Jlep, plaaasss!
Aku baru saja selesai mandi, masih dalam balutan bath jas putih polos fasilitas hotel karena baju tidur tertinggal di kamar ketika Kenzy entah apa yang dilakukannya di sana, berdiri tegak di samping jendela. Kalau nggak salah, karak antara jendela itu dengan pintu kamar mandi ini, sekitar lima tiga meter. Aku juga nggak terlalu memperhatikan, apakah Kenzy menghadap ke luar jendela atau sebaliknya. Hanya satu yang menyerap konsentrasi secara utuh saat ini, berjalan dengan hati-hati ke tempat tidur, jangan sampai terjauh dalam bentuk apapun. Pastinya, nggak mau disentuh Kenzy lagi meskipun dalam keadaan tak sadarkan diri. Modus! Well, vertigo masih menjajah tubuhku dengan segala kekuasaannya sehingga terasa begitu berat. Kepala yang terasa pusing berputar-putar, juga perut yang mual kuadrat kali empat
Dalam detik-detik yang berdetak begitu cepat, seolah-olah roda yang berputar menuju ke suatu tempat, aku dihunjam ketakutan yang tak tergambarkan. Belum. Selama ini Kenzy belum pernah bersikap seserius dan setegas itu di depanku. Serius, tegas sekaligus lembut namun justru berhasil menciptakan kengerian hanya dalam waktu kurang dari lima sepuluh detik. Wuaaahhhh, Kenzy menggenggam erat-erat Tulip di tangan kanannya, seolah-olah itu selembar kertas yang baru saja dirobeknya karena banyak typo saat menulis. Dia benar-benar terlihat geram, sekarang. Wajahnya terlihat semerah batu bata, tanpa senyuman barang satu inci dan kedua bola matanya yang biru tergenang air. Nyaris tumpah.Di sini, di tepi tempat tidur, aku hanya bisa menunduk memejamkan mata, rapat-rapat. Terutama setelah Kenzy dengan gerakan selembut angin memutar ba
Hampir tengah malam dan kami belum tidur. Sebenarnya, aku sudah nggak sanggup lagi menahan kantuk tapi bagaimana lagi, Kenzy masih sibuk dengan Tulip. Karena merasa bersalah, dia mewajibkan diri untuk memastikan kalau semuanya dalam keadaan baik-baik saja. Overall, kondisi Tulip sehat, sih. Tapi Kenzy berdalih, kekuatan amarah bisa lebih parah dari ketinggian gedung pencakar langit. Jadi, di sinilah kami sekarang berada, di atas hamparan karpet bulu di sisi tempat tidur, memeriksanya. Mulai dari touch screen (terutama, karena ini yang paling penting), speaker, torch dan yang terakhir camera.Meskipun terlihat lega, Kenzy tetap membuka Tulip, memeriksa bagian dalam, "Nya, sekuat apapun smartphone, akan menjadi rapuh kalau berhadapan dengan bara amarah dalam diri Kenzy Van Snoek!"
Perlahan-lahan namun pasti, mobil mewah yang tadi menjemput kami di bandara memasuki halaman rumah yang terlihat mewah dan megah di bilangan Jalan Sosrowijayan. Refleks, aku menggenggam jari-jemari tangan Kenzy yang terasa dingin. Sejujur-jujurnya kukatakan, dadaku dipenuhi dengan gelenyar-gelenyar lembut yang menyakitkan. Menyesakkan, sehingga dalam hati berdoa sekhusyuk mungkin, semoga nggak vertigo lagi. Jangan, jangan. Ya ampuuun! Jauh-jauh pulang dari Sleedorn Tuin hanya untuk menjadi pusat perhatian karena muntah-muntah hebat atau malah pingsan? Wuaaahhhh, big no!Kenzy memandang wajahku dari samping, begitu dirver memarkir mobil berwarna putih mengikat itu di samping pohon kelengkeng yang berbuah sangat lebat. Sekian detik kemudian, dia mendesah berat, menghela napas panjang. Serta merta aku menoleh, menyelam hingga ke d
Jujur, kagum pada ketabahan Kenzy. Meskipun sempat ambyar kuadrat---terutama saat di makam Papa Snoek dia terlihat shocked dan nyaris pingsan---tapi lekas membaik dari waktu ke waktu. Sekarang malah sudah terlihat tenang dan mulai bisa tersenyum. Salut, salut, salut. Kalau aku, mungkin masih pingsan-pingsan sampai tahun ke depan. Oh, nggak, sepuluh tahun yang akan datang. Ya ampuuun! Aku kan, hanya punya Papa di dunia ini? Ya, yaaahhh ada Kenzy, sih. Tapi kan, nghak mungkin menjadi Papa? Iya, kan?Aku, menceritakan ini, bukan berarti lebih tabah dari pada Kenzy. Bagaimana mungkin? Laaah, baru sampai di makam saja, aku sudah nggak berdaya. Nggak, atas saran Mbak Pie dan Pak Sinto, aku nggak menangis sama sekali tapi rasanya seperti tubuh yang kehilangan ruh. Terlebih, saat melihat foto Papa Snoek yang diletakkan di a
Ternyata, Arunika datang ke rumah Sosrowijayan untuk menemui aku, atas permintaan Galih. Pelan-pelan sekali, nyaris berbisik dia menyampaikan itu padaku, "Sorry Nya, Galih yang nyuruh gue ke sini buat nemuin Lo. Lo nggak apa-apa kan, Nya?"Sumpah!Meskipun jetlag parah tapi aku masih bisa mengingat, bagaimana Kenzy telah mengancam Galih waktu kami bermalam di Changi Airport Hotel. Dia akan membuat Galih tutup buku kehidupan kalau sampai berani mengganggu atau mendekati aku lagi. Tapi ini, dia malah meminta Arunika untuk mengunjungi aku, bayangkan! Well, meskipun Kenzy terlihat tenang dan santai, seolah-olah nggak peduli tapi jangan meremehkan dia, lho. I mean look, he can be the strongest boxer in the world, really. By t
Time flies so fast!Tahu-tahu sudah satu minggu kami di Yogyakarta Hadiningrat, kota yang begitu berarti dan berharga. Terutama bagiku. Bukan hanya lahir, aku juga tumbuh dan besar di sini. Banyak cerita yang nggak bisa aku tuliskan satu per satu, selama aku tinggal di sini. Suka, duka, tangis, tawa … Beraneka rupa dan penuh warna. Standing applause! Karena dengan semua yang pernah membuat hati ini remuk dan lumat, aku masih bisa tersenyum. Dengan penuh keberanian dan rasa percaya diri, menatap dunia yang tak bersekat, tak terbatas. Mengalir seperti air sungai menuju samudera luas, meskipun kadang-kadang ingin berhenti dan mengakhiri semuanya cukup sampai di titik tertentu. Titik yang bagiku memberikan daya mati.Ah!
What the life!Siapa yang bisa menebak kehendak Tuhan? Nggak ada. Siapapun dia, yang mengaku bisa, berarti dia sudah sesat. Kita, manusia, hanya bisa berencana namun hasil akhirnya tetap berada dalam genggaman kekuasaan Tuhan. Apa saja yang Tuhan kehendaki terjadi, pasti terjadi. Ah! Termasuk meninggalnya Papa Snoek. Walaupun air mata kami berubah menjadi darah sekalipun, tetap itulah yang akan terjadi. Iya, kan? Huaaa, ooohhh, my God! 'Please, give Papa Snoek the most beautiful place there, beside of You.'"Kenzy," panggilku lirih sambil menggenggam jari-jemari tangannya yang dingin, "Kenzy, mau nggak nganterin aku ke lavatory?" aku bertanya dengan hati-hati, "Aku takut, Kenzy!"
Gemetar, aku mengembalikan smartphone Kenzy di atas tas punggungnya, sebisa mungkin sama persis seperti semula. Siapa tahu kan, ternyata Kenzy memiliki karakter perfectionist precious? Itu, karakter yang memperjuangkan kesempurnaan dalam segala sisi kehidupan. Precious atau presisi, kalau meletakkan atau menyimpan sesuatu harus sama persis dengan yang ada di dalam konsepnya. Yeaaahhh, who knows? OK! Semoga ini sudah sama persis dengan posisinya semula, sedikit lebih ke pinggiran tas yang sebelah kiri dan sedikit miring ke kanan.It is finished and now back to the chat!Anak menantu idaman. Anak menantu idaman. Anak menantu idaman. Maksudnya apa, coba? Oh yaaa, satu lagi, Kenzy terima kasih karena kamu sudah membantu kami
De Swiiing!Entah bagaimana awalnya, aku nggak terlalu ingat, rasa-rasanya ada sesuatu yang aneh di ruang perawatan ini tapi nggak tahu, apa. Om Dirga masih berdiri sambil menyedekapkan tangan di bawah kaki Kenzy, sama seperti posisinya semula. Miss D sudah selesai melepaskan sonde dan sekarang Doctor, dibantu Nurse mulai melepaskan jarum infus yang tertancap di punggung tangan sebelah kanan. Mereka melakukan transfusi darah dari sana. Sampai di sini aku memandang ke segala arah, mengingat keanehan yang sempat kurasakan tadi.Nothing is weird but I feel that!Kembali, aku memandangi wajah Kenzy yang kadang-kadang tertutup tangan Doctor atau Nurse karena pekerjaan mereka melepas ventilator belum selesai. Wajah yang kalau dalam keadaan sehat terlihat tampan dengan
Di antara bayang-bayang Kenzy yang mengulum senyum manis dan segenggam kebahagiaan, aku menguatkan diri untuk tanda tangan. Meskipun air mata tak kunjung berhenti dan keringat dingin semakin deras mengalir, aku berusaha untuk menguatkan diri. Kuat, tegar untuk Kenzy. Demi suami tercinta sepanjang masa. Miss D dan Doctor menunggu dengan sabar di seberang meja. Tenang, Miss D mengusap-usap punggung tanganku, senyumnya terlihat tipis tapi tulus. Sementara Doctor duduk bersedekap tangan dengan raut wajah setegang robot lowbat.Sungguh, sampai detik ini, aku masih merasa jahat!Jahat, karena harus melalukan semua ini, meskipun itu demi kebaikan Kenzy. Cukup, cukup satu musim dia menjalani masa komanya. Nanti, besok jangan lagi. Aku sudah nggak sanggup lagi melihatnya seperti ini. Oooh, ooohhh, my God! Baru satu kali itu aku me
"Kamu …?" aku mendelik menatapnya, "Ngapain kamu ke sini, keluar!"Betapa terkejutnya aku, saat Kenzy dengan tenang dan santainya masuk ke kamarku. Padahal, sebelum ijab qabul tadi sudah berjanji kalau nggak akan pernah menginjakkan kakinya di sini. Wuaaahhh, sepertinya dia meremehkan ya, kan?"Kenzy, keluar!" dengan amarah yang semakin membesar, aku menunjuk ke arah pintu, "Keluar, Kenzy!"Tap, tap, tap!Terdengar langkah kaki Papa menuju ke sini, membuat kami sama-sama terkejut. Mungkin Kenzy pun bingung harus bagaimana, jadi dia mendekat padaku, sedekat-dekatnya. Tentu saja, itu masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan saat Papa sudah benar-benar muncul di depan pintu, Kenzy me
Miss D terperangah, menatapku dengan karakter kucing yang dilanda konflik besar, antara harus mencuri ikan di atas meja atau menahan lapar sampai diberi makan oleh majikannya. Tapi aku tak peduli lagi, tentu saja. Apa yang harus kupedulikan? Itu, ventilator, sonde, jarum infus yang melekat di tubuh Kenzy sudah tak berguna lagi kan? Sudah nggak ada fungsinya lagi, kan? Untuk apa dilanjutkan? Hanya menambah kedalaman luka saja!"Please, do that now, Miss D?" aiu meratap-ratap, memohon dengan segala perasaan yang merasuki diri, "For Kenzy, For me …!"Dalam detik-detik yang berdetak begitu cepat, seolah-oleh roda mobil yang melaju cepat ke sebuah tempat di lereng bukit, kami saling berpandangan dengan mulut ternganga. Aku, napasku memburu, selayaknya seorang prajurit yang berhadapan dengan seseorang yang sangat penting untuk
Papa meraih pergelangan tanganku, menahannya dengan sedikit tekanan yang menyakitkan, tentu saja. Hal yang belum pernah Papa lakukan selama aku menjadi anak pungutnya. Well, aku yakin, seluruh dunia juga tahu, selembut dan semanis apa Papa memperlakukan aku selama ini. Ah, lebih lembut dari butiran salju. Lebih manis dari es krim susu vanilla. Jadi, kalau sampai Papa melakukan itu, berarti ada sesuatu yang bersifat penting dan genting.What is that?I don't know!Yeaaahhh, only he knows, of course!"Anyelir!" Papa memanggil dengan suara bergetar yang aku nggak tahu kenapa, nggak ingin tahu juga, "Kamu, nggak mau ikut nganterin Papa ke bandara, besok pagi?"Finallly H
Hanya bisa bernapas dan memandang ke arah mama Sophia dengan mata yang semakin memburam oleh air mata. Aku merasa benar-benar terjepit sekarang. Terjepit di antara dua bilah pedang yang berkilau tajam plus haus darah. Oooh, ooohhh, my God! Kenzy masih koma, bahkan harapan hidupnya semakin menipis. Bisa dikatakan habis, malah. Sudah begitu, seolah-olah itu belum cukup untuk meluluh lantakkan seluruh hati dan perasaan yang terkandung di dalamnya, Papa menyingkap tabir rahasia tentang hidupku yang sesungguhnya.Jahat. Jahat. Jahat.Apa, apa yang bisa kuharapkan sekarang?Apa masih ada harapan?Papa menjadikan aku Musim Semi, Little Princess dan Anyelir Nuansa Asmara hanya untuk dijadikan pengisi kotak hadiah
Papa kembali ke rumah sakit, setelah tiga hari beristirahat di rumah. Om Dirga hanya menjenguk Kenzy sebentar lalu kembali ke kantor, karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi, aku memanfaatkan kesempatan berdua kami untuk berbicara. Sebisa mungkin, dari hati ke hati dan tanpa lonjakan emosi. Selain sadar kalau ini rumah sakit, kami juga nggak pernah bertengkar selama ini. Belum pernah. Nggak lucu kan, kalau dalam kondisi Kenzy yang masih koma, kami justru bertengkar?"Papa," aku memanggil setelah selesai mengepang rambut ala Elsa dan mengikatnya dengan karet gelang, "Ada yang perlu Anyelir tanyakan Pa, boleh?"Aku memindai kebohongan di bola mata Papa. Kebohongan yang nggak kuharapkan sama sekali, sebenarnya. Emmmhhh, pasti Papa lupa kalau dia bahkan selalu mengancamku dengan rotan untuk setiap kebohong
Leiden, 28 September 2018Dear Angel,Begitu banyak yang terjadi dan yang paling besar adalah Kenzy yang masih koma. Bukan hanya itu. Bahkan, secara medis, harapan hidup Kenzy hanya tinggal lima sampai sepuluh persen lagi. Jadi, kalau dokter yang menangani melepaskan semua alat penunjang kehidupannya, kemungkinan besar---Miss D mengatakan tanpa kemungkinan yang berarti pasti---Kenzy akan meninggal dunia. Well, tentu saja, aku nggak mengizinkan siapapun dokter ahli kanker di dunia ini untuk melakukannya! Kamu tahu kan Angel, apa maksudku? Hidup dan mati manusia, mutlak berada di tangan Tuhan. Iya kan, Angel?OK!Kalaupun Kenzy harus meninggal Angel, jangan karena kami melepaskan jarum infus atau ventilatorn
Papa pulang ke Sleedorn Tuin sore ini, diantarkan Om Dirga. Jadi fixed, malam ini aku sendirian menjaga Kenzy di rumah sakit, karena Om Dirga harus menemani Papa. Itulah mengapa, sedari tadi sibuk menyiapkan segala hal untuk lebih intensif mengaktifkan kesadaran Kenzy. Pening, rasanya. Pening kuadrat. Tahukah kalian? Begitu banyak ide dan rencana menjejali ruang pemikiran yang terasa kian menyempit. Ruwet dan rumit. Tapi aku memilih untuk mendahulukan album foto Kenzy dan Kinanti, tentu saja. Ya, yaaahhh, meskipun kadang-kadang rasa cemburu membakar pinggiran hati tapi apa boleh buat? Dalam situasi sepenting dan segenting ini, aku nggak mungkin egois dan emosional, bukan? Toh, kalau Kenzy sadar, aku juga yang bahagia. Bukan Kinanti. Iya, kan?Sooo, this is it!Seperti biasa, aku menggenggam telapak tangan kiri Kenzy dan mengaja