"Jangan, Ma. Jangan sampai keluarga Mama tahu tentang ini." Wajah Rio memucat. Ia menyesali dirinya yang tak mampu bersabar lebih lama lagi.
"Lantas, aku harus memendamnya sendiri? Begitu? Belum cukupkah selama 14 tahun bersama kau membuat wajahku persis seperti perempuan 10 tahun lebih tua dari usianya?" Hana mengerutkan dahi. Mata dengan kelopak menghitam karena beban hati dan pikiran itu sedikit membulat. "Ceritakan pada Mama saja, jangan pada Ibu atau Ayah," ucap Rio tanpa merasa bersalah. Mama adalah panggilan terhadap ibu dari Rio. "Tak perlu. Aku sudah tahu apa yang akan Mama katakan jika aku menceritakan ini padanya. Aku akan diminta untuk bertahan dan bersabar menghadapimu, persis seperti selama ini. Sekali lagi kukatakan, aku tetap akan mengatakan ini pada orang tuaku, karena tempat ternyaman bagiku hingga saat ini adalah mereka. Aku tak akan berniat lagi mempertahankan biduk rumah tangga ini seperti yang sudah-sudah." Hana bersikeras. "Ya, sudah, kalau begitu biar anak-anak ikut aku!" ancam Rio dengan nada kesal. "Papa yakin?" tanya Hana dengan nada meremehkan. Wajar saja, 14 tahun menikah ia bahkan tak tahu bagaimana nikmatnya ketika pekerjaan rumah dibantu suami, ia tak tahu rasanya ketika anak-anak diasuh suami, iapun tak tahu bagaimana nikmatnya menjadi istri yang dihargai. "Ya. Aku yakin Inez mau menerimanya," jawab Rio dengan percaya diri, seolah Inez adalah manusia berhati malaikat bagi anak-anak tirinya. "Aku tak akan terima anak-anakku diasuh perempuan seperti dia!" seru Hana dengan wajah benci. Mendengar namanya saja membuat rahang perempuan itu mengeras. "Aku akan menyewa jasa pengacara dan kau tak akan mampu melawanku." Rio berucap sombong.Hana terdiam sesaat. Kepalanya melayang ke kamar tidur di mana tiga buah hatinya masih terlelap. "Lakukan saja jika kau ingin istrimu kelak mati berdiri. Tak usah berlagak ingin mengurusi mereka, seumur hidup merekapun kau tak pernah sekalipun membantu mereka mandi, membantu mereka mengenakan pakaian, atau sekedar mengikat tali sepatu saat mereka baru menduduki bangku sekolah. Saat waktu libur kau hanya akan sibuk dengan ponselmu saja, yang bahkan saat kau tidurpun benda itu akan menempel di tanganmu." Hana menumpahkan semua lukanya. Rio lagi-lagi terhenyak. Benar kata Hana, jika ia bersikeras membawa anak-anak bersamanya, maka sudah pasti Inez akan keberatan karena Inez sendiri memiliki 3 orang anak hasil pernikahan sebelumnya, itu artinya mereka akan mengurusi 6 anak dan itu tak mungkin. "Aku akan tetap membawa mereka bersamaku!" ucap Rio lantang. Pantang baginya kalah sombong dengan lawan bicaranya. Sejujurnya ia tengah menguji Hana, berharap istrinya itu akan diam mengalah seperti biasa. Sayangnya, usaha Rio kali ini sia-sia. "Silahkan, aku tak akan pernah melarang. Tapi jika mereka hanya akan menangis di tempat tinggal gundikmu kelak, nikmati. Jangan sampai seujung kuku kau menyentuh anak-anakku! Dan jangan sampai suara garangmu kau perdengarkan pada mereka saat aku tak ada di samping mereka! Jika kau melakukannya, aku bersumpah akan membuatmu menyesal!" Mata yang bisa nampak sendu itu kini memerah karena amarah. Hana beranjak dari kursinya, berjalan menuju kamar Ica dan Ira. Meninggalkan Rio yang kini tengah menikmati suasana hati yang tak karu-karuan. Mengusap wajah kasar. Hati Rio masih separuh tertinggal di sini karena bagaimanapun kebaikan Hana selama mendampinginya selama ini sungguh luar biasa. Namun, cintanya pada Inez yang tak pernah padam membuat laki-laki itu gamang. *Hana mematung di depan pintu kamar Alisya dan Mayra. Menatap lekat bocah berusia 3 tahun dengan kulit putih mulus serta rambut lurus hitam pekat yang tangah memeluk bantal boba berwarna merah muda kesayangannya. Bocah yang mereka panggil dengan sebutan Ica. Sesaat kemudian mengedarkan pandangan pada anak keduanya, Mayra. Bocah berusia 9 tahun dengan kulit sedikit gelap serta rambut lurus itu baru saja mengucek mata setelah menyadari sang mama datang. "Mama kenapa?" tanya Ira dengan mata menyipit. Hana menutup pintu kamar, berjalan mendekati anak perempuan pertamanya itu. "Ira udah bangun?" tanya Hana basa-basi. Sayangnya, basa-basi Hana tak membuat gadis kecil itu abai terhadap sang mama. "Mama sedih? Papa lagi yang bikin Mama sedih?" tanya Ira dengan suara pelan serupa berbisik. Ia bangkit lalu duduk di atas bed sorong miliknya. Hana menggeleng. Susah payah bibirnya melengkungkan senyum. "Ira sudah dengar semuanya. Ira tak terlalu paham, tapi yang pasti Ira tau kalau Papa kembali membuat Mama bersedih."Ira memeluk sang mama. Persis seperti biasanya kala ia tahu jika perempuan luar biasa itu tengah gundah. Hana lebih dari malaikat bagi anak-anaknya. Sehebat apapun mendapatkan tekanan dari sang suami, perempuan itu tetap lembut memperlakukan anak-anaknya. Seolah tak ada emosi yang ia campur adukkan dalam menjalani perannya sebagai istri sekaligus ibu. "Mama baik-baik saja, Sayang. Berjanjilah untuk selalu baik meski sekeliling kita memberi contoh yang tak baik," bisik Hana dengan bibir bergetar. "Seperti Papa bukan?" tanya Ira pelan. Hana merenggangkan pelukannya. Membingkai wajah manis milik Ira. "Seburuk apapun Papa, kalian tetaplah anak-anaknya yang harus menyayangi Papa," ucap Hana lembut. Ira tak menjawab. Hati kecil gadis itu menyimpan luka terhadap laki-laki yang ia sebut Papa. Sering kali sikap Rio pada Hana membuat Ira marah. Bentakan-bentakan dengan kata-kata kasar kerap kali keluar dari bibir laki-laki itu hanya karena masalah sepele. Namun, Ira bisa apa? Gadis kecil sepertinya hanya bisa diam dan menurut tanpa sanggup melawan. "Mama …."Ica merengek memnaggil sang mama kala melihat punggung Hana nampak di depannya. Hana berbalik setelah melerai pelukan pada anak tengahnya itu. "Eh, sudah bangun anak baik," ucap Hana dengan nada lembut serta senyum terpatri di bibir tipisnya. Ica bangkit, mendekat lalu mendekap tubuh sang mama seolah tak pernah puas memeluk leher jenjang milik perempuan berhati malaikat itu. Hana adalah orang terpenting bagi mereka. Seminggu tak bertemu Rio, mereka hampir tak pernah menanyakan ke mana laki-laki itu pergi. Namun, semenit Hana tak nampak, akan ada suara di rumah ini yang akan menanyakan ke mana ibu mereka."Gimana tidurnya semalam? Pulas?" tanya Hana sambil mengusap punggung putri bungsunya itu. Ica mengangguk cepat. Sedangkan Ira, gadis kecil itu kini sibuk melipat selimut serta merapikan seprai bekas alas tidurnya. Hana memang membiasakan anak-anak untuk terbiasa mandiri, agar mereka bisa dengan mudah beradaptasi di manapun mereka berada. "Napa semalam Mama nggak tidul sama Ica?" tanya gadis kecil itu dengan lidah cadelnya. "Katanya Ica sudah gede. Kalo sudah gede 'kan, tidurnya sama Kak Ira," ucap Hana sambil terkekeh. Baginya hiburan di rumah ini hanyalah menikmati celotehan-celotehan menggemaskan anak-anak. "Tapi 'kan, Ica mau tidul sama Mama," rengek Ica manja. "Kalau begitu Ica masih bayi dong? Kan, yang tidur sama Mama itu adek bayi, kalau udah gede tidurnya sama Kakak Ira. Iya 'kan, Kak?" Kini Hana berpaling ke arah Ira. "Iya, Dek. Tidurnya di sini, biar Kakak ada temennya," jawab Ira sepakat sambil tersenyum, memamerkan gigi ompong tengah atas miliknya. "Ya, sudah, sekarang mandi, lalu sarapan. Mama sudah buatkan nasi goreng kesukaan kalian."Hana melepas pelukan Ica. Merapikan tempat tidur anak bungsunya itu. Lalu berjalan menuju lemari tiga pintu bergambar kartun kesayangan Ira, princess Anna dan Elsa. Mengambil dua stel pakaian ganti untuk kedua putrinya. "Ke kamar mandi dulu, ya. Mama mau bangunin Abang Abi, biar sarapan bareng," ucap Hana setelah keduanya melepas pakaian, menyisakan celana pendek di atas lutut serta kaos singlet saja. Hari minggu seperti ini memang terkesan santai. Tidak seperti hari anak-anak sekolah seperti biasanya, di mana Hana dituntut harus bangun di jam 3 pagi untuk menyelesaikan semuanya. Baru saja Hana melangkah keluar kamar kedua putrinya, Rio berdiri menyandar di dinding kamar. "Kita ke kamar, Papa mau bicara," ucap Rio sambil melangkah. Hana terdiam sesaat, lalu menyusul di belakang Rio. Ia lelah berdebat. Sesampainya di kamar, ia menutup pintu agar suara mereka nanti sedikit tersamarkan di telinga anak-anak. "Papa sudah membatalkan semuanya. Papa tak akan menikahi Inez dan akan tetap berada di tengah-tengah kalian," ucap Rio. Tak ada permintaan maaf dari laki-laki itu dan Hana sangat paham seberapa besar gengsi laki-laki itu. Ia bahkan belum pernah mendengar sepatah kata maaf dari Rio, setelah berbagai jenis luka yang ditoreh laki-laki itu di hatinya. "Percuma saja tak menikahi perempuan itu, jika masih tetap berhubungan dengannya," sindir Hana tanpa ditutup-tutupi. "Papa janji akan memutuskan hubungan dengannya. Percayalah!" "Yakin?" tanya Hana dengan tatapan lurus keluar jendela. Ia sendiri tak yakin dengan apa yang baru saja ia dengar. "Ya, Ma," jawab Rio berusaha meyakinkan sang istri. "Baiklah. Tak ada ponsel yang terkunci di rumah ini. Seandainya ini hanya topeng, Papa akan tau apa yang akan terjadi setelahnya." Kalimat bernada ancaman itu mampu membuat Rio mematung di tempat.Matahari mulai menguning ketika Hana memilih menghabiskan waktu di rumah orang tuanya. Rumah yang hampir tak berjarak dari rumahnya. Ya, rumah mereka berdampingan, bahkan tanah di mana rumah yang Hana tempati dibangun adalah milik orang tua Hana. Tepatnya, tanah yang diberikan oleh orang tuanya untuknya. Suara riuh tawa Ica dan Ira yang kini tengah bermain boneka tak jauh dari Hana duduk bersama sang mama, membuat suasana terasa begitu hangat. Di rumah inilah mereka merasakan surganya keluarga, sedang di rumah mereka, mereka dituntut untuk bersikap selalu baik dan tak boleh melakukan kesalahan jika tak ingin mendapat bentakan kasar dari laki-laki yang mereka panggil 'Papa'. "Kau sudah matang dengan keputusanmu ini, Na?" tanya Diana, perempuan berusia 65 tahun itu dengan wajah sendu. Sejak lama ia tahu bagaimana perlakuan sang menantu terhadap anak yang mereka sayangi. Bahkan tak jarang suara benda-benda membentur lantai karena kemarahan Rio terdengar sampai ke rumah ini. Sejak lam
Berkali-kali menarik napas dalam mengembusnya ke luar, berharap hatinya sedikit lebih tenang.Melirik sekilas pada Ica yang kini sibuk berceloteh di depan cermin lebar pada pintu lemari. Beberapa detik kemudian kedua ibu jari Hana menari di layar ponsel. Menumpahkan emosi lewat huruf demi huruf yang terangkai menjadi kata pada layar datar ponselnya. [Terima kasih telah mengambil laki-laki itu dariku. Katakan padanya untuk segera mencaraikanku karena aku sama sekali tak membutuhkannya lagi. Jika dia tak melakukannya berarti kau tak begitu berarti baginya.]Hana terduduk di kasur setelah pesan balasan baru saja ia kirim. Kedua tangannya terasa bergetar seiring kesadaran yang mulai pulih. Ia tak percaya ketika menyadari perempuan itu seberani ini terhadapnya, seolah dirinyalah yang menjadi pengganggu hubungan mereka. "Kamu kenapa, Ma?" tanya Rio yang baru saja masuk ke kamar. Hana menggeleng pelan. mendorong pelan tubuh Ica untuk ke luar. "Ica main sama Kak Ira dulu, ya, nanti Mama
Hana menatap dengan ekspresi datar pada mertuanya itu. Akan ada lagi drama yang tercipta jika perempuan itu datang ke sini. Perempuan berusia 60 tahun itu baru saja keluar dari mobil Rio, lalu berjalan menuju pintu utama. Perempuan itu masih terlihat sangat kuat meski di usianya yang sudah cukup tua. Jujur, dulu Hana merasa kagum pada mertua perempuannya itu yang sanggup datang mengunjungi anak cucunya meski hanya sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu rasa kagum itu memudar setelah tahu bagaimana mertuanya itu menganggap dirinya tak lebih seorang perempuan yang hanya berdiam diri di rumah tanpa menghasilkan uang.Rio berjalan mengekor di belakang sambil menyeret koper berukuran sedang di tangan kanannya. Hana mengulur tangan kala jarak antara mereka semakin terpangkas, mencium takzim punggung tangan itu dengan bibir terkunci. "Mana anak-anak?" tanya Maria sambil celingukan ke penjuru ruangan. "Abi masih sekolah, Ira dan Ica lagi makan siang di dapur," jawab Hana dengan bibir
Maria sama sekali tak menyangka jika menantu kebanggaannya itu akan berucap hal menyakitkan barusan. Ya, diantara dua menantunya, Hana adalah menantu idaman baginya, menantu yang selalu ia puji di depan menantu lainnya. Sangat wajar jika Maria bersikap demikian karena Lina, istri dari anak keduanya adalah tipe perempuan yang ceplas-ceplos dan tak suka diatur-atur. Rio nampak memasang wajah kesal. Namun, berusaha ia tahan karena posisinya sekarang dalam keadaan genting. Laki-laki itu sedikit bersyukur karena hari ini ia mengambil cuti, jika tidak, sudah dipastikan perdebatan dua perempuan barusan akan berakhir fatal. "Kenapa kau berbicara begitu, Hana?" tanya Maria dengan tatapan tak percaya. Hana tak langsung menjawab, kini fokusnya terarah pada Ica yang sibuk menghabiskan makanannya, sedangkan Ira pura-pura tak paham dengan pembicaraan tiga orang dewasa di hadapannya itu, meski ia mulai sedikit tahu ke mana topik pembicaraan mereka. "Ira udah kelar makannya?" tanya Hana lembut.
"Sadarlah Rio, perempuan itu masih bersuami, mana punya anak 3 lagi." Maria menasehati dengan suara pelan. Tatapan matanya luruh pada wajah gusar sang anak. "Mama diam! Jangan mengurusi rumah tanggaku, urusi saja rumah tangga Mama sendiri!" bentak Rio seraya bangkit dan berlalu ke luar. Beberapa saat kemudian deru mesin mobil terdengar, kemudian kian menjauh. Entah ke mana perginya laki-laki itu. Tangan yang telah dipenuhi keriput itu mengusap kuat dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Matanya seketika berkaca-kaca. Ini entah kali keberapa Rio membentaknya dengan bentakan menggores luka di hati. Namun, meski demikian Maria tetap rutin mengunjungi anaknya itu meski jaraknya paling jauh dari anak-anak yang lain. Apalagi kalau bukan karena uang. Ya, Rio adalah anaknya yang memiliki gaji tertinggi dibandingkan yang lain, serta yang paling royal memberikan uang padanya. Tentu saja, jika hanya bergaji 4 juta perbulan seperti anak keduanya, mana mungkin mampu memberinya uang dengan jumlah
"Sayaaaang! Aku udah mengajukan gugatan ke pengadilan, aku nggak mau, ya, kalau sampai aku resmi bercerai dari suamiku, kau tak kunjung meninggalkan perempuan itu." Lanjut suara dari seberang sana membuat harga diri Hana kian terinjak-injak. Hana memutus telepon secara sepihak. Ia tak ingin lebih muak lagi jika terlalu lama mendengar suara bernada manja perempuan murahan yang dibanggakan suaminya itu. Sekarang Hana tau apa yang membuat Rio izin lembur hari ini. Ya, lembur, lembur untuk menikmati waktu bersama perempuan murahan itu. "Tak akan ada maaf lagi untuk kali ini," desis Hana dengan wajah penuh murka. Tangan dengan jari-jemari lentik itu menggenggam kuat ponsel kecil itu. Jika benda itu hanya sekeras tempe, maka dapat dipastikan kini tak lagi berbentuk. Hana memejamkan mata untuk beberapa saat dengan wajah menengadah ke langit-langit kamar. Amarah di dadanya kian menumpuk, beban berat di hatinya seakan tak mampu lagi ia tampung. Hampir saja ponsel milik Rio itu menghantam
Hana menatap lekat wajah pias laki-laki itu dengan dada bergemuruh. Namun, tetap saja ia enggan bersikap seolah dirinya butuh laki-laki itu. "Benar ini yang kamu cari?" tanya Hana dengan nada membentak. "I—itu ponsel temen Papa, Ma. Kemaren ketinggalan di kantor dan minta Papa buat bawa pulang dulu," ucap Rio terbata. Kilatan amarah kian nampak mana kala mendengar kebohongan baru yang Rio ciptakan barusan. Tak ada lagi kepercayaan yang tersisa setelah semuanya terjadi. "Oh, ya? Kalau begitu, katakan pada temanmu kalau kekasihnya akan take off pukul sembilan 45 menit dan meminta dijemput," ucap Hana dengan mata tajam. Berusaha ia tahan emosi yang tengah meluap, meski hasilnya tetap saja berkobar. Rio tertunduk seketika. Kedua tungkainya melemah menyadari Hana telah berbuat sesuatu dengan ponsel barunya, ponsel yang ia khususkan untuk bertukar kabar dengan Inez. "Ceraikan aku sekarang juga!" Bentak Hana. Perempuan pendiam itu kini berubah bak singa kelaparan yang siap menerkam man
"Ti—tidak, Inez. Aku tak bisa menjemputmu. Kau pergi saja sendiri," ucap Rio terbata-bata. Sekilas ia dapat melihat betapa amarah Hana lewat wajahnya yang kian memerah. "Hah! Abang jangan aneh-aneh. Abang pikir aku bisa menerima ini. Nggak mau, pokoknya jemput aku! Bukankah Abang sudah janji akan menjemputku, bahkan tempat tinggal untukku sudah Abang sediakan. Atau Abang takut dengan istri berwajah lusuh Abang itu?" Inez menggerutu. Ia tak tahu jika di sini semua wajah tersulut amarah oleh kalimatnya barusan, terlebih Hana. Rio mengusap keringat dingin yang berjejalan keluar di dahinya. Inez sukses membuat laki-laki itu didera ketakutan. "Sudah—" Rio berusaha menyudahi pembicaraannya. Namun, dengan cepat perempuan di sana memotong kalimatnya. "Biasanya juga tak peduli dengan perempuan itu. Kalau memang nggak mau jemput, kenapa nyuruh aku dateng ke sana." Suara perempuan itu terdengar kesal. "Bukan—bukan begitu, Nez. Ah, aku—aku sibuk," ucap Rio sambil memejamkan mata. Ia benar-be
Mendengar pertanyaan dari Inez, Marwan terdiam. Bersamaan dengan itu perempuan yang tadi mengantar minum untuk Inez kembali datang. Perempuan berwajah manis dengan kulit kuning langsat itu memilih duduk tepat di samping Marwan. Bibir merah mudanya tersenyum ramah ke arah Inez lalu berpindah melirik Marwan. Susah payah Inez menelan ludah. Prasangka buruknya membuat keringat dingin berjejalan di sela-sela jari dan telapak tangannya. "Kenalin, ini Sarah istriku," ucap Marwan sambil melempar senyum tipis ke arah sang istri. Perempuan berusia awal 30 tahun itu mengulurkan tangannya ke arah Inez. Jika dibandingkan dengan Inez, perempuan bernama Sarah itu masih kalah cantik. Inez nyatanya jauh lebih cantik jika dinilai dari fisik. Namun, bukan itu yang Marwan lihat. Ia tak ingin cinta yang dulu berawal dari kepuasan mata membuat dirinya harus menjalani kehidupan serupa seperti dulu lagi. Inez seketika terhenyak. Jawaban yang keluar dari bibir Marwan tak ubah seperti palu godam yang men
Inez kembali terperangah dengan mata membulat sempurna. Sony ternyata ditangkap karena telah membunuh pacar yang telah ia pacari setahun terakhir, dengan cara membekapnya dengan bantal hingga menghembuskan napas terakhir, lalu melarikan motor serta ponsel milik sang pacar. Inez segera berlari ke kamar. Rasa sesal dan kecewa memenuhi rongga dadanya. Air mata kembali meleleh ketika sadar betapa bodoh dirinya karena telah luluh dengan janji manis serta tampang rupawan laki-laki brengsek itu. Ternyata saat bersamanya Sony sudah memiliki pacar. Berkali-kali inez memukuli dadanya yang kini terasa sesak. Satu per satu kebodohan yang pernah ia lakukan kini berputar di kepala, membuat rasa bersalah pada Marwan kian bertumpuk. *Malam datang bersama aroma damai ketenangan bersama rintik hujan yang luruh ke bumi. Namun, tidak dengan hati Inez. Malam ini ia kian gamang. Hatinya berkeinginan untuk datang meminta maaf pada Marwan. Namun, ia terlalu malu untuk menampakkan wajah hinanya di hadapan
Hana menautkan alis seraya menggeleng pelan. Bibirnya mengulum senyum manis, bahkan sangat manis. "Sejak kapan?" Ia balik bertanya. "Jauh sebelum kau kenal mantan suamimu," jawab Hakim dengan raut wajah nampak serius. "Hah? Serius?" Hana kembali bertanya. Hakim mengangguk pasti. Hana menatap lekat wajah sang suami. Selama ini Hana tak pernah menganggap Hakim lebih dari teman, atau mungkin sahabat. Yang ia tahu Hakim sangat nyaman untuk dijadikan teman bercerita sekaligus rekan kerja. Sejak dulu Hakim dikenal suka membantu, bahkan hampir semua teman-teman di kantor lama mereka dulu dekat dengan Hakim. "Apa kau merasa Abang mempunyai teman dekat perempuan saat itu selain kamu?" tanya Hakim memastikan. Hana nampak berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. "Setiap kedekatan antara laki-laki dan perempuan, sudah pasti salah satu di antara keduanya memiliki rasa, Na. Nggak usah munafik. Pada kedekatan kita dulu, Abang lah yang memiliki rasa padamu," ucap Hakim jujur. Kini tatapan mat
Dua minggu berlalu. Hana menatap bangga laki-laki yang kini tengah menjabat tangan Pak Penghulu dengan wajah serius. Laki-laki yang kini tengah mengikrarkan janji suci di depan saksi. Wajah penuh riasan itu kini berubah sendu manakala kata 'sah' mengawang di udara. Memecah khidmatnya acara pagi ini. Tepat beberapa detik yang lalu, dirinya kembali sah bergelar istri setelah delapan bulan menyandang status janda. Mungkin bagi sebagian orang ini terlalu singkat. Namun, Hana tak ingin menunda saat laki-laki baik datang padanya, persis seperti apa yang dikatakan sang ayah kala itu. Binar bahagia nampak pada wajah keduanya ketika Hana dan Hakim bersanding di atas pelaminan untuk menyambut kedatangan para tamu. Anak-anak mereka berkumpul menyaksikan kebahagiaan orang tua mereka. Kini Ira dan Shanum nampak tak ingin berjauhan. Dua anak perempuan itu kini menikmati hubungan yang kian dekat dari sekedar sahabat. Kedua orang tua Hana nampak lebih muda dalam riasan serta pakaian yang mereka
Bayangan kematian kian menghantui Inez. Keringat dingin meluncur di dahi hingga jemari perempuan itu. Ines mengangguk cepat, matanya kian gencar mengeluarkan butiran bening. "Bagus," ucap laki-laki itu dengan senyum menyeringai. "Jangan sampai kau berteriak seperti tadi, jika tak mau pisau ini menembus perutmu." Sony kembali mengancam.Rasa takut yang membuncah membuat Inez akhirnya kembali mengangguk. Sigap sony melepaskan ikatan kain di mulut perempuan itu. "Aku mohon, setelah ini lepaskan aku," lirih Inez dengan air mata kian deras membanjiri wajahnya. Berharap masih tersisa empati di hati laki-laki itu. "Pasti, pasti akan kubebaskan setelah mengatakannya, aku janji," ucap sony dengan wajah meyakinkan. Laki-laki itu merogoh ponsel di saku celananya. Sekarang ia siap mengetik deretan nomor yang akan Inez katakan. Dengan bibir bergetar karena ketakutan akhirnya Inez mengatakan kode pin ATM-nya. Akhirnya ia menyerah, mengingat nyawa yang jauh lebih berharga dari segalanya. "Kata
Wajah Inez kian memerah. Impian yang dijanjikan Sony selama mereka bersama pupus sudah. Harapannya tentang hidup bahagia bersama laki-laki impiannya telah kandas. Tangan Inez mendorong kuat tubuh laki-laki itu hingga Sony terjengkang. "Aku tidak butuh penjelasan tentang kebodohanmu, yang aku butuhkan sekarang adalah uangku kembali!" pekik Inez membabi buta. "Sekarang juga kembalikan uangku!" Inez kembali membentak dengan wajah merah padam. "Uang itu sudah lenyap, Nez. Percuma saja kau memintanya. Bahkan sampai kau nangis darah pun uang itu tak akan pernah kembali," jawab Sony sambil berusaha bangkit. Ia ikut meninggikan suara. Wajah Inez kian memerah. Perempuan itu kalap, ia meraih vas bunga di atas meja melempar kuat ke arah Sony, hingga vas cantik berwarna putih itu tercecar di lantai berhamburan. Setelahnya ia kembali meraih sebuah hiasan keramik yang diletakkan di samping kursi. Melempar benda itu ke sembarang arah.
"Lagian bisnis kamu sampai sekarang masih belum jelas. Pakai saja uang 200 juta yang aku kasih waktu itu, aku sudah nggak punya simpanan banyak lagi. Lagi pula uang hasil penjualan rumah itu hanya tinggal sedikit. Aku memberi 80 persennya untuk kau kelola. Tapi sampai detik ini tak ada kabar. Setiap aku membahas masalah itu kamu selalu bilang, sabar, ya'. Aku capek, Son, capek nanyain kejelasan semuanya." Inez beranjak ke dalam sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Laki-laki itu tersulut emosi. Namun, semampunya ia meredamnya. Jika bukan Inez, siapa lagi yang bisa diandalkan saat ini. Sony menguyar rambut kasar. Pikirannya penuh sesak tentang kerusakan mobil hingga bisnis yang dijanjikan temannya. Benar kata Inez, dirinya memang hanya dijanjikan tanpa ada kepastian.Ia beranjak masuk, berniat membujuk perempuan itu agar mau membantunya. Nampak Inez tengah tiduran di sofa mewah di depan TV bersama Rafa. Rafa sibuk memainkan leggo, mem
"Abang memiliki rasa padanya?" Selidik Hana. Hakim menggeleng pelan. "Menganggapnya sebatas adik. Tak lebih," aku Hakim. "Kalau begitu, aku tak memiliki alasan untuk cemburu," jawab Hana berusaha menutupi rasanya. Ya, sejujurnya rasa cemburu itu tetap ada. Namun, melihat sikap Hakim tadi membuatnya merasa tak pantas menunjukkan rasa dengan cara berlebihan. "Kau yakin?" tanya Hakim dengan menaikkan sebelah alis. Hana hanya tersenyum simpul. "Syukurlah …." Hakim nampak lega. "Oh, ya, boleh aku berbicara tentang kita?" tanya Hakim kemudian. "Tentang kita?" Hana mengulang pertanyaan Hakim sambil tersenyum geli. "Jangan tertawa!" Hakim terkekeh. "Siapa yang tertawa?" "Barusan?" Telunjuk itu terarah pada Hana. "Itu senyum. Apakah seorang dengan pangkat manager di perusahaan besar tak bisa membedakan mana senyum dan mana tertawa?" ledek Hana. "Baiklah … ya, kau barusan hanya tersenyum. Aku sadar karena lelaki memang tempatnya salah, terlepas dari apa jabatan pekerjaan maupun tite
Cincin yang fotonya bulan lalu di kirim Dewi padanya. Ya, Dewi mengatakan jika Hakim memintanya memilih model yang paling bagus. Dan pilihan Dewi jatuh pada cincin yang kini melingkar di jari manis Hana. "Aamiin," ucap Hakim dan Hana bersamaan sambil melempar senyum. Susah payah Rena menelan ludah sendiri. Melihat raut wajah dua orang di hadapannya itu saat saling tersenyum, mampu membuat hatinya meringis. Ada beban yang tiba-tiba menghimpit dada, menciptakan sesak. Hayalannya tentang bagaimana cincin itu melingkar indah di jari manisnya kini pupus sudah. Semua mimpi-mimpinya tentang masa depan bersama Hakim seketika kandas. Ada luka yang baru saja tergores di hati, luka karena perasaan berlebih pada orang yang salah. Jika saja ia tengah sendiri, ingin rasanya meluahkan rasa lewat air mata. Sekian lama ia berusaha menampilkan yang terbaik di hadapan Hakim maupun keluarganya. Namun, semua hanya kesia-siaan. Dua tahun waktunya menjaga hati untuk Hakim sama sekali tak dihargai. Ent