Pov Bayu“A-apa?” ucap Nisa terbata sambil memainkan jemarinya di atas meja.“Apa kamu mau menjadi istri keduaku,Nisa?” tanyaku lagi.Nisa diam lalu menatap lekat mata ini tapi aku segera membuang pandang. Aku tak ingin dia tahu jika aku terpaksa memenuhi permintaan Hanin. Mungkin dengan memenuhi permintaannya,Hanin akan jauh lebih bahagia. Meski aku harus melakukan hal konyol ini.“Apa Pak Bayu mencintaiku?” tanyanya pelan tapi masih terdengar jelas di telinga. Suasana yang sepi membuat suara jangkrik pun terdengar begitu jelas.Cinta? Apa aku mencintai wanita yang baru saja kukenal? Tentu jawabannya tidak. Hatiku masih sepenuhnya untuk Hanin. Bagiku hanya dia satu-satunya wanita yang mampu menggetarkan hati ini. Itu pula yang membuat aku menerima permintaan gilanya. Apa aku egois? Entahah ... yang kutahu semua orang memiliki sifat egois meski hanya sedikit. Termasuk aku dan Hanin.“Tak usah dijawab, karena saya sudah tahu jawabannya.” Nisa beranjak berdiri sambil membawa gelas beris
Pov Bayu"Dia calon istri kedua Mas Bayu," ucap Hanin. "Apa!" Teriak Ayah dan Bunda serempak. "Jangan bercanda, Hanin," ucap Ayah dengan dada naik turun menahan emosi yang sudah memuncak. "Ja-jadi kalian mengundang kami hanya untuk mengatakan ini?" ucap Bunda dengan suara bergetar, bulir bening mulai jatuh membasahi pipinya. "Aku tidak terima kamu perlakukan Hanin dengan semena-mena! Jangan mentang-mentang kamu kaya bisa nikah lagi sesuka hati!" pekik Ayah. "Sadar, Bayu. Hanin tengah mengandung anak kamu. Tapi kenapa kamu justru ingin nikah lagi? Harusnya kamu sayangi dia, bukan justru menambah luka hatinya, ucap Bunda parau. Sudah kuduga semua akan seperti ini. Aku yang akan disalahkan meski kenyataannya Haninlah yang mempunyai ide gila itu. Dia yang memintaku menikah lagi. Bukan aku! "Dan kamu, percuma memakai hijab tapi merebut suami orang!" hadik Bunda seraya menunjukkan jarinya ke arah Nisa. Tanpa dikomando Nisa terisak. Bulir-bulir bening itu jatuh tanpa henti. Hanin mem
Pov Hanin“Bagaimana,Mbak?” tanya Nisa seraya menatap kami bergantian.Kulirik Mas Bayu, dia mengangguk lalu pergi mengajak Ali ke depan rumah. Dia memberiku ruang untuk berbicara dari hati ke hati. Jika kami hanya berdua,Nisa bisa lebih leluasa bercerita dan mengeluarkan beban di hatinya.Aku atur napas sebelum menjawab pertanyaan Nisa. Rasanya ada rasa berat untuk mengungkapkan aib yang berusaha kusembunyikan. Namun tak ada salahnya menceritakan padanya,mungkin Nisa akan mengerti dan menerima pernikahan ini.“Pasti kamu bertanya-tanya, kenapa aku meminta Mas Bayu menikah lagi? Semua orang mengira hidupku sempurna,mempunyai suami penyayang,tampan,baik dan kaya. Belum lagi Allah menitipkan kami tiga anak yang sangat mengemaskan. Kami sudah seperti keluarga sempurna,kan?”Nisa diam lalu mengangguk pelan. Terlihat jelas dia begitu mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut ini. Bahkan sependapat dengan kalimat yang baru saja kukatakan.“Namun yang tampak tak selalu sama dengan keny
Aku duduk sambil melihat Nisa memilih gamis yang ia sukai,beberapa kali ia tampak kaget saat melihat bandrol harga yang ada di pakaian. Nisa ... Nisa, kamu begitu lugu.Sambil menunggu Nisa memilih dan mencoba gamis,aku duduk seraya memainkan benda pipih berwarna putih ini. Beberapa pesan masuk belum sempat kubaca. Kubuka satu-persatu pesan di aplikasi berwarna hijau itu.[Kamu ada di mana,Nin?]Pesan dari Syahla. Anak ini begitu posesif saat tahu aku hamil lagi. Sikapnya terkadang melebihi suamiku sendiri.[Lagi di butik cari baju pengantin.]Tanpa menunggu lama sebuah pesan masuk. Lagi dan lagi aku tersenyum saat membaca tulisan yang dikirim Syahla. Begitu banyak makian yang ia berikan padaku. Aku wanita bodoh,tak waras dan lain sebagainya. Dia merasa tak rela jika aku mengizinkan Mas Bayu menikah lagi, tak ingin aku terluka karena berbagi suami. Syahla lupa jika akulah yang meminta Mas Bayu menikah lagi. Andai dia menjadi aku,pasti poligami yang akan dia pilih.“Mbak.” Aku mengangk
Pov Hanin"Mas, tutup lagi pintunya!" Teriakku lalu berlari ke luar. "Kenapa, Nin?" tanyanya dengan raut kebingungan. "Mas,tutup pintunya... A--ada ular!" jawabku seraya menunjuk pintu yang masih terbuka. "Apa!""Tutup dulu, Mas!"Dengan sedikit bingung Mas Bayu menutup pintu kamar Nisa dari luar. Tangannya menarik pintu agar tak terbuka. "Bagaimana ini, Mas? Kasihan Nisa. Dia pasti digigit ular lalu pingsan. Kita harus cepat menolongnya, tapi ular itu masih berada di samping tubuhnya," ucapku dengan gemetaran. Bayangan ular berwarna hijau kembali hadir dan membuatku bergidik ngeri. "Ada apa, Bu, Pak? Kenapa ribut-ribut?" tanya Bi Leha dari belakang seraya menutup mulut karena menguap. "Ada ular di kamar Nisa, Bi.""Apa!""Cepat kamu minta tolong orang, Bi. Di pos pasti masih banyak orang. Kasihan Nisa," perintah Mas Bayu. Bi Leha segera berlari sambil berteriak minta tolong. Aku dan Mas Bayu memilih berdiri di depan pintu dengan perasaan takut yang semakin besar. Rasa tak teg
"Bagaimana, Nin?" "Pernikahan akan tetap dilanjutkan, Mas. Semua demi kebaikan kita." Mas Bayu membuang napas kasar lalu membalikkan badan. Kami duduk berdekatan tetapi saling diam. Keadaan ini membuatku serba salah. Bukankah pernikahan ini atas dasar keputusan bersama? Meski aku sedikit mendominasi. "Keluarga Bu Nisa?" tanya seorang suster. "Kami keluarganya, Sus." Aku berdiri lalu melangkah mendekat. "Mari silakan masuk," ucapnya ramah. Kami masuk ke ruang IGD. Nisa sudah terbangun dari pingsannya. Bibirnya terlihat pucat, tapi dia masih tersenyum kala melihat kedatanganku. Kedatangan kami lebih tepatnya. "Bagaimana keadaan adik saya, Dok?" tanyaku. "Alhamdulillah Mbak Nisa mendapat pertolongan tepat waktu. Sehingga racunnya tidak menyebar ke seluruh tubuh. Untuk sementara Mbak Nisa harus dirawat inap terlebih dahulu sampai kondisi Mbak Nisa benar-benar pulih.""Alhamdulillah, terima kasih, Dok.""Silakan urus administrasinya agar pasien segera dipindahkan ke ruang rawat ina
Pov BayuAku tak menyangka akan mengucapkan ikrar janji suci untuk kedua kalinya. Aku tak tahu, haruskah bahagia atau bersedih? Sejujurnya aku tak memiliki perasaan apa pun kepada Nisa. Aku hanya tak mampu menolak permintaan Hanin,istri pertamaku. "Selamat Pak Bayu dan Mbak Nisa, kalian sudah resmi menjadi suami istri," ucap Penghulu.Aku tersenyum kaku dalam hati berkecamuk rasa bersalah yang tiada henti. Aku telah mengkhianati janji suci yang kuucapkan pada Hanin dulu. Ya,meski semua permintaan istriku. Namun kenapa aku begitu bodoh sehingga mau menuruti semua permintaan gilanya. "Pak Bayu cincinnya dipasangkan di jemari istrinya dong," ucap salah satu saksi.Aku menoleh ke arah Hanin,dia tersenyum lalu menganggukkan kepala perlahan. Memberi isyarat agar diri ini segera memasangkan cincin ke jari manis Nisa,istri keduaku.Hanin mengalihkan pandangan saat aku menatap lekat netranya dari kejauhan. Aku yakin dia pun merasakan luka,sama seperti yang kurasakan kini. Namun apa mau dikat
Hari ini Nisa sudah diperbolehkan pulang. Semua administrasi rumah sakit sudah selesai. Kini saatnya kami pulang ke rumah. Mobil yang kulajukan menembus ramainya lalu lintas saat jam pulang kerja. Beberapa sepeda motor melaju dengan kecepatan tinggi. Mereka seolah terburu-buru agar sampai rumah. Anak dan istri pasti sudah menunggu di rumah. Mendadak aku merindukan Hanin dan ketiga anakku. "Kita langsung pulang atau mampir ke mana dulu, Nis?" tanyaku. "Pulang saja, Mas."Kendaraan roda empat kuparkirkan rapi di halaman rumah. Kami segera turun lalu berjalan menuju pintu utama. Tas berisi pakaian kuletakkan di depan pintu. Kurogoh kunci rumah. Sebelum Hanin pergi ia memberikan kunci rumah padaku. "Masuk, Nis. Kamu pasti capek," ucapku seraya mendorong pintu kayu jati itu. Rumah benar-benar sepi, tak ada teriakan Alma dan Azha saat berdebat. Tak ada pula tangis Ali yang meminta susu. Mereka masih menginap di rumah Bunda untuk beberapa hari ke depan. "Kamu mau makan atau istirahat?
"Nisa," ucapku lirih. "Walailaikumsalam, sini duduk, Nis," jawaban Hanin membuat mereka tersentak. Terkejut atas kedatangan Nisa membuat kami lupa menjawab salam. Meski kami tahu wajib hukumnya. "Untuk apa kamu datang kemari, Nis? Gara-gara kamu Hanin jadi kehilangan anaknya."Mendadak wajah Nisa menjadi pias. Ucapan Mama bagai halilintar yang menyambar hingga ia terkapar tak sadarkan diri. "Nisa tak salah, Ma. Tanpa kehadiran Nisa, Natasya bisa berbuat nekat." Mama diam seketika. "Mbak Hanin sudah baik-baik saja?" Nisa mendekat lalu duduk di samping Hanin. Kedatangan Nisa disituasi seperti ini membuatku tidak tahu harus berbuat apa? Aku menjadi seba salah. Orang-orang yang hendak pergi justru kembali duduk dan berdiri di tempat masing-masing. Kedatangan Nisa bagai magnet yang menarik perhatian orang. "Aku baik-baik saja, Nis. Ini cewek atau cowok?" Hanin mengelus perut Hanin yang membukit. "Cowok, Mbak, seperti Kak Azha dan Kak Ali."Astagfirullah... Aku sampai tak tahu apa
Pov BayuEntah apa yang akan kukatakan kepada Hanin? Jujur pasti menyakitkan tapi aku tidak punya pilihan lain. Hanya rangkaian kata agar kebenaran yang akan aku sampaikan tak sampai menggores hatinya terlalu dalam. "Mas...," panggilnya lirih. Aku menoleh lalu tersenyum ke arahnya. "Anak-anak di mana?" "Mereka ada di kamar inap khusus anak-anak, ditemani Bunda dan Ayah."Aku sedikit heran dengan pertanyaannya. Biasanya ibu setelah melahirkan akan menanyakan bayi yang ia lahirkan. Namun tidak dengan Hanin. Dia justru menanyakan kabar anak-anak terlebih dahulu. "Kamu heran kenapa aku tak bertanya bayiku?" Aku mengangguk, Hanin seolah mampu membaca pikiranku. "Aku tahu bayi kita meninggal, Mas. Saat di sekap pergerakannya di dalam perut sudah berbeda. Ditambah saat membuka mata bayi mungil itu tak ada di kamar ini. Benar, kan, Mas tebakanku?" ucapnya dengan linangan air mata membasahi pipi. Tanpa diminta kupeluk dia. Kutenangkan tangisnya dalam dekapanku. Ini adalah kabar buruk ba
"Pak Bayu ditunggu dokter di depan ruang operasi.""Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Sus?""Dokter yang akan menyampaikan," ucapnya pelan. Perasaanku semakin tak, tapi aku tidak ingin berpikir buruk. Aku yakin mereka akan baik-baik saja. Aku melangkah mengikuti suster itu. Dari kejauhan sudah terlihat dokter yang duduk tepat di depan ruang operasi. Mendadak jantung dipacu lebih cepat. Perasaan semakin tak karuan. Ya Allah... Semoga ini bukan berita buruk. "Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Dok? Mereka baik-baik saja, kan?" cecarku. Dokter yang menangani Hanin menghembuskan napas perlahan. Seakan ada beban berat yang masih ia tanggung di pundak. Ya Robb ... Jangan berikan aku cobaan yang berat. Aku tak akan sanggup kehilangan mereka. "Alhamdulillah Ibu Hanin dapat melewati operasi dengan baik. Saat ini beliau masih dalam pengaruh obat bius. Namun semuanya normal. Tinggal menunggu beliau sadarkan diri."Aku bernapas lega, seakan beban yang kutanggung di pundak jatuh di
Setelah hampir satu jam akhirnya kami berhenti di depan sebuah rumah sakit swasta. Dengan cepat kami membopong tubuh Hanin menuju ruang IGD. "Suster ... Dokter!" teriakku lantang. Seorang suster dengan cepat membuka pintu ruang IGD. Perlahan kurebahkan tubuh Hanin di atas brankar. "Kenapa ini, Pak?" tanya Dokter berkacamata itu.Aku memberikan surat rujukan dari klinik Permata Hati. Kuceritakan juga kejadian yang menimpa Hanin hingga akhirnya ketubannya pecah dan tak sadarkan diri. "Suster siapkan ruang operasi. Telepon dokter bedah, dokter kandungan, dokter anastesi. Pasien harus segera dioperasi."Seorang suster segera menelepon dokter yang dimaksud. "Suster, pasang infuse, cek HB, pasien." Seorang suster dengan sigap memasang infus di tangan kiri Hanin. Aku hanya diam sembari terus berdoa. "Bapak tolong bawa ke administrasi. Tanda tangani surat izin untuk operasi." Aku mengangguk, dengan cepat berlari menuju bagian pendaftaran. Suasana rumah sakit terbilang sepi. Maklum saja
"Aku... Aku...." Aku tak mampu melanjutkan kata-kata ini. Mulut ini mendadak kelu. Bagaimana aku bisa mengatakan cerai jika hati dan hidupku untuknya? "Aw... Sakit." Cairan bening keluar dari pangkal paha Hanin merembes hingga ke lantai. Hanin luruh di lantai, dia tak sadarkan diri."Hanin!" Aku berlari menuju ke arah istriku, tak kuhiraukan pisau yang masih dipegang oleh Natasya. Keselamatan Hanin dan anak kami jauh lebih penting. "Lepas! Lepaskan aku!"Pingsannya Hanin membuat konsentrasi Natasya terpecah, dengan mudah ia diringkus oleh dua orang polisi. PLAAK! "Wanita tak tahu malu, mulai sekarang pertunangan kita batal. Jangan tunjukkan wajah kamu di hadapanku lagi!" maki Raffi. Aku mendengar tapi enggan menoleh, pikiranku hanya tertuju pada Hanin. Polisi segera menyeret Natasya keluar. "Tolong, Pak."Pak Burhan dan seorang polisi membantuku mengangkat tubuh Hanin. Cairan bening masih saja keluar hingga membasahi gamis yang ia kenakan. Dalam hati terus berdoa semoga Allah
Pov Bayu"Natasya!" Raffi terkejut bukan main. Adikku tak menyangka jika kecurigaanku benar-benar menjadi kenyataan. Orang yang ia cinta dan perjuangkan justru menyakiti kakak iparnya. "Angkat tangan! Kalian sudah dikepung!" teriak Pak Burhan saraya menodongkan pistol ke arah mereka. Sontak dua lelaki dan Natasya mengangkat tangan ke atas. Pisau yang sempat dipegang lepas dari tangannya. "Ayah!" teriak Azha dan Alma. Kedua anakku melepas tangan Hanin, mereka hendak berjalan ke arah kami. "Azha, Alma tunggu, Nak," teriak Hanin sambil berusaha menarik tangan anak-anak. Namun mereka berhasil sampai di tengah-tengah ruangan. Seorang lelaki dengan perut buncit berjalan mendekat ke arah anak-anak. Jantungku seakan berhenti berdetak. Rasa takut kian memenuhi pikiran ini. "Azha, Alma mundur!" DOR! Satu buah timah panas mendarat tepat di kaki kanan lelaki dengan perut buncit itu. Lelaki itu tersungkur dengan darah segar mengucur dari betisnya. Untung saja Pak Burhan menembak tepat wak
"Kukira kamu sudah menjelaskannya. Dia ikut dalam misi penting ini membuat aku yakin jika kamu sudah mengatakan siapa dalangnya, Bayu.""Dalang apa, Mas? Apa hubungannya dengan Natasya?" Raffi mencekal tanganku, tatapannya meminta sebuah penjelasan dariku. Aku mengatur napas, mengumpulkan pasokan oksigen agar aku bisa berpikir dengan jernih. Ah, lebih tepatnya supaya bisa mencari jawaban dengan tepat. "Natasya adalah dalang penculikan Hanin dan tindakan keji pada Nisa.""Tidak! Ini tidak mungkin, Natasya tidak mungkin sejahat itu, Mas. Dia itu calon istri aku, bukan penculik seperti yang Mas Bayu katakan." Raffi menggelengkan kepala. Sorot matanya tak mempercayai ucapanku. Ini wajah, karena aku juga sempat tak percaya hingga perlahan Tuhan membuka tabir gelap yang ia sembunyikan. "Aku harus meminta penjelasan dari Natasya, dia pasti bukan penculiknya. Mas Bayu pasti salah orang." Raffi merogoh saku celananya. Dengan cepat jemarinya menari di atas layar ponsel. Ini tidak bisa dibi
Pov BayuNatasya kembali berjalan menuju mobilnya berada. Seketika jantungku berdetak kencang. Rasa takut kian besar kala jarak ke mobil semakin dekat. "Ya Tuhan, bagaimana ini?""Lho, Mas, kenapa mobilnya tidak dikunci?" tanyanya saat melihat kunci menggantunung di luar pintu. Natasya semakin mempercepat langkah kakinya. Mendadak kakiku lemas, sudah pasti rencana kami gagal. Ya Tuhan, aku pasrah dengan rencanaMu"Ya, ampun, Mas. Pintu dibuka dengan kunci menggantung, kalau mobilku sampai hilang bagaimana?" Natasya berdiri sambil menyilangkan tangan di dada. Sudut bibirku tertarik ke atas. Ternyata ketakutanku hilang. Pak Burhan bisa menyelesaikan tugas tepat waktu. Andai ia terlambat lima menit saja, sudah pasti semua akan hancur berantakan. "Mas Bayu malah bengong! Aku sedang ngomong lho, kenapa kunci di luar?""Itu karena aku khawatir dengan kamu, Nat. Aku membuka pintu lalu kembali ke restoran. Aku takut kamu kenapa-napa," dustaku. Kubuat wajah khawatir agar wanita itu percaya
"Tentang perceraian itu? Mas Bayu akan menceraikan Mbak Hanin, kan? Mas memilih berpisah dari pada melihat mereka tersiksa?" ucap Natasya dengan wajah berbinar. Dia seolah bahagia dengan perceraian yang terjadi antara aku dan Hanin. Apa jangan-jangan benar, dia dalang penculikan itu. Aku memang ragu dengan perkataan Syahla, tak mungkin Natasya sekejam itu. Namun melihat ekspresinya membuatku yakin,. Natasya-lah biang kerok masalah ini. "Apa kamu yakin dengan perceraian, mereka akan kembali? Penculik itu tak akan menyiksa Hanin dan anak-anak?" Aku mengatur napas yang terasa kian sesak. Meski aku tahu ini hanya sandiwara tapi kata cerai yang terucap begitu menyayat hati. Bagaimana aku bisa berkata cerai jika namanya terpatri di sanubari. "Aku yakin dia akan membebaskan Mbak Hanin dan anak-anak setelah Mas Bayu mengajukan gugatan cerai dan surat perjanjian tak akan rujuk dengan Mbak Hanin lagi." Aku menautkan dua alis mendengar ucapan Natasya. Surat perjanjian apa gang ia maksud? "S