"Iya ... suamiku memang nggak sebanding, dengan suami kalian, terus kalian tidak mau lagi berteman denganku? Kalian akan menjauhiku, seperti saat kita masih SMA dulu," kritikku. Aku sengaja mengalah dan menutupi semuanya mereka, supaya mereka masih mengira, kalau aku berada di bawah mereka."Sudah kami duga kok, Anisa, kalau kamu itu masih di bawah level kami. Ya sudah ... ayo kamu segera pesen makanan dan minunannya. Kamu nggak perlu khawatir, sebab kami akan membayar makanan pesananmu itu. Jadi pilih saja semauku, walaupun yang harganya paling mahal sekalipun," perintah Ranty."Oh baiklah kakau begitu, tidak menyangka kakian ternyata baik sekali ya," pujiku, walau hanya sekedar di mulut saja.Mungkin mereka kira aku tidak tau, kalau mereka baik itu hanya di mulut saja. Justru sekarang aku mesti waspada, dengan apa pun yang akan mereka lakukan padaku. Karena jujur saja hati kecilku tidak bisa dibohongi. Aku merasa, kalau mereka itu masih seperti dulu, selalu membuliku."Eh ... Anisa,
Ranti berkata dengan begitu mengghina, bahkan menyepelekan derajatku. Raut muka mereka semua pun berubah drastis menjadi ditekuk. Mungkin mereka kesal, dengan apa yang aku lakukan. Selesai makan, mereka langsung menghampiri kasir. Hanya tinggal aku saja, yang belum selesai makan. Namun, aku merasa curiga dengan gerak-gerik mereka, sepertinya mereka sedang membicarakan aku. Tetapi aku tidak tahu, apa yang mereka bicarakan. Aku sempat berfikir, jika mereka akan mengerjaiku, karena tatapan para pelayan pun terus saja melihatku. Tatapan para pelayan kafe seolah sedang mengintai gerak-gerikku. Mereka melihat kearahku, seolah-olah aku adalah seorang buronan saja. Aku penasaran, dengan apa yang Ranty, dan temanku yang lain bicarakan kepada mereka."Ayo semuanya, sekarang kita langsung ke tempatnya Ratna saja! " Ranti mengajak untuk langsung ke tempat acara lamaran Bagas dan juga Ratna berlangsung. "Anisa, kamu sudah selesai belum makannya," tanya Ranti."Ya belumlah, Ranti, orang aku bar
Setelah menyelesaikan pembayaran, kami pun segera pergi dari kafe untuk menuju hotel tempat lamaran Ratna dengan Bagas. Setelah dekat dengan tempat tujuan, aku meminta Mas Andre untuk menghentikan mobilnya. Aku ingin supaya tidak ada orang yang mengetahui kedatanganku, saat di antar mobil mewah. Aku pun keluar dari mobil dan berjalan sendirian ke dalam hotel tempat acara lamaran berlangsung. Sesampainya di tempat acara, semua mata menuju padaku. Bahkan temanku pun, saling melirik satu sama lain. Mereka mungkin heran, kenapa aku bisa keluar, dari kafe tersebut dan bagaimana caranya aku bisa membayar tagihan tersebut?Karena harga yang harus aku bayar terbilang fantastis, makanya mereka nggak mau membayarnya. Aku pun segera menghampiri mereka dan bergabung bersama, aku tidak memperdulikan wajah heran mereka, tetapi aku berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa, walaupun hatiku gedek. "Anisa, bagaimana kamu bisa keluar dari kafe tadi? Dan bagaimana pula, kamu bisa masuk ke sini? Sedang
"Iya benar kamu, Ranti, si Anisa sudah mirip badut sekarang. Makanya, Anisa, kalau jalan itu hati-hati! Lagian kamu sudah biasa pake kaca mata kuda, kok malah dilepas karena kepingin gaya. Kalau sudah biasa pake kacamata kuda, jangan bergaya pake softlens segala, yang akhirnya kan seperti itu! Rasain kamu," ucap Riris. Mereka semua menertawakan aku serta menggunjingku dan juga mencemoohku. Tidak ada satu orang pun di antara mereka, yang mau membantuku. Mereka tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, serta mereka sedang berdiri di hotel milik siapa? "Sini, Mbak, aku bantuin bangun," ucap Si pelayan.Ia berusaha membantuku untuk membangunkanku, tetapi baru juga aku mau berdiri, pelayan itu di dorong lagi oleh teman-temanku. Alhasil kami berdua terjerembab, aku kembali terjatuh dengan posisi terlentang, sementara Si pelayan jatuh di atasku dengan posisi tengkurap."Ma ... maafkan aku, Mbak, aku gak sengaja! Maafkan aku, ya Mbak, jangan pecat aku!" Si pelayan berkata, sambil segera ba
"Maafkan, Mas ya, Nis! Mas, telat datang, dikira Mas, tidak akan terjadi hal seperti ini." Mas Andre meminta maaf kepadaku."Iya, Mas! Lagian, semua ini juga bukan karena salah Mas kok. Ini semua salah teman-temanku, yang memang sangat suka membullyku, dari dulu sampai sekarang." Aku memberikan maaf, serta menjelaskan bahwa ini bukan salahnya Mas Andre.Setelah itu kami pergi dari ruangan tersebut, untuk menuju parkiran. Namun baru juga keluar, pelayan yang tadi aku tabrak menghampiri. Ia begitu ketakutan, dan meminta maaf kepadaku, serta Papa dan Mas Andre. Ia meminta kami, supaya tidak memecatnya.Kami pun memaafkannya, sebab semua itu bukan salah si pelayan. Tapi semuanya salah temanku, yang kurang ajar. Beruntung tidak ada wartawan yang meliputku, jika ada maka kejadian tadi pasti langsung vital. Kami pun segera pulang, tetapi berbeda mobil. Aku bersama Mas Andre, sedangkan Papa dengan sopirnya.Setelah urusan dengan si pelayan selesai, kami pun pulang. Tetapi kami terpisah, aku
"Kamu jangan takut, sayang! Mas hanya meminta, apa yang telah menjadi milik Mas," ucap Mas Andre. Ia berkata dengan suara serak, ia pun menghembuskan nafas berat. "Ta-tapi ...," kataku menggantung."Tapi apa, Sayang," tanya Mas Andre dengan napas yang memburu.Hembusan nafasnya terasa hangat di wajahku karena wajahnya terlalu dekat, bahkan menempel di wajahku. Mendapat perlakuan seperti ini dari lawan jenis, membuat aku merasakan geleyar aneh di dalam tubuhku. Tubuhku, yang baru saja mandi, malah terasa panas, bahkan gairah yang terpendam kini meronta. Dulu aku berharap melakukan semua ini bersama Mas Bagas, orang yang sangat aku cintai. Tapi kenyataannya malah berubah, setelah aku tahu dia menghianatiku dan tidak tulus mencintaiku. Aku pun kini sadar akan kewajibanku dan aku putuskan akan aku serahkan segalanya untuk suamiku. Apalagi, Mas Andre telah menunjukan, rasa sayangnya padaku."Sayang, kamu mau 'kan melakukan kewajibanmu sekarang? Mas sudah tidak sanggup lagi untuk menahann
"Yang, kamu lapar nggak?" Mas Andre bertanya, saat aku sedang melihat laju mobil Arya yang menjauh dari rumahku."Iya, Mas, kita 'kan belum makan sore," sahutku.Aku memberitahunya, kalau aku juga merasa laper. Sebab kami hanya baru makan tadi siang saja, sebelum dzuhur."Kalau begitu, kita intip ke dapur yuk! Kita lihat, ada bahan masakan apa saja di sana? Nanti kita masak bareng, sama Pak Edi," ajak Mas Andre."Tapi, Mas, aku belum bisa masak! Mendingan pesan aja seperti biasa," saranku.Aku memberi tahu suamiku, kalau aku belum bisa memasak. Jadi aku menolak ajakannya."Nggak apa-apa, lagian Mas nggak nyuruh kamu untuk memasak kok! Karena Mas tau, kalau kamu itu tidak pandai memasak. Mas ajak kamu ke dapur, biar nanti kamu bantuin Mas mengupas bumbunya. Kalau urusan memasak, serahkan sama Mas," ujar Mas Andre, sambil menepuk dadanya. "Oh ... ya sudah kalau begitu, yuk, Mas, kita masak!" Aku mengajak Mas Andre untuk segera memasak."Ayo, sayang," sahutnya.Kami berdua pun berjalan
Setelah mencuci tangan, kemudian aku masuk ke ruang makan untuk mengambil sop, serta nasi yang sudah dimasukan ke wadah. Aku, ingin memberikannya, buat keluarga Pak Edi di rumah. Soalnya Mas Andre masak banyak, jadi tidak mungkin, akan habis oleh kami berdua. Aku memberikannya seks to untuk keluarga Pak Edi, sebab daripada mubazir."Pak, ini bawa buat istri serta anaknya di rumah," ujarku, sambil menyodorkan wadah, yang berisi nasi, sop serta lauk pauk yang lainnya, yang tadi di masak suamiku."Ya, ampun, Non. Ngapain sampai repot-repot di bawain, buat keluarga Bapak segala? Padahal nggak usah Non, buat Non sama Aden saja. Tadi, Bapak 'kan sudah makan banyak di sini," tolak Pak Edi. "Nggak apa-apa, Pak. Mas Andre bikinnya banyak, sayang kalau nggak ke makan. Jadi daripada mubazir, lebih baik Bapak bawa pulang, buat keluarga Bapak di rumah." Aku memaksa Pak Edi, buat membawa makanan yang aku berikan tersebut."Oh, begitu ya, Non. Ya sudah, terima kasih ya, Non. Bapak permisi, assalamu
"Iya, Nis, aku belum kebeli kasur bayinya. Soalnya, kamu tau sendiri keadaan ekonomiku sekarang ini. Mas Bagas saja bekerjanya baru sebulan, itupun karena dibantu oleh suamimu. Makanya, aku belum ada uang buat membeli perlengkapan anakku. Pakaiannya saja, kebanyakan dari kado teman-teman, serta saudaraku." Ratna panjang lebar menceritakan, tentang keadaannya."Ya sudah, insya Allah nanti aku belikan, buat anakmu ya! Kalau saja aku tau kamu belum punya kasur bayi, tadi pasti aku belikan sekalian." Aku berjanji akan membelikan kasur bayi, buat anaknya Ratna."Terima kasih, ya Nis, kamu memang terbaik. Menyesal, aku telah menyia-nyiakanmu, bahkan telah mengkhianatimu." Ratna menyesali, tentang apa yang telah dia lakukan dulu kepadaku."Iya sama sama, Ratna. Ya sudah, Ratna, maaf ya aku nggak bisa lama-lama, soalnya ini sudah malam. Ini aku bawain kado buat anakmu, semoga kamu suka. Aku permisi ya, assalamualaikum," ucapku pamit.Kami pun pamit, kepada Bu Ani dan juga Ratna. Setelah itu
"Baik, Non. Terima kasih," ucap Bi Ijah."Baiklah, kami pergi cari kado dulu ya. Kalian tunggu di sini, kalau memang tidak mau ikut," pamitku.Aku pamit, serta meminta mereka untuk menungguku. Setelah itu, aku dan Mas Andre pun pergi dari hadapan asisten serta keponakanku. Kami pergi dari resto, yang ada di swalayan ini. Aku dan Mas Bagas, pergi menuju tempat perlengkapan bayi. Aku pun memilih salah satu yang sekiranya cocok untuk aku jadikan kado untuk anaknya Ratna dan Mas Bagas. Setelah menemukan apa yang sesuai, aku segera membayarnya. Aku juga meminta untuk sekalian dibungkusnya dengan kertas kado. Setelah kado untuk anak Ratna selesai di bungkus, kami berdua pun kembali ke tempat Gio dan juga para asistenku berada. Ternyata mereka telah selesai makan dan sedang menunggu kedatangan kami."Tante, Om, kalian sudah sekesai mencari kadonya?" tanya Gio."Sudah, Gio. Bagaimana? Apa kalian juga sudah selesai makannya," tanyaku."Sudah, Tan. Gio, sudah kekenyangan ini," sahut Gio.Gio
"Waw, ini kamarnya lebih bagus, dari kamar Gio yang kemarin, Om. Terima kasih, ya Om Andre, Tante Anisa, kalian berdua memang is the best." Gio begitu senang, saat melihat kamar baru untuknya."Syukurlah, kalau Gio menyukai kamarnya," ucapku."Iya, Tante, Gio seneng banget," sahutnya.Setelah itu, aku membantu Gio membereskan pakaiannya. Aku memasukan baju Gio ke lemari pakaian, yang ada di kamar itu. Sedangkan, Mas Andre membantu membereskan perabotan dari rumah lamanya, yang akan disimpan di rumah ini. Sedangkan, sebagian perabotannya akan disimpan di apartemen. Seusai membereskan pakaian Gio, aku mengajak Gio makan, kebetulan aku telah memesan makanan. Karena aku kasihan, jika harus menyuruh Bi Ijah dan Bi Asih, buat memasak. Sepertinya mereka juga kecapean, setelah membantu pindahan tadi. Jadi biar kali ini aku memesan masakan dari rumah makan padang untuk makan kami semua."Gio, ayo kita makan dulu," ajakku."Iya, Tan," sahut Gio."Mas, ayo kita makan dulu," ajakku, saat melewa
"Iya, Den," sahut Bi Asih serta Bi Ijah serempak."Bibi, sini," ajakku.Mereka berdua pun menghampiriku, sedangkan Bi Asih datang menghimpiriku, sambil menarik kopernya."Non, banyak betul orang yang mengangkut barangnya ya." Bi Ijah berkomentar, tentang pengangkut barang."Iya, Bi, Mas Andre bilang, supaya barangnya cepet selesai diangkutnya. Kalau barangnya sudah selesai diangkut, rumahnya mau sekalian dibersihkan, serta dirapikan sama mereka. Soalnya lusa Mas Wira dan keluarganya akan datang untuk menempatinya." Aku menjelaskan kepada Bi Ijah, alasan Mas Andre sampai meminta banyak orang untuk mengangkut barangnya tersebut."Oh, jadi begitu, ya Non," sahut Bi Ijah.Ia baru mengerti, dengan apa yang aku sampaikan."Iya, Bi, seperti itu," sahutku."Pasti rumah ini di kontraknya mahal ya, Non? Soalnya rumahnya saja semewah dan sebesar ini," tanya Bi Asih.Ia menanyakan soal harga sewa rumah orang tua Mas Andre tersebut."Lumayanlah, Bi, buat tabungannya Gio. Mas Wira, mengontak rumah
"Iya, Om, Gio ikut sama Om Andre saja. Biarkan rumah ini, di tempatin sama Om Wira," sahut Gio, ia menyetujui ajakan Mas Andre.Rumah peninggalan orang tua Mas Andre ini, sudah ada yang mengontrak. Rumah ini di kontrak oleh Mas Wira, ia merupakan rekan kerja Mas Andre. Sedangkan Gio akan di bawa oleh kami, ke Rumah tempat tinggal kami. Karena selain Gio sebatangkara, Gio juga sekarang merupakan anak angkatku."Den, kalau rumah ini, sudah ada yang mengontrak, terus Den Gio dibawa Den Andre, berarti Bibi sekarang sudah tidak dibutuhkan lagi, ya Den. Berarti Bibi harus pulang kampung," ucap Bi Asih."Bi Asih, Bibi tidak perlu khawatir. Biarpun rumah ini sudah ada yang ngontrak, serta Gio dibawa ke rumahku. Bibi tetap boleh bekerja denganku kok, Bibi Asih nanti bisa membantu pekerjaan Bi Ijah di rumahku. Apalagi nanti Anisa mau lahiran, pasti Bi Ijah kerepotan, kalau bekerja sendiri. Jadi Bi Asih bisa bekerja di rumahku bersama dengan Bi ijah, Bibi mau kan bekerja denganku? Biar nanti k
"Gio sayang, kamu yang sabar ya. Kamu harus ikhlas, dengan apapun yang terjadi. Gio jangan sedih, masih ada Om dan Tante, yang akan merawat serta menyayangi Gio." Mas Andre menenangkan Gio, serta memeluknya erat."Ya sudah, lebih baik sekarang kita pergi ke tempat kejadian, atau langsung ke rumah sakit." Papa memberi saran, supaya kami segera melihat keadaan Mbak Maya."Kita langsung ke rumah sakit saja, Pah. Tadi, polisinya bilang, mereka sudah langsung di bawa ke rumah sakit umum empat lima." Mas Andre memberitahu, rumah sakit tempat Mbak Maya berada. Kami semua pergi, menuju rumah sakit umum empat lima untuk mengurus jenazahnya Mbak Maya. Sepanjang perjalanan, Gio terus menangis. Aku pun sudah mencoba menbujuknya, tetapi tetap saja ya menangis. Sesampainya ke rumah sakit, kami menuju tempat resepsionis rumah sakit. Kami, menanyakan keberadaan Mbak Maya, yang korban kecelakaan tadi. Setelah, mendapatkan informasi, kami segera menuju ruangan, yang di tunjuk oleh resepsionis tadi.
"Baik, Anisa, kami menyetujuinya," ucap mereka bertiga serempak."Bagus ... kalau begitu, silakan kalian tandatangani surat perjanjian, yang dibawa oleh Pak Danu!" Mas Andre memerintahkan mereka bertiga untuk menandatangani surat perjanjian.Setelah mendengar perintah dari Mas Andre, mereka bertiga pun menandatangani surat, yang disodorkan oleh Pak Danu. Bahkan mereka tandatangan tanpa membacanya terlebih dulu."Oke, kalian bertiga sekarang telah menandatangani surat perjanjian ini. Jadi jika kalian melanggar, maka kalian harus menerima akibatnya," ujar Papa.Ia menegaskan kepada mereka bertiga, tentang konsekuensinya jika melanggar surat perjanjian tersebut."Iya, Mas, kami sudah paham kok." Mbak Maya berkata, mewakili kedua temannya."Kalau begitu, kalian bertiga segera tinggalkan rumah Papaku! Tetapi biarkan Gio bersama kami," perintahku."Iya, Anisa, kami akan pergi. Tetapi maafkanlah semua kesalahan kami. Aku takut, jika umurku tidak akan lama lagi. Aku titipkan Gio kepada kalian
"Ya, jelaslah aku tau, Mbak. Karena, aku sendiri yang merekam Vidio ini." Aku oun berterus terang kepada Mbak Maya, sebab ku tidak takut dengan ancamannya."Oh ... jadi kamu yang telah merekamnya, Anisa? Kok kamu tega banget sih, padahal niatku baik ingin merawat Papamu dan menjadi ibu sambung buat kamu." Mbak Maya berkelit, ia tetap tidak mau mengakui kesalahannya.Mbak Maya, tetap tidak merasa bersalah, walaupun sudah ada bukti yang jelas nyata. "Sudahlah, Mbak, nggak perlu mengelak lagi! Sebab emua bukti juga sudah jelas dan itu murni, bukan rekayasa ataupun editan, seperti yang Mbak Maya bilang tadi." "Kalau memang benar, kami yang melakukannya, terus kamu mau apa Anisa? Kamu mau memenjarakan kami, silakan, kalau itu maumu, kami tidak takut. Kami akan meminta bantuan pengacara kami, buat mengurus kasus ini." Sindi berkata dengan sangat jumawa."Ok, kalau begitu. Ayo, Pah, kita bawa saja mereka ke kantor polisi. Toh kita sudah mengantongi bukti yang kongkrit. Ayo kita bawa mereka
"Oh, jadi kamu mau menikah sama aku, hanya karena ingin menguasai hartaku, ya Maya? Setelah semuanya kamu miliki, aku akan ditendang dari kehidupanmu. Enak sekali mimpimu itu, kamu nggak perlu cape kerja, tapi ingin hidup enak. Mimpi kamu Maya," ujar Papa dengan dada emosiPadahal dari awal Papa sudah tahu, tentang niat Mbak Maya tersebut. Namun, ternyata Papa tetap saja terpancing emosinya, apalagi orang yang berniat jahat tersebut bernada^^ di depan mata."Itu nggak bener, Mas. Semua ini hanya fitnah, dari orang yang ingin merusak rencana pernikahan kita. Aku beneran sayang sama kamu dan juga anakmu Nisa, Mas. Aku ingin menjadi istri dan ibu sambung yang baik untuk kalian. Kamu jangan terpengaruh, oleh vidio editan serta murahan model begini, dong Mas! Aku sungguh sayang sama kamu dan juga Nisa," ucap Mbak Maya sambil tergugu. Sungguh pandai Mbak Maya ini, akting yang ia perankan juga luar biasa memukau."Sudahlah, Maya, kamu nggak usah mengelak lagi! Sudah jelas-jelas terbukti, k