"Lepaskan aku!" ucapnya dengan suara bergetar. Susah payah ia menahan agar sesak yang kini menghimpit dada tak membuatnya lemah.
"Apa alasanmu meminta berpisah, Ma? Bukankah poligami adalah sunnah. Kau bisa mendapat pahala besar dari ikhlasmu melakukannya."Semudah itukah para laki-laki berucap? Apakah hatinya buta ataukah mati rasa, hingga dengan lantangnya menyuarakan sunnah tanpa ia sendiri paham bagaimana sunnah itu seharusnya ditunaikan. "Benarkah poligami itu sunnah?" tanya perempuan dengan warna kulit kuning langsat itu. Hana masih sangat cantik di balik wajah kelelahan dengan mata panda-nya. Namun, cukup banyak laki-laki yang memang tak pernah merasa puas meski telah memiliki istri secantik apapun. "Aku rasa kaupun tahu tentang itu," ucap Rio lemah. "Lantas hukum shalat lima waktu?" tanya Hana bermakna sindiran. Rio menegakkan posisi duduknya. Susah payah ia menelan ludah sendiri setelah mendengar kalimat Hana barusan. Hening. Keduanya bungkam. Hana dengan setia menanti jawaban sang suami dalam kebisuan, sedangkan Rio, laki-laki itu tengah berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Hana tanpa membuatnya merasa tersudut. Bebapa menit berlalu tetap saja Rio tak menemukan jawaban. "Akan kujelaskan jika tak paham. Shalat lima waktu adalah wajib hukumnya bagi muslim manapun, tanpa terkecuali, bahkan dalam keadaan sakit parah sekalipun. Selama ia tak gila maka kewajiban lima waktu tak akan pernah gugur darinya.""Lantas, apa yang membuat Papa begitu ingin menunaikan sunnah yang sudah jelas-jelas tingkatan pahalanya di bawah wajib?" Hana kembali melayangkan tanya yang membuat Rio kian hening. Kedua tangan dengan jari-jemari bergetar itu kini diletakkannya di atas meja. Tatapan matanya beralih pada sang suami. Pagi ini akan ia tumpahkan lara yang sejak lama ia pendam. Perempuan pendiam itu menemukan titik lelahnya sejak beberapa puluh menit lalu. "Bahkan untuk shalat lima waktu saja Papa hampir tak pernah melakukannya. Masih ingat apa yang Papa katakan ketika aku mengajak untuk shalat, atau meminta Papa untuk ke masjid saat adzan tiba?" tanya Hana masih dengan nada dingin. Susah payah ia tahan agar sakit di ulu hatinya tak menyembul ke luar. "Papa akan mengatakan, "Urus saja diri sendiri, tak perlu mengajariku". Hana tersenyum sinis."Pantaskah seorang imam dalam rumah tangga berucap demikian? Aku tak pernah sekalipun memintamu membantuku membuatkan susu untuk anak-anak kita saat aku tengah sibuk bekerja, aku tak pernah memintamu untuk membantuku mencuci piring atau baju kotor kala aku sedang sakit, aku juga tak pernah meminta Papa untuk membantuku menjaga anak-anak saat mereka sakit, karena aku tahu Papa tak akan pernah bersedia dan bahkan Papa akan mengamuk jika aku melakukannya. Aku hanya minta Papa untuk shalat lima waktu saja, tak lebih."Hana menunduk beberapa detik. Satu-persatu luka dalam rumah tangga yang pernah tergores di hatinya kembali terasa perih. Dalam hati Rio membenarkan perkataan sang istri. Namun, untuk mengakui semuanya ia terlalu gengsi. Bahkan menurut keinginannya, dirinyalah yang paling benar dan seolah terlahir tanpa cela. "Lantas, sekarang Papa meminta untuk menunaikan sunnah? Jangan bercanda, karena perempuan manapun tak akan suka dengan gaya bercanda segila ini."Hana menautkan jemari kanan dengan kirinya. Meremas kuat, berharap sesak di dada tak berhasil membuatnya lemah. "Papa masih sangat mencintainya," lirih Rio mengulang kalimat yang sama. Kalimat yang detik ini membuat Hana benci. Cinta. Sesuatu yang mampu membuat hati siapa saja berbunga-bunga, dan yang mampu membuat manusia manapun merasakan mati dengan tubuh bernyawa. Cinta. Ya, itulah satu-satunya kalimat pamungkas yang Rio miliki. Cintanya pada Inez mampu membutakan laki-laki itu. Buta melihat betapa tulus cinta sang istri terhadap dirinya dan anak-anak mereka. "Aku tak bisa memaksa hati manusia manapun untuk menyukaiku, bahkan terhadapmu. Lepaskan jika memang tak ada lagi cinta. Percayalah, jika Allah meridhoi, sampai matipun aku tak akan mengemis untuk kembali. Pergilah!" Hana berucap dengan suara tercekat di tenggorokan. "Mama yakin dengan apa yang kau katakan, Ma?" tanya Rio berusaha meyakinkan pendengarannya. "Bahkan sangat yakin," ucap Hana dengan memalingkan wajah ke sisi kanannya. Wajah Rio kian terasa muak kala tertangkap matanya. "Apa yang akan kau lakukan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak jika kau berpisah dariku?" Rio mulai menampakkan sifat aslinya. "Bukankah mereka masih tetap kewajibanmu?" tanya Hana dengan sudut bibir terangkat. Ia paham apa yang ada di kepala laki-laki itu."Aku tak akan menafkahi mereka jika kau meminta bercerai dariku," ucap Rio seolah tanpa hati. Hana menggeleng pelan. Murka yang selama ini bertumpuk kian membuncah di dada. "Berbicara tentang sunnah seolah dirimu orang yang sangat paham agama, nyatanya tentang kewajiban saja kau tak paham. Aku tak akan gentar dengan ancaman murahan seperti itu. Apa kau lupa, orang tua siapa yang lebih peduli kehidupan keluarga ini? Orang tua siapa pula yang hartanya tak habis untuk makan sampai tiga turunan?" Hana kembali membuat Rio bungkam. Bukan, bukan ia sedang bercanda, karena itu semua adalah fakta. Orang tua Hana orang berada, sedangkan Rio terlahir dari keluarga sederhana. Ia hanya kebetulan beruntung karena diterima di perusahaan bonafit dengan gaji belasan juta perbulan. "Dengarlah, aku tak akan bersedia dimadu karena aku sadar aku tak akan mampu berdampingan dengan perempuan perebut suamiku!" Hana kembali menegaskan. "Kenapa tak mencobanya. Kita bisa sama-sama dan anak-anak tak akan pernah menjadi korban." Rio berusaha membujuk. Korban? Ya, korban laki-laki tak berhati seperti dirinya. "Sekali lagi kukatakan, aku tak akan pernah bisa berdampingan dengan perempuan murahan!" Hana berucap dengan gigi-gigi merapat kuat. Emosinya terpancing kini setelah sekian lama berusaha menahan sabar terhadap ulah Rio yang seolah tak bernurani. "Jaga bicaramu! Dia bukan perempuan murahan seperti yang kau tuduhkan!" bentak Rio tak terima.Hana menatap sinis laki-laki yang telah memberinya sepasang buah hati itu. "Lantas, mau kusematkan apa terhadap perempuan yang dengan mudahnya meminta untuk menikah dengan laki-laki beristri, sedangkan dirinya masih memiliki suami. Aku bahkan tak pernah menemukan perempuan semurahan ini sebelumnya." Hana balik membentak membuat Rio tersentak. 14 tahun menikahi Hana Rio belum pernah sama sekali melihat istrinya itu semarah ini. Bahkan saat Rio marah dan mengoceh tak berujung hanya karena hal sepele, Hana hanya memilih diam tanpa melawan. "Dia perempuan baik-baik, bahkan rutin mengikuti kajian." Lagi-lagi Rio berusaha membela perempuan itu. "Ikut kajian? Kupastikan itu hanyalah topeng karena perempuan baik-baik tak akan pernah sanggup menyakiti binatang sekalipun, apalagi sesama perempuan." Hana tak mau kalah. Tekadnya bulat untuk menumpahkan semua lukanya kali ini, tanpa memikirkan dampak pertengkaran seperti yang biasa ia lakukan. Kali ini baginya adalah akhir. Mempertahankan suami seperti Rio adalah sebuah kebodohan. "Jaga bicaramu, Ma. Papa hanya ingin mencari jalan tengah." Rio melemah. "Apakah ini jalan tengah yang kau maksud? Jalan tengah yang mampu menghancurkan dua keluarga sekaligus." Jawaban Hana semakin berapi-api. Tak ada lagi panggilan hangat sebagaimana biasa, membuat hati Rio tercubit. Tangan hana mengepal kuat di kedua sisi tubuhnya. Amarah perempuan pendiam sedikit bicara itu kini membuncah di dada. "Tak akan, Ma, jika Mama menerima Inez semua tak akan berubah." Rio kembali membujuk. "Tak akan berubah? Apakah bersikap adil dalam berpoligami akan semudah itu? Kau kira cukup dengan memberi uang belanja dengan nominal yang sama?""Papa akan berusaha semampu Papa, Ma. Percayalah."Hana menggeleng pelan. "Akan segera aku sampaikan pada Ibu dan Ayah tentang ini," ucap Hana setelah menghela napas panjang. Rio nampak terkejut. Ia paham sekeras apa watak mertua laki-lakinya itu. Jika Hana benar-benar mengatakannya, maka biduk rumah tangga yang telah mereka bina selama ini akan kandas dalam waktu singkat."Jangan, Ma. Jangan sampai keluarga Mama tahu tentang ini." Wajah Rio memucat. Ia menyesali dirinya yang tak mampu bersabar lebih lama lagi. "Lantas, aku harus memendamnya sendiri? Begitu? Belum cukupkah selama 14 tahun bersama kau membuat wajahku persis seperti perempuan 10 tahun lebih tua dari usianya?" Hana mengerutkan dahi. Mata dengan kelopak menghitam karena beban hati dan pikiran itu sedikit membulat. "Ceritakan pada Mama saja, jangan pada Ibu atau Ayah," ucap Rio tanpa merasa bersalah. Mama adalah panggilan terhadap ibu dari Rio. "Tak perlu. Aku sudah tahu apa yang akan Mama katakan jika aku menceritakan ini padanya. Aku akan diminta untuk bertahan dan bersabar menghadapimu, persis seperti selama ini. Sekali lagi kukatakan, aku tetap akan mengatakan ini pada orang tuaku, karena tempat ternyaman bagiku hingga saat ini adalah mereka. Aku tak akan berniat lagi mempertahankan biduk rumah tangga ini seperti yang sudah-sudah." Hana bersikeras. "Ya, sudah, kalau begitu biar anak
Matahari mulai menguning ketika Hana memilih menghabiskan waktu di rumah orang tuanya. Rumah yang hampir tak berjarak dari rumahnya. Ya, rumah mereka berdampingan, bahkan tanah di mana rumah yang Hana tempati dibangun adalah milik orang tua Hana. Tepatnya, tanah yang diberikan oleh orang tuanya untuknya. Suara riuh tawa Ica dan Ira yang kini tengah bermain boneka tak jauh dari Hana duduk bersama sang mama, membuat suasana terasa begitu hangat. Di rumah inilah mereka merasakan surganya keluarga, sedang di rumah mereka, mereka dituntut untuk bersikap selalu baik dan tak boleh melakukan kesalahan jika tak ingin mendapat bentakan kasar dari laki-laki yang mereka panggil 'Papa'. "Kau sudah matang dengan keputusanmu ini, Na?" tanya Diana, perempuan berusia 65 tahun itu dengan wajah sendu. Sejak lama ia tahu bagaimana perlakuan sang menantu terhadap anak yang mereka sayangi. Bahkan tak jarang suara benda-benda membentur lantai karena kemarahan Rio terdengar sampai ke rumah ini. Sejak lam
Berkali-kali menarik napas dalam mengembusnya ke luar, berharap hatinya sedikit lebih tenang.Melirik sekilas pada Ica yang kini sibuk berceloteh di depan cermin lebar pada pintu lemari. Beberapa detik kemudian kedua ibu jari Hana menari di layar ponsel. Menumpahkan emosi lewat huruf demi huruf yang terangkai menjadi kata pada layar datar ponselnya. [Terima kasih telah mengambil laki-laki itu dariku. Katakan padanya untuk segera mencaraikanku karena aku sama sekali tak membutuhkannya lagi. Jika dia tak melakukannya berarti kau tak begitu berarti baginya.]Hana terduduk di kasur setelah pesan balasan baru saja ia kirim. Kedua tangannya terasa bergetar seiring kesadaran yang mulai pulih. Ia tak percaya ketika menyadari perempuan itu seberani ini terhadapnya, seolah dirinyalah yang menjadi pengganggu hubungan mereka. "Kamu kenapa, Ma?" tanya Rio yang baru saja masuk ke kamar. Hana menggeleng pelan. mendorong pelan tubuh Ica untuk ke luar. "Ica main sama Kak Ira dulu, ya, nanti Mama
Hana menatap dengan ekspresi datar pada mertuanya itu. Akan ada lagi drama yang tercipta jika perempuan itu datang ke sini. Perempuan berusia 60 tahun itu baru saja keluar dari mobil Rio, lalu berjalan menuju pintu utama. Perempuan itu masih terlihat sangat kuat meski di usianya yang sudah cukup tua. Jujur, dulu Hana merasa kagum pada mertua perempuannya itu yang sanggup datang mengunjungi anak cucunya meski hanya sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu rasa kagum itu memudar setelah tahu bagaimana mertuanya itu menganggap dirinya tak lebih seorang perempuan yang hanya berdiam diri di rumah tanpa menghasilkan uang.Rio berjalan mengekor di belakang sambil menyeret koper berukuran sedang di tangan kanannya. Hana mengulur tangan kala jarak antara mereka semakin terpangkas, mencium takzim punggung tangan itu dengan bibir terkunci. "Mana anak-anak?" tanya Maria sambil celingukan ke penjuru ruangan. "Abi masih sekolah, Ira dan Ica lagi makan siang di dapur," jawab Hana dengan bibir
Maria sama sekali tak menyangka jika menantu kebanggaannya itu akan berucap hal menyakitkan barusan. Ya, diantara dua menantunya, Hana adalah menantu idaman baginya, menantu yang selalu ia puji di depan menantu lainnya. Sangat wajar jika Maria bersikap demikian karena Lina, istri dari anak keduanya adalah tipe perempuan yang ceplas-ceplos dan tak suka diatur-atur. Rio nampak memasang wajah kesal. Namun, berusaha ia tahan karena posisinya sekarang dalam keadaan genting. Laki-laki itu sedikit bersyukur karena hari ini ia mengambil cuti, jika tidak, sudah dipastikan perdebatan dua perempuan barusan akan berakhir fatal. "Kenapa kau berbicara begitu, Hana?" tanya Maria dengan tatapan tak percaya. Hana tak langsung menjawab, kini fokusnya terarah pada Ica yang sibuk menghabiskan makanannya, sedangkan Ira pura-pura tak paham dengan pembicaraan tiga orang dewasa di hadapannya itu, meski ia mulai sedikit tahu ke mana topik pembicaraan mereka. "Ira udah kelar makannya?" tanya Hana lembut.
"Sadarlah Rio, perempuan itu masih bersuami, mana punya anak 3 lagi." Maria menasehati dengan suara pelan. Tatapan matanya luruh pada wajah gusar sang anak. "Mama diam! Jangan mengurusi rumah tanggaku, urusi saja rumah tangga Mama sendiri!" bentak Rio seraya bangkit dan berlalu ke luar. Beberapa saat kemudian deru mesin mobil terdengar, kemudian kian menjauh. Entah ke mana perginya laki-laki itu. Tangan yang telah dipenuhi keriput itu mengusap kuat dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Matanya seketika berkaca-kaca. Ini entah kali keberapa Rio membentaknya dengan bentakan menggores luka di hati. Namun, meski demikian Maria tetap rutin mengunjungi anaknya itu meski jaraknya paling jauh dari anak-anak yang lain. Apalagi kalau bukan karena uang. Ya, Rio adalah anaknya yang memiliki gaji tertinggi dibandingkan yang lain, serta yang paling royal memberikan uang padanya. Tentu saja, jika hanya bergaji 4 juta perbulan seperti anak keduanya, mana mungkin mampu memberinya uang dengan jumlah
"Sayaaaang! Aku udah mengajukan gugatan ke pengadilan, aku nggak mau, ya, kalau sampai aku resmi bercerai dari suamiku, kau tak kunjung meninggalkan perempuan itu." Lanjut suara dari seberang sana membuat harga diri Hana kian terinjak-injak. Hana memutus telepon secara sepihak. Ia tak ingin lebih muak lagi jika terlalu lama mendengar suara bernada manja perempuan murahan yang dibanggakan suaminya itu. Sekarang Hana tau apa yang membuat Rio izin lembur hari ini. Ya, lembur, lembur untuk menikmati waktu bersama perempuan murahan itu. "Tak akan ada maaf lagi untuk kali ini," desis Hana dengan wajah penuh murka. Tangan dengan jari-jemari lentik itu menggenggam kuat ponsel kecil itu. Jika benda itu hanya sekeras tempe, maka dapat dipastikan kini tak lagi berbentuk. Hana memejamkan mata untuk beberapa saat dengan wajah menengadah ke langit-langit kamar. Amarah di dadanya kian menumpuk, beban berat di hatinya seakan tak mampu lagi ia tampung. Hampir saja ponsel milik Rio itu menghantam
Hana menatap lekat wajah pias laki-laki itu dengan dada bergemuruh. Namun, tetap saja ia enggan bersikap seolah dirinya butuh laki-laki itu. "Benar ini yang kamu cari?" tanya Hana dengan nada membentak. "I—itu ponsel temen Papa, Ma. Kemaren ketinggalan di kantor dan minta Papa buat bawa pulang dulu," ucap Rio terbata. Kilatan amarah kian nampak mana kala mendengar kebohongan baru yang Rio ciptakan barusan. Tak ada lagi kepercayaan yang tersisa setelah semuanya terjadi. "Oh, ya? Kalau begitu, katakan pada temanmu kalau kekasihnya akan take off pukul sembilan 45 menit dan meminta dijemput," ucap Hana dengan mata tajam. Berusaha ia tahan emosi yang tengah meluap, meski hasilnya tetap saja berkobar. Rio tertunduk seketika. Kedua tungkainya melemah menyadari Hana telah berbuat sesuatu dengan ponsel barunya, ponsel yang ia khususkan untuk bertukar kabar dengan Inez. "Ceraikan aku sekarang juga!" Bentak Hana. Perempuan pendiam itu kini berubah bak singa kelaparan yang siap menerkam man
Mendengar pertanyaan dari Inez, Marwan terdiam. Bersamaan dengan itu perempuan yang tadi mengantar minum untuk Inez kembali datang. Perempuan berwajah manis dengan kulit kuning langsat itu memilih duduk tepat di samping Marwan. Bibir merah mudanya tersenyum ramah ke arah Inez lalu berpindah melirik Marwan. Susah payah Inez menelan ludah. Prasangka buruknya membuat keringat dingin berjejalan di sela-sela jari dan telapak tangannya. "Kenalin, ini Sarah istriku," ucap Marwan sambil melempar senyum tipis ke arah sang istri. Perempuan berusia awal 30 tahun itu mengulurkan tangannya ke arah Inez. Jika dibandingkan dengan Inez, perempuan bernama Sarah itu masih kalah cantik. Inez nyatanya jauh lebih cantik jika dinilai dari fisik. Namun, bukan itu yang Marwan lihat. Ia tak ingin cinta yang dulu berawal dari kepuasan mata membuat dirinya harus menjalani kehidupan serupa seperti dulu lagi. Inez seketika terhenyak. Jawaban yang keluar dari bibir Marwan tak ubah seperti palu godam yang men
Inez kembali terperangah dengan mata membulat sempurna. Sony ternyata ditangkap karena telah membunuh pacar yang telah ia pacari setahun terakhir, dengan cara membekapnya dengan bantal hingga menghembuskan napas terakhir, lalu melarikan motor serta ponsel milik sang pacar. Inez segera berlari ke kamar. Rasa sesal dan kecewa memenuhi rongga dadanya. Air mata kembali meleleh ketika sadar betapa bodoh dirinya karena telah luluh dengan janji manis serta tampang rupawan laki-laki brengsek itu. Ternyata saat bersamanya Sony sudah memiliki pacar. Berkali-kali inez memukuli dadanya yang kini terasa sesak. Satu per satu kebodohan yang pernah ia lakukan kini berputar di kepala, membuat rasa bersalah pada Marwan kian bertumpuk. *Malam datang bersama aroma damai ketenangan bersama rintik hujan yang luruh ke bumi. Namun, tidak dengan hati Inez. Malam ini ia kian gamang. Hatinya berkeinginan untuk datang meminta maaf pada Marwan. Namun, ia terlalu malu untuk menampakkan wajah hinanya di hadapan
Hana menautkan alis seraya menggeleng pelan. Bibirnya mengulum senyum manis, bahkan sangat manis. "Sejak kapan?" Ia balik bertanya. "Jauh sebelum kau kenal mantan suamimu," jawab Hakim dengan raut wajah nampak serius. "Hah? Serius?" Hana kembali bertanya. Hakim mengangguk pasti. Hana menatap lekat wajah sang suami. Selama ini Hana tak pernah menganggap Hakim lebih dari teman, atau mungkin sahabat. Yang ia tahu Hakim sangat nyaman untuk dijadikan teman bercerita sekaligus rekan kerja. Sejak dulu Hakim dikenal suka membantu, bahkan hampir semua teman-teman di kantor lama mereka dulu dekat dengan Hakim. "Apa kau merasa Abang mempunyai teman dekat perempuan saat itu selain kamu?" tanya Hakim memastikan. Hana nampak berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. "Setiap kedekatan antara laki-laki dan perempuan, sudah pasti salah satu di antara keduanya memiliki rasa, Na. Nggak usah munafik. Pada kedekatan kita dulu, Abang lah yang memiliki rasa padamu," ucap Hakim jujur. Kini tatapan mat
Dua minggu berlalu. Hana menatap bangga laki-laki yang kini tengah menjabat tangan Pak Penghulu dengan wajah serius. Laki-laki yang kini tengah mengikrarkan janji suci di depan saksi. Wajah penuh riasan itu kini berubah sendu manakala kata 'sah' mengawang di udara. Memecah khidmatnya acara pagi ini. Tepat beberapa detik yang lalu, dirinya kembali sah bergelar istri setelah delapan bulan menyandang status janda. Mungkin bagi sebagian orang ini terlalu singkat. Namun, Hana tak ingin menunda saat laki-laki baik datang padanya, persis seperti apa yang dikatakan sang ayah kala itu. Binar bahagia nampak pada wajah keduanya ketika Hana dan Hakim bersanding di atas pelaminan untuk menyambut kedatangan para tamu. Anak-anak mereka berkumpul menyaksikan kebahagiaan orang tua mereka. Kini Ira dan Shanum nampak tak ingin berjauhan. Dua anak perempuan itu kini menikmati hubungan yang kian dekat dari sekedar sahabat. Kedua orang tua Hana nampak lebih muda dalam riasan serta pakaian yang mereka
Bayangan kematian kian menghantui Inez. Keringat dingin meluncur di dahi hingga jemari perempuan itu. Ines mengangguk cepat, matanya kian gencar mengeluarkan butiran bening. "Bagus," ucap laki-laki itu dengan senyum menyeringai. "Jangan sampai kau berteriak seperti tadi, jika tak mau pisau ini menembus perutmu." Sony kembali mengancam.Rasa takut yang membuncah membuat Inez akhirnya kembali mengangguk. Sigap sony melepaskan ikatan kain di mulut perempuan itu. "Aku mohon, setelah ini lepaskan aku," lirih Inez dengan air mata kian deras membanjiri wajahnya. Berharap masih tersisa empati di hati laki-laki itu. "Pasti, pasti akan kubebaskan setelah mengatakannya, aku janji," ucap sony dengan wajah meyakinkan. Laki-laki itu merogoh ponsel di saku celananya. Sekarang ia siap mengetik deretan nomor yang akan Inez katakan. Dengan bibir bergetar karena ketakutan akhirnya Inez mengatakan kode pin ATM-nya. Akhirnya ia menyerah, mengingat nyawa yang jauh lebih berharga dari segalanya. "Kata
Wajah Inez kian memerah. Impian yang dijanjikan Sony selama mereka bersama pupus sudah. Harapannya tentang hidup bahagia bersama laki-laki impiannya telah kandas. Tangan Inez mendorong kuat tubuh laki-laki itu hingga Sony terjengkang. "Aku tidak butuh penjelasan tentang kebodohanmu, yang aku butuhkan sekarang adalah uangku kembali!" pekik Inez membabi buta. "Sekarang juga kembalikan uangku!" Inez kembali membentak dengan wajah merah padam. "Uang itu sudah lenyap, Nez. Percuma saja kau memintanya. Bahkan sampai kau nangis darah pun uang itu tak akan pernah kembali," jawab Sony sambil berusaha bangkit. Ia ikut meninggikan suara. Wajah Inez kian memerah. Perempuan itu kalap, ia meraih vas bunga di atas meja melempar kuat ke arah Sony, hingga vas cantik berwarna putih itu tercecar di lantai berhamburan. Setelahnya ia kembali meraih sebuah hiasan keramik yang diletakkan di samping kursi. Melempar benda itu ke sembarang arah.
"Lagian bisnis kamu sampai sekarang masih belum jelas. Pakai saja uang 200 juta yang aku kasih waktu itu, aku sudah nggak punya simpanan banyak lagi. Lagi pula uang hasil penjualan rumah itu hanya tinggal sedikit. Aku memberi 80 persennya untuk kau kelola. Tapi sampai detik ini tak ada kabar. Setiap aku membahas masalah itu kamu selalu bilang, sabar, ya'. Aku capek, Son, capek nanyain kejelasan semuanya." Inez beranjak ke dalam sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Laki-laki itu tersulut emosi. Namun, semampunya ia meredamnya. Jika bukan Inez, siapa lagi yang bisa diandalkan saat ini. Sony menguyar rambut kasar. Pikirannya penuh sesak tentang kerusakan mobil hingga bisnis yang dijanjikan temannya. Benar kata Inez, dirinya memang hanya dijanjikan tanpa ada kepastian.Ia beranjak masuk, berniat membujuk perempuan itu agar mau membantunya. Nampak Inez tengah tiduran di sofa mewah di depan TV bersama Rafa. Rafa sibuk memainkan leggo, mem
"Abang memiliki rasa padanya?" Selidik Hana. Hakim menggeleng pelan. "Menganggapnya sebatas adik. Tak lebih," aku Hakim. "Kalau begitu, aku tak memiliki alasan untuk cemburu," jawab Hana berusaha menutupi rasanya. Ya, sejujurnya rasa cemburu itu tetap ada. Namun, melihat sikap Hakim tadi membuatnya merasa tak pantas menunjukkan rasa dengan cara berlebihan. "Kau yakin?" tanya Hakim dengan menaikkan sebelah alis. Hana hanya tersenyum simpul. "Syukurlah …." Hakim nampak lega. "Oh, ya, boleh aku berbicara tentang kita?" tanya Hakim kemudian. "Tentang kita?" Hana mengulang pertanyaan Hakim sambil tersenyum geli. "Jangan tertawa!" Hakim terkekeh. "Siapa yang tertawa?" "Barusan?" Telunjuk itu terarah pada Hana. "Itu senyum. Apakah seorang dengan pangkat manager di perusahaan besar tak bisa membedakan mana senyum dan mana tertawa?" ledek Hana. "Baiklah … ya, kau barusan hanya tersenyum. Aku sadar karena lelaki memang tempatnya salah, terlepas dari apa jabatan pekerjaan maupun tite
Cincin yang fotonya bulan lalu di kirim Dewi padanya. Ya, Dewi mengatakan jika Hakim memintanya memilih model yang paling bagus. Dan pilihan Dewi jatuh pada cincin yang kini melingkar di jari manis Hana. "Aamiin," ucap Hakim dan Hana bersamaan sambil melempar senyum. Susah payah Rena menelan ludah sendiri. Melihat raut wajah dua orang di hadapannya itu saat saling tersenyum, mampu membuat hatinya meringis. Ada beban yang tiba-tiba menghimpit dada, menciptakan sesak. Hayalannya tentang bagaimana cincin itu melingkar indah di jari manisnya kini pupus sudah. Semua mimpi-mimpinya tentang masa depan bersama Hakim seketika kandas. Ada luka yang baru saja tergores di hati, luka karena perasaan berlebih pada orang yang salah. Jika saja ia tengah sendiri, ingin rasanya meluahkan rasa lewat air mata. Sekian lama ia berusaha menampilkan yang terbaik di hadapan Hakim maupun keluarganya. Namun, semua hanya kesia-siaan. Dua tahun waktunya menjaga hati untuk Hakim sama sekali tak dihargai. Ent