Home / Historical / KEMBALINYA SANG RATU / Bab 117 — Surat dari Kyoto, Surat dari Langit

Share

Bab 117 — Surat dari Kyoto, Surat dari Langit

Author: Oceania
last update Huling Na-update: 2025-04-20 04:20:48

Senja di Seoul turun perlahan, seperti peluk lembut ibu yang lama tak bersua. Lintang duduk di ruang baca rumah Nyonya Choi, dikelilingi rak-rak kayu tua yang menyimpan buku-buku kuno dari berbagai penjuru dunia. Di atas meja, secangkir teh ginseng mengepul, dan di tangan Lintang, sebuah amplop bersegel merah dengan lambang bunga sakura—dikirim dari Kyoto.

Jantungnya berdegup tenang, tapi dalam, seperti genderang yang ditabuh pelan di tengah upacara suci. Ia membuka surat itu perlahan, seolah tiap huruf adalah doa yang menyentuh cakrawala batin. Di dalamnya tertulis:

“Saudari Lintang yang kami hormati,

Dengan kerendahan hati dan penghargaan yang dalam atas perjalanan intelektual dan spiritual Saudari, Universitas Kyoto melalui Fakultas Studi Lintas Budaya dan Filsafat Bumi mengundang Saudari untuk bergabung dalam Program Penelitian Global mengenai ‘Hidup Berkelanjutan dalam Kearifan Lokal’. Dunia sedang mencari suara-suara ba

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Kaugnay na kabanata

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 118 — Suara dari Negeri Matahari Terbit

    Langit Kyoto pagi itu tersaput kabut tipis yang menggantung seperti tirai tipis yang mengantar langkah suci para ziarah. Udara membawa harum pohon pinus, bercampur lembut dengan aroma teh hijau yang tersimpan dalam kedai-kedai kecil di sudut jalan tua. Di balik dedaunan musim gugur yang mulai meremang jingga, Lintang turun dari taksi, memandang ke arah gerbang kayu dengan ukiran bunga sakura dan kaligrafi Jepang yang tertulis:京都大学・地球思想と共生学部Universitas Kyoto, Fakultas Pemikiran Bumi dan Koeksistensi.Ia memejamkan mata sejenak. Suara jangkrik pagi seperti berdendang, menyambutnya dalam bahasa alam. Langkahnya terasa ringan, namun penuh beban yang agung—beban harapan, bukan semata bagi dirinya, tetapi bagi ide yang ia bawa: Madrasah Langit.Begitu memasuki aula utama yang tenang dan terang oleh cahaya matahari pagi, ia disambut oleh Profesor Kuroda Naohiko, lelaki sepuh berambut putih yang menyatu semp

    Huling Na-update : 2025-04-20
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 119 – Di Negeri Bunga Sakura dan Bayang-bayang Samurai

    Langit pagi Kyoto perlahan-lahan menyibak kelam malamnya seperti tabir yang ditarik tangan dewa. Daun-daun momiji merah menyala, gugur satu per satu, menari-nari dalam angin seperti kata-kata pujangga yang mencari tempatnya di dalam kalimat. Di balik jendela asrama yang teduh, Lintang membuka matanya dalam diam. Udara pagi menyentuh pipinya seperti sentuhan ibu yang telah lama menunggu.Hari itu adalah hari istimewa. Ia dijadwalkan untuk bertemu dengan para Sensei—guru-guru kebijaksanaan Jepang yang telah mendedikasikan hidupnya bukan untuk mengejar waktu, tetapi memahami waktu.Ia berjalan melewati lorong-lorong tua kampus Universitas Kyoto, yang sepi tapi hidup, seperti bait puisi dalam bahasa yang ditulis daun. Di taman belakang, di bawah naungan pohon sakura yang mulai mempersiapkan tidurnya di musim dingin, duduklah Sensei Tanaka Kiyoshi, lelaki berwajah damai dengan rambut perak seperti salju yang tak pernah mencair.“

    Huling Na-update : 2025-04-20
  • KEMBALINYA SANG RATU    Bab 120 – Surat Undangan dari Negeri Salju, dan Rindu yang Tak Dapat Ditepikan

    Udara Kyoto pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Embun menempel di jendela kamar Lintang, membentuk pola-pola acak seperti huruf-huruf dari bahasa yang belum ia kenal. Angin berhembus perlahan, membawa aroma kayu dari taman yang basah dan desir waktu yang tak henti berbisik.Di meja kayunya yang sederhana, tergeletak sebuah amplop bersegel biru perak, dicap dengan lambang universitas kuno dari Saint Petersburg. Surat itu membawa kabar besar: undangan dari Prof. Aleksei Mikhailov, seorang filsuf kebudayaan yang telah lama meneliti spiritualitas Timur dan ketahanan masyarakat adat dalam menghadapi globalisasi.Dengan tangan gemetar, Lintang membuka surat itu:Saudari Lintang yang terhormat,Kami telah mengikuti perkembangan gagasan Madrasah Langit dengan penuh kekaguman. Di tengah badai dunia yang penuh perpecahan, suara Anda menyentuh sesuatu yang telah lama kami rindukan—sebuah jalan untuk menyatukan

    Huling Na-update : 2025-04-20
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 121 – Keteguhan di Bawah Langit Utara

    Salju turun perlahan di langit Moskwa. Kristalnya membentuk tirai-tirai cahaya yang menari dalam diam, memeluk kota tua dengan kelembutan abadi. Lintang menatap keluar jendela kereta yang membawanya menuju pusat kebijaksanaan di tanah yang telah melewati zaman perang, cinta, dan pengetahuan yang membatu dalam buku-buku tua dan nyala samovar.Jejak langkahnya di tanah Rusia adalah jejak pencarian. Ia datang bukan untuk sekadar menerima, melainkan untuk mendengarkan. Undangan dari Profesor Ivanov—seorang pemikir besar dalam bidang sejarah spiritual Eurasia—membawanya ke institusi yang sunyi namun penuh gema gagasan. “Madrasah Langit,” kata sang profesor dalam suratnya, “adalah suara yang telah lama kami tunggu dari Timur. Kau membawa angin baru.”Di lembaga tua tempat filsafat Slavik dan Timur Tengah bersua, Lintang disambut dengan pelukan hangat meski suhu menusuk tulang. Di aula pertemuan, tak hanya para cendekia Rusia yang hadir. Se

    Huling Na-update : 2025-04-20
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 122 – Akar Budaya Madrasah Langit

    Suasana pagi di Universitas Moscow itu berangsur tenang, dengan langit kelabu menambah kedalaman suasana di aula besar tempat Lintang akan memberikan ceramah. Ia merasakan getaran yang halus, seolah ada sebuah panggilan untuk berbicara lebih dalam, lebih jernih, dan lebih hati-hati. Tidak hanya tentang ilmu pengetahuan atau kebijaksanaan dunia, tetapi tentang semangat kehidupan yang harus dibangun dari akar yang benar. Akar yang mencakup tanah, langit, dan seluruh semesta.Lintang berdiri di podium, di hadapannya para mahasiswa dari berbagai penjuru Eropa—dari Jerman, Italia, Prancis, hingga dari Skandinavia—semuanya hadir dengan harapan mendapatkan wawasan baru. Namun, Lintang tahu bahwa tidak ada yang lebih besar dari belajar untuk memahami akar-akar kebudayaan manusia, yang meski tersembunyi dalam lapisan-lapisan sejarah, selalu memengaruhi bagaimana kita berinteraksi satu sama lain dan dengan alam.Hari ini, ceramah Lintang tidak hanya tentang teori atau analisis a

    Huling Na-update : 2025-04-20
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 124 – Getaran Rindu di Antara Benua

    Langit di atas Kyiv malam itu berwarna biru keunguan, seolah-olah menyimpan rahasia bisu dari badai sejarah. Di bawah langit yang terbentang luas, Lintang duduk di sebuah kafe kecil yang terletak di tengah kota tua, sambil menyeruput secangkir teh dengan aroma rempah yang mengingatkannya pada hutan Lambusango. Suasana di kafe itu penuh dengan kehangatan lampu gantung temaram dan bisikan lembut dari percakapan yang tak terikat negara. Di sinilah, dalam pertemuan kebetulan yang tak terduga, Lintang bertemu dengan seorang gadis Ukraina.Gadis itu, bernama Olena, memiliki mata biru yang dalam seperti danau-danau di Taman Nasional Carpathian. Dengan rambut cokelat keemasan yang dibiarkan terurai, ia tampak seolah diciptakan oleh alam—mewakili keindahan kepolosan yang jarang tersaji dalam hiruk-pikuk modernitas. Olena mendekati Lintang dengan penuh keingintahuan dan keberanian yang mengalir dari setiap kata yang terlintas di bibirnya.“Maaf, saya tidak bisa tidak mendengar p

    Huling Na-update : 2025-04-21
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 125 – Jejak Luka dan Harapan di Negeri Kecil

    Langit Amsterdam pada musim gugur menyapa Lintang dengan keperihan yang menggabungkan keindahan dan duka. Di sana, di antara bangunan-bangunan bersejarah yang dijulang dengan megah, ia mendapati dirinya di dunia yang berbeda dari Buton. Di sini, naskah-naskah kuno bukan hanya disimpan dalam lembaran buku, tetapi menjadi napas peradaban. Undangan yang diterimanya untuk datang ke Universitas Leiden, yang dikenal sebagai pusat kebudayaan dan peradaban naskah dunia, menjadi jembatan antara dunia yang pernah ia kenal dengan tanah yang kini jauh di mata.Di sebuah pagi yang dingin, ketika embun menempel pada daun-daun pohon di sepanjang kanal yang berliku, Lintang berjalan menyusuri jalan-jalan berbatu Amsterdam. Sepatu-sepatunya menapak lembut, seolah-olah setiap langkahnya adalah doa yang memanggil kembali suara Buton. Rindu yang mendalam pada tanah kelahirannya tak pernah padam, namun di saat yang sama ia hadir di negeri yang membisikkan kisah pilu dan harapan.Di Univers

    Huling Na-update : 2025-04-21
  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 126 – Di Bawah Langit Timur: Dari Iran ke India

    Pesawat Lintang singgah sebentar di kawasan Timur Tengah yang berkelok, langit di atas padang pasir bergemuruh dengan kecemerlangan bintang-bintang, seolah-olah menyimpan kisah-kisah purba yang tercatat dalam debu dan angin. Di ruang tunggu bandara yang sunyi, di antara aroma kopi yang menguar dan bisikan penumpang yang terlupa waktu, sebuah pesan muncul di layar handphone Lintang. Pesan itu, singkat namun penuh arti, mengundangnya untuk singgah di Iran. "Temui para petani di negeri ini; temukan bahasa hati yang mengalir dalam damai."Lintang tersentuh. Ia tahu, bahwa di setiap perjalanan, selalu ada panggilan yang melampaui batas geografi. Dengan hati penuh rasa ingin tahu dan jiwa yang menggantung pada harapan lama, ia memutuskan untuk menuruti undangan itu.Sesampainya di Iran, Lintang menemukan bahwa negeri yang terkenal dengan kekayaan sejarahnya itu terhiasi oleh kontras yang mendalam antara keindahan alam dan beban peradaban yang tertekan. Di sebuah desa kecil d

    Huling Na-update : 2025-04-21

Pinakabagong kabanata

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 142 – Jejak Padi, Sayap Cendrawasih, dan Sinar Timur Laut

    Pagi itu, medan mentari Merauke tak lagi menyapa dari balik awan, melainkan menyemai cahaya keemasan yang menembus sekat pepohonan sagu dan merangkul atap rumah petani baru di Hamparan Persawahan Karang Mulia. Lintang melangkah melintasi pematang sawah, air menggenangi tanah liat yang lunak, memantulkan sinar mentari seakan permadani cermin. Di hadapannya terbentang ribuan hektar padi varietas unggul, hamparan hijau tak bertepi yang dikembangan pemerintah demi kemandirian pangan global.Di sana, ia menemui Pak Mawar, petani keturunan Papua yang memimpin kelompok tani di Merauke. Wajah Pak Mawar teduh seperti kayu ulin tua, dan sorot matanya memancarkan kebanggaan kepada sawah yang dibangun bersama masyarakat adat. “Kita tidak hanya menanam padi,” ujar Pak Mawar sambil mengusap mutir biji padi di telapak tangannya, “kita merajut masa depan. Persawahan ini—sawah tematik seribu hari—dapat memberi makan jutaan perut. Padi menanam dir

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 141 – Jejak Benih di Seluruh Penjuru

    Pagi merambat lembut di kaki Bukit Merauke ketika Lintang menginjakkan kaki di hamparan ladang Papua. Embun menetes di daun sagu, dan kabut tipis menyelimuti barisan pohon kelapa dan ubi kayu. Di sana, sekelompok petani Papua—lelaki dan perempuan bertopi bambu, kulitnya menolak terik—menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat datang di Merauke, Kak,” sambut Yanto, koordinator komunitas tani lokal. “Di sini, si kaya dan si miskin menanam bersama. Anak‑anak muda kami belajar bercocok tanam demplot jagung hibrida, sagu liar, dan bahkan menanam padi organik di lahan rawa.”Lintang mengangguk, terpesona. Ia mendekati salah satu petani muda yang sedang meracik bibit padi organik.“Bagaimana kalian membebaskan diri dari ketergantungan impor beras?” tanyanya.Petani itu tersenyum, “Kami menerapkan rotasi tanaman dengan sagu dan ubi kayu agar tanah tak terlelah, serta menanam var

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 140 – Bayang Oligarki dan Cahaya Petani

    Kala fajar pertama menembus ufuk timur Buton, cahaya keemasan menyapa bentang hutan Lambusango. Senandung burung Parakohau bergema menembus rimbun pepohonan, seolah menjadi lagu pembuka bagi hari yang penuh janji. Di pelataran Madrasah Langit, anak-anak berlarian membawa sekantong bibit rempah, hidangannya tepuk tangan meriah. Lintang berdiri di podium bambu, menyaksikan generasi muda Pulau Buton menari riang, memeragakan gerakan tanam padi dan tarian Balaba dalam parafrase modern.“Selamat pagi, adik‑adik!” sapa Lintang dengan senyum hangat. “Madrasah Langit kini telah bersemi di lebih dari seratus daerah di seluruh belahan bumi. Di sana, petani kecil di Padang, nelayan di Maladewa, penggembala di stepa Mongolia, semua belajar bersama, berbagi ilmu, dan menjaga tanah mereka.”Anak‑anak menatap dengan mata berbinar. “Makasih, Kak Lintang!” teriak seorang bocah berlumur tanah. Mereka duduk melingkar, memegang alat tulis sederhana dan

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 139 – Jalinan Tanah, Jaringan Langit, dan Laut Tak Bertepi

    Setelah pertemuan akbar di Madrasah Langit usai, para delegasi kembali ke tanah air masing‑masing, hati dan pikiran penuh tanggung jawab baru. Dari padang pasir Gobi hingga hutan Mayombe, dari benteng Jeju hingga ke pantai Maladewa, mereka pulang membawa nyala harapan untuk membangkitkan peradaban yang berakar pada kejujuran, kesucian hati, dan penghormatan pada tanah.Di Jawa, Pak Slamet, petani kopi di lereng Merapi, membuka lokakarya di balai desa. Warga berdatangan, membawa biji kopi, alat pengolah sederhana, dan secangkir hangat kenangan. “Tanah kita,” ujar Pak Slamet, “adalah tapak sejarah—menyuburkan gigir gunung dan mencipta kopi yang harum. Dari sini, kita belajar dari sistem irigasi tetes di China: tetes adalah doa; tiap tetes air yang menyentuh akar adalah janji kehidupan.” Ia mencontohkan pola pengairan sederhana: selang plastik kecil ditempel di setiap pohon kopi, menghemat air dan memaksimalkan produksi—&ldquo

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 138 – Madrasah Dawiah dan Orkestra Tanah Dunia

    Lintang melangkah pelan menyusuri lorong benteng Kraton Buton, di antara dinding purba yang disulam lumut hijau dan ukiran kayu yang menuturkan kisah silam. Pintu berat berderit perlahan ketika ia membukanya, membuka ruangan bangsal Madrasah Dawiah—sekolah Islam tertua di nusantara timur, kawasan tempat para ulama dan cendekiawan berkumpul menenun perjanjian antarbangsa. Di sudut aula, cahaya lampu temaram menari pada naskah kuno dan pita tangan para santri berwarna-warni.Terngiang di benak Lintang dialognya dengan Prof. Mark di Leiden—guru sejarah yang menggambarkan Madrasah Dawiah sebagai simpul perjanjian “yang lahir dari kebijakan kesultanan untuk mempersatukan Kerajaan Buton dengan permukiman dagang Eropa, India, dan Arab. Di sinilah interaksi agama, sains, dan etika sipil pertama kali disalin ke dalam buku-buku pergulatan batin dan resolusi damai.” Di depannya kini terhampar prasasti marmer tua: “Madrasah Dawiah, Rumah Perjanjian, 1616.&rd

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 137- Tanah, Jembatan antara Big Data dan Doa

    Lintang berdiri di pelataran balai tani, dikelilingi oleh barisan petani yang menunggu penjelasannya. Di tangan kanannya tergenggam sebuah catatan ringkas tentang teknik pertanian modern China, di tangan kirinya tergenggam kitab kecil berisi bait‑bait Bhumi Suktam dari Veda—sebuah simbol perpaduan ilmu dan jiwa. Dengan suara lembut namun tegas ia membuka pembicaraan.“Para petani terhormat,” mulanya, “di Xinjiang, China, petani kita memanfaatkan teknik irigasi tetes—drip irrigation—untuk tanaman gandum musim dingin. Dengan selang‑selang plastik berteknologi tinggi yang meneteskan air langsung ke akar, hasil panen meningkat pesat, dan air hanya digunakan seperlunya". “Tak hanya itu, di wilayah kering, mulched drip irrigation—irigasi tetes berlumur—membantu mengontrol salinitas tanah dan menjaga struktur tanah, sehingga kapas pun tumbuh subur hingga puluhan tahun”.Seorang petani tua mengerutkan kening. “B

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 136 – Sujud, Reruntuhan, dan Daun-daun Perang

    Lintang duduk bersila di pendapa usang yang menghadap ke teluk Lawele. Angin senja membelai wajahnya dengan sepoi, membawa aroma laut dan lumut yang membasahi karang di bibir pantai. Di depannya terhampar buku tua berkulit kayu, halaman‑halamannya sudah memutih dan rapuh. Ia merengkuh buku itu, menundukkan kepala, dan membacakan bait-bait puisi kakeknya dengan suara bergetar:Aku sujud,tapi tak tahu: kepada siapa sesungguhnya dahiku ini menyentuh?Apakah Engkau, Wahai Kekasih,atau hanya bayangan dari diriku sendiri?Suara Lintang mengalun pelan, bak aliran sungai kecil yang memecah hening. Setiap baris puisi itu menembus relung hatinya, menggugah kerinduan akan kesucian yang pernah ia miliki dahulu. Ia melanjutkan:Aku melafazkan nama‑Mu,tapi diam‑diam ingin disanjung,ingin dilihat sebagai kekasih‑Mu,padahal tak sekali pun aku benar‑benar tenggelam dalam‑Mu.Kilatan m

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 135 – Pelajaran dari Yuanmingyuan dan Kebanggaan yang Terlahir Kembali

    Senja menyaput langit Jakarta dengan semburat jingga lembut kala Lintang melangkah turun dari pesawat. Di ujung pintu kedatangan, berdiri dua sosok yang paling ia rindukan—Sinta, ibunya, dengan senyum hangat yang meneduhkan; dan Jun Hoo, ayahnya, tegap namun lembut menatap putrinya dengan mata berbinar bangga. Tanpa kata, mereka berpelukan erat. Hanya deru mesin pesawat yang menjadi saksi, sementara hati mereka bergetar dalam kesunyian yang penuh makna.“Anakku…” suara Sinta bergetar, “selamat pulang.”“Ka…aku belajar begitu banyak, Bu, Pa,” ujar Lintang, menahan air mata haru. Ia merasakan setiap inci pelukan itu menghadirkan kekuatan baru dalam dirinya, selaras dengan kebijaksanaan yang dibawanya dari perjalanan panjang ke tanah peradaban.Mereka beranjak menuju mobil, menembus lalu lintas kota yang berdenyut. Sepanjang perjalanan, Lintang mulai bercerita, suaranya nyaris berbisik agar setiap kata dapat diresapi. Ia mengisahkan kunjungannya ke Yuanmingyuan—Old

  • KEMBALINYA SANG RATU   Bab 134 – Melodi Desyhuang, Suara Damai di Negeri Terpecah

    Senja di Taiwan adalah suatu lukisan hidup yang memukau, di mana langit memerah bagai benang sutra yang diatur oleh tangan para dewa. Di sudut sebuah kafe kecil di Taipei, Lintang duduk menyendiri, mendengarkan lagu-lagu Desyhuang yang menggema lembut melalui headphone-nya. Nada-nada musik itu mengalir, bagaikan aliran sungai yang mengalir dari masa lalu, membawa pesan-pesan rahasia tentang cinta, pengorbanan, dan perjanjian yang telah ditorehkan di antara keberagaman budaya.Dalam sekejap, irama melankolis Desyhuang itu membangkitkan sebuah kerinduan mendalam dalam jiwa Lintang—sebuah rindu kepada tanah yang dahulu menyatu dalam harmoni, namun kini terpecah oleh dua kekuatan ekonomi besar yang saling bersaing. Ia terpaut antara bayang-bayang kekuatan China yang modern dan ambisi global yang sering kali mengabaikan kehalusan budaya, dan bayang-bayang masa depan yang ia impikan untuk pulau kecil yang mempesona ini. Lintang menyadari, bahwa Taiwan adalah tanah bag

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status