Satu bulan selepas acara pernikahanku dengan Lasmi. Semakin hari kondisi keluargaku kian terpuruk. Pernah ada ungkapan bahwa tiap pasangan yang telah menikah dan berumah tangga itu membawa rejeki masing-masing. Sebelumnya aku percaya saat sebelum menikah dengan Lasmi dan hanya Rani seorang yang menjadi pendampingku. Aku rasa kehidupan kami justru jauh lebih baik dari pada saat aku belum menikahinya. Aku pikir dengan menikah kembali untuk yang kedua kalit dan dengan wanita pujaanku rejekiku akan semakin bertambah. Justru ini malah sebaliknya. Aku telah berkorban banyak demi Istriku yang baru ini. Namun apa yang kudapatkan justru kondisi keuangan kami semakin runyam. Kesialan kerap kali menghampiri kami. Aku tidak menyesali telah menikah dengan Lasmi. Mungkin ini hanya kebetulan saja.Aku masih menunggu kabar dari Raniku yang kembali menghilang tanpa kabar yang menyisakan gunda gulana di hati ini. Rasanya hidupku semakin tak tenang dibuatnya. Aku kira bahagia setelah benar-benar mendap
Sebenarnya aku tidak ingin menjadi orang jahat seperti mereka. Aku juga bukan tipe orang yang bisa berbuat tega kepada siapapun. Namun karena teringat perlakuan mereka kepadaku terutama kepada putra semata wayangku hingga sampai meregang nyawa. Tiba-tiba ambisi untuk membalas perbuatan mereka selalu membisiki telinga ini.Aku juga yang meminta para preman suruhanku untuk memberi peringatan pada mereka akan uang yang telah mereka pinjam. Juga memberi ancaman dengan mengusir mereka keluar dari rumah itu, jika mereka belum juga bisa membayar pinjaman yang sudah mereka ambil sesuai perjanjian yang sudah mereka sepakati dan tandatangani di atas materai. Kali ini orang suruhanku sudah berhasil membawa motor milik mas Rudi yang ia beli dari uang bapak yang seharusnya untuk membeli tanah yang akan kami dirikan rumah di atasnya. Namun ternyata mereka lalai dan kalap sehingga uang yang seharusnya menjadi hak-ku mereka pergunakan untuk menyenangkan diri mereka sendiri. Aku juga masih mengincar
Begini benar nasibku. Impian hidup bahagia bersama pujaan hati hanya ada di angan-angan. Nyatanya dia berubah seratus delapan puluh derajat setelah ketika diri ini tak bisa lagi memanjakannya.Semua berawal dari selesainya acara pernikahan yang keluargaku gelar secara besar-besaran. Tentu saja kami harus merogoh kocek yang sangat dalam, bahkan keluargaku juga merelakan surat-surat berharga milik kami sebagai jaminan untuk mencari pinjaman. Untung tak dapat kami raih. Dan bukan kebahagiaan yang aku dan juga adikku peroleh dari pasangan kami masing-masing. Eni sengaja ditinggalkan suaminya yang bahkan belum 24 jam usia pernikahan mereka. Sedangkan aku, aku diperlihatkan siapa sebenarnya perempuan yang telah aku pilih dan aku jadikan sebagai pasangan hidupku.Andai saja waktu bisa kuputar kembali. Aku akan merawat putraku dengan baik, tidak akan menyia-nyiakannya dan juga memperalatnya hingga nyawanya yang ia korbankan demi nafsu keluargaku. Aku berpikir apakah ini balasan yang Tuhan ber
Waktu yang telah ku nantikan akhirnya datang juga. Iya, saat-saat jatuh tempo ketika keluarga dari suamiku yang tidak sanggup untuk melunasi semua pinjaman yang telah mereka ambil. Ternyata dugaanku benar. Mereka memang benar-benar berharap dan melimpahkan pinjaman tersebut untuk aku yang melunasinya. Itu yang mereka tidak tahu, bahwa memang kesempatan inilah yang akan aku pergunakan untuk kembali menggambil apa yang sehay menjadi milikku juga almarhum anakku. Aku sangat segera ingin melihat ketika mereka keluar dari rumah mereka sendiri, dulu sebelum aku berhasil merehap serta merenovasi rumah mereka dan membuatnya nyaman untuk ditinggali."Nduk, kami beneran mau balik lagi ke rumah itu?" tanya ibu tiba-tiba dan aku lihat raut kekhawatiran di matanya."Iya, Bu. Ibu doain saja. Ibu tidak usah khawatir sama Rani. Rani datang lagi ke sana hanya untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milik kita." Ku usap pundaknya menyakinkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan olehnya.
Brakk!Brakk!Brakk!"Rud, Rudi. Cepetan kamu bangun. Lihat siapa yang datang!" Baru juga jam sepuluh saat suara pintu kamar ini di ketuk yang tidak lain adalah ibuku pelakunya.Dengan malas segera diri ini beranjak dari tempat tidurku. Ku lihat ke arah samping Lasmi juga sepertinya masih terlelap mungkin karena kecapean setelah pertempuran untuk yang kesekian kalinya. Meskipun dia sering merajuk. Sering pula aku mampu untuk meluluhkan kembali hatinya. "Iya, Bu. Ada apa sih, baru juga jam segini udah gangguin orang tidur saja." ujarku malas sambil sesekali aku mengusap mataku yang memang karena memang masih benar-benar sangat mengantuk."Kamu ini kebiasaan banget. Ini sudah siang liat tu matahari sudah di atas kepala." sungutnya. Namun ibu tidak seperti biasanya. Jika yang biasanya suka berteriak ketika membangunkanku tidak untuk kali ini. Gelagatnya membuatku curiga. Seperti orang ketakutan saja ibu yang bisanya terlihat garang di usianya yang sudah tak lagi muda. "Kamu tahu tamu yan
Sudah hampir satu jam aku berada di rumah ini. Namun dari tadi aku belum juga melihat batang hidung dari adik iparku itu. Biasanya dia yang paling merasa berpendidikan di rumah ini dan lebih di utamakan kebutuhan serta kepentingannya. Kabar yang aku dengar tentunya dari Mbak Yani, jika Eni terlihat seperti orang yang sedang depresi semenjak suami yang baru menikahinya dan bahkan belum juga 24 jam mereka menikah. Toni, yang aku tahu nama suaminya itu. Pergi meninggalkan dia yang lebih tepatnya meninggalkan rumah milik ibu mertua tanpa berpamitan. Tidak hanya itu. Kabar lain yang aku dapat besar dugaan jika orang yang mencuri uang hajatan mereka adalah suami Eni sendiri yang sudah bersekongkol dengan teman-temannya. Sudah tertipu 100 juta, kini Eni juga di tinggal begitu saja. Miris sekali nasibnya. Mungkin juga itu sebagai salah satu teguran untuk dirinya juga untuk Ibu dan kakaknya.Mungkin karena alasan tersebut yang tentunya malu yang ia tanggung. Sehingga membuat Eni lebih sering
"Akhirnya, aku bisa bebas dari istri tuamu itu, Bang. Sampai kapan aku harus berpura-pura seperti. Aku gak mau, ya, terus-terusan di jadiin pembantu sama istri tuamu itu. Aku ini juga istrimu. Aku juga punya hak ingin di layani juga. Jangan mentang-mentang dia yang kerja nyari duit. Baru jadi bab* saja belagu." "Iya, aku tahu. Pokoknya kamu harus sabar dulu jangan sampai kamu keceplosan bilang kalau kita ini sudah menikah. Aku gak mau sampai dia tahu dan marah. Kamu tahu akibatnya kan. Bisa-bisa dia gak mau melunasi hutang-hutangku. Kamu mau kalau rumah ini Samapi disita sana rentenir dan kita di usir dari sini karena kita gak bisa bayar hutang sama mereka?" Aku mengingatkan dan menasehati istri mudaku ini. Sebenarnya hati ini jauh lebih berat melepaskan Rani jika harus di suruh untuk membuat pilihan. Rani yang sekarang jauh lebih segalanya dari pada Lasmi. Mungkin dulu Lasmi-lah yang lebih unggul. Aku baru sadar jika kecantikan Rani jauh lebih alami ketimbang dengan Lasmi. Buktinya
Kedatanganku ternyata di sambut oleh mereka. Kusodorkan kantong plastik yang ada di tanganku. Dua kantong plastik yang masing-masing berisi nasi satu bungkus jatahku dan satu kantong plastik lagi berisi dua bungkus nasi yang sengaja aku bawa untuk mereka. "Lho, Ran, kok cuma ada dua bungkus nasinya ini? Kan tadi ibu mintanya empat bungkus." protes ibu mertua setelah menerima kantong plastik dan membuka isi di dalamnya."Ibu nyuruh tapi gak ngasih duit, kan lucu. Masih untung lho aku mau membelikan ini untuk kalian. Lagian di warung juga tinggal itu. Sudah habis di borong." balasku dengan cuek seperti orang yang tidak berdosa saja."Lha ini, tadi ibu mintanya kan daging rendang sama ayam balado. Kenapa ini yang ada cuma sayur sama telur doang?" balasnya dan bertanya seperti dia tidak ada dosa sama aku."Kok, ini si, Ran isinya?" Mas Rudi ikut memprotesnya."Kamu sama ibu gak denger ya, Mas, aku tadi ngomong apa. Semuanya sudah habis di borong tinggal itu saja." kataku."Lho, kok cuma