Pov Hanin"Azha, ada apa dengannya? Kenapa dia berteriak?"Aku kembali menepuk pantat Ali, berharap ia kembali terlelap ke alam mimpi. "Pergi! Aku benci Mbak Nisa! Kamu bukan Umiku!" Teriak Azha hingga terdengar di dalam kamar. Kenapa anak itu? Kenapa dia berteriak seperti itu? Apa yang terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu yang menari-nari dalam kepala ini. Ingin aku berlari ke sana, tapi Ali tak jua tidur. "Bunda! Bunda!" Teriak Azha histeris. Aku segera beranjak dari kasur lalu menggendong Ali menuju kamar Azha. Kamar Azha sendiri terletak paling pojok tepat di sebelah kamar Alma. Sebenarnya kamarku sudah pindah di lantai bawah. Namun hari ini aku sengaja tidur di lantai atas karena kamar di lantai bawah terlalu berisik. Ali menjadi rewel saat mendengar suara rebana. Maklum dari kecil dia sengat peka dengan suara. Nisa sudah berdiri di luar kamar dengan bantal dan guling berhamburan di lantai. Wanita yang kini menjadi istri kedua suamiku itu hanya membisu dengan linangan air mat
Pov Hanin Aku dan Azha berjalan menuruni anak tangga menuju ruang makan. Semenjak kejadian semalam dia tak mau jauh dariku. Bahkan untuk ke ruang makan sendiri ia tak mau. Perih melihat anak seceria Azha mendadak menjadi pendiam. Dia hanya berbicara seperlunya. Tawa dan candanya seakan lenyap, entah dibawa siapa. "Azha duduk di kursi makan sebentar, ya. Bunda mau lihat adek Ali." "Gak mau! Azha mau ikut Bunda!" Azha semakin mempererat genggam tangannya. "Alma juga ikut, Bunda!" teriak Alma lalu berlari ke arahku. Mendengus kesal, di saat aku kerepotan seperti ini Mas Bayu dan Nisa masih betah di dalam kamar. Apa yang sebenarnya mereka lakukan? Tak bisakah membantuku mengurus anak-anak? "Ali sudah makan,Bi?" Wanita yang sudah kuanggap keluarga itu menoleh kemudian menganggukkan kepala. Aku tersenyum melihat si kecil sudah selesai makan. Tinggal memandikan lalu dia akan tertidur lagi. Sudah menjadi kebiasaan Ali akan terlelap setelah badan bersih dan wangi. Kebiasaan yang p
Pov NisaAku kemasi pakaian lalu memasukkannya ke dalam koper. Niat tinggal untuk beberapa minggu musnah sudah. Berkali-kali aku merutuki diri sendiri, kenapa aku lupa mengunci pintu. Aku terlalu terlena dengan sentuhan Mas Bayu hingga lupa jika anak-anak sudah bangun. Malu, ya jelas. Wanita mana yang tak malu dilihat tanpa busana yang menempel di tubuh. Aku serasa tak memiliki harga diri di depan anak-anak, apa lagi di depan Mama. "Sudah siap, Nis?" Aku membalikkan badan, Mas Bayu berjalan perlahan lalu berdiri tepat di belakangku. "Mas bantu bawa kopernya, Nis.""Teror itu bagaimana, Mas? Aku takut."Mas Bayu kembali meletakkan koper. Kini kedua tangannya menyentuh pipiku. "Mas akan pasang CCTV, Nis. Mas akan sambungkan ke ponsel kamu. Kalau ada apa-apa segera hubungi Mas. Kamu mengerti?" Aku mengangguk pasrah. Kalau boleh meminta, aku ingin tetap tinggal di sini. Selain aku dapat bersama Mas Bayu setiap hari, di rumah Mbak Hanin aku merasa menemukan sebuah keluarga yang begit
Pov Nisa [Mas, sudah makan belum?] [Malam ini ke sini, kan?] [Mas, aku kangen.] Centang dua berwarna biru tapi Mas Bayu tak kunjung membalasnya. Apa dia benar-benar marah padaku? Ya Tuhan... Harus bagaimana lagi cara aku meminta maaf? Senja telah berganti malam,sinar mentari telah digantikan dengan sinar rembulan. Oh, tidak,lebih telatnya digantikan dengan sinar lampu di setiap rumah dan sepanjang jalan. Aku tersenyum membayangkan hangat pelukan Mas Bayu di dinginnya malam. Aku yakin Mas Bayu akan datang malam ini. Tak mungkin dia melewatkan kehangatan yang akan kutawarkan. Dia mana tahan menahan gejolak dari dalam. Jarum jam sudah menunjukkan angka tujuh lebih, kusiapkan makanan kesukaan Mas Bayu di atas meja. Beberapa lauk begitu menggugah selera. Mas Bayu pasti senang dan akan memaafkanku. Aku yakin itu. Meja makan sudah dihiasi lilin hingga membuat ruangan ini semakin indah. Aku ingin kebersamaan kami semakin romantis. Membahagiakan suami adalah caraku agar Mas Bayu sel
Pov Nisa "Satu... Dua... Tiga!" BRAAK! Pintu kamar mandi terbuka lebar. Seketika aku menjerit ketakutan. Aku duduk meringkuk sambil menangis sesegukan. "Ayo Baby! Kamu pasti menunggu Bayu, kan? Dia tak akan datang, percuma kamu dandan seperti ini, dia lebih memilih istri pertamanya, Hanin." DEG! Dari mana dia tahu semua tentang aku. Siapa sebenarnya lelaki ini? Apa dia juga yang mengirim tikus dan memecahkan kaca? Derap langkah kakinya semakin terdengar, kaki gemetar dengan keringat dingin membasahi sekujur tubuh. "Siapa kamu? Kenapa kamu menggangguku? Apa salahku? Kita tak saling mengenal tapi kenapa kamu mengusik hidupku?" Suara langkah kaki itu berhenti tepat di sampingku. Aku tak berani menoleh,hanya isak tangis yang keluar dari mulut ini. "Kamu ingin tahu siapa aku, Manis? Ayo akan kutunjukkan siapa aku ini," ucapnya seraya menarik tangan ini. "Lepas! Lepas! Lepaskan!" Aku tepis tangan lelaki itu. Namun bukannya lepas, tangan itu justru semakin kuat men
Pov Nisa Suara mobil mobil berhenti tepat di depan rumah. Segera kubuka gorden dalam kamar. Bernapas lega kala kulihat mobil Mas Bayu terparkir rapi di sana. Jujur ada rasa trauma akibat kejadian semalam. Aku sendiri memilih diam, aku takut Mas Bayu marah dan mengusirku jika aku mengaku diperkosa oleh lelaki tak dikenal. Lagi dan lagi status istri kedua yang membuatku memilih bungkam. Kuhapus bulir bening yang menempel di pipi meski tak mampu menutupi mataku yang bengkak karena menangis semalaman. Melangkah gontai kuturuni anak tangga. Lagi kuhapus bulir bening yang masih saja jatuh. Susah payah aku menata hati, tapi melihat Mas Bayu membuat kejadian kemarin malam kembali menari-nari di pelupuk mata. Sesak, aliran napasku seakan tersumbat. Justru deru napas lelaki bejing*n itu kembali terasa, meski sebenarnya tak nyata. "Kamu kenapa, Nis?" tanyanya setelah kucium punggung tangannya dengan takzim. "Andai kamu datang kemarin... Pasti kejadian itu tak pernah terjadi. Kehormatanku
Pov Bayu"Jangan, Mas!"Nisa kelihatan panik saat smartphone miliknya berada di tanganku. Kalimat larangan yang ia ucapkan membuat rasa ingin tahuku semakin tinggi. Ada apa di dalam ponsel ini? Kalimat ini yang terus menghantuiku. Bahkan mendorongku untuk membuka benda berwarna putih itu. Segera kubuka ponsel itu, mata ini melotot melihat sebuah video yang dikirim nomor tak dikenal. Bukan, bukan karena nomor pengirim. Namun karena istriku berada di video itu. Tanpa sehelai benang Nisa digarap oleh seorang pria. Nyeri menusuk hingga ke ulu hati. Wanita yang kukira baik justru mengumbar tubuhnya untuk orang lain. Apa karena aku tak datang ia justru berbagi peluh dengan lelaki lain? Kurang apa aku selama ini? Harta sudah kuberikan, kuangkat dia dari kemiskinan. Namun justru aib yang ia berikan padaku. "Apa-apaan ini, Nis!" Kubanting ponsel di atas meja hingga layarnya retak beberapa bagian. Seperti layar ponsel itu, hatiku kini remuk tak berbentuk. Ketika aku mulai menaruh rasa tapi
Pov Bayu"Yang namanya ibu hamil pasti baperan. Mas harus ekstra sabar melayani sikap kekanak-kanakan aku dan Hanin. Semua ini karena perubahan horman yang kami alami. Mas sudah berpengalaman menghadapi ibu hamil ... Jadi tak masalah, kan?" ucap Hanin setelah menjatuhkan bobot di sofa ruang keluarga. Wanita yang telah melimpahkan perhatian dan kasih sayang itu menyandarkan kepala di pundakku, tangannya memainkan jemari kiri ini. "Mas masih berantem dengan Nisa?" tanyanya lagi. Sejak pulang dari kantor aku hanya diam membisu. Bayangan Nisa berbagi kehangatan dengan lelaki lain menyita perhatianku. Aku hanya mendengar perkataan Hanin,tapi tidak untuk menjawabnya. Mendengar nama Nisa saja sudah membuat moodku hancur berantakan. "Mengalahlah pada Nisa, Mas."Inikah wanita yang Nisa tuduh? Dia justru perhatian dengan adik madunya. Namun Nisa ... Teganya ia menuduh Hanin seperti itu. "Kenapa, Mas?" tanya Hanin karena mulut ini kelu. Hingga dari tadi aku hanya diam membisu. Mungkin Han
"Nisa," ucapku lirih. "Walailaikumsalam, sini duduk, Nis," jawaban Hanin membuat mereka tersentak. Terkejut atas kedatangan Nisa membuat kami lupa menjawab salam. Meski kami tahu wajib hukumnya. "Untuk apa kamu datang kemari, Nis? Gara-gara kamu Hanin jadi kehilangan anaknya."Mendadak wajah Nisa menjadi pias. Ucapan Mama bagai halilintar yang menyambar hingga ia terkapar tak sadarkan diri. "Nisa tak salah, Ma. Tanpa kehadiran Nisa, Natasya bisa berbuat nekat." Mama diam seketika. "Mbak Hanin sudah baik-baik saja?" Nisa mendekat lalu duduk di samping Hanin. Kedatangan Nisa disituasi seperti ini membuatku tidak tahu harus berbuat apa? Aku menjadi seba salah. Orang-orang yang hendak pergi justru kembali duduk dan berdiri di tempat masing-masing. Kedatangan Nisa bagai magnet yang menarik perhatian orang. "Aku baik-baik saja, Nis. Ini cewek atau cowok?" Hanin mengelus perut Hanin yang membukit. "Cowok, Mbak, seperti Kak Azha dan Kak Ali."Astagfirullah... Aku sampai tak tahu apa
Pov BayuEntah apa yang akan kukatakan kepada Hanin? Jujur pasti menyakitkan tapi aku tidak punya pilihan lain. Hanya rangkaian kata agar kebenaran yang akan aku sampaikan tak sampai menggores hatinya terlalu dalam. "Mas...," panggilnya lirih. Aku menoleh lalu tersenyum ke arahnya. "Anak-anak di mana?" "Mereka ada di kamar inap khusus anak-anak, ditemani Bunda dan Ayah."Aku sedikit heran dengan pertanyaannya. Biasanya ibu setelah melahirkan akan menanyakan bayi yang ia lahirkan. Namun tidak dengan Hanin. Dia justru menanyakan kabar anak-anak terlebih dahulu. "Kamu heran kenapa aku tak bertanya bayiku?" Aku mengangguk, Hanin seolah mampu membaca pikiranku. "Aku tahu bayi kita meninggal, Mas. Saat di sekap pergerakannya di dalam perut sudah berbeda. Ditambah saat membuka mata bayi mungil itu tak ada di kamar ini. Benar, kan, Mas tebakanku?" ucapnya dengan linangan air mata membasahi pipi. Tanpa diminta kupeluk dia. Kutenangkan tangisnya dalam dekapanku. Ini adalah kabar buruk ba
"Pak Bayu ditunggu dokter di depan ruang operasi.""Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Sus?""Dokter yang akan menyampaikan," ucapnya pelan. Perasaanku semakin tak, tapi aku tidak ingin berpikir buruk. Aku yakin mereka akan baik-baik saja. Aku melangkah mengikuti suster itu. Dari kejauhan sudah terlihat dokter yang duduk tepat di depan ruang operasi. Mendadak jantung dipacu lebih cepat. Perasaan semakin tak karuan. Ya Allah... Semoga ini bukan berita buruk. "Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Dok? Mereka baik-baik saja, kan?" cecarku. Dokter yang menangani Hanin menghembuskan napas perlahan. Seakan ada beban berat yang masih ia tanggung di pundak. Ya Robb ... Jangan berikan aku cobaan yang berat. Aku tak akan sanggup kehilangan mereka. "Alhamdulillah Ibu Hanin dapat melewati operasi dengan baik. Saat ini beliau masih dalam pengaruh obat bius. Namun semuanya normal. Tinggal menunggu beliau sadarkan diri."Aku bernapas lega, seakan beban yang kutanggung di pundak jatuh di
Setelah hampir satu jam akhirnya kami berhenti di depan sebuah rumah sakit swasta. Dengan cepat kami membopong tubuh Hanin menuju ruang IGD. "Suster ... Dokter!" teriakku lantang. Seorang suster dengan cepat membuka pintu ruang IGD. Perlahan kurebahkan tubuh Hanin di atas brankar. "Kenapa ini, Pak?" tanya Dokter berkacamata itu.Aku memberikan surat rujukan dari klinik Permata Hati. Kuceritakan juga kejadian yang menimpa Hanin hingga akhirnya ketubannya pecah dan tak sadarkan diri. "Suster siapkan ruang operasi. Telepon dokter bedah, dokter kandungan, dokter anastesi. Pasien harus segera dioperasi."Seorang suster segera menelepon dokter yang dimaksud. "Suster, pasang infuse, cek HB, pasien." Seorang suster dengan sigap memasang infus di tangan kiri Hanin. Aku hanya diam sembari terus berdoa. "Bapak tolong bawa ke administrasi. Tanda tangani surat izin untuk operasi." Aku mengangguk, dengan cepat berlari menuju bagian pendaftaran. Suasana rumah sakit terbilang sepi. Maklum saja
"Aku... Aku...." Aku tak mampu melanjutkan kata-kata ini. Mulut ini mendadak kelu. Bagaimana aku bisa mengatakan cerai jika hati dan hidupku untuknya? "Aw... Sakit." Cairan bening keluar dari pangkal paha Hanin merembes hingga ke lantai. Hanin luruh di lantai, dia tak sadarkan diri."Hanin!" Aku berlari menuju ke arah istriku, tak kuhiraukan pisau yang masih dipegang oleh Natasya. Keselamatan Hanin dan anak kami jauh lebih penting. "Lepas! Lepaskan aku!"Pingsannya Hanin membuat konsentrasi Natasya terpecah, dengan mudah ia diringkus oleh dua orang polisi. PLAAK! "Wanita tak tahu malu, mulai sekarang pertunangan kita batal. Jangan tunjukkan wajah kamu di hadapanku lagi!" maki Raffi. Aku mendengar tapi enggan menoleh, pikiranku hanya tertuju pada Hanin. Polisi segera menyeret Natasya keluar. "Tolong, Pak."Pak Burhan dan seorang polisi membantuku mengangkat tubuh Hanin. Cairan bening masih saja keluar hingga membasahi gamis yang ia kenakan. Dalam hati terus berdoa semoga Allah
Pov Bayu"Natasya!" Raffi terkejut bukan main. Adikku tak menyangka jika kecurigaanku benar-benar menjadi kenyataan. Orang yang ia cinta dan perjuangkan justru menyakiti kakak iparnya. "Angkat tangan! Kalian sudah dikepung!" teriak Pak Burhan saraya menodongkan pistol ke arah mereka. Sontak dua lelaki dan Natasya mengangkat tangan ke atas. Pisau yang sempat dipegang lepas dari tangannya. "Ayah!" teriak Azha dan Alma. Kedua anakku melepas tangan Hanin, mereka hendak berjalan ke arah kami. "Azha, Alma tunggu, Nak," teriak Hanin sambil berusaha menarik tangan anak-anak. Namun mereka berhasil sampai di tengah-tengah ruangan. Seorang lelaki dengan perut buncit berjalan mendekat ke arah anak-anak. Jantungku seakan berhenti berdetak. Rasa takut kian memenuhi pikiran ini. "Azha, Alma mundur!" DOR! Satu buah timah panas mendarat tepat di kaki kanan lelaki dengan perut buncit itu. Lelaki itu tersungkur dengan darah segar mengucur dari betisnya. Untung saja Pak Burhan menembak tepat wak
"Kukira kamu sudah menjelaskannya. Dia ikut dalam misi penting ini membuat aku yakin jika kamu sudah mengatakan siapa dalangnya, Bayu.""Dalang apa, Mas? Apa hubungannya dengan Natasya?" Raffi mencekal tanganku, tatapannya meminta sebuah penjelasan dariku. Aku mengatur napas, mengumpulkan pasokan oksigen agar aku bisa berpikir dengan jernih. Ah, lebih tepatnya supaya bisa mencari jawaban dengan tepat. "Natasya adalah dalang penculikan Hanin dan tindakan keji pada Nisa.""Tidak! Ini tidak mungkin, Natasya tidak mungkin sejahat itu, Mas. Dia itu calon istri aku, bukan penculik seperti yang Mas Bayu katakan." Raffi menggelengkan kepala. Sorot matanya tak mempercayai ucapanku. Ini wajah, karena aku juga sempat tak percaya hingga perlahan Tuhan membuka tabir gelap yang ia sembunyikan. "Aku harus meminta penjelasan dari Natasya, dia pasti bukan penculiknya. Mas Bayu pasti salah orang." Raffi merogoh saku celananya. Dengan cepat jemarinya menari di atas layar ponsel. Ini tidak bisa dibi
Pov BayuNatasya kembali berjalan menuju mobilnya berada. Seketika jantungku berdetak kencang. Rasa takut kian besar kala jarak ke mobil semakin dekat. "Ya Tuhan, bagaimana ini?""Lho, Mas, kenapa mobilnya tidak dikunci?" tanyanya saat melihat kunci menggantunung di luar pintu. Natasya semakin mempercepat langkah kakinya. Mendadak kakiku lemas, sudah pasti rencana kami gagal. Ya Tuhan, aku pasrah dengan rencanaMu"Ya, ampun, Mas. Pintu dibuka dengan kunci menggantung, kalau mobilku sampai hilang bagaimana?" Natasya berdiri sambil menyilangkan tangan di dada. Sudut bibirku tertarik ke atas. Ternyata ketakutanku hilang. Pak Burhan bisa menyelesaikan tugas tepat waktu. Andai ia terlambat lima menit saja, sudah pasti semua akan hancur berantakan. "Mas Bayu malah bengong! Aku sedang ngomong lho, kenapa kunci di luar?""Itu karena aku khawatir dengan kamu, Nat. Aku membuka pintu lalu kembali ke restoran. Aku takut kamu kenapa-napa," dustaku. Kubuat wajah khawatir agar wanita itu percaya
"Tentang perceraian itu? Mas Bayu akan menceraikan Mbak Hanin, kan? Mas memilih berpisah dari pada melihat mereka tersiksa?" ucap Natasya dengan wajah berbinar. Dia seolah bahagia dengan perceraian yang terjadi antara aku dan Hanin. Apa jangan-jangan benar, dia dalang penculikan itu. Aku memang ragu dengan perkataan Syahla, tak mungkin Natasya sekejam itu. Namun melihat ekspresinya membuatku yakin,. Natasya-lah biang kerok masalah ini. "Apa kamu yakin dengan perceraian, mereka akan kembali? Penculik itu tak akan menyiksa Hanin dan anak-anak?" Aku mengatur napas yang terasa kian sesak. Meski aku tahu ini hanya sandiwara tapi kata cerai yang terucap begitu menyayat hati. Bagaimana aku bisa berkata cerai jika namanya terpatri di sanubari. "Aku yakin dia akan membebaskan Mbak Hanin dan anak-anak setelah Mas Bayu mengajukan gugatan cerai dan surat perjanjian tak akan rujuk dengan Mbak Hanin lagi." Aku menautkan dua alis mendengar ucapan Natasya. Surat perjanjian apa gang ia maksud? "S