Keesokan harinya di gedung Lim Group,
“Aku akan menyampaikan hasil data dari konferensi pers kemarin. Pada dasarnya tanggapan positifnya mencapai lebih dari 60%. Khususnya tanggapan mengenai pernyataan David Lim mengenai program kepedulian kepada masyarakat.” Jenny membacakan laporan yang sudah berhasil dirangkumnya dari malam hingga siang hari ini.
“Hanya dalam waktu kurang dari satu hari, nama David Lim segera menduduki trending topic pencarian di media sosial. Meski masyarakat masih tidak menemukan jawaban mengenai menghilangnya David tapi para investor dan pemegang saham terlihat puas.”
Dengan cekatan Jenny menyalakan layar monitor persegi di ruangan David Lim. Ketiga orang di ruangan itu menatap grafik saham yang langsung terpampang begitu layar menyala.
“Tidak diragukan! Grafik saham sudah menunjukkan kestabilan pada saham Lim Group. Walau masih ada rumor spekulatif mengenai David dan Cecilia, tapi berdasarkan pernyataan Tuan Ming dengan mengancam akan mengambil tindakan hukum maka dapat dipastikan bahwa wartawan akan berhati-hati dalam memuat berita.”
“Jadi dapat disimpulkan konferensi pers kemarin sukses besar?” Tanya Shuo Ming.
“Bisa dibilang seperti itu. Namun, satu hal lagi–media cetak yang memuat berita mengenai David dan Cecilia ternyata mendapatkan berita tersebut dari surat elektronik yang masuk ke alamat surat redaksi. Masih diselidiki siapakah pengirim email tersebut.”
Daniel mengatupkan kedua tangannya, “Aku sudah tahu siapa orangnya atau kalau tebakanku benar, setidaknya orang ini pasti masih menyimpan fotonya.”
“Dari mana kau tahu?” Jenny mengerutkan dahinya.
“Beri aku waktu siang ini untuk kembali menjadi Daniel. Aku akan menemui sahabatku, Lidya.” Ucap Daniel misterius.
***
Matahari nampaknya begitu bersemangat siang ini, terik cahayanya menerangi kota yang tengah berada pada puncak kesibukannya.
“Tidak! Bayar dulu hutangmu kemarin–HAH! Baru aku mau memberikan sepiring nasi lagi kepadamu!” seruan nyaring seorang wanita muda terdengar menguasai Pasar Kai Xin.
Belum sebulan Daniel tidak muncul di tempat itu, tapi rasanya dirinya dipenuhi dengan kerinduan akan suasana pasar yang selalu ramai. Sebuah gerobak kaki lima penjual makanan yang tengah ramai dikelilingi para buruh kasar yang mencari makan siang murah menjadi tujuan Daniel.
“Bubar! Kalian mengotori daerah ini!” Teriak Daniel mengejutkan setiap orang yang tengah menikmati nasi campur mereka.
“Hei! Siapa yang berani berteriak seperti itu? Dasar preman kurang ajar! Aku sudah membayar biaya sewa tepat waktu! Mau apa lagi?” wanita muda yang tengah melayani pembeli tadi bergegas menghampiri sosok Daniel yang tengah berdiri bertolak pinggang.
“Kurang aja–tunggu, kau?” Lidya menahan tangannya yang hampir saja diayunkan bertubi-tubi kepada orang yang dikiranya preman itu.
“Abang! Aaaahh–aku merindukanmu!” Teriakanya kemudian saat menyadari siapa sosok yang tengah dihadapinya saat ini.
“Abang, aku lihat wajah abang di televisi kemarin. Kau hebat sekali. Darimana kau bisa belajar berbicara dengan gaya seperti itu?”
“Ssssstttt! Berisik sekali. Aku kesini sebagai Daniel, jangan sampai ada yang curiga.” bisik Daniel.
“Aahh yaa–aku mengerti. Sekarang abang pasti lapar. Akun akan menggorengkan telur setengah matang kesukaan abang.” Lidya menarik tangan Daniel menuju lapak dagangannya.
“Jadi, apa yang sedang abang risaukan?” tanya Lidya setelah para pelanggannya pergi.
“Kalau aku tidak salah ingat, kau pernah bercerita kalau ada seorang pelangganmu yang berkerja sebagai wartawan bayaran? Itu maksudnya apa?” Ucap daniel seraya membawa piring-piring ke tempat pencucian.
“Apa? Wartawan bayaran? Oohh … menurut pendapatku, wartawan bayaran itu seseorang pencari berita yang kemudian dijual ke media untuk menjadi berita viral. Semacam itulah, aku juga tidak terlalu bisa menggambarkannya.”
“Apa pria itu masih suka kesini?”
“Hmm? Kenapa kau tiba-tiba mencarinya? Apa ada hubungannya dengan berita viral yang kemarin sempat heboh? Eeeehh … Nona Cecilia itu pasti cantik sekali yaa?”
“Masih lebih cantik darimu … aahhh–kau mengacaukan konsentrasiku.” Daniel mencubit pipi Lidya dengan tangannya yang basah.
“Kalau kau menggodaku terus, aku bisa jadi benar-benar jatuh cinta kepadamu loh!” Lidya memonyongkan bibirnya, “pria itu mungkin akan datang sebentar lagi. Tunggu saja …”
Daniel berjalan-jalan santai melewati pedagang kaki lima lainnya. Beberapa diantara mereka dapat mengenali dirinya yang belum lama ini menjadi sasaran preman. Nasib menjadi pedagang baru di sebuah tempat pasti akan menjadi incaran manusia-manusia pemeras itu.
“Lancar berjualannya?” sapa Daniel pada seorang kakek penjual buah-buahan.
“Aahh–kau Daniel. Aku tidak pernah melihatmu lagi sejak kau berurusan dengan mereka.”
“Iya, kek–aku masih harus mengumpulkan modal lagi. Hmm–aku beli buah-buahan kakek yaa …”
“Boleh, silahkan ambil sendiri.” Kakek itu tersenyum, sebuah senyuman yang membuat Daniel tersentuh.
‘Apakah ada yang bisa aku lakukan untuk mereka?’ tanyanya dalam hati.
Tidak berapa lama kemudian sebuah motor tua berhenti di depan lapak Lidya. Seorang pria mengenakan jaket kulit sintetis dan kaca mata hitam turun dari motornya dan menghampiri wanita yang tengah merapikan meja dagangannya itu.
“Itu dia …” bisik Daniel, segera membayar buah-buahan kakek.
“Nona, satu piring nasi dengan sayur.” pria itu memesan makanan dan duduk pada salah satu kursi, “ooohh–juga teh hangat.”
Daniel datang mendekat lalu ikut duduk disebelah pria itu. Seolah tidak ingin berdekatan dengan orang lain, pria itu menggeser duduknya sambil terus memperhatikan ponselnya.
“Wartawan?” tanya Daniel to the point.
Pria itu hanya melirik, tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan Daniel.
“Kartu keanggotaanmu jatuh–tuh!” Daniel menunjuk ke bawah kursi mereka.
“Ooh – terima kasih sudah memberitahu.” pria itu membungkukkan badannya mengambil kartunya, “iya–aku memang seorang wartawan.”
“Hebat sekali!” puji Daniel, “wartawan di media apa?”
“Banyak media. Aku tidak berfokus pada satu media saja. Kalau hanya menginduk pada satu media, aku tidak bisa mendapatkan banyak uang. Gaji wartawan itu sangat kecil.” keluh pria itu.
“Lalu, bagaimana caranya kau mendapatkan uang lebih banyak?”
“Mudah saja, aku hanya perlu mencari berita yang sedang ramai lalu menjualnya kepada media lokal atau … kalau kau sedang beruntung, bisa menjual sebuah berita kepada seseorang.”
“Seseorang?” dada Daniel bergemuruh, dia sangat penasaran dengan kata terakhir itu.
“Iyaa, kawan. Dunia terlalu biasa-biasa saja kalau setiap orang tidak memiliki kepentingan masing-masing. Kau harus mampu melihat dunia dari berbagai sudut pandang, setelahnya memilih mana yang mendatangkan keuntungan. Nah – aku mau makan dulu. Setelah ini ada tugas yang harus aku kerjakan.”
‘Kepentingan masing-masing? Keuntungan?’ batin Daniel.
Pertanyaan itu terus dibawanya sampai dia kembali lagi ke apartemennya. Jika seorang wartawan saja bisa berpikiran untuk mencari keuntungan dari memilah situasi, lantas siapa kira-kira yang akan diuntungkan jikalau Lim Group sampai jatuh?
“Melihat dunia dari berbagai sudut pandang … hah – rumit sekali, aku jadi merindukan desa Jiaju. Sedang apa nenek Goh saat ini?” Daniel menyandarkan kepalanya yang pening pada sandaran sofa yang empuk.
Meski berdasarkan penjabaran Jenny, saham Lim Group sudah kembali stabil tapi masih ada sesuatu yang mengganjal bagi Shuo Ming. Selama kurang dari dua bulan ini rasanya ada beberapa hal lagi yang perlu dibenahi untuk mengurangi resiko terjadinya kesalahan.Tok! Tok! Suara ketukan pintu terdengar dari luar ruangan pria itu.“Silahkan masuk, Cecilia …” Dengan raut wajah sedih Cecilia masuk ke ruangan Shuo Ming.“Permisi, Tuan Ming.” Ucap wanita itu menundukkan kepalanya.“Bagaimana keadaanmu hari ini?”“Aku? Baik dan tidak baik, tergantung anda menanyakan keadaan yang mana.”“Apa kau sudah bertemu lagi dengan David hari ini?”Cecilia menggelengkan kepalanya pelan. Bagaimana mungkin setelah kejadian yang sangat menghebohkan itu, dia langsung berani bertatapan dengan David Lim lagi? Wanita itu semakin menundukkan kepalanya, menatap lurus ke arah lantai.&ld
“Abang, kenapa selalu makan siang di kedai kecil ini? Tidak takut ada yang mengikuti?” Lidya menyorongkan sepiring nasi dengan lauk kesukaan Daniel.“Masakan buatanmu jauh lebih enak dari masakan restaurant.” Daniel mengambil piring yang disodorkan, wangi telur setengah matang dengan sayur tumis menggugah selera makannya.“Apa kau tidak pernah bercita-cita untuk memiliki kedai makanan di tempat yang lebih nyaman?” tanya Daniel menyelidik.“Hanya bermimpi kan? Tentu saja pernah. Tapi hanya menjadi pedagang kaki lima pun aku sudah senang. Aku punya pelanggan tetap.” Lidya melebarkan tangannya menunjuk para pelanggannya yang terus berdatangan.Daniel tersenyum simpul pada kesederhanaan yang ditunjukkan Lidya. Diapun semakin bersemangat menyantap makanannya bersama dengan para buruh kasar pelanggan utama kedai itu. Sementara menyuapkan makanan ke mulutnya, Danielpun dapat mendengar obrolan para buruh tersebut.
“Sayang, kenapa kau lama sekali?” Rudy berdiri dan memeluk manja kekasihnya.“Lepaskan aku! Aku masih berkeringat. Pekerjaanku hari ini sangat melelahkan.” Wanita itu mendorong tubuh Rudy lalu melepaskan long coat yang dia kenakan.Tubuh mulus wanita itu hanya terbalut sebuah blus tanpa lengan berwarna biru yang sangat serasi dengan kulit putihnya. Rok di atas lututnya tersingkap saat wanita itu menyesuaikan posisi duduknya. Sialnya, Daniel tidak bisa mengajak matanya untuk bekerja sama. Dia bergitu terpaku pada wanita yang kini kembali berdiri untuk memesan makanannya.“Woooaaahh! Jangan bilang kau sedang mencoba menghipnotis kekasihku dengan pesonamu. Tolong berikanlah waktu kepadaku sebentar lagi saja untuk menjadi pria populer.” kelakar Rudy.“Ooohh–tidak! Tentu saja tidak. Hanya saja sepertinya aku pernah berjumpa dengan kekasihmu, entah di mana.” Ucap Daniel segenap hati.“A
“Jawab pertanyaanku, nona. Apa kau baru saja berbicara dengan Nyonya Tao di desa Jiaju?” Daniel melangkah maju memojokkan wanita di depannya. “Ka–kau salah dengar, David. Bukan Tao tapi Lao.” Wanita itu reflek mengalihkan pandangannya dari Daniel. “Kau baru saja menunjukkan kalau kau berbohong, nona. Sekarang katakan kepadaku, siapa namamu?” Daniel terus memojokkan wanita yang sudah tidak bisa menghindar lagi. “Na–namaku … Eeehhh …” “PRIA MESUM! BERENGSEK!” Teriakan seorang wanita tiba-tiba memecah konsentrasi Daniel yang hampir berhasil mendapatkan identitas wanita itu. Namun dengan sigap Daniel menahan tubuh wanita yang hendak mengambil kesempatan untuk pergi darinya itu. “Katakan cepat!” desak Daniel. “BAJINGAN! LEPASKAN AKU!” Suara teriakan itu terdengar kembali dan kini Daniel dapat dengan jelas mengenali suara wanita yang berteriak itu. “Cecilia? Sial!” Daniel dihadapkan pada
“Apakah dia baik-baik saja? Bagaimana keadaannya?” Daniel dengan gelisah menunggu di ruang tamu apartement Cecilia. “Dia sudah lebih tenang. Mungkin sebentar lagi dia akan tertidur.” “Huufffttt! Untung saja. Terima kasih banyak atas bantuanmu, Jenny ….” “Hanya terima kasih? Kau sudah membangunkan seorang gadis tengah malam dan sekarang sudah hampir jam 2 dini hari.” Jenny memasang wajah menggoda. “Mau apa kau?” Daniel melangkah mundur melihat Jenny yang berjalan mendekat dengan wajah menyeringai yang aneh. “Pasti tidak enak rasanya hanya dapat melihat wanita yang menggeliat erotis tanpa bisa menolongnya … iya kan? Jujur saja ....” “Tidak! Ini salah! Aku mohon jangan memancingku ….” Daniel terus berjalan mundur hingga tanpa sengaja kakinya tersandung sofa. Pria itu kini terduduk sambil terus berusaha menghindari Jenny yang berjalan semakin dekat. “HAHAHAHAHA! BODOH!” Jenny melempar bantal kursi ke kepala Daniel.
“Kalau begitu aku akan kembali keruanganku. Jenny memberikan banyak sekali buku untuk aku pelajari. Nutrisi sempurna untuk otak pedagang kecil sepertiku.” Daniel tersenyum kecut.Saat pintu sudah kembali tertutup dan Daniel mungkin sudah sampai keruangannya, Shuo Ming kembali memasang wajah serius dan menatap Jenny lekat.“Apa ada yang aneh denganku?” Jenny merasa canggung dengan tatapan bossnya.“Begini, sebenarnya sejak tadi aku penasaran akan satu hal.” ucap Shuo Ming.“Apa itu?”“Kau yakin Daniel Yuwan itu hanya seorang pedagang kecil?” sebuah pertanyaan menyelidik yang tidak terduga.“Hmm … seperti yang dia katakan tadi, dia memang hanya pedagang kecil di pasar illegal. Kenapa anda tiba-tiba menanyakan hal itu?” Jenny balas bertanya curiga.“Aku tidak terlalu yakin kenapa. Tapi rasanya orang itu terlalu cerdas jika dikatakan hanya seorang pedagan
Daniel kembali ke ruangan Tuan Ming. Pria itu juga tampak sedang memeriksa beberapa dokumen yang berantakan di atas meja kerjanya.“Sudah? Apa yang kau dapatkan?” tanyanya tanpa menengok kepada Daniel.“Han Yelu menjelaskan cukup rinci kepadaku, tapi yang berhasil aku simpulkan, cadangan bahan mentah produksi kita memang semakin menipis.”“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Tuan Ming kembali memancing dengan pertanyaan.“Membuka lahan pengeboran yang baru?” jawab Daniel ragu.“Tentu saja seperti itu anak muda. Sekarang pelajari dokumen yang telah diberikan Alex Chen kepadamu. Setelahnya segera tanda tangani dokumen itu. Nah–ini bentuk tanda tangan David Lim.”“Apa?” Daniel melotot pada kertas yang disodorkan Tuan Ming, “Apa kau memintaku untuk memalsukan tanda tangan juga?”“Mau bagaimana lagi? Kau kan memang sedang berpura-pura menjadi David Lim.&rdquo
“Tungguuu! Tuan Lim! Tuan David Lim!” sejurus dengan teriakan Lidya, Jenny pun bergegas menyeberang jalan dan berteriak panik.Kini jarak antara Daniel dan si preman terhalau oleh 2 orang wanita yang berupaya melindungi Daniel.“Minggir kalian! Jangan menghalangi atau kalian yang akan merasakan kepalan maut ku ini!” Preman itu mengacungkan tinjunya.“Maaf, tuan preman. Maaf kalau boss ku telah membuat anda marah. Jika anda merasa dirugikan, kami akan membayar kerugiannya.” Jenny lekas-lekas berbicara sebelum preman itu semakin marah.“Cih! Sombong sekali, mentang-mentang kalian orang kaya. Memang siapa sebenarnya kalian ini?” preman itu tampak tergoda dengan tawaran Jenny namun dia tidak langsung berubah sikap menjadi lembek.“Kak, kalau aku tidak salah dengar, wanita itu tadi memanggil-manggil ‘Tuan David Lim’. Aku sepertinya pernah mendengar nama itu sebelum ini.” Seorang preman lainny