“LIM GROUP! BERANINYA MEREKA!”
Kali ini aksi melempar surat kabar tidak terjadi di ruangan Shuo Ming. Melainkan di ruangan Melissa Fung di gedung Huangjia Petroleum. Baru kemarin dirinya mendapatkan kabar kalau Lim Group tidak akan berani menggelontorkan dana besar untuk pembukaan lahan baru. Sehingga artinya dapat membuka peluang besar bagi Huangjia Petroleum untuk mengambil alih proyek tersebut.
Namun surat kabar bisnis pagi ini memuat satu halaman penuh membahas grafik kenaikan saham Lim Group setelah penandatanganan proyek pembukaan lahan pengeboran baru. Hal itu berarti menambah nilai investasi bagi perusahaan tersebut.
“Aku seperti ratu yang diterkam oleh kuda dalam permainan catur. Mungkin sudah waktunya aku pensiun? Tidak … tidak … jangan dulu pensiun. Setidaknya sampai si tua Shuo Ming itu mundur dari jabatannya.” Melissa mengepalkan-ngepalkan jarinya gelisah.
Seorang pemuda tampak terlihat mengantuk di ruang
“Hasil perkerjaan yang luar biasa, nona Cecilia. Dari penjelasan Cecilia tadi, dapat disimpulkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi mengenai anggaran yang sudah kita keluarkan untuk pembukaan lahan baru. Kurang dari 2 tahun investasi kita akan balik modal. Benar begitu, Cecilia?”“Benar sekali, Tuan Lim. Sudah ada 20 titik unit usaha yang berhasil di tanda tangani bersama dengan investor di asia kecil. Aku akan mengoptimalkan waktu yang aku miliki selama berada di sini. Selama waktu yang ada itu, aku akan terus memberikan laporan perkembangannya.” Papar Cecilia optimis.“Terima kasih, Cecilia. Jadi tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi mengenai pengeluaran anggaran. Setelah ini perintah akan langsung diturunkan kepada departement eksplorasi untuk meninjau lokasi lahan baru dan memastikan kapan kita bisa mulai bergerak.”“Siap laksanakan.” Alex Chen tersenyum puas.“Kalau begitu kita tutup
Dua tahun yang lalu di Desa Jiaju,Desa yang di bangun di atas bukit berhutan itu terlihat bak negeri dongeng yang dipenuhi oleh peri-peri yang bersembunyi di balik dedaunan hijau.Namun, desa nan asri itu memang semakin sepi dari sekumpulan pemuda pemudi. Sebagian besar dari mereka setelah berusia lebih dari 20 tahun dengan tekad yang kuat memutuskan untuk merantau ke kota besar demi mencari nasib baik mereka masing-masing.Tidak terkecuali Eden Liu, seorang pemuda yang merasa sudah cukup umur untuk merantau juga bertekad untuk meninggalkan desa serta sahabat dekatnya, Daniel Yuwan.“Doakan aku, sobat. Besok aku akan ikut angkutan umum paling pagi menuju Hong Kong. Meski aku hanya bermodalkan ijazah sekolah menengah atas dan surat ijin mengemudi, tapi keyakinanku sangat besar untuk meraih kehidupan yang sukses di sana.”Itulah pesan terakhir yang Daniel ingat sebelum akhirnya Eden pergi keesokan harinya. Malangnya, saat rasa s
“Selamat pagiiii!!” Daniel kembali menyapa setiap orang yang ditemuinya di jalan dengan pesona penjual bakpao tampan andalannya. Di kayuhnya sepedanya menuju pohon besar di tengah pemukiman tempatnya menjajakan dagangannya. Namun kayuhan sepedanya terhenti saat matanya menangkap sebuah mobil mewah berhenti pada titik yang sama dengan tujuannya. Seorang pria berpakaian rapih keluar dari dalam mobil dan bertolak pinggang sambil memandang berkeliling tempatnya berdiri. “Eden?” seru Daniel terkejut dengan kedatangan sobatnya yang sangat dia rindukan. Hari itu tepat tiga tahun sejak kepergian Eden dari desa Jiaju. “Daniel!! Apa kabarmu, sobat?” Pria itu membalas seruan Daniel sambil berjalan menghampiri pria yang tengah menuntun sepeda itu. “Tentu saja baik, sobat!” merekapun berpelukan, “waaahh … kau terlihat sangat hebat sekarang.” Daniel memandang sahabatnya dengan bangga. “Begitulah, sobat! Keputusanku untuk merantau ke Hong Kong tidakl
Tribibip … Tribibip … Kriiiingggg … Bunyi aneh suara ponsel Eden terdengar kembali. Eden menepuk dahinya saat melihat nama penelpon pada layar ponselnya. “Boss ku menelpon, tolong jangan bersuara dulu.” Eden memberikan peringatan sebelum mengangkat panggilan teleponnya. “Wei, boss!” Sapa Eden pada suara di ujung sana. “Apa? Aah–aku sudah dalam perjalanan kembali ke Hong Kong. Baik–boss–baik. Aku akan segera menjemput anda. Baik–baik. Apa? Sebelum jam 5 sore?” Eden menengok jam tangannya, seketikapun wajahnya berubah panik. “Tentu saja–tentu saja. Saya selalu bisa anda andalkan. Ha-ha-ha! Tenang saja. Baik boss.” Eden menutup panggilan di ponselnya. “Ada masalah?” Daniel bertanya khawatir. “Tidak, hanya aku harus segera menjemput boss ku dan mengantarkannya ke acara makan malam para pengusaha–sebelum jam 5 sore.” Jawab Eden sedikit gugup mengejar waktu. “Mengapa dia menyuruhmu untuk menjemputnya? Seorang boss pa
“Berengsek!” Daniel tidak tahan dengan tindakan kekerasan yang terlihat jelas di depan matanya. Diapun mengepalkan tangan dan merapatkan rahangnya. Dengan naluri bak pahlawan kesiangan, Daniel meninggalkan tenda tempatnya berjualan lalu berjalan cepat ke sumber keributan. “Abang! Tunggu! Jangan kesana! Abang!” Lidya berteriak-teriak melihat langkah Daniel yang semakin cepat. “Besok aku kembali lagi! Jika kau tidak muncul ditempat ini, maka aku akan mendatangi tempat tinggalmu dan menyita apapun yang kau miliki. Dengar tidak?” Preman itu membentak sambil bertolak pinggang dan menunjuk-nunjuk. “Iya–aku dengar! Dasar biadab!” Daniel berteriak mengamuk, serta dengan kekuatan penuh menghantamkan tinjunya pada rahang sang ketua preman. BUAK! Tinju Daniel berhasil membuat preman itu gontai dan mundur beberapa langkah. “KURANG AJAR! Beraninya kau memukulku? Apa kau sudah bosan hidup–HAH?” mata preman itu berkobar. Sambil memegangi rahangnya, d
Bak adegan pembukaan sebuah film kolosal, segerombolan preman berbadan besar serta berpakaian serba hitam, berjalan dengan sombong dari ujung gang pasar. Daniel di kejauhan dengan bola mata yang terbelalak sekelebat mulai merasakan adanya suatu kemustahilan.“Hei! Bagaimana ini? Kita tidak mungkin melawan mereka semua.” Bisik seorang pedagang yang sudah bersiap, bersembunyi di balik meja yang digulingkan.“Tenang! Kita harus tetap tenang. Semua dalam posisi yang sudah ditentukan. Jangan bergerak sebelum aba-aba dariku.” Daniel mencoba tetap tenang meski tangannya mulai berkeringat dingin.“WOIII! Bersembunyi di mana kalian pedagang-pedagang bodoh?!” seruan sang ketua preman yang berjalan paling depan, mengema ke telinga setiap pedagang yang tengah bersembunyi.“Pengecut! Beraninya datang rombongan. Kau! Cepat ke sini dan lawan aku!” seru Daniel dengan jari yang menunjuk ke arah sang ketua.“KURA
Kini, Daniel tidak dapat mundur lagi dari perannya sebagai David Lim. Malah rasanya dia semakin menikmatinya. Dengan cepat dirinya menyerap ilmu-ilmu baru yang telah diterimanya dan juga mulai menggabungkan karakter David Lim dengan karakter alami dirinya. Waktu menjelang rapat besar para pemegang saham tersisa 3 minggu lagi. Siang itu, tiga orang yang telah menjadi sangat dekat; Daniel, Shuo Ming dan Jenny berkumpul melakukan rapat tertutup di ruangan Tuan Ming. SREEK! Jenny membentangkan sebuah blue print atau sketsa pembangunan di atas meja. “Aku telah mendapatkan sketsa terbaru dari arsitek yang menggarap proyek pembangunan gedung pusat bisnis. Proyek yang sempat mangkrak setelah meninggalnya Hongli Lim memang sudah dimulai kembali pembangunannya.” Ujar Lidya membuka rapat. Daniel mencoba memahami sketsa bangunan yang ada di hadapannya. Gedung 10 lantai itu telah diproyeksikan untuk menjadi pusat segala macam bisnis Hong Kong. Dimana nant
Daniel pun memutuskan untuk meminta bantuan Jenny memesan ruangan pertemuan. Jenny dengan senang hati membantu, karena sejak awal David Lim berkerja sendirian untuk mengatur jadwal kesibukannya juga merapikan pekerjaannya. “Aku sudah melakukan pemesanan ruangan pertemuan dengan kapasitas 50 orang. Apakah itu cukup atau kau butuh tempat yang lebih besar?” tanya Jenny. “Sudah cukup. Kau melakukan pemesanan atas nama siapa?” “Lim Group, sesuai dengan yang kau perintahkan. Kenapa tidak langsung saja mengatakan David Lim sih?” Jenny menjadi bingung, setelah sebelumnya Daniel bilang dia yang akan melakukan pemesanan sendiri, tapi setelahnya malah tetap meminta tolong Jenny untuk melakukannya. “A–aku tadi sudah mencoba menelpon ke sana, tapi tidak ada yang mengangkat.” Daniel berkelit. “Baiklah … apapun itu alasannya yang jelas aku sudah melakukan pemesanan untuk minggu depan.” Jenny membalikkan badannya bersiap meninggalkan ruangan. “Jenny …
Lima bulan berlalu, sesuai dengan janji yang pernah dilontarkan David kepada Jenny, pagi itu dengan dibantu oleh Eden dan Lidya–dia membawa berpuluh-puluh klakat bambu berukuran besar. Cecilia dan Jenny tertawa-tawa melihat apa yang dilakukan oleh boss besar mereka itu.Sementara Eden dan Lidya, wajah mereka sama-sama terlihat lelah. Bagaimana tidak, sejak matahari belum berencana untuk beranjak dari peraduannya, mereka sudah berkutat dengan tepung dan kacang hijau serta kacang merah di dalam apartement David Lim.“Awas saja kalau setelah ini kau membatalkan janjimu untuk mentraktirku berendam di pemandian ari panas termahal di Hong Kong - aku akan membawa janji itu sampai ke akhirat,” ancam Eden kepada David Lim yang sedari tadi hanya berdiri mengawasi sambil terus tebar pesona kepada para karyawan wanita.Setelah perjuangan yang cukup sengit untuk menaklukkan Huangjia Petroleum, tapi kenyataanya sejak awal dewi fortuna memang sudah berp
David Lim terbangun dari tidurnya. Sinar matahari menyorot wajahnya yang seharusnya masih berada dalam pelukan Serena. Meski tak terjadi apapun yang ‘panas’ dengan mereka semalam, tapi tertidur dalam pelukan wanita yang wangi tubuhnya selalu dia sukai merupakan pilihan yang terbaik.“Serena?” lagi-lagi David kehilangan Serena atau jangan-jangan yang semalam memeluknya bukanlah Serena, melainkan hanya bayangan kerinduannya akan wanita itu.David mengangkat tubuhnya dari tempat tidur, tubuh letihnya kini sudah terasa lebih baik dari kemarin. Meski ada beberapa bagian tubuh yang terasa pegal akibat pertempuran kemarin tapi kini hatinya terisi penuh. Tapi dimanakah wanita itu?“Sudah bangun ternyata …” sorot mata David kembali berbinar melihat kedatangan Serena dari arah pintu masuk, “maaf aku kembali sebentar ke rumah, di rumahmu tidak ada bahan makanan yang bisa aku masak.”Serena menyodorkan dua potong
Serombongan polisi menggerebek gedung tua setelah ada warga sipil yang kebetulan lewat di dekat gedung itu dan mendengar suara tembakan yang hampir tanpa jeda. Polisi berbondong-bondong masuk dengan menembakkan beberapa peluru ke udara.Eden serta sepasang orang tua yang tengah begulat batin dengannya itupun terkejut dengan kedatangan para polisi. Mendengar suara tembakan dari luar gedung seketika membuat wanita tua itu berlari dan melompat keluar gedung melalui jendela.Tubuh Eden diseret masuk ke dalam mobil polisi, Eden mengikuti langkah polisi yang telah memborgol tangannya tanpa perlawanan. Baginya saat ini keselamatan dirinya di atas segalanya. Perkara masuk penjara pasti nanti juga akan di selesaikan oleh sahabatnya. Itu juga kalau pria tampan itu belum mati–pikir Eden.“Kau utusan Lim Group, kan?” pertanyaan seorang polisi dari balik kemudi membuat Eden terhenyak.Dari mana orang itu tahu kalau dia salah satu pekerja Lim Group? S
Civic berharga dua digit milyar itu melaju dengan kecepatan tinggi. Pengemudinya hampir-hampir tak menginjak pedal rem selama perjalanannya. Terus saja melajukan kendaraan roda empat itu melesat menembus jalanan.Beberapa hari yang lalu David Lim telah bertemu dengan Serena Yao dalam pertemuan yang ganjil. Kala itu dirinya sempat memeluk tubuh wanita yang selalu menjadi candu baginya itu. Bahkan dia sempat menghirup wangi rambut wanita itu–wanginya masih sama dengan wangi yang dihirupnya pada sela-sela permainan panas mereka di kamar hotel.“Sial! Seharusnya aku langsung membawa saja Serena pergi dari desa Jiaju. Aku tak akan memaafkan diriku sendiri seandainya ada hal buruk yang menimpa dia.” David menggigit bibir bawahnya penuh rasa bersalah.Diinjaknya tegas pedal gas menembus perbatasan kota Hong Kong dengan hutan menjadi sumber oksigen terbesar di negara tirai bambu itu. Sudah menjadi kebiasaan bagi Eden ataupun David untuk menurunkan jend
Eden mengangkat tinggi tinjunya, siap dihujamkan ke wajah pria tua yang menatapnya dingin. Jadi seperti ini rasanya berhadapan dengan pembunuh bayaran, pikir Eden. Begitu profesional sampai kepada ekspresi yang sulit untuk ditebak. Tapi Eden begitu yakin kalau pertarungan ini akan dimenangkan olehnya dengan tangan kosong.CEKREK!Suara kokangan senjata api terdengar dekat sekali dengan pelipisnya. Eden lupa kalau pria itu bersama dengan seorang wanita yang tadi sempat menembakkan peluru ke arah David. Sebersit rasa takut menyelinap di hati Eden, namun segera disingkirkannya – dia tak mau mati konyol di tangan para orang tua.“Kau masih ingat rasa biang-biang ming buatanku? Aku rindu memasak lagi untuk kalian bertiga … kini aku mulai membayangkan seperti apa wajah Serena Yao. Gadis cantik yang telah mencuri hati pemuda tampanku.” Wanita tua itu menyeringai, senjata apinya terangkat lurus – siap menembus kepala Eden.Eden kemb
Eden terus dihujani dengan peluru yang dilontarkan dari senjata api sang pria tua yang dengan cekatan terus mengisikan peluru ke senjatanya–hingga tiada habis-habisnya. Dia membungkuk, berguling hingga merangkak menghindari puluhan peluru yang mengincarnya.“Eden!” David berteriak dari balik dinding–dia baru saja selesai mengisi ulang senjata di pungutnya dari preman-preman yang berhasil dia kalahkan.“Bodoh! Cepat selamatkan dirimu! Aku tak mau memiliki boss selain dirimu! Cepat pergi!” teriak Eden, kini dirinya sudah berada cukup dekat dengan kedua orang tua itu.Wanita tua yang dipanggil ‘mama’ itu seketika menyadari kemunculan David dari balik dinding. Wajahnya kini tak terlihat lagi seperti seseorang yang menaruh kasih sayang kepada anak yang telah dibesarkannya bertahun-tahun.Sebuah peluru terlepas dari sangkarnya dan melesat lurus mengarah pada David yang masih menimbang-nimbang apa yang harus
Cecilia tak dapat tidur semalaman. Tubuhnya yang lelah memaksanya untuk berbaring di ranjang yang empuk dan menenggelamkan tubuhnya di bawah selimut. Tapi kenyamanan yang bisa diciptakan dari perpaduan antara ranjang dan selimut itu pun gagal membuatnya tertidur.Dalam benak Cecilia, berputar bayangan antara David Lim dan Jeremy Lee bergantian, berulang-ulang. Dia membalikkan badannya ke kanan lalu ke kiri, seperti itu terus hingga matahari naik ke langit dan tersenyum mengejek kegundahan hatinya.“HAH! Ternyata sulit sekali mencintai pria yang benar-benar mancintai dengan tulus. Aku kira kisahku dengan Jeremy akan berbeda, tapi ternyata malah lebih tragis. Apa aku memang bukan seorang wanita yang layak untuk dicintai?” Cecilia menutup wajahnya dengan bantal.Cecilia adalah sosok wanita muda yang kerap kali membuat iri wanita lain yang seusia dengannya. Bagaimana tidak, keluarga Cecilia bukanlah keluarga tersohor seperti keluarga Han. Dia hanyalah an
Suatu pagi yang berkabut, kala dirinya masih menjadi Daniel Yuwan, dia menemukan sepucuk surat di meja makan bersama dengan semangkuk Biang-biang ming kesukaannya. Daniel membaca selembar surat yang ditinggalkan baginya itu sambil menyantap sarapannya yang masih hangat.Dalam surat tersebut memang tak disebutkan tentang harta karun yang terpendam atau semacamnya. Kalimat demi kalimat yang tertuliskan di sana hanya menyebutkan kalau Daniel tak boleh sama sekali menggeser tempayan besar yang berada di dapur, sekalipun isi tempayannya sudah kosong.“Siapa kalian sesungguhnya?” otak Daniel yang kini telah menjadi David Lim berputar penuh tanda tanya.“Maksudnya kau mau tahu profesi kami?” pria tua itu kembali bersuara.“Apapun itu, cepat katakan! Siapa kalian?” David hampir kehilangan kesabarannya lagi.“Kami bagian dari kelompok elang emas. Kelompok pembunuh bayaran yang merajai tanah Asia. Kedatangan kami di
“Mau apa kau datang ke tempat ini, anak kampung? Jangan banyak lagak mentang-mentang sudah jadi boss besar. Dulu saja kau berhasil dikalahkan oleh anak buahku. Sekarang malah datang menantang ke markas kami. Hahaha!!” gelegar tawa pria yang berjalan semakin mendekatinya itu seketika mengingatkan David pada ketua preman yang dulu mengacak-acak pasar Kai Xin.David memicingkan matanya. Dengan cepat dia menangkap tato elang yang terlukis di leher pria itu. Dia tak menyangka sebelumnya kalau preman-preman itu ternyata komplotan besar. Mereka pasti selama ini berprofesi sebagai pembunuh bayaran atau semacamnya.“Aku tidak takut! Satu lawan satu–jangan jadi pengecut yang beraninya keroyokan!” seru David dengan amarahnya yang tertahankan, teringat aksi mereka saat menghancurkan pasar.Tak heran kalau kini mereka begitu membenci David Lim, karena ladang pungli mereka kini berkurang satu. Apalagi dulu mereka hampir setiap hari mendatangi pas