Sudah satu bulan setelah kami memiliki asisten rumah tangga baru. Namun tak sedikit pun mengurangi rasa lelah yang mendera. Justru aku semakin kelelahan karena memenuhi kewajibanku. "Bu Hanin sudah bangun?" tanya Bi Leha saat aku keluar kamar sambil menggendong Ali. Dengan sigap wanita itu mengambil Ali dari gendonganku. Semenjak Mas Bayu selalu mengajakku begadang, aku jadi sering tidur setelah anak-anak berangkat sekolah. Rasa kantuk membuatku terlelap setelah menyusui Ali. Beruntung Bi Leha paham keadaanku. "Ibu terlihat pucat dan mengantuk, istirahat saja, Bu. Ali biar saya jaga," ucap Bi Leha kala melihat wajahku. Mata panda sudah tergambar jelas di wajahku. Itu semua karena Mas Bayu selalu meminta haknya hingga dini hari. Bahkan berat badanku turun satu kilo. Beruntung ASI-ku tak kering. "Sudah tidak mengantuk, Bi." "Jangan capek-cepek, Bu." Aku mengangguk lalu berjalan pelan menuruni anak tangga. "Mbak Dina!" panggilku lantang memanggil asisten rumah tangga kami. Tak but
"Menikahlah dengan suamiku, La." "Apa!!" teriak Syahla kencang. Seketika semua mata tertuju pada kami. "Pelankan suaramu!" ucapku sambil menatap tajam ke arahnya. "Iya maaf... Maaf." Sesaat kami diam, Syahla sibuk mencerna permintaanku. Sementara aku bingung harus merangkai kata. Permintaan itu keluar begitu saja dari mulut ini. Jika Mas Bayu mau menikah lagi, aku ingin mengenal istri keduanya dengan baik. Tentu ia juga harus sayang kepada ketiga anakku, dan Syahla memiliki kriteria itu. Lagi pula ia ingin suami seperti Mas Bayu bukan? Akan kukabulkan itu. "Apa kamu gak waras, Nin? Kamu memintaku menikah dengan suamimu?" ucapnya penuh penekanan. Netranya menatapku penuh selidik. "Kamu jangan bercanda, Nin. Pernikahan itu bukan untuk main-main apa lagi bahan guyonan!" Aku menghembuskan napas kasar lalu menatap lekat manik hitam miliknya. "Apa aku terlihat bercanda, La?" Syahla menatapku tajam lalu menggelengkan kepala. Persahabatan yang terjalin lama diantara kami membuat
Pov Bayu"Ide gila apa lagi, Nin!" ucapku frustasi. Aku tak habis pikir dengan permintaan Hanin. Entah setan apa yang merasuki istriku, hingga ia memintaku menikahi sahabatnya. Disaat wanita lain melarang suaminya menikah lagi, tapi dia justru memintanya. Ya Robb... Aku pikir setelah memberinya dua asisten rumah tangga, dia akan melupakan keinginannya itu. Namun aku salah, dia justru memintaku menghalalkan Syahla, teman yang sudah ia anggap saudara itu. "Aku ingin kamu menikah lagi, Mas. Dan Syahla calon adik madu yang baik untuk kita. Kamu sudah mengenalnya, anak-anak juga sudah tahu dia. Apa lagi yang kamu pikirkan," ucapnya pelan. Aku acak rambut kasar, frustasi. Aku sudah tak tahu harus bagaimana menolak permintaan Hanin. Aku lelah dan bosan dia memintaku menikah lagi. "Sudah, aku capek!" Kutinggalkan Hanin sambil menggendong Ali. Percuma berdebat dengan orang yang tak mau mengalah. Malam kian larut tapi rasa kantuk tak jua datang. Ucapan Hanin selalu terngiang-ngiang di te
“Ini pesanannya,Mbak,” ucap pelayan memotong pembicaraan Syahla.Syahla mengangguk melihat pelayan itu meletakkan makanan dan minuman di atas meja."Dimakan dulu, Bay," ucapnya sambil memberikan piring berisi ayam geprek padaku. "Makasih, La." Aku mulai memasukkan nasi dan ayam ke dalam mulut. Nikmat masakan itu terasa hambar di lidahku. Mungkin karena suasana yang tidak mendukung. "Apa yang mau kamu katakan, La?" tanyaku setelah kami selesai makan. Syahla meletakkan gelas berisi jus jeruk di atas meja lalu menatap lekat mataku. "Apa Hanin memintamu menikah denganku?" tanyaku lagi karena dia masih diam. Syahla menghembuskan napas kasar. Tak ada raut kaget di sana. Itu berarti Hanin sudah mengatakan hal itu padanya. "Ya, kemarin dia memintaku menjadi adik madunya.""Lalu? Apa jawaban kamu?" tanyaku penasaran. "Sebelum aku menjawab...." Syahla menjeda kalimatnya. "Ada yang ingin aku tanyakan padamu," ucapnya serius."Apa?" Syahla terdiam, ada keraguan di sorot mata itu. Sikapny
Pov Bayu"Menikah lagi? Jangan-jangan kamu menerima permintaan Hanin kemarin?""Jangan gila kamu, Bay! Mana mungkin aku mau jadi duri dalam pernikahan kalian, sekali pun itu permintaan Hanin. Jangan mentang-mentang aku masih single kamu bisa seenaknya sendiri. Menuduhku yang bukan-bukan!" ucap Syahla kesal. Salah lagi, salah lagi. Apa lelaki memang selalu salah di mata perempuan? "Maaf, La. Bukan maksudku seperti itu. Aku hanya pusing memikirkan masalah dengan Hanin yang tak memiliki titik tengah." Syahla mencebikkan bibir. "Sepertinya tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku permisi!" ucapnya lalu berdiri meninggalkan aku. Aku pijit kepala yang kian terasa berdenyut, pusing. Kukira Syahla mau memberi solusi tapi justru menambah beban di kepalaku. Ya Ampun! "Assalamualaikum...," salamku lirih sambil membuka pintu. Sepi, tak ada tanda-tanda orang di rumah. Ke mana Hanin dan anak-anak? Dengan langkah gontai aku berjalan menuju dapur. Siapa tahu Dina dan Lana tahu di mana Hanin da
“Saya minta maaf,Lan. Saya tidak bermaksud seperti itu, saya kira kalian berbuat yang tidak-tidak,jadi ....”“Bapak yang telah berbuat tidak-tidak padaku. Bapak sudah melihat tubuhku ...hiks ... hiks,” ucapnya sambil menangis sesegukan.“Saya tidak melihatnya secara detail,Lan. Saya langsung memalingkan tubuh saat tahu kalian hanya kerokan,” jelasku. “Bohong,Bapak memang berniat melihat tubuh saya,kan?ngaku!” tuduh Lana padaku.“Tidak,Lan! Saya mana berani melakukan itu. Dosa.”“Mbak Dina,aku malu,malu.”“Sudah,Lan,jangan memperpanjang masalah. Pak Bayu tidak sengaja,” bujuk Dina seraya mengelus pucuk kepala Lana. Namun dia justru kian menangis,hingga membuatku semakin merasa bersalah.Semenjak Hanin memintaku menikah lagi, pikiranku menjadi tidak fokus. Banyak kesalahan yang kubuat dari yang kecil hingga yang fatal seperti ini. Meski aku tak sengaja tapi mampu membuat Lana ketakutan dan merasakan trauma.“Tidak,Mbak. Aku malu karena Pak Bayu sudah melihatnya,hiks ... hiks.”“Tolong
"Sudah selesai bicaranya?" Pekik Mas Bayu membuatku diam seketika. "Aku tak pernah melakukan hal yang kamu katakan. Aku masih waras, tahu mana yang benar dan salah. Apa kamu pikir aku serendah itu?" "Lalu kenapa kamu harus bertanggung jawab kepada Lana? Aku mengizinkan kamu menikah lagi tapi bukan dengan dia, Mas!" Aku tak mau Lana menjadi adik maduku, bukan karena dia berasal dari kalangan bawah. Aku tak suka sikapnya yang suka tebar pesona kepada suami orang. Dari tingkahnya saja aku tahu jika ia memiliki bibit menjadi seorang pelakor. Aku ingin ibu tiri anak-anak memiliki akhlak yang baik. Karena dia juga akan membantu mendidik anak-anak. Bukan hanya menemani Mas Bayu di atas ranjang. "Aku mendobrak kamar Lana saat dia kerokan. Dia memintaku bertanggung jawab karena sudah melihat tubuhnya tanpa busana, tapi hanya sekilas," ucapnya dengan raut bersalah. "Astagfirullahalladzim...." Aku menutup mulut ini rapat. Syok, rasanya tak percaya jika Mas Bayu bisa melakukan hal itu."Nia
"Belum, Bu. Mau saya bangunkan?" "Boleh, Bi. Baru setelah itu Bi Leha bangunkan anak-anak." Tanpa menjawab Bi Leha segera berjalan menuju kamar Lana dan Dina. Aku membuang napas kasar. Asisten rumah tangga sekarang apa seperti ini? Bangun paling akhir sudah seperti pemilik rumah ini. Ya ampun, kenapa Mas Bayu memilih model pembantu seperti mereka? "Ya ampun, Leha... Kamu kenapa berani ganggu tidurku?" teriak Lana lantang. Ada apa ini? Kenapa pagi buta sudah ribut-ribut? Dengan kesal kuletakkan wortel di atas meja kemudian berjalan ke kamar Dina. Lana berdiri di mulut pintu sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Matanya melotot ke arah Bi Leha. Gayanya sudah seperti nyoya besar saja. Astagfirullah... Aku sampai mengelus dada."Baru bangun, Lan, Din?" tanyaku sambil menatap tajam ke arah mereka. "Apa asisten rumah tangga seperti ini? Bangun paling akhir tanpa rasa bersalah tapi justru marah kepada senior?" Dina menundukkan kepala tak berani beradu pandang denganku. "Ma-maaf, Bu
"Nisa," ucapku lirih. "Walailaikumsalam, sini duduk, Nis," jawaban Hanin membuat mereka tersentak. Terkejut atas kedatangan Nisa membuat kami lupa menjawab salam. Meski kami tahu wajib hukumnya. "Untuk apa kamu datang kemari, Nis? Gara-gara kamu Hanin jadi kehilangan anaknya."Mendadak wajah Nisa menjadi pias. Ucapan Mama bagai halilintar yang menyambar hingga ia terkapar tak sadarkan diri. "Nisa tak salah, Ma. Tanpa kehadiran Nisa, Natasya bisa berbuat nekat." Mama diam seketika. "Mbak Hanin sudah baik-baik saja?" Nisa mendekat lalu duduk di samping Hanin. Kedatangan Nisa disituasi seperti ini membuatku tidak tahu harus berbuat apa? Aku menjadi seba salah. Orang-orang yang hendak pergi justru kembali duduk dan berdiri di tempat masing-masing. Kedatangan Nisa bagai magnet yang menarik perhatian orang. "Aku baik-baik saja, Nis. Ini cewek atau cowok?" Hanin mengelus perut Hanin yang membukit. "Cowok, Mbak, seperti Kak Azha dan Kak Ali."Astagfirullah... Aku sampai tak tahu apa
Pov BayuEntah apa yang akan kukatakan kepada Hanin? Jujur pasti menyakitkan tapi aku tidak punya pilihan lain. Hanya rangkaian kata agar kebenaran yang akan aku sampaikan tak sampai menggores hatinya terlalu dalam. "Mas...," panggilnya lirih. Aku menoleh lalu tersenyum ke arahnya. "Anak-anak di mana?" "Mereka ada di kamar inap khusus anak-anak, ditemani Bunda dan Ayah."Aku sedikit heran dengan pertanyaannya. Biasanya ibu setelah melahirkan akan menanyakan bayi yang ia lahirkan. Namun tidak dengan Hanin. Dia justru menanyakan kabar anak-anak terlebih dahulu. "Kamu heran kenapa aku tak bertanya bayiku?" Aku mengangguk, Hanin seolah mampu membaca pikiranku. "Aku tahu bayi kita meninggal, Mas. Saat di sekap pergerakannya di dalam perut sudah berbeda. Ditambah saat membuka mata bayi mungil itu tak ada di kamar ini. Benar, kan, Mas tebakanku?" ucapnya dengan linangan air mata membasahi pipi. Tanpa diminta kupeluk dia. Kutenangkan tangisnya dalam dekapanku. Ini adalah kabar buruk ba
"Pak Bayu ditunggu dokter di depan ruang operasi.""Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Sus?""Dokter yang akan menyampaikan," ucapnya pelan. Perasaanku semakin tak, tapi aku tidak ingin berpikir buruk. Aku yakin mereka akan baik-baik saja. Aku melangkah mengikuti suster itu. Dari kejauhan sudah terlihat dokter yang duduk tepat di depan ruang operasi. Mendadak jantung dipacu lebih cepat. Perasaan semakin tak karuan. Ya Allah... Semoga ini bukan berita buruk. "Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Dok? Mereka baik-baik saja, kan?" cecarku. Dokter yang menangani Hanin menghembuskan napas perlahan. Seakan ada beban berat yang masih ia tanggung di pundak. Ya Robb ... Jangan berikan aku cobaan yang berat. Aku tak akan sanggup kehilangan mereka. "Alhamdulillah Ibu Hanin dapat melewati operasi dengan baik. Saat ini beliau masih dalam pengaruh obat bius. Namun semuanya normal. Tinggal menunggu beliau sadarkan diri."Aku bernapas lega, seakan beban yang kutanggung di pundak jatuh di
Setelah hampir satu jam akhirnya kami berhenti di depan sebuah rumah sakit swasta. Dengan cepat kami membopong tubuh Hanin menuju ruang IGD. "Suster ... Dokter!" teriakku lantang. Seorang suster dengan cepat membuka pintu ruang IGD. Perlahan kurebahkan tubuh Hanin di atas brankar. "Kenapa ini, Pak?" tanya Dokter berkacamata itu.Aku memberikan surat rujukan dari klinik Permata Hati. Kuceritakan juga kejadian yang menimpa Hanin hingga akhirnya ketubannya pecah dan tak sadarkan diri. "Suster siapkan ruang operasi. Telepon dokter bedah, dokter kandungan, dokter anastesi. Pasien harus segera dioperasi."Seorang suster segera menelepon dokter yang dimaksud. "Suster, pasang infuse, cek HB, pasien." Seorang suster dengan sigap memasang infus di tangan kiri Hanin. Aku hanya diam sembari terus berdoa. "Bapak tolong bawa ke administrasi. Tanda tangani surat izin untuk operasi." Aku mengangguk, dengan cepat berlari menuju bagian pendaftaran. Suasana rumah sakit terbilang sepi. Maklum saja
"Aku... Aku...." Aku tak mampu melanjutkan kata-kata ini. Mulut ini mendadak kelu. Bagaimana aku bisa mengatakan cerai jika hati dan hidupku untuknya? "Aw... Sakit." Cairan bening keluar dari pangkal paha Hanin merembes hingga ke lantai. Hanin luruh di lantai, dia tak sadarkan diri."Hanin!" Aku berlari menuju ke arah istriku, tak kuhiraukan pisau yang masih dipegang oleh Natasya. Keselamatan Hanin dan anak kami jauh lebih penting. "Lepas! Lepaskan aku!"Pingsannya Hanin membuat konsentrasi Natasya terpecah, dengan mudah ia diringkus oleh dua orang polisi. PLAAK! "Wanita tak tahu malu, mulai sekarang pertunangan kita batal. Jangan tunjukkan wajah kamu di hadapanku lagi!" maki Raffi. Aku mendengar tapi enggan menoleh, pikiranku hanya tertuju pada Hanin. Polisi segera menyeret Natasya keluar. "Tolong, Pak."Pak Burhan dan seorang polisi membantuku mengangkat tubuh Hanin. Cairan bening masih saja keluar hingga membasahi gamis yang ia kenakan. Dalam hati terus berdoa semoga Allah
Pov Bayu"Natasya!" Raffi terkejut bukan main. Adikku tak menyangka jika kecurigaanku benar-benar menjadi kenyataan. Orang yang ia cinta dan perjuangkan justru menyakiti kakak iparnya. "Angkat tangan! Kalian sudah dikepung!" teriak Pak Burhan saraya menodongkan pistol ke arah mereka. Sontak dua lelaki dan Natasya mengangkat tangan ke atas. Pisau yang sempat dipegang lepas dari tangannya. "Ayah!" teriak Azha dan Alma. Kedua anakku melepas tangan Hanin, mereka hendak berjalan ke arah kami. "Azha, Alma tunggu, Nak," teriak Hanin sambil berusaha menarik tangan anak-anak. Namun mereka berhasil sampai di tengah-tengah ruangan. Seorang lelaki dengan perut buncit berjalan mendekat ke arah anak-anak. Jantungku seakan berhenti berdetak. Rasa takut kian memenuhi pikiran ini. "Azha, Alma mundur!" DOR! Satu buah timah panas mendarat tepat di kaki kanan lelaki dengan perut buncit itu. Lelaki itu tersungkur dengan darah segar mengucur dari betisnya. Untung saja Pak Burhan menembak tepat wak
"Kukira kamu sudah menjelaskannya. Dia ikut dalam misi penting ini membuat aku yakin jika kamu sudah mengatakan siapa dalangnya, Bayu.""Dalang apa, Mas? Apa hubungannya dengan Natasya?" Raffi mencekal tanganku, tatapannya meminta sebuah penjelasan dariku. Aku mengatur napas, mengumpulkan pasokan oksigen agar aku bisa berpikir dengan jernih. Ah, lebih tepatnya supaya bisa mencari jawaban dengan tepat. "Natasya adalah dalang penculikan Hanin dan tindakan keji pada Nisa.""Tidak! Ini tidak mungkin, Natasya tidak mungkin sejahat itu, Mas. Dia itu calon istri aku, bukan penculik seperti yang Mas Bayu katakan." Raffi menggelengkan kepala. Sorot matanya tak mempercayai ucapanku. Ini wajah, karena aku juga sempat tak percaya hingga perlahan Tuhan membuka tabir gelap yang ia sembunyikan. "Aku harus meminta penjelasan dari Natasya, dia pasti bukan penculiknya. Mas Bayu pasti salah orang." Raffi merogoh saku celananya. Dengan cepat jemarinya menari di atas layar ponsel. Ini tidak bisa dibi
Pov BayuNatasya kembali berjalan menuju mobilnya berada. Seketika jantungku berdetak kencang. Rasa takut kian besar kala jarak ke mobil semakin dekat. "Ya Tuhan, bagaimana ini?""Lho, Mas, kenapa mobilnya tidak dikunci?" tanyanya saat melihat kunci menggantunung di luar pintu. Natasya semakin mempercepat langkah kakinya. Mendadak kakiku lemas, sudah pasti rencana kami gagal. Ya Tuhan, aku pasrah dengan rencanaMu"Ya, ampun, Mas. Pintu dibuka dengan kunci menggantung, kalau mobilku sampai hilang bagaimana?" Natasya berdiri sambil menyilangkan tangan di dada. Sudut bibirku tertarik ke atas. Ternyata ketakutanku hilang. Pak Burhan bisa menyelesaikan tugas tepat waktu. Andai ia terlambat lima menit saja, sudah pasti semua akan hancur berantakan. "Mas Bayu malah bengong! Aku sedang ngomong lho, kenapa kunci di luar?""Itu karena aku khawatir dengan kamu, Nat. Aku membuka pintu lalu kembali ke restoran. Aku takut kamu kenapa-napa," dustaku. Kubuat wajah khawatir agar wanita itu percaya
"Tentang perceraian itu? Mas Bayu akan menceraikan Mbak Hanin, kan? Mas memilih berpisah dari pada melihat mereka tersiksa?" ucap Natasya dengan wajah berbinar. Dia seolah bahagia dengan perceraian yang terjadi antara aku dan Hanin. Apa jangan-jangan benar, dia dalang penculikan itu. Aku memang ragu dengan perkataan Syahla, tak mungkin Natasya sekejam itu. Namun melihat ekspresinya membuatku yakin,. Natasya-lah biang kerok masalah ini. "Apa kamu yakin dengan perceraian, mereka akan kembali? Penculik itu tak akan menyiksa Hanin dan anak-anak?" Aku mengatur napas yang terasa kian sesak. Meski aku tahu ini hanya sandiwara tapi kata cerai yang terucap begitu menyayat hati. Bagaimana aku bisa berkata cerai jika namanya terpatri di sanubari. "Aku yakin dia akan membebaskan Mbak Hanin dan anak-anak setelah Mas Bayu mengajukan gugatan cerai dan surat perjanjian tak akan rujuk dengan Mbak Hanin lagi." Aku menautkan dua alis mendengar ucapan Natasya. Surat perjanjian apa gang ia maksud? "S