Sudah hampir satu jam aku berada di rumah ini. Namun dari tadi aku belum juga melihat batang hidung dari adik iparku itu. Biasanya dia yang paling merasa berpendidikan di rumah ini dan lebih di utamakan kebutuhan serta kepentingannya. Kabar yang aku dengar tentunya dari Mbak Yani, jika Eni terlihat seperti orang yang sedang depresi semenjak suami yang baru menikahinya dan bahkan belum juga 24 jam mereka menikah. Toni, yang aku tahu nama suaminya itu. Pergi meninggalkan dia yang lebih tepatnya meninggalkan rumah milik ibu mertua tanpa berpamitan. Tidak hanya itu. Kabar lain yang aku dapat besar dugaan jika orang yang mencuri uang hajatan mereka adalah suami Eni sendiri yang sudah bersekongkol dengan teman-temannya. Sudah tertipu 100 juta, kini Eni juga di tinggal begitu saja. Miris sekali nasibnya. Mungkin juga itu sebagai salah satu teguran untuk dirinya juga untuk Ibu dan kakaknya.Mungkin karena alasan tersebut yang tentunya malu yang ia tanggung. Sehingga membuat Eni lebih sering
"Akhirnya, aku bisa bebas dari istri tuamu itu, Bang. Sampai kapan aku harus berpura-pura seperti. Aku gak mau, ya, terus-terusan di jadiin pembantu sama istri tuamu itu. Aku ini juga istrimu. Aku juga punya hak ingin di layani juga. Jangan mentang-mentang dia yang kerja nyari duit. Baru jadi bab* saja belagu." "Iya, aku tahu. Pokoknya kamu harus sabar dulu jangan sampai kamu keceplosan bilang kalau kita ini sudah menikah. Aku gak mau sampai dia tahu dan marah. Kamu tahu akibatnya kan. Bisa-bisa dia gak mau melunasi hutang-hutangku. Kamu mau kalau rumah ini Samapi disita sana rentenir dan kita di usir dari sini karena kita gak bisa bayar hutang sama mereka?" Aku mengingatkan dan menasehati istri mudaku ini. Sebenarnya hati ini jauh lebih berat melepaskan Rani jika harus di suruh untuk membuat pilihan. Rani yang sekarang jauh lebih segalanya dari pada Lasmi. Mungkin dulu Lasmi-lah yang lebih unggul. Aku baru sadar jika kecantikan Rani jauh lebih alami ketimbang dengan Lasmi. Buktinya
Kedatanganku ternyata di sambut oleh mereka. Kusodorkan kantong plastik yang ada di tanganku. Dua kantong plastik yang masing-masing berisi nasi satu bungkus jatahku dan satu kantong plastik lagi berisi dua bungkus nasi yang sengaja aku bawa untuk mereka. "Lho, Ran, kok cuma ada dua bungkus nasinya ini? Kan tadi ibu mintanya empat bungkus." protes ibu mertua setelah menerima kantong plastik dan membuka isi di dalamnya."Ibu nyuruh tapi gak ngasih duit, kan lucu. Masih untung lho aku mau membelikan ini untuk kalian. Lagian di warung juga tinggal itu. Sudah habis di borong." balasku dengan cuek seperti orang yang tidak berdosa saja."Lha ini, tadi ibu mintanya kan daging rendang sama ayam balado. Kenapa ini yang ada cuma sayur sama telur doang?" balasnya dan bertanya seperti dia tidak ada dosa sama aku."Kok, ini si, Ran isinya?" Mas Rudi ikut memprotesnya."Kamu sama ibu gak denger ya, Mas, aku tadi ngomong apa. Semuanya sudah habis di borong tinggal itu saja." kataku."Lho, kok cuma
Aku sudah tidak sabar menunggu hari ini tiba. Aku penasaran dan ingin tahu bagaimana reaksi dari suami dan keluarganya saat di saat aku memintanya untuk menjemput putra kami yang katanya sedang berada di rumah Ibu Bapakku di kampung.Seperti biasa aku memulai hari ini dengan bangun seperti biasanya, awal. Setelah selesai merapikan tempat tidurku ini. Aku segera beranjak untuk segera membersihkan diri sebelum menunaikan kewajiban dua rakaatku dengan tenang dan khusyuk. Tidak seperti dahulu. Jika dulu aku tergopoh-gopoh untuk melaksanakan shalat subuh, karena di kejar oleh pekerjaan rumah yang menumpuk dan kesemuanya harus aku selesaikan tepat waktu. Jika tidak, Ibu mertua akan murka kepada diri ini yang dianggapnya sebagai menantu dan juga istri yang tidak becus.Waktu menunjukkan pukul lima pagi. Kebiasaan orang di rumah mertua ini adalah tepat pukul 07.00 sarapan harus sudah siap tersaji karena selepas bangun tidur biasanya mereka akan langsung menuju ke meja makan.Saat aku keluar d
"Iya, Pak. Lebih awal lebih baik. Sekali lagi saya ucapkan banyak terimakasih. Dan juga saya minta maaf sebelumnya karena sudah mengganggu waktunya, Pak Indra.""Gak pa-pa Mbak Rani. Saya tidak merasa direpotkan. Mbak masih saudara sama Rahman. Dan Rahman itu teman baik saya. Sudah sewajarnya kita saling membantu kepada sesama.""Iya, Pak. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih banyak.""Assalamualaikum ...,""Waalaikumsalam ...,"Baru saja Pak Indra menghubungiku melalui sambungan telepon seluler. Memastikan kedatangannya dan juga orang-orang yang dulu aku sewa untuk menagih hutang ke rumah ini.Sebelumnya aku memang meminta tolong padanya untuk membantu mengeluarkan penghuni rumah ini, karena tidak lama lagi tempat ini akan di ambil alih oleh pemiliknya yang baru. Tentunya sudah tertulis di atas surat perjanjian yang pernah Mas Rudi dan Eni tanda tangani saat peminjaman uang beberapa waktu yang lalu.Aku menjadi lebih tega dan sengaja memajukan waktu dari yang telah direncanakan. Di k
Ketika perdebatan di antara Bu Ningsih dan juga para penagih hutang masih berlangsung. Nampak dari arah depan rumah tersebut seorang laki-laki dengan kuda besinya yang mulai memasuki pekarangan."Ini, ada apa?" nampak raut bingung dari seorang tersebut, yang tidak lain ada Rudi suami Rani. Setelah selesai memarkirkan kendaraannya, suami dari Rani tersebut segera mendekat pada orang-orang yang masih berada di tempatnya semula. Yaitu di teras tepat di depan pintu rumah tersebut."Bang, Rud!" teriak Lasmi dan mertuanya yang hampir bersamaan menyebut nama laki-laki dan mengharapnya untuk bisa mengatasi masalah yang sedang mereka hadapi."Ini, ada apa sebenarnya?" Rudi masih bertanya dengan nada yang masih terdengar antara cemas dan bingung."Mereka ini mau menyita rumah ini, Rud. Mereka bilang utang kamu belum pernah dibayar dan dicicil sekalipun.""Rani gak mungkin bohong, Bu. Dia bilang dia akan membantu untuk melunasi pinjaman kita." Rudi masih kekeh dengan pemikirannya sendiri."Tapi
"Cepat bereskan semua barang-barang kalian sekarang juga!" teriak dari salah satu preman bayaran Rani."Tolong jangan usir kami." ucap Rudi dengan memelas."Kemana kami akan pergi kalau kalian mengusir kami." Bu Ningsih juga memohon pada para pereman agar tidak mengusirnya keluar dari rumah yang telah mereka gadaikan itu."Itu bukan urusan kami. Makanya kalau gak gablek duit, k*r*, gak usah sok-sokan pinjem duit banyak. Nganggur pake bergaya pinjem duit, gak bisa bayar. Ini konsekuensi yang kalian dapat." kata dari preman yang berkepala plontos."Akibat memperalat orang baik yang sudah baik sama kalian. Sudah dikasih enak masih saja kurang. Dasar serakah kalian." keluarga itu hanya bisa pasrah menerima cibiran dari para preman yang akan menyita rumah mereka. Karena memang benar adanya semua yang keluar dari mulut para preman tersebut. Malu. Tertunduk."Baik. Kami akan beri kalian waktu selama satu jam untuk berkemas. Kami tunggu segera." Indra memberikan interupsinya."Tolong. Beri wa
"Mbak, Bayu tadi kayaknya lihat seseorang yang mirip banget sama Mas Rudi." "Apa, bener, Le, yang kamu lihat tadi itu suaminya, Mbakmu si Rudi itu.""Iya, Bu. Bayu yakin. Soalnya tadi orang itu juga merhatiin kita terus pas kita bagi-bagi nasi kotak di depan." ucap Bayu dengan mimik seriusnya."Apa mungkin Mas Rudi sudah tahu tempat ini ya, Yu?" "Bayu juga gak tahu, Mbak. Mungkin tadi juga dia pas lihat kitanya gak sengaja. Mungkin saja kan karena kita tadi di jalan pas Mas Rudi juga melintas di sana. Terus lihat kita.""Iya, juga, ya." di sambut anggukan oleh Ibu juga Bapak."Terus kemaren bagaimana pas kalian menyita rumah ibu mertuamu itu, Nduk? Bagaimana reaksi dari mereka?" tanya bapak karena penasaran."Iya, Nduk. Ibu juga penasaran. Akan tinggal di mana kalau mereka keluar dari rumah itu?""Rani juga gak tahu, Bu. Itu sudah bukan urut kita lagi.""Kemaren sempat bersitegang si, Pak. Mereka mencoba beralasan. Tapi karena gertakan dari preman yang di bawa oleh Pak Indra dan jug