa sekantong bibit rempah, hidangannya tepuk tangan meriah. Lintang berdiri di podium bambu, menyaksikan generasi muda Pulau Buton menari riang, memeragakan gerakan tanam padi dan tarian Balaba dalam parafrase modern.“Selamat pagi, adik‑adik!” sapa Lintang dengan senyum hangat. “Madrasah Langit kini telah bersemi di lebih dari seratus daerah di seluruh belahan bumi. Di sana, petani kecil di Padang, nelayan di Maladewa, penggembala di stepa Mongolia, semua belajar bersama, berbagi ilmu, dan menjaga tanah mereka.”Anak‑anak menatap dengan mata berbinar. “Makasih, Kak Lintang!” teriak seorang bocah berlumur tanah. Mereka duduk melingkar, memegang alat tulis sederhana dan

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 139 – Jalinan Tanah, Jaringan Langit, dan Laut Tak Bertepi

    Setelah pertemuan akbar di Madrasah Langit usai, para delegasi kembali ke tanah air masing‑masing, hati dan pikiran penuh tanggung jawab baru. Dari padang pasir Gobi hingga hutan Mayombe, dari benteng Jeju hingga ke pantai Maladewa, mereka pulang membawa nyala harapan untuk membangkitkan peradaban yang berakar pada kejujuran, kesucian hati, dan penghormatan pada tanah.Di Jawa, Pak Slamet, petani kopi di lereng Merapi, membuka lokakarya di balai desa. Warga berdatangan, membawa biji kopi, alat pengolah sederhana, dan secangkir hangat kenangan. “Tanah kita,” ujar Pak Slamet, “adalah tapak sejarah—menyuburkan gigir gunung dan mencipta kopi yang harum. Dari sini, kita belajar dari sistem irigasi tetes di China: tetes adalah doa; tiap tetes air yang menyentuh akar adalah janji kehidupan.” Ia mencontohkan pola pengairan sederhana: selang plastik kecil ditempel di setiap pohon kopi, menghemat air dan memaksimalkan produksi—&ldquo

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 138 – Madrasah Dawiah dan Orkestra Tanah Dunia

    Lintang melangkah pelan menyusuri lorong benteng Kraton Buton, di antara dinding purba yang disulam lumut hijau dan ukiran kayu yang menuturkan kisah silam. Pintu berat berderit perlahan ketika ia membukanya, membuka ruangan bangsal Madrasah Dawiah—sekolah Islam tertua di nusantara timur, kawasan tempat para ulama dan cendekiawan berkumpul menenun perjanjian antarbangsa. Di sudut aula, cahaya lampu temaram menari pada naskah kuno dan pita tangan para santri berwarna-warni.Terngiang di benak Lintang dialognya dengan Prof. Mark di Leiden—guru sejarah yang menggambarkan Madrasah Dawiah sebagai simpul perjanjian “yang lahir dari kebijakan kesultanan untuk mempersatukan Kerajaan Buton dengan permukiman dagang Eropa, India, dan Arab. Di sinilah interaksi agama, sains, dan etika sipil pertama kali disalin ke dalam buku-buku pergulatan batin dan resolusi damai.” Di depannya kini terhampar prasasti marmer tua: “Madrasah Dawiah, Rumah Perjanjian, 1616.&rd

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 137- Tanah, Jembatan antara Big Data dan Doa

    Lintang berdiri di pelataran balai tani, dikelilingi oleh barisan petani yang menunggu penjelasannya. Di tangan kanannya tergenggam sebuah catatan ringkas tentang teknik pertanian modern China, di tangan kirinya tergenggam kitab kecil berisi bait‑bait Bhumi Suktam dari Veda—sebuah simbol perpaduan ilmu dan jiwa. Dengan suara lembut namun tegas ia membuka pembicaraan.“Para petani terhormat,” mulanya, “di Xinjiang, China, petani kita memanfaatkan teknik irigasi tetes—drip irrigation—untuk tanaman gandum musim dingin. Dengan selang‑selang plastik berteknologi tinggi yang meneteskan air langsung ke akar, hasil panen meningkat pesat, dan air hanya digunakan seperlunya". “Tak hanya itu, di wilayah kering, mulched drip irrigation—irigasi tetes berlumur—membantu mengontrol salinitas tanah dan menjaga struktur tanah, sehingga kapas pun tumbuh subur hingga puluhan tahun”.Seorang petani tua mengerutkan kening. “B

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 136 – Sujud, Reruntuhan, dan Daun-daun Perang

    Lintang duduk bersila di pendapa usang yang menghadap ke teluk Lawele. Angin senja membelai wajahnya dengan sepoi, membawa aroma laut dan lumut yang membasahi karang di bibir pantai. Di depannya terhampar buku tua berkulit kayu, halaman‑halamannya sudah memutih dan rapuh. Ia merengkuh buku itu, menundukkan kepala, dan membacakan bait-bait puisi kakeknya dengan suara bergetar:Aku sujud,tapi tak tahu: kepada siapa sesungguhnya dahiku ini menyentuh?Apakah Engkau, Wahai Kekasih,atau hanya bayangan dari diriku sendiri?Suara Lintang mengalun pelan, bak aliran sungai kecil yang memecah hening. Setiap baris puisi itu menembus relung hatinya, menggugah kerinduan akan kesucian yang pernah ia miliki dahulu. Ia melanjutkan:Aku melafazkan nama‑Mu,tapi diam‑diam ingin disanjung,ingin dilihat sebagai kekasih‑Mu,padahal tak sekali pun aku benar‑benar tenggelam dalam‑Mu.Kilatan m

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status