Hana menatap dengan ekspresi datar pada mertuanya itu. Akan ada lagi drama yang tercipta jika perempuan itu datang ke sini.
Perempuan berusia 60 tahun itu baru saja keluar dari mobil Rio, lalu berjalan menuju pintu utama. Perempuan itu masih terlihat sangat kuat meski di usianya yang sudah cukup tua. Jujur, dulu Hana merasa kagum pada mertua perempuannya itu yang sanggup datang mengunjungi anak cucunya meski hanya sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu rasa kagum itu memudar setelah tahu bagaimana mertuanya itu menganggap dirinya tak lebih seorang perempuan yang hanya berdiam diri di rumah tanpa menghasilkan uang.Rio berjalan mengekor di belakang sambil menyeret koper berukuran sedang di tangan kanannya. Hana mengulur tangan kala jarak antara mereka semakin terpangkas, mencium takzim punggung tangan itu dengan bibir terkunci. "Mana anak-anak?" tanya Maria sambil celingukan ke penjuru ruangan. "Abi masih sekolah, Ira dan Ica lagi makan siang di dapur," jawab Hana dengan bibir memaksa tersenyum. Maria berjalan menuju kamar Ica dan Ira, kamar yang selalu ia tempati kala berkunjung ke sini. Tak lama setelahnya kembali ke luar. "Mama nggak istirahat dulu?" tanya Rio ketika melihat sang mama berjalan ke arah dapur. "Nggak apa-apa, Mama mau ketemu cucu-cucu Mama," jawab Maria bersemangat. "Mama makan dulu aja," tawar Hana dengan nada datar. "Nanti saja, Na, Mama masih kenyang," jawab Maria sambil terus melangkah.Hana mengekor di belakang, sekedar menghargai kedatangan mertuanya itu yang telah bersedia datang jauh-jauh. Pun dengan Rio. "Kakak, Adek, salim Oma dulu," seru perempuan itu sambil duduk di salah satu kursi makan. Hana pun melakukan hal serupa. Ica dan Ira saling toleh. Dididik oleh seorang ibu yang pendiam membuat dua bocah perempuan itupun bersikap demikian, terlebih perlakuan Rio membuat mereka selalu diliputi ketakutan saat berada di rumah sendiri. Selalu takut salah dalam bersikap. "Salim Oma dulu, Nak," ucap Hana lembut sambil mengangguk pelan. Tanpa berucap sepatah katapun, keduanya melepas sendok di tangannya, lalu turun dari kursi untuk bersalaman, persis perintah Hana. Maria memeluk Ica ketika gadis cantik itu hendak melepaakan tautan tangannya pada tangan sang nenek. Ica hanya diam dengan raut wajah tak suka.Selama ini tak pernah sekalipun Hana mengajari anak-anaknya untuk bersikap kaku pada ibu dari suaminya itu. Namun, beginilah yang terjadi, anak-anaknya hanya akan bersikap begitu dingin pada orang dewasa kecuali pada Hana dan Diana, sang nenek. Terbiasa menerima bentakan serta kata-kata kasar dari sang ayah membuat anak-anak Rio selalu diliputi perasaan takut salah. "Kangen nggak sama Oma?" tanya Maria sambil menciumi pipi kanan dan kiri cucunya itu. Ica yang mulai risih kini berusaha menjauh. Namun, ia kalah kuat dengan sang nenek yang kini sedikit menarik paksa tubuh mungilnya. "Ini Oma, lho," ucap Maria sambil kembali mencium paksa gadis mungil itu. Merasa tak bisa berbuat banyak, Ica akhirnya menggunakan jurus terakhir untuk membebaskan diri. Bocah itu mulai menangis sambil memberontak, tangannya melambai-lambai pada sang mama. Hana segera meraih tubuh Ica karena tak ingin tangisnya semakin kencang lagi. "Kok, sama Oma aja nggak mau, Dek," gerutu Maria sedikit kecewa. Hana hanya tersenyum kecut. Anak-anaknya seolah hanya merasa aman kala bersamanya saja, bahkan ditinggal bersama ibunya pun Hana tak berani lewat dari satu jam. Rio datang dari arah depan lalu dudun di kursi tepat di samping ibunya. "Ini Oma, Dek. Oma jauh-jauh, loh, datang ke sini mau ketemu Adek," ucap Rio kaku. "Dahlah, anak kalian memang susah buat akrab," keluh Maria dengan wajah datar. Hana hanya diam tanpa berniat meluruskan. Ibu dari suaminya itu seolah tutup mata dengan apa yang menjadi penyebab anak-anaknya merasa tertekan dan akhirnya merasa was-was jika tak bersama ibunya. "Eh, Kakak makan pakai lauk apa?" tanya Maria, mengalihkan pandangan ke arah Ira yang kini kembali sibuk dengan nasi di piringnya."Ayam goreng," ucap Ira dengan suara pelan serupa bisikan. Bahkan untuk menjawab pertanyaan saja rasanya ia takut salah, terlebih tepat di depannya sang ayah ikut memperhatikan gerak-geriknya. "Eh, kok, nggak ada sayurnya?" cecar Maria mulai membuat Hana merasa tak nyaman. "Coba ajarin anak-anak makan sayur setiap hari, Na, biar seimbang. Anak-anak Mama dulu selalu Mama paksain makan sayur." Maria mulai menggurui. Hana membenarkan semua kalimat sang mertua. Namun, hatinya sedikit kesal ketika ia mulai membanding-bandingkan Hana dengan dirinya dulu. Sudah berkali-kali Hana jelaskan jika anak tengahnya itu tak suka sayur, bahkan jika tetap dipaksakan, Ira akan memilih tak makan karena setiap makan sayur ia akan muntah. Perasaan Ira saat memakan sayuran tenggorokannya serasa digelitiki. "Kalau bukan kita ibunya yang membiasakan, sampai kapanpun anak-anak nggak akan suka. Kunci rumah tangga itu ada pada kita sebagai istri dan ibu. Suami hanya tahu tentang bagaimana memenuhi nafkah keluarga saja. Mereka sudah sangat sibuk di luar, jadi tak bisa fokus lagi di rumah." Maria melanjutkan materinya kala berjumpa menantunya itu. Semakin lama Hana semakin risih. Pemahaman keliru dari perempuan yang katanya sudah banyak makan asam garam itu membuatnya semakin muak. Selalu saja menganggap Rio laki-laki sempurna yang harus selalu dihargai, padahal Maria-pun tahu bagaimana anak laki-lakinya itu bersikap pada Hana. Lagi pula, banyak diluaran sana laki-laki pekerja keras yang masih saja sibuk membantu istri-istri mereka di rumah, bahkan ada juga yang setiap pagi sibuk berbelanja bahan makanan ke pasar. Hana sering membanding-bandingkan dalam hati tentang perbedaan suaminya dengan suami-suami perempuan lain di sekekelilingnya. Baginya, kelebihan dan kekurangan memang dua sifat manusia yang tak pernah bisa dipisahkan kecuali manusia-manusia pilihan seperti para Nabi. Namun, kekurangan Rio rasanya sulit sekali bisa dimaklumi perempuan manapun, termasuk dirinya. "Kita sebagai perempuan harus pintar membuat suami merasa nyaman. Harus pintar membuat suami makin lengket." Maria melanjutkan kalimatnya seolah menantunya itu merindukan hal itu. "Lalu, bagaimana jika suami yang tak mampu membuat istri dan anak-anaknya nyaman berada di dekatnya?" sindir Hana. Ia paham apa tujuan perempuan itu datang. Apalagi, kalau bukan untuk melancarkan usaha Rio meluluhkan hatinya. Rio menatap tak percaya atas apa yang baru saja ia dengar. Ini adalah kali pertamanya perempuan berwajah tirus itu meladeni sang mertua. Biasanya Hana hanya akan diam dengan bibir memaksa tersenyum. Ia seolah begitu takut untuk membalas omongan sang mertua dan lebih memilih berdamai dengan diri sendiri. Namun, tidak untuk kali ini dan tidak pula untuk kedepannya. Tak akan ada lagi Hana penurut mulai sekarang selama suami dan mertuanya itu sadar atas kekeliruan mereka selama ini. Hana lebih memilih untuk tetap waras demi anak-anaknya. "Ya, mungkin kita yang memiliki kekurangan hingga suami bersikap begitu," jawab Maria sebisanyanya. "Oh, berarti Papa selingkuh dulu karena Mama memiliki kekurangan dalam melayaninya?" sindir Hana pedas membuat Maria dan Rio hanya mampu mematung dengan wajah pucat.Maria sama sekali tak menyangka jika menantu kebanggaannya itu akan berucap hal menyakitkan barusan. Ya, diantara dua menantunya, Hana adalah menantu idaman baginya, menantu yang selalu ia puji di depan menantu lainnya. Sangat wajar jika Maria bersikap demikian karena Lina, istri dari anak keduanya adalah tipe perempuan yang ceplas-ceplos dan tak suka diatur-atur. Rio nampak memasang wajah kesal. Namun, berusaha ia tahan karena posisinya sekarang dalam keadaan genting. Laki-laki itu sedikit bersyukur karena hari ini ia mengambil cuti, jika tidak, sudah dipastikan perdebatan dua perempuan barusan akan berakhir fatal. "Kenapa kau berbicara begitu, Hana?" tanya Maria dengan tatapan tak percaya. Hana tak langsung menjawab, kini fokusnya terarah pada Ica yang sibuk menghabiskan makanannya, sedangkan Ira pura-pura tak paham dengan pembicaraan tiga orang dewasa di hadapannya itu, meski ia mulai sedikit tahu ke mana topik pembicaraan mereka. "Ira udah kelar makannya?" tanya Hana lembut.
"Sadarlah Rio, perempuan itu masih bersuami, mana punya anak 3 lagi." Maria menasehati dengan suara pelan. Tatapan matanya luruh pada wajah gusar sang anak. "Mama diam! Jangan mengurusi rumah tanggaku, urusi saja rumah tangga Mama sendiri!" bentak Rio seraya bangkit dan berlalu ke luar. Beberapa saat kemudian deru mesin mobil terdengar, kemudian kian menjauh. Entah ke mana perginya laki-laki itu. Tangan yang telah dipenuhi keriput itu mengusap kuat dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Matanya seketika berkaca-kaca. Ini entah kali keberapa Rio membentaknya dengan bentakan menggores luka di hati. Namun, meski demikian Maria tetap rutin mengunjungi anaknya itu meski jaraknya paling jauh dari anak-anak yang lain. Apalagi kalau bukan karena uang. Ya, Rio adalah anaknya yang memiliki gaji tertinggi dibandingkan yang lain, serta yang paling royal memberikan uang padanya. Tentu saja, jika hanya bergaji 4 juta perbulan seperti anak keduanya, mana mungkin mampu memberinya uang dengan jumlah
"Sayaaaang! Aku udah mengajukan gugatan ke pengadilan, aku nggak mau, ya, kalau sampai aku resmi bercerai dari suamiku, kau tak kunjung meninggalkan perempuan itu." Lanjut suara dari seberang sana membuat harga diri Hana kian terinjak-injak. Hana memutus telepon secara sepihak. Ia tak ingin lebih muak lagi jika terlalu lama mendengar suara bernada manja perempuan murahan yang dibanggakan suaminya itu. Sekarang Hana tau apa yang membuat Rio izin lembur hari ini. Ya, lembur, lembur untuk menikmati waktu bersama perempuan murahan itu. "Tak akan ada maaf lagi untuk kali ini," desis Hana dengan wajah penuh murka. Tangan dengan jari-jemari lentik itu menggenggam kuat ponsel kecil itu. Jika benda itu hanya sekeras tempe, maka dapat dipastikan kini tak lagi berbentuk. Hana memejamkan mata untuk beberapa saat dengan wajah menengadah ke langit-langit kamar. Amarah di dadanya kian menumpuk, beban berat di hatinya seakan tak mampu lagi ia tampung. Hampir saja ponsel milik Rio itu menghantam
Hana menatap lekat wajah pias laki-laki itu dengan dada bergemuruh. Namun, tetap saja ia enggan bersikap seolah dirinya butuh laki-laki itu. "Benar ini yang kamu cari?" tanya Hana dengan nada membentak. "I—itu ponsel temen Papa, Ma. Kemaren ketinggalan di kantor dan minta Papa buat bawa pulang dulu," ucap Rio terbata. Kilatan amarah kian nampak mana kala mendengar kebohongan baru yang Rio ciptakan barusan. Tak ada lagi kepercayaan yang tersisa setelah semuanya terjadi. "Oh, ya? Kalau begitu, katakan pada temanmu kalau kekasihnya akan take off pukul sembilan 45 menit dan meminta dijemput," ucap Hana dengan mata tajam. Berusaha ia tahan emosi yang tengah meluap, meski hasilnya tetap saja berkobar. Rio tertunduk seketika. Kedua tungkainya melemah menyadari Hana telah berbuat sesuatu dengan ponsel barunya, ponsel yang ia khususkan untuk bertukar kabar dengan Inez. "Ceraikan aku sekarang juga!" Bentak Hana. Perempuan pendiam itu kini berubah bak singa kelaparan yang siap menerkam man
"Ti—tidak, Inez. Aku tak bisa menjemputmu. Kau pergi saja sendiri," ucap Rio terbata-bata. Sekilas ia dapat melihat betapa amarah Hana lewat wajahnya yang kian memerah. "Hah! Abang jangan aneh-aneh. Abang pikir aku bisa menerima ini. Nggak mau, pokoknya jemput aku! Bukankah Abang sudah janji akan menjemputku, bahkan tempat tinggal untukku sudah Abang sediakan. Atau Abang takut dengan istri berwajah lusuh Abang itu?" Inez menggerutu. Ia tak tahu jika di sini semua wajah tersulut amarah oleh kalimatnya barusan, terlebih Hana. Rio mengusap keringat dingin yang berjejalan keluar di dahinya. Inez sukses membuat laki-laki itu didera ketakutan. "Sudah—" Rio berusaha menyudahi pembicaraannya. Namun, dengan cepat perempuan di sana memotong kalimatnya. "Biasanya juga tak peduli dengan perempuan itu. Kalau memang nggak mau jemput, kenapa nyuruh aku dateng ke sana." Suara perempuan itu terdengar kesal. "Bukan—bukan begitu, Nez. Ah, aku—aku sibuk," ucap Rio sambil memejamkan mata. Ia benar-be
"Dapat bagian katamu? Lantas, rumah yang kau bangun di dekat rumah Mama?" tanya Hana dengan tatapan menantang. "Rumah yang kau bangun dengan menghabiskan uang ratusan juta dan dibuat atas nama kamu. Bahkan surat rumah pun tak kau izinkan aku menyimpannya di rumah ini. Kau lebih percaya orang tuamu, sedangkan surat rumah ini yang aku simpan di rumah Ibu kau paksa aku untuk memintanya. Apakah ini adil menurutmu?" tanya Hana dengan mata tajamnya. "Semuanya adalah jerih payahku, Hana. Kau hanyalah ibu rumah tangga yang sama sekali tak menghasilkan rupiah," ucap Rio tak tahu malu. "Oh, begitu. Kau memang sama persis dengan mamamu. Jika memang begitu, mari kita hitung apa yang telah kulakukan demi keluarga ini, dan apa yang telah kau lakukan untuk keluarga ini," ucap Hana dengan kalimat tegas dan jelas. Tak ada lagi kata mengalah dalam kamus kehidupannya kali ini terhadap laki-laki tak tahu balas budi itu. "Silakan. Dan kupastikan kau hanya benalu yang numpang makan selama bertahun-tahun
Tatapan tajam menghunus dari mata renta dengan tubuh yang masih nampak begitu kokoh itu terarah pada Rio. Hatinya sebagai orang tua meyakini jika laki-laki itulah sumber masalah dalam rumah tangga anak bungsunua itu sekarang. Rio memalingkan pandangan ke jendela. Rasa kesalnya pada Hana kian besar kala melihat raut wajah laki-laki yang selama ini tak pernah manis terhadapnya. Ia tak sadar jika apa yang dilakukan Husni terhadapnya adalah ulah dirinya sendiri, ulahnya yang kerap kali menyakiti hati Hana. "Ada apa ini?" tanya suara bariton itu dengan nada datar. Hana menatap wajah laki-laki berwajah sangar dengan hati hangat itu. Ya, terhadap anak cucunya, Husni adalah seorang kakek yang hangat. Hanya saja ia tegas dalam memutuskan sesuatu dan itulah yang membuat Husni dan Rio tak pernah akur sejak dulu. "Hana minta bantuan Ayah untuk menyelesaikan ini," adu Hana pada laki-laki dengan rambut yang mulai memutih itu. Husni terdiam sejenak. Mengedarkan pandangan ke semua wajah yang ke
"Aku mencintai perempuan itu," jawab Rio dengan nada lirih. Hana tersenyum sinis. Hatinya kian meringis mana kala di depan orang tuanya Rio mengutarakan perasaannya terhadap perempuan lain. Husni terdiam sesaat. Menarik napas panjang demi mengurai sesak. Pun dengan Diana. Orang tua mana yang akan baik-baik saja kala mendapati menantunya mencintai perempuan lain? Maria nampak membuang muka. Ia tak memiliki keberanian apa-apa karena sudah terlanjur malu pada kedua besannya itu. Jika waktu dapat diputar, ia lebih memilih untuk tak datang ke sini kali ini. "Lalu, kenapa kau tak mau melepaskan Hana? Bukankah Hana telah memberimu kebebasan hanya dengan melepaskannya?" tanya Husni berusaha bertenang, meski detik ini ingin rasanya ia menghantam kepala tanpa ot*k itu ke lantai keramik yang ia pijak. "Aku tak ingin berpisah dari anak-anak," ucap Rio sedikit melemah. Husni muak mendengar kalimat barusan setelah kata 'anak' dijadikan alat untuk mempertahankan egonya. "Baiklah. Dan kau Hana
Mendengar pertanyaan dari Inez, Marwan terdiam. Bersamaan dengan itu perempuan yang tadi mengantar minum untuk Inez kembali datang. Perempuan berwajah manis dengan kulit kuning langsat itu memilih duduk tepat di samping Marwan. Bibir merah mudanya tersenyum ramah ke arah Inez lalu berpindah melirik Marwan. Susah payah Inez menelan ludah. Prasangka buruknya membuat keringat dingin berjejalan di sela-sela jari dan telapak tangannya. "Kenalin, ini Sarah istriku," ucap Marwan sambil melempar senyum tipis ke arah sang istri. Perempuan berusia awal 30 tahun itu mengulurkan tangannya ke arah Inez. Jika dibandingkan dengan Inez, perempuan bernama Sarah itu masih kalah cantik. Inez nyatanya jauh lebih cantik jika dinilai dari fisik. Namun, bukan itu yang Marwan lihat. Ia tak ingin cinta yang dulu berawal dari kepuasan mata membuat dirinya harus menjalani kehidupan serupa seperti dulu lagi. Inez seketika terhenyak. Jawaban yang keluar dari bibir Marwan tak ubah seperti palu godam yang men
Inez kembali terperangah dengan mata membulat sempurna. Sony ternyata ditangkap karena telah membunuh pacar yang telah ia pacari setahun terakhir, dengan cara membekapnya dengan bantal hingga menghembuskan napas terakhir, lalu melarikan motor serta ponsel milik sang pacar. Inez segera berlari ke kamar. Rasa sesal dan kecewa memenuhi rongga dadanya. Air mata kembali meleleh ketika sadar betapa bodoh dirinya karena telah luluh dengan janji manis serta tampang rupawan laki-laki brengsek itu. Ternyata saat bersamanya Sony sudah memiliki pacar. Berkali-kali inez memukuli dadanya yang kini terasa sesak. Satu per satu kebodohan yang pernah ia lakukan kini berputar di kepala, membuat rasa bersalah pada Marwan kian bertumpuk. *Malam datang bersama aroma damai ketenangan bersama rintik hujan yang luruh ke bumi. Namun, tidak dengan hati Inez. Malam ini ia kian gamang. Hatinya berkeinginan untuk datang meminta maaf pada Marwan. Namun, ia terlalu malu untuk menampakkan wajah hinanya di hadapan
Hana menautkan alis seraya menggeleng pelan. Bibirnya mengulum senyum manis, bahkan sangat manis. "Sejak kapan?" Ia balik bertanya. "Jauh sebelum kau kenal mantan suamimu," jawab Hakim dengan raut wajah nampak serius. "Hah? Serius?" Hana kembali bertanya. Hakim mengangguk pasti. Hana menatap lekat wajah sang suami. Selama ini Hana tak pernah menganggap Hakim lebih dari teman, atau mungkin sahabat. Yang ia tahu Hakim sangat nyaman untuk dijadikan teman bercerita sekaligus rekan kerja. Sejak dulu Hakim dikenal suka membantu, bahkan hampir semua teman-teman di kantor lama mereka dulu dekat dengan Hakim. "Apa kau merasa Abang mempunyai teman dekat perempuan saat itu selain kamu?" tanya Hakim memastikan. Hana nampak berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. "Setiap kedekatan antara laki-laki dan perempuan, sudah pasti salah satu di antara keduanya memiliki rasa, Na. Nggak usah munafik. Pada kedekatan kita dulu, Abang lah yang memiliki rasa padamu," ucap Hakim jujur. Kini tatapan mat
Dua minggu berlalu. Hana menatap bangga laki-laki yang kini tengah menjabat tangan Pak Penghulu dengan wajah serius. Laki-laki yang kini tengah mengikrarkan janji suci di depan saksi. Wajah penuh riasan itu kini berubah sendu manakala kata 'sah' mengawang di udara. Memecah khidmatnya acara pagi ini. Tepat beberapa detik yang lalu, dirinya kembali sah bergelar istri setelah delapan bulan menyandang status janda. Mungkin bagi sebagian orang ini terlalu singkat. Namun, Hana tak ingin menunda saat laki-laki baik datang padanya, persis seperti apa yang dikatakan sang ayah kala itu. Binar bahagia nampak pada wajah keduanya ketika Hana dan Hakim bersanding di atas pelaminan untuk menyambut kedatangan para tamu. Anak-anak mereka berkumpul menyaksikan kebahagiaan orang tua mereka. Kini Ira dan Shanum nampak tak ingin berjauhan. Dua anak perempuan itu kini menikmati hubungan yang kian dekat dari sekedar sahabat. Kedua orang tua Hana nampak lebih muda dalam riasan serta pakaian yang mereka
Bayangan kematian kian menghantui Inez. Keringat dingin meluncur di dahi hingga jemari perempuan itu. Ines mengangguk cepat, matanya kian gencar mengeluarkan butiran bening. "Bagus," ucap laki-laki itu dengan senyum menyeringai. "Jangan sampai kau berteriak seperti tadi, jika tak mau pisau ini menembus perutmu." Sony kembali mengancam.Rasa takut yang membuncah membuat Inez akhirnya kembali mengangguk. Sigap sony melepaskan ikatan kain di mulut perempuan itu. "Aku mohon, setelah ini lepaskan aku," lirih Inez dengan air mata kian deras membanjiri wajahnya. Berharap masih tersisa empati di hati laki-laki itu. "Pasti, pasti akan kubebaskan setelah mengatakannya, aku janji," ucap sony dengan wajah meyakinkan. Laki-laki itu merogoh ponsel di saku celananya. Sekarang ia siap mengetik deretan nomor yang akan Inez katakan. Dengan bibir bergetar karena ketakutan akhirnya Inez mengatakan kode pin ATM-nya. Akhirnya ia menyerah, mengingat nyawa yang jauh lebih berharga dari segalanya. "Kata
Wajah Inez kian memerah. Impian yang dijanjikan Sony selama mereka bersama pupus sudah. Harapannya tentang hidup bahagia bersama laki-laki impiannya telah kandas. Tangan Inez mendorong kuat tubuh laki-laki itu hingga Sony terjengkang. "Aku tidak butuh penjelasan tentang kebodohanmu, yang aku butuhkan sekarang adalah uangku kembali!" pekik Inez membabi buta. "Sekarang juga kembalikan uangku!" Inez kembali membentak dengan wajah merah padam. "Uang itu sudah lenyap, Nez. Percuma saja kau memintanya. Bahkan sampai kau nangis darah pun uang itu tak akan pernah kembali," jawab Sony sambil berusaha bangkit. Ia ikut meninggikan suara. Wajah Inez kian memerah. Perempuan itu kalap, ia meraih vas bunga di atas meja melempar kuat ke arah Sony, hingga vas cantik berwarna putih itu tercecar di lantai berhamburan. Setelahnya ia kembali meraih sebuah hiasan keramik yang diletakkan di samping kursi. Melempar benda itu ke sembarang arah.
"Lagian bisnis kamu sampai sekarang masih belum jelas. Pakai saja uang 200 juta yang aku kasih waktu itu, aku sudah nggak punya simpanan banyak lagi. Lagi pula uang hasil penjualan rumah itu hanya tinggal sedikit. Aku memberi 80 persennya untuk kau kelola. Tapi sampai detik ini tak ada kabar. Setiap aku membahas masalah itu kamu selalu bilang, sabar, ya'. Aku capek, Son, capek nanyain kejelasan semuanya." Inez beranjak ke dalam sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Laki-laki itu tersulut emosi. Namun, semampunya ia meredamnya. Jika bukan Inez, siapa lagi yang bisa diandalkan saat ini. Sony menguyar rambut kasar. Pikirannya penuh sesak tentang kerusakan mobil hingga bisnis yang dijanjikan temannya. Benar kata Inez, dirinya memang hanya dijanjikan tanpa ada kepastian.Ia beranjak masuk, berniat membujuk perempuan itu agar mau membantunya. Nampak Inez tengah tiduran di sofa mewah di depan TV bersama Rafa. Rafa sibuk memainkan leggo, mem
"Abang memiliki rasa padanya?" Selidik Hana. Hakim menggeleng pelan. "Menganggapnya sebatas adik. Tak lebih," aku Hakim. "Kalau begitu, aku tak memiliki alasan untuk cemburu," jawab Hana berusaha menutupi rasanya. Ya, sejujurnya rasa cemburu itu tetap ada. Namun, melihat sikap Hakim tadi membuatnya merasa tak pantas menunjukkan rasa dengan cara berlebihan. "Kau yakin?" tanya Hakim dengan menaikkan sebelah alis. Hana hanya tersenyum simpul. "Syukurlah …." Hakim nampak lega. "Oh, ya, boleh aku berbicara tentang kita?" tanya Hakim kemudian. "Tentang kita?" Hana mengulang pertanyaan Hakim sambil tersenyum geli. "Jangan tertawa!" Hakim terkekeh. "Siapa yang tertawa?" "Barusan?" Telunjuk itu terarah pada Hana. "Itu senyum. Apakah seorang dengan pangkat manager di perusahaan besar tak bisa membedakan mana senyum dan mana tertawa?" ledek Hana. "Baiklah … ya, kau barusan hanya tersenyum. Aku sadar karena lelaki memang tempatnya salah, terlepas dari apa jabatan pekerjaan maupun tite
Cincin yang fotonya bulan lalu di kirim Dewi padanya. Ya, Dewi mengatakan jika Hakim memintanya memilih model yang paling bagus. Dan pilihan Dewi jatuh pada cincin yang kini melingkar di jari manis Hana. "Aamiin," ucap Hakim dan Hana bersamaan sambil melempar senyum. Susah payah Rena menelan ludah sendiri. Melihat raut wajah dua orang di hadapannya itu saat saling tersenyum, mampu membuat hatinya meringis. Ada beban yang tiba-tiba menghimpit dada, menciptakan sesak. Hayalannya tentang bagaimana cincin itu melingkar indah di jari manisnya kini pupus sudah. Semua mimpi-mimpinya tentang masa depan bersama Hakim seketika kandas. Ada luka yang baru saja tergores di hati, luka karena perasaan berlebih pada orang yang salah. Jika saja ia tengah sendiri, ingin rasanya meluahkan rasa lewat air mata. Sekian lama ia berusaha menampilkan yang terbaik di hadapan Hakim maupun keluarganya. Namun, semua hanya kesia-siaan. Dua tahun waktunya menjaga hati untuk Hakim sama sekali tak dihargai. Ent