Blank. Blank. Blank.
Itu yang kurasakan begitu sampai di depan pintu pagar. Kosong dalam arti bingung, dengan semua yang terjadi dalam hidupku akhir-akhir ini. Lebih tepatnya, semenjak memergoki Elize dan Kenzy menikmati kemesraan mereka di depan rumah Elize. Begitu menikmatinya kukira, sehingga tak ada seorang pun yang menyadari keberadaanku di sana. Di jalan kecil menuju rumah kami yang jaraknya tak lebih dari lima belas meter.
Kalau Elize dalam posisi membuka mata, seharusnya ekor matanya bisa menangkap bayanganku. Rasionalnya begitu, bukan? Ya ampuuun, aku kan, bukan patung yang terekat di jalan? Kecuali, yeaaahhh, dia sengaja melakukan itu untuk membakar hatiku sampai hangus.
Auuuhhh, benarkah?Terakhir berjumpa dengannya, di Home Room sepekan yang lalu. Saat dia mengatakan kalau harus mengantarkan titipan ibunya untuk temannya. Dia juga meminta maaf karena nggak sempat memberitahuku sebelumnya. Jadi, dengan nada bicara yang berat, dia mengatakan, "Sorry Sa, kamu jadi pulang sendirian?"Untung, walaupun remuk hati dan jujur sedikit tersinggung dengan sikapnya, tapi aku masih bisa menjawab dengan sopan, "No, it's allright, Sophia! Ya ampuuun, aku kan, bukan anak kecil!"Kami sama-sama tertawa, waktu itu. Saling menatap, mengulas senyuman dan akhirnya melambaikan tangan dengan penuh saya
Kamuflase Penambah Luka"Anyelir, please ...?" Kenzy masih memohon-mohon, meratap-ratap di sampingku, "Aku kan, sudah minta maaf? Aku benar-benar khilaf tadi, sumpah. Janji deh, besok nggak lagi!" terangnya, sambil menyentuh punggungku yang sudah basah oleh keringat namun kuhempaskan dengan emosional.Bukannya menyerah atau bagaimana, Kenzy malah mengikutiku berdiri, menyambar beberapa lembar tissue dan mengangsurkannya padaku, "Anyelir, sekali lagi aku minta maaf, ya? Sumpah, aku nggak bermaksud nyakitin kamu, kok. Nggak bermaksud buat kamu tergores dan nangis sampai kayak gini, sumpah!"Aku nggak percaya.
Leiden, 27 Maret 2018Dear Angel,Apa yang bisa kuceritakan padamu hari ini? Ada banyak, sebenarnya. Banyak sekali. Tapi aku hanya ingin membagikan yang ini untukmu. Jangan marah, ya? Jangan tersinggung!Hoaaa, Sophia meninggal dunia empat hari yang lalu karena gerd. Ugh, jahat banget nggak, sih? Memangnya, seberapa tinggi sih, asam lambungnya sampai bisa membuat dia meninggal?Oooh, Sophia!RIP
De swiiing!Kenzy memoles wajahnya dengan senyuman yang super duper manis, padahal aku mendelik maksimal. Maksudnya? Bangga karena berhasil mencuri pipi kananku lagi? Ummm, setelah tragedi kunjungan Om Dirga untuk yang ke dua kalinya?Bayangkan!Dua kali kunjungan saja, dia bisa menghabiskan seluruh wajahku, bagaimana dengan kunjungan-kunjungan berikutnya? Apa nggak habis, aku? Tamat. Eh? No, no, no!Big no!'Keep positive thinking, Anyelir!'
Oh, my God, syukurlah!Aku masih bisa bernapas dengan normal meskipun di depan pintu sana---aku melihatnya dari kaca cermin di atas wastafel---Kenzy masih berdiri dengan senyum usilnya. Cukup membuat marah sebenarnya tapi aku nggak melakukannya. Nggak ada gunanya, kecuali mengulur-ulur waktu dan akhirnya mati kelaparan. Tentu saja aku nggak menginginkan hal yang paling memprihatinkan sekaligus konyol itu terjadi.Bagaimana dengan Papa, nanti?"Sorry, Kenzy kataku setelah membalikkan badan dengan santai dan sempurna, "Aku mau lewat!"Tanpa ber
How, how can Marcella be here?Oooh, ooohhh, my God! Rasanya seperti terjatuh dari ketinggian dan langsung ambyar. Pyaaarrr, ambyar kuadrat. Ummm, banyak orang yang mengatakan kalau kebahagiaan itu bukan sekotak hadiah melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan. Tapi buktinya aku langsung menyusut seperti siput yang ditaburi setoples garam, begitu kebahagiaan yang baru mulai kuciptakan terjajah oleh Marcella. Bagaimana nggak? Hellooo, any body home? Itu, Marcella sungguhan kan, bukan kloningan? Bagaimana dia tahu kalau aku eh Kenzy ada di sini, sih?"Cella?" Kenzy terlihat shocked, benar-benar shocked---bukan sandiwara karena aku telah memindai kejujuran dari sorot matanya---lalu berdiri dan berjalan mendekatinya. Nggak terlalu dekat menu
Peta masalah Anyelir Nuansa Asmara:-Cipta Karya Abadi bangkrut total dan nyaris punah-Mama meninggal dunia karena heart attack-Papa shocked dan nyaris depresi (untung nggak kena heart attack juga)-Cipta Karya Abadi semakin kritis-Papa nggak berkutik seperti pendekar yang kena totok di punggungnyaInilah sumber mala petaka itu:
Aku yakin, saat ini wajahku sudah seperti kertas putih polos yang diarsir dengan warna merah bata. Bagaimana nggak? Sungguh, kupikir itu tadi Tante Martinna. Itulah mengapa aku menyapa dengan ramah, "Yes, please, wait for a moment!"Bukan untuk menyapa Kenzy!Tapi namanya iuga Kenzy ya, kan? Dia langsung memasang wajah sumringah kuadrat, begitu aku membuka separuh pintu. Hueeekkk, rasanya seperti tersedak dosa. Dalam hati aku memaki dan merutuki diri sendiri, banyak sekali. Sebanyak butiran daging sapi cacah yang ada di dalam pizza sayuran yang sudah tersimpan manis di kantong kertas, di tanganku. Ah, lebih, aku yakin. Salah satunya, 'Makanya, lain waktu dilihat dulu, siapa yang datang. Jangan langsung greetings dan bera
De Swiiing!Entah bagaimana awalnya, aku nggak terlalu ingat, rasa-rasanya ada sesuatu yang aneh di ruang perawatan ini tapi nggak tahu, apa. Om Dirga masih berdiri sambil menyedekapkan tangan di bawah kaki Kenzy, sama seperti posisinya semula. Miss D sudah selesai melepaskan sonde dan sekarang Doctor, dibantu Nurse mulai melepaskan jarum infus yang tertancap di punggung tangan sebelah kanan. Mereka melakukan transfusi darah dari sana. Sampai di sini aku memandang ke segala arah, mengingat keanehan yang sempat kurasakan tadi.Nothing is weird but I feel that!Kembali, aku memandangi wajah Kenzy yang kadang-kadang tertutup tangan Doctor atau Nurse karena pekerjaan mereka melepas ventilator belum selesai. Wajah yang kalau dalam keadaan sehat terlihat tampan dengan
Di antara bayang-bayang Kenzy yang mengulum senyum manis dan segenggam kebahagiaan, aku menguatkan diri untuk tanda tangan. Meskipun air mata tak kunjung berhenti dan keringat dingin semakin deras mengalir, aku berusaha untuk menguatkan diri. Kuat, tegar untuk Kenzy. Demi suami tercinta sepanjang masa. Miss D dan Doctor menunggu dengan sabar di seberang meja. Tenang, Miss D mengusap-usap punggung tanganku, senyumnya terlihat tipis tapi tulus. Sementara Doctor duduk bersedekap tangan dengan raut wajah setegang robot lowbat.Sungguh, sampai detik ini, aku masih merasa jahat!Jahat, karena harus melalukan semua ini, meskipun itu demi kebaikan Kenzy. Cukup, cukup satu musim dia menjalani masa komanya. Nanti, besok jangan lagi. Aku sudah nggak sanggup lagi melihatnya seperti ini. Oooh, ooohhh, my God! Baru satu kali itu aku me
"Kamu …?" aku mendelik menatapnya, "Ngapain kamu ke sini, keluar!"Betapa terkejutnya aku, saat Kenzy dengan tenang dan santainya masuk ke kamarku. Padahal, sebelum ijab qabul tadi sudah berjanji kalau nggak akan pernah menginjakkan kakinya di sini. Wuaaahhh, sepertinya dia meremehkan ya, kan?"Kenzy, keluar!" dengan amarah yang semakin membesar, aku menunjuk ke arah pintu, "Keluar, Kenzy!"Tap, tap, tap!Terdengar langkah kaki Papa menuju ke sini, membuat kami sama-sama terkejut. Mungkin Kenzy pun bingung harus bagaimana, jadi dia mendekat padaku, sedekat-dekatnya. Tentu saja, itu masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan saat Papa sudah benar-benar muncul di depan pintu, Kenzy me
Miss D terperangah, menatapku dengan karakter kucing yang dilanda konflik besar, antara harus mencuri ikan di atas meja atau menahan lapar sampai diberi makan oleh majikannya. Tapi aku tak peduli lagi, tentu saja. Apa yang harus kupedulikan? Itu, ventilator, sonde, jarum infus yang melekat di tubuh Kenzy sudah tak berguna lagi kan? Sudah nggak ada fungsinya lagi, kan? Untuk apa dilanjutkan? Hanya menambah kedalaman luka saja!"Please, do that now, Miss D?" aiu meratap-ratap, memohon dengan segala perasaan yang merasuki diri, "For Kenzy, For me …!"Dalam detik-detik yang berdetak begitu cepat, seolah-oleh roda mobil yang melaju cepat ke sebuah tempat di lereng bukit, kami saling berpandangan dengan mulut ternganga. Aku, napasku memburu, selayaknya seorang prajurit yang berhadapan dengan seseorang yang sangat penting untuk
Papa meraih pergelangan tanganku, menahannya dengan sedikit tekanan yang menyakitkan, tentu saja. Hal yang belum pernah Papa lakukan selama aku menjadi anak pungutnya. Well, aku yakin, seluruh dunia juga tahu, selembut dan semanis apa Papa memperlakukan aku selama ini. Ah, lebih lembut dari butiran salju. Lebih manis dari es krim susu vanilla. Jadi, kalau sampai Papa melakukan itu, berarti ada sesuatu yang bersifat penting dan genting.What is that?I don't know!Yeaaahhh, only he knows, of course!"Anyelir!" Papa memanggil dengan suara bergetar yang aku nggak tahu kenapa, nggak ingin tahu juga, "Kamu, nggak mau ikut nganterin Papa ke bandara, besok pagi?"Finallly H
Hanya bisa bernapas dan memandang ke arah mama Sophia dengan mata yang semakin memburam oleh air mata. Aku merasa benar-benar terjepit sekarang. Terjepit di antara dua bilah pedang yang berkilau tajam plus haus darah. Oooh, ooohhh, my God! Kenzy masih koma, bahkan harapan hidupnya semakin menipis. Bisa dikatakan habis, malah. Sudah begitu, seolah-olah itu belum cukup untuk meluluh lantakkan seluruh hati dan perasaan yang terkandung di dalamnya, Papa menyingkap tabir rahasia tentang hidupku yang sesungguhnya.Jahat. Jahat. Jahat.Apa, apa yang bisa kuharapkan sekarang?Apa masih ada harapan?Papa menjadikan aku Musim Semi, Little Princess dan Anyelir Nuansa Asmara hanya untuk dijadikan pengisi kotak hadiah
Papa kembali ke rumah sakit, setelah tiga hari beristirahat di rumah. Om Dirga hanya menjenguk Kenzy sebentar lalu kembali ke kantor, karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Jadi, aku memanfaatkan kesempatan berdua kami untuk berbicara. Sebisa mungkin, dari hati ke hati dan tanpa lonjakan emosi. Selain sadar kalau ini rumah sakit, kami juga nggak pernah bertengkar selama ini. Belum pernah. Nggak lucu kan, kalau dalam kondisi Kenzy yang masih koma, kami justru bertengkar?"Papa," aku memanggil setelah selesai mengepang rambut ala Elsa dan mengikatnya dengan karet gelang, "Ada yang perlu Anyelir tanyakan Pa, boleh?"Aku memindai kebohongan di bola mata Papa. Kebohongan yang nggak kuharapkan sama sekali, sebenarnya. Emmmhhh, pasti Papa lupa kalau dia bahkan selalu mengancamku dengan rotan untuk setiap kebohong
Leiden, 28 September 2018Dear Angel,Begitu banyak yang terjadi dan yang paling besar adalah Kenzy yang masih koma. Bukan hanya itu. Bahkan, secara medis, harapan hidup Kenzy hanya tinggal lima sampai sepuluh persen lagi. Jadi, kalau dokter yang menangani melepaskan semua alat penunjang kehidupannya, kemungkinan besar---Miss D mengatakan tanpa kemungkinan yang berarti pasti---Kenzy akan meninggal dunia. Well, tentu saja, aku nggak mengizinkan siapapun dokter ahli kanker di dunia ini untuk melakukannya! Kamu tahu kan Angel, apa maksudku? Hidup dan mati manusia, mutlak berada di tangan Tuhan. Iya kan, Angel?OK!Kalaupun Kenzy harus meninggal Angel, jangan karena kami melepaskan jarum infus atau ventilatorn
Papa pulang ke Sleedorn Tuin sore ini, diantarkan Om Dirga. Jadi fixed, malam ini aku sendirian menjaga Kenzy di rumah sakit, karena Om Dirga harus menemani Papa. Itulah mengapa, sedari tadi sibuk menyiapkan segala hal untuk lebih intensif mengaktifkan kesadaran Kenzy. Pening, rasanya. Pening kuadrat. Tahukah kalian? Begitu banyak ide dan rencana menjejali ruang pemikiran yang terasa kian menyempit. Ruwet dan rumit. Tapi aku memilih untuk mendahulukan album foto Kenzy dan Kinanti, tentu saja. Ya, yaaahhh, meskipun kadang-kadang rasa cemburu membakar pinggiran hati tapi apa boleh buat? Dalam situasi sepenting dan segenting ini, aku nggak mungkin egois dan emosional, bukan? Toh, kalau Kenzy sadar, aku juga yang bahagia. Bukan Kinanti. Iya, kan?Sooo, this is it!Seperti biasa, aku menggenggam telapak tangan kiri Kenzy dan mengaja