Om Dirga membawa kami melaju menuju Leiden Zieken Huis, melewati jalan-jalan yang terlihat sepi. Kosong menurutku, andai kami nggak melintas. Mungkin karena masih terlalu pagi, jadi orang-orang masih menikmati sarapan mereka bersama keluarga. Begitu, atau justru mereka sudah berangkat bekerja tadi, pagi-pagi sekali. Oooh, nggak, mungkin mereka sedang berlibur ke luar kota dan hanya tersisa kami di sini. Om Dirga sekeluarga dan kami. Keluarga kecil Kenzy Van Snoek. Percayalah, kata-kataku ini nggak akurat jadi tolong, jangan didengar. Abaikan saja!
"Om," panggilku lirih nyaris tak terdengar, setelah menimbang-nimbang beberapa menit lamanya, "May I ask you some questions?" tanyaku sambil membenarkan posisi duduk, "It is about Kenzy dan Me!"
Sumpah!
Aku juga nggak tahu, b
"Belum selesai, Om?" aku bertanya dengan nada frustrasi dan lumat, lebih lumat dari makanan bayi yang baru belajar makan, "Masih ada lagi ya, Om?"Huaaa, ooohhh, my God!Seperti itu belum cukup untuk meluluh lantakkan diriku saja? Kenapa nggak sekalian melemparkanku ke lautan lepas sih, dulu itu? Ah, atau melepaskanku di balon udara yang dibawahnya sudah terikat bom nuklir atau apalah yang bisa meledakkanku di udara. Biar puas sampai tetes darah terakhir!Sekarang, siapa yang akan bertanggung jawab kalau ternyata seperti itu keadaannya? Papa atau Kenzy? Ya ampuuun, ooohhh, my God! Bagaimana mungkin Kenzy, sedangkan dia dalam keadaan kritis? Ah! Jelas, Papa lah yang seharusnya bertanggung jawab. Semua ini kan, karena ulahnya yang bodoh dan ceroboh? Sayembara Menuai
Dengan semangat hidup yang memancar penuh di raut wajahnya, Kenzy meraih jari-jemari tanganku. Dingin. Itu yang kurasakan dari genggamannya. Ah! Maksudku, jari-jemari tangan Kenzy terasa begitu dingin. Sedingin es, sehingga membuatku tertancap berjuta-juta anak panah bernama ketakutan. Kalau benar, dia dalam keadaan baik-baik saja seperti yang dikatakan Om Dirga tadi, bagaimana bisa tubuhnya sedingin ini? Iya, sungguh. Dalam perasaan khawatir yang mendera, aku melepaskan tangan kanan dari genggaman Kenzy, meraba telapak kakinya. Sama, dingin. Sedingin es."Kenzy, kamu kedinginan?" pertanyaan bodoh yang terlontar begitu saja dari mulutku, tentu saja, "Are you allright, Kenzy? How do you feel, Kenzy?"Kenzy mengeratkan genggaman tangannya, "I am OK, Nya Anyelir! Don't worry about me, allright?"
Semua orang membujukku untuk pulang, istirahat di rumah meskipun hanya beberapa jam tapi aku bergeming. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Kenzy sendirian di rumah sakit? Memang, ada Om Dirga yang berjaga-jaga di ruang tunggu tapi kan, beda? Kalau sewaktu-waktu dia sadar, bagaimana? Kenzy pasti mencariku. Mustahil. Mustahil. Mustahil. Mustahil aku pulang. Di rumah pun aku yakin, nggak akan Bisa istirahat. Iya, kan? Oooh, ooohhh, seluruh bagian dari diri Kenzy berenang-renang di hatiku. Sungguh.Mungkin, inilah yang disebut dengan jodoh asli, buah dari perjodohan palsu! Cinta sejati yang bertumbuh subur di atas sayembara gila. Mungkin. Ummm, semoga. Belum genap satu musim memang---musim panas baru berjalan satu setengah bulan---tapi rasanya sudah berabad-abad aku mencintai Kenzy. Begitu juga sebaliknya, meskipun Kenzy dalam keadaan sakit tapi aku bisa merasakan bagaimana hatinya me
Siapa yang dapat menduga kalau akan seperti ini keadaannya? Segala perjuangan Kenzy untuk memperbaiki diri justru mendapat hadiah yang luar biasa dari Tuhan. Liver Cancer dan sekarang masih dalam keadaan koma. Siapa juga yang dapat menduga, segala perjuangan kami untuk bisa saling menerima akhirnya harus dihadapkan pada kenyataan hidup yang sepahit ini. Well, adakah kisah cerita yang lebih pahit dari pada kisah cinta kami? Oh God, apa masih ada harapan, sekarang? Setelah Kenzy koma dan sudah tiga hari ini, belum pernah membuka mata sama sekali? Oooh, ooohhh, aku merasa seperti nyala api di sebatang lilin kecil yang diterpa angin kencang. Berkali-kali, sehingga meliuk-liuk, mengecil dan membesar lagi. Begitu seterusnya, terombang-ambing.'Oooh, ooohhh, my God! Please, recover him from the suffering of the cancer's cells, for me. For our future of life and every beautiful moments we creat
Album foto Kenzy ✔Smartphone Kenzy (Dua-duanya) ✔Angel + kotak pensil Sun flower ✔Baju ganti untuk tiga hari ✔Buku bacaan, majalah, tabloid ✔Obat vertigo ✔Menstruation Path ✔Lagi, aku memeriksa tas perlengkapan yang akan kubawa ke rumah sakit setelah tadi mengosongkan isinya---pakaian kotor kami---dan memasukkannya ke dalam mesin cuci. Semuanya sudah lengkap, sesuai dengan yang kutulis di buku memo. Sekarang, sambil menunggu mesin cuci selesai bekerja, aku akan sedikit berbelanja ke kopermolen. Bukan, bukan untuk keperluan dapur, tentu saja. Aku ingin mencetak foto kami, sehari sebelum Kenzy demam tinggi dan
Papa pulang ke Sleedorn Tuin sore ini, diantarkan Om Dirga. Jadi fixed, malam ini aku sendirian menjaga Kenzy di rumah sakit, karena Om Dirga harus menemani Papa. Itulah mengapa, sedari tadi sibuk menyiapkan segala hal untuk lebih intensif mengaktifkan kesadaran Kenzy. Pening, rasanya. Pening kuadrat. Tahukah kalian? Begitu banyak ide dan rencana menjejali ruang pemikiran yang terasa kian menyempit. Ruwet dan rumit. Tapi aku memilih untuk mendahulukan album foto Kenzy dan Kinanti, tentu saja. Ya, yaaahhh, meskipun kadang-kadang rasa cemburu membakar pinggiran hati tapi apa boleh buat? Dalam situasi sepenting dan segenting ini, aku nggak mungkin egois dan emosional, bukan? Toh, kalau Kenzy sadar, aku juga yang bahagia. Bukan Kinanti. Iya, kan?Sooo, this is it!Seperti biasa, aku menggenggam telapak tangan kiri Kenzy dan mengaja
Leiden, 28 September 2018Dear Angel,Begitu banyak yang terjadi dan yang paling besar adalah Kenzy yang masih koma. Bukan hanya itu. Bahkan, secara medis, harapan hidup Kenzy hanya tinggal lima sampai sepuluh persen lagi. Jadi, kalau dokter yang menangani melepaskan semua alat penunjang kehidupannya, kemungkinan besar---Miss D mengatakan tanpa kemungkinan yang berarti pasti---Kenzy akan meninggal dunia. Well, tentu saja, aku nggak mengizinkan siapapun dokter ahli kanker di dunia ini untuk melakukannya! Kamu tahu kan Angel, apa maksudku? Hidup dan mati manusia, mutlak berada di tangan Tuhan. Iya kan, Angel?OK!Kalaupun Kenzy harus meninggal Angel, jangan karena kami melepaskan jarum infus atau ventilatorn
Papa kembali ke rumah sakit, setelah tiga hari beristirahat di rumah. Om Dirga hanya menjenguk Kenzy sebentar lalu kembali ke kantor, karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi, aku memanfaatkan kesempatan berdua kami untuk berbicara. Sebisa mungkin, dari hati ke hati dan tanpa lonjakan emosi. Selain sadar kalau ini rumah sakit, kami juga nggak pernah bertengkar selama ini. Belum pernah. Nggak lucu kan, kalau dalam kondisi Kenzy yang masih koma, kami justru bertengkar?"Papa," aku memanggil setelah selesai mengepang rambut ala Elsa dan mengikatnya dengan karet gelang, "Ada yang perlu Anyelir tanyakan Pa, boleh?"Aku memindai kebohongan di bola mata Papa. Kebohongan yang nggak kuharapkan sama sekali, sebenarnya. Emmmhhh, pasti Papa lupa kalau dia bahkan selalu mengancamku dengan rotan untuk setiap kebohong
De Swiiing!Entah bagaimana awalnya, aku nggak terlalu ingat, rasa-rasanya ada sesuatu yang aneh di ruang perawatan ini tapi nggak tahu, apa. Om Dirga masih berdiri sambil menyedekapkan tangan di bawah kaki Kenzy, sama seperti posisinya semula. Miss D sudah selesai melepaskan sonde dan sekarang Doctor, dibantu Nurse mulai melepaskan jarum infus yang tertancap di punggung tangan sebelah kanan. Mereka melakukan transfusi darah dari sana. Sampai di sini aku memandang ke segala arah, mengingat keanehan yang sempat kurasakan tadi.Nothing is weird but I feel that!Kembali, aku memandangi wajah Kenzy yang kadang-kadang tertutup tangan Doctor atau Nurse karena pekerjaan mereka melepas ventilator belum selesai. Wajah yang kalau dalam keadaan sehat terlihat tampan dengan
Di antara bayang-bayang Kenzy yang mengulum senyum manis dan segenggam kebahagiaan, aku menguatkan diri untuk tanda tangan. Meskipun air mata tak kunjung berhenti dan keringat dingin semakin deras mengalir, aku berusaha untuk menguatkan diri. Kuat, tegar untuk Kenzy. Demi suami tercinta sepanjang masa. Miss D dan Doctor menunggu dengan sabar di seberang meja. Tenang, Miss D mengusap-usap punggung tanganku, senyumnya terlihat tipis tapi tulus. Sementara Doctor duduk bersedekap tangan dengan raut wajah setegang robot lowbat.Sungguh, sampai detik ini, aku masih merasa jahat!Jahat, karena harus melalukan semua ini, meskipun itu demi kebaikan Kenzy. Cukup, cukup satu musim dia menjalani masa komanya. Nanti, besok jangan lagi. Aku sudah nggak sanggup lagi melihatnya seperti ini. Oooh, ooohhh, my God! Baru satu kali itu aku me
"Kamu …?" aku mendelik menatapnya, "Ngapain kamu ke sini, keluar!"Betapa terkejutnya aku, saat Kenzy dengan tenang dan santainya masuk ke kamarku. Padahal, sebelum ijab qabul tadi sudah berjanji kalau nggak akan pernah menginjakkan kakinya di sini. Wuaaahhh, sepertinya dia meremehkan ya, kan?"Kenzy, keluar!" dengan amarah yang semakin membesar, aku menunjuk ke arah pintu, "Keluar, Kenzy!"Tap, tap, tap!Terdengar langkah kaki Papa menuju ke sini, membuat kami sama-sama terkejut. Mungkin Kenzy pun bingung harus bagaimana, jadi dia mendekat padaku, sedekat-dekatnya. Tentu saja, itu masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan saat Papa sudah benar-benar muncul di depan pintu, Kenzy me
Miss D terperangah, menatapku dengan karakter kucing yang dilanda konflik besar, antara harus mencuri ikan di atas meja atau menahan lapar sampai diberi makan oleh majikannya. Tapi aku tak peduli lagi, tentu saja. Apa yang harus kupedulikan? Itu, ventilator, sonde, jarum infus yang melekat di tubuh Kenzy sudah tak berguna lagi kan? Sudah nggak ada fungsinya lagi, kan? Untuk apa dilanjutkan? Hanya menambah kedalaman luka saja!"Please, do that now, Miss D?" aiu meratap-ratap, memohon dengan segala perasaan yang merasuki diri, "For Kenzy, For me …!"Dalam detik-detik yang berdetak begitu cepat, seolah-oleh roda mobil yang melaju cepat ke sebuah tempat di lereng bukit, kami saling berpandangan dengan mulut ternganga. Aku, napasku memburu, selayaknya seorang prajurit yang berhadapan dengan seseorang yang sangat penting untuk
Papa meraih pergelangan tanganku, menahannya dengan sedikit tekanan yang menyakitkan, tentu saja. Hal yang belum pernah Papa lakukan selama aku menjadi anak pungutnya. Well, aku yakin, seluruh dunia juga tahu, selembut dan semanis apa Papa memperlakukan aku selama ini. Ah, lebih lembut dari butiran salju. Lebih manis dari es krim susu vanilla. Jadi, kalau sampai Papa melakukan itu, berarti ada sesuatu yang bersifat penting dan genting.What is that?I don't know!Yeaaahhh, only he knows, of course!"Anyelir!" Papa memanggil dengan suara bergetar yang aku nggak tahu kenapa, nggak ingin tahu juga, "Kamu, nggak mau ikut nganterin Papa ke bandara, besok pagi?"Finallly H
Hanya bisa bernapas dan memandang ke arah mama Sophia dengan mata yang semakin memburam oleh air mata. Aku merasa benar-benar terjepit sekarang. Terjepit di antara dua bilah pedang yang berkilau tajam plus haus darah. Oooh, ooohhh, my God! Kenzy masih koma, bahkan harapan hidupnya semakin menipis. Bisa dikatakan habis, malah. Sudah begitu, seolah-olah itu belum cukup untuk meluluh lantakkan seluruh hati dan perasaan yang terkandung di dalamnya, Papa menyingkap tabir rahasia tentang hidupku yang sesungguhnya.Jahat. Jahat. Jahat.Apa, apa yang bisa kuharapkan sekarang?Apa masih ada harapan?Papa menjadikan aku Musim Semi, Little Princess dan Anyelir Nuansa Asmara hanya untuk dijadikan pengisi kotak hadiah
Papa kembali ke rumah sakit, setelah tiga hari beristirahat di rumah. Om Dirga hanya menjenguk Kenzy sebentar lalu kembali ke kantor, karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi, aku memanfaatkan kesempatan berdua kami untuk berbicara. Sebisa mungkin, dari hati ke hati dan tanpa lonjakan emosi. Selain sadar kalau ini rumah sakit, kami juga nggak pernah bertengkar selama ini. Belum pernah. Nggak lucu kan, kalau dalam kondisi Kenzy yang masih koma, kami justru bertengkar?"Papa," aku memanggil setelah selesai mengepang rambut ala Elsa dan mengikatnya dengan karet gelang, "Ada yang perlu Anyelir tanyakan Pa, boleh?"Aku memindai kebohongan di bola mata Papa. Kebohongan yang nggak kuharapkan sama sekali, sebenarnya. Emmmhhh, pasti Papa lupa kalau dia bahkan selalu mengancamku dengan rotan untuk setiap kebohong
Leiden, 28 September 2018Dear Angel,Begitu banyak yang terjadi dan yang paling besar adalah Kenzy yang masih koma. Bukan hanya itu. Bahkan, secara medis, harapan hidup Kenzy hanya tinggal lima sampai sepuluh persen lagi. Jadi, kalau dokter yang menangani melepaskan semua alat penunjang kehidupannya, kemungkinan besar---Miss D mengatakan tanpa kemungkinan yang berarti pasti---Kenzy akan meninggal dunia. Well, tentu saja, aku nggak mengizinkan siapapun dokter ahli kanker di dunia ini untuk melakukannya! Kamu tahu kan Angel, apa maksudku? Hidup dan mati manusia, mutlak berada di tangan Tuhan. Iya kan, Angel?OK!Kalaupun Kenzy harus meninggal Angel, jangan karena kami melepaskan jarum infus atau ventilatorn
Papa pulang ke Sleedorn Tuin sore ini, diantarkan Om Dirga. Jadi fixed, malam ini aku sendirian menjaga Kenzy di rumah sakit, karena Om Dirga harus menemani Papa. Itulah mengapa, sedari tadi sibuk menyiapkan segala hal untuk lebih intensif mengaktifkan kesadaran Kenzy. Pening, rasanya. Pening kuadrat. Tahukah kalian? Begitu banyak ide dan rencana menjejali ruang pemikiran yang terasa kian menyempit. Ruwet dan rumit. Tapi aku memilih untuk mendahulukan album foto Kenzy dan Kinanti, tentu saja. Ya, yaaahhh, meskipun kadang-kadang rasa cemburu membakar pinggiran hati tapi apa boleh buat? Dalam situasi sepenting dan segenting ini, aku nggak mungkin egois dan emosional, bukan? Toh, kalau Kenzy sadar, aku juga yang bahagia. Bukan Kinanti. Iya, kan?Sooo, this is it!Seperti biasa, aku menggenggam telapak tangan kiri Kenzy dan mengaja