Rizal berlari menuju ruang instalasi gawat darurat, setelah menerima telepon dari seseorang yang mengabarkan jika Dara mengalami kecelakaan. "Pasien kecelakaan di ring road utara, seorang perempuan berada dimana, Sus?" tanya dengan wajah yang panik sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan."Sedang ditangani oleh dokter, Pak. Bapak bisa tunggu di ruang tunggu pasien," jawab perawat tadi, sepertinya perawat ini baru dan belum mengenal Rizal sebagai salah satu dokter residen di rumah sakit ini."Siapa yang menangani? dimana pasiennya?""Bapak bisa tunggu di ruangan tunggu, pasien dalam perawatan inten—""Zal." Rizal cepat menoleh ke arah suara, Budi baru saja keluar dari ruangan IGD."Bud, lo yang handle Dara.""Dara?""Iya, pasien tabrak lari di ring road itu pacar gue. Gimana keadaannya Bud?""Ada luka di kepalanya, gue menyimpulkan dia terkena gegar otak. Dari pemeriksaan fisik, luka di kepala yang gue temukan, kalo melihat kondisi pupil matanya maka gw simpulkan ya itu ta
Bunya mesin EKG memenuhi ruangan ICU, semalam Dara dipindahkan dari IGD oleh Budi untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif lagi. Beberapa alat medis terpasang di bagian-bagian tertentu tubuhnya. Rizal melangkah perlahan, menarik kursi untuk duduk di sisi tempat tidur Dara. Lelaki itu mengenakan baju khusus ruangan ICU. Dia raih tangan yang terkulai lemas itu, di ciuminya berulang kali. Melihat Dara tak berdaya seperti ini sama saja seperti melukai hatinya. Pelan tangan Rizal membelai kepala Dara yang terbalut perban, diamatinya wajah yang pucat itu. Bulu matanya yang lentik sedikit basah, bibirnya yang terkatup hingga bagian leher yang mengenakan collar neck."Maafin aku, ya," ucap Rizal lirih. "Harusnya aku bisa jagain kamu."Mata Rizal berkabut, ditaruhnya tangan dingin Dara pada pipinya."Harus semangat sembuh ya, Ra. Aku pasti temenin kamu, sampe kamu sembuh seperti sedia kala."Tak lama perawat pun masuk, mempersiapkan Dara untuk melakukan tindakan MRI. Rizal mengikuti beb
"Sudah di kabari Rizal?" tanya Donna pada Andreas, suaminya."Suruh pulang saja langsung sehari sebelum hari pertunangan mereka, aku sudah malas berdebat dengan anak laki-laki mu itu." Andreas mengancingkan satu per satu kancing kemejanya."Ck, sudahlah nanti aku suruh Hanna aja bicara langsung dengan Rizal." "Aku ada meeting pagi ini dengan Datuk Basri Alam kami mau membahas tentang pembukaan tambang batubara di Kalimantan.""Apa nggak terlalu dini kamu memberikan investasi saham pada mereka, Pa. Lagi pula, kita belum berpengalaman dengan bisnis tambang ini.""Kalo nggak di coba, nggak akan tau. Kamu tenang aja, Ma. Investasi yang kuberikan juga belum sepenuhnya.""Hhmm ... ya sudahlah. Aku masih pusing memikirkan urusan anak lelakimu ini.""Paksa saja dia pulang, atau bila perlu suruh orang untuk memaksa dia pulang. Terlalu lama dia di Jogja nanti semakin jauh saja langkahnya." Donna mengantarkan suaminya hingga pekarangan rumah, dan saat mobil Andreas hilang dari pandangan Donna
Mobil Brio hitam terparkir di pekarangan rumah Bu Sum. Hari ini jadwal Dara memeriksakan diri ke dokter, sudah seminggu berlalu gadis itu keluar dari rumah sakit."Mobil siapa, Mas?" tanya Dara berdiri di ambang pintu.Rizal tersenyum, dia merangkul pundak Dara mengiringinya menuju mobil. Dara berjalan memang masih sangat lambat, collar neck juga masih terpasang di leher gadis itu. Meski kondisinya membaik, tetapi masih harus berhati-hati."Motor kamu mana?"Dara kembali bertanya saat sudah masuk ke dalam mobil. Rizal menyalakan mobil dan mulai keluar dari pekarangan rumah."Ibu kemana? kok tadi rumah sepi?" tanya Rizal."Aku loh yang nanya, kamu malah balik nanya," ujarnya dengan alis bertaut."Haha ... motor aku jual, aku ganti dengan mobil ini," jawab Rizal sekilas menoleh pada Dara.Dua hari lalu Rizal menjual motornya dengan membeli mobil bekas, meski harus menambah sedikit uang dari tabungannya."Kenapa Mas jual?""Udah waktunya aja di ganti. Lagian lumayan juga buat keluarga ke
"Padang?" tanya Bu Sum."Iya, Bu. Saya minta izin membawa Dara pulang ke Padang, apakah boleh?""Kapan? Acara apa, Nak Rizal?""Hari Jumat, Bu. Enggak ada acara apa-apa hanya ingin mengenalkan Dara pada keluarga, Bu. Saya ingin serius dengan Dara, Bu." Rizal kembali menatap Dara yang duduk di sebelah Bu Sum. Rizal sudah menyatakan niatnya pada Bu Sum."Gimana ya, Nak Rizal. Jujur, ini baru pertama kali Dara pergi keluar dari Jogja, dan tanpa Ibu. Apalagi mau dikenalkan dengan keluarga besar Nak Rizal." Ya, ada perasaan takut bergelayut di hati Bu Sum. Sudah pernah dia utarakan pada Dara, jika mereka hanya keluarga biasa saja berbeda dengan Rizal. Bagaimana jika nanti Dara ke Padang dan tidak di terima baik oleh keluarga Rizal. Bagaimana jika cara pandang keluarga Rizal memandang mereka sebelah mata. Dan banyak lagi pikiran-pikiran negatif yang datang silih berganti di benak Bu Sum."Saya berniat menjalani hubungan ini ketahap lebih serius, Bu. Saya ingin keluarga saya juga mengenal
"Sekali kamu melangkahkan kaki keluar dari rumah ini. Maka jangan pernah sekalipun bermimpi untuk kembali!" Semua mata menatap pada Donna, wanita cantik paruh baya ini memang terkenal dengan ketegasannya. "Ma ...." Hanna berusaha menenangkan sang Mama. "Sebaiknya kalian kembali ke hotel," ucap Hasan pada Rizal. "Sebentar Uda, aku mau malam ini semua jelas di sini," kata Rizal. "Maaf Ma, Pa ... Rizal datang kesini dengan niat ingin memperkenalkan Dara pada semua anggota keluarga kita. Rizal meminta doa restu pada kalian semua terkhusus Papa dan Mama. Apapun yang mungkin membuat kalian berat untuk menerima kamu berdua, tolong biarkan kami memulai hidup kamu tanpa ada lagi bayang-bayang keluarga ini." Rizal menelan salivanya, helaan napasnya sudah tidak lagi memburu seperti tadi. "Rizal pamit," ucapnya. "Kita pulang, Sayang." Rizal lalu tersenyum getir pada Dara yang masih berdiri tertunduk di sana. "Aku yang pulang, kamu tetap di sini," ucap Dara menatap teduh pada Rizal. "Ra?"
Seminggu berlalu, Rizal dan Dara sudah kembali beraktivitas seperti biasa. Tidak ada lagi pembahasan tentang masalah saat mereka berada di Padang waktu itu. Bahkan Bu Sum pun belum mengetahui permasalahan yang mereka hadapi saat itu. Bu Sum hanya tahu Dara di terima baik oleh keluarga Rizal. "Mas, ini mau di taruh dimana?" tanya Dara sambil membawa makrame berwarna putih gading ke depan pintu kamar. "Taruh ... sini aja deh," jawab Rizal meraih hiasan dinding berupa simpul-simpul itu dan dia letakkan tepat di dinding tempat tidurnya. "Baguskan?" Rizal mengamati seisi ruang kamarnya sambil memeluk Dara dari belakang. "Kamu punya selera interior yang bagus ternyata," ujar Dara merekatkan tangan Rizal yang melingkar di pinggangnya. "Kapan kita bilang ke ibu tentang rencana kita, Sayang," ucap Rizal sambil menciumi leher Dara hingga membuat bulu kuduk gadis itu berdiri. "Kapan kamu siap, aku juga siap." "Ok. Minggu depan?" "Tapi dengan satu syarat." "Apa?" "Kamu harus jujur pada I
"Keadaannya memang seperti ini, Bu," ujar Dara setelah Rizal menjelaskan duduk perkaranya."Saya berniat ingin menikahi Dara, Bu." Rizal menatap Bu Sum sungguh-sungguh."Ya Tuhan, bisa-bisanya kalian dalam situasi seperti ini malah memikirkan pernikahan." Bu Sum meraup wajahnya, mencoba menelaah apa yang sedang terjadi. Bisa-bisanya kejadian 25 tahun silam terjadi lagi pada Dara, hanya bedanya sang suami berhasil meyakinkan keluarganya hingga mereka bisa menikah dengan restu orang tua."Ibu nggak bisa."Jawaban Bu Sum membuat mereka berdua terkejut."Bu?" Dara memohon."Ibu nggak bisa merestui kalian, jika kalian belum mendapatkan restu dari orang tua Nak Rizal.""Kami sudah meminta restu kedua orang tua saya, Bu. Tapi nyatanya kami di usir.""Kalian di usir karena Nak Rizal memilih Dara.""Karena saya mencintai Dara, Bu."Bu Sum terdiam, ujung matanya sudah basah. Dia pandangi lagi kedua pasangan kekasih itu. Apa yang akan terjadi dengan Dara nanti jika suatu saat bertemu lagi dengan
Dara duduk di kursi tunggu pasien, tepat di depan ruangan ICU. Ya, Bu Sum terkena stroke. Diagnosa sementara Bu Sum terkena stroke ringan. Menurut dokter Budi yang saat itu kebetulan berada di IGD, bisa jadi Bu Sum terlalu stress atau terlalu banyak pikiran."Kamu bisa ceritain ke Mbak, kenapa ibu tiba-tiba seperti ini, Gas?" tanya Dara pada Bagas yang duduk menelungkupkan wajahnya."Mbak Siti bilang, saat kejadian ada dua orang laki-laki yang datang ke rumah. Kata Mbak Siti, dua orang itu marah-marah sama Ibu.""Marah-marah kenapa? Apa ibu punya sangkutan hutang?" tanya Dara heran."Enggak lah Mbak, semiskin miskinnya kita, ibu selalu nggak mau ngutang sama orang. Dia pasti memilih bekerja siang malam buat kita daripada ada urusan hutang piutang," tegas Dara."Ya lalu kenapa ibu bisa begini?" Dara frustasi."Mbak Siti sempat bilang, lelaki itu sempat mengancam ibu.""Mengancam?" Rizal mengerutkan alisnya."Gas, coba kamu cerita yang benar. Dari awal!" Dara mulai terpancing emosi."Sab
"Butuh apa lagi?' tanya Rizal sambil mendorong troli belanjaan mereka."Daging, Mas. Sama buah-buahan." Dara melangkah ke area daging-daging segar. Baru saja dia memilih-milih daging, suara seseorang membuat dia dan Rizal menoleh ke asal suara."Kebetulan sekali bisa bertemu di sini," sapa Synthia sambil menenteng tas belanja. "Apa kabar?" "Synthia?" Rizal terperanjat. Dara menoleh pada suaminya."Suatu kebetulan banget bisa ketemu dengan kalian," ucap Synthia basa basi."Lagi di Jogja?" tanya Rizal."Yup, liburan ... belakangan ini Jogja lebih sering menyita perhatian." Synthia menatap Dara dengan sinis."Oh, enjoy holiday. Maaf kami sepertinya sudah selesai. Sudah selesai kan, Sayang?" tanya Rizal dengan penekanan kata Sayang pada Dara."Mm ... sudah." Dara pun mengangguk sambil memasukkan kantung berisi daging yang dia pilih tadi."Kapan ada waktu untuk bicara, Zal?" tanya Synthia tanpa memperdulikan Dara."Aku belum tau kapan, karena minggu-minggu ini masih persiapan untuk ujian
"Mau apalagi Anda datang ke rumah ini?"Bu Sum berdiri dengan tangan bersedekap di depan dada. Dahlan siang itu sudah berada di serambi teras rumah Bu Sum."Saya akan terus datang ke rumah ini sampai anak ibu dan keponakan saya berpisah.""Anda ini nggak waras ya. Atau Anda memang di ciptakan Tuhan nggak punya hati. Bisa bisanya Anda yang hanya seorang manusia mau memisahkan dua orang yang saling mencintai berpisah. Entah dimana harga diri Anda.""Jangan bicarakan harga diri, jika Ibu sendiri merendahkan harga diri Ibu hanya untuk mempermantukan keponakan saya.""Benar-benar nggak waras Anda. Pergi dari sini sebelum saya teriak dan orang kampung semua datang.""Silahkan saja, saya yakin orang kampung aka tau skandal ini.""Ini bukan skandal! Mereka saling mencintai, saya dan anak saya tidak pernah memandang orang dengan materi mereka asal Anda tau!""Bu ...." Siti yang baru datang dari mengantarkan baju berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Bu Sum."Sebaiknya Anda pergi!" Wajah Bu Sum t
Hingar bingar suara musik membisingkan telinga. Tubuh Synthia meliuk bergerak mengikuti irama lagu. Sambil memegang gelas berisi wine, tubuh indah itu bergerak begitu erotis. Semakin alunan irama itu mengalun kencang semakin tubuh indah Synthia bergerak seperti lepas kendali."Rugi banget laki-laki yang nggak bisa milikin kamu," bisik suara itu dari belakang telinganya membuat Synthia memutar tubuhnya."Apa?" tanyanya dengan suara lebih keras."Aku boleh temenin kamu malam ini?" tanya lelaki bertubuh atletis dengan wajah blasteran."Boleh," ujar Synthia sambil menghisap rokoknya lalu kembali memutar tubuhnya membelakangi lelaki tadi dan bergerak menempel pada tubuh lelaki itu."Kamu sendirian?" tanya lelaki itu ikut bergerak mengikuti gerak tubuh Synthia yang jujur saja membuatnya berhasrat pada gadis berwajah cantik dan seksi itu."Iya, kamu?""Aku juga, gimana kalo malam ini kita habiskan waktu berdua, mau?"Synthia membalikkan tubuhnya menghadap sang lelaki. Tangannya sudah bergela
"Aku khawatir dengan ibu," ujar Dara saat perjalanan pulang ke rumah mereka."Aman, Ra. Tadi aku udah ke rumah Pak RT minta pengamanan jaga malamnya lebih di perketat. Mudah-mudahan semua warga juga lebih perduli dengan keamanan kampung.""Iya, mudah-mudahan ya Mas.""Atau kamu mau Ibu ikut tinggal sama kita?""Ibu yang nggak mau, Mas. Dia bilang gimana dengan usaha laundry nya.""Ya sudah, artinya kita tetap seperti ini aja. Kalo aku jadwal jaga malam ya tidur tempat ibu. Sesekali weekend ibu kita ajak tidur di rumah." Rizal mengusak rambut istrinya. "Ini kita mau pulang atau belanja bulanan dulu?"*****Satu minggu berlalu setelah kejadian sore itu, Dara dan Rizal masih melakukan rutinitas yang sama dan sering menginap di rumah Bu Sum. Bagas sudah mulai persiapan ujian akhir di sekolahnya. Lelaki berusia 18 tahun itu sekarang lebih sibuk dari biasanya bimbingan belajar serta pelajaran tambahan di sekolah."Gimana keadaan, sudah aman?" tanya Budi siang itu saat mereka sedang makan si
"Ibu sakit," kata Bagas saat menyambut kedatangan Dara dan Rizal."Sejak kapan?""Kemarin siang waktu aku pulang, ibu udah di kamar aja tapi untungnya masih mau makan."Dara membuka pintu kamar Bu Sum, wanita paruh baya itu meringkuk menghadap dinding dengan selimut yang menutupi hingga pinggang.Dara melangkah masuk disusk Rizal da Bagas. Duduk di sisi ranjang, Dara membelai lembut lengan sang Ibu."Bu ....""Hhmm ...."Dara meletakkan tangannya pada kening Bu Sum, tidak panas malah teraba dingin. "Ibu sudah makan?" Bu Sum mengangguk. "Aku buatin teh hangat ya, biar enakan badannya."Bu Sum menggeleng."Ibu ngerasain sakit dimana?" tanya Dara lagi."Ibu nggak kenapa-kenapa. Ibu baik-baik aja, cuma butuh istirahat," ujar Bu Sum tanpa menoleh ke arah Dara.Ya, sebenarnya mata wanita tua itu sembab, semalaman dia menangis ketakutan meratapi nasib putrinya. Dan pada akhirnya Bu Sum memutuskan untuk tidak menceritakan kedatangan Dahlan ke rumah mereka kemarin. Biarlah dia yang menghada
Jogja di guyur hujan dari malam hingga pagi ini. Mobil Brio hitam milik Rizal terparkir di halaman rumah Bu Sum. Pintu depan rumah itu sudah terbuka dari jam enam pagi tadi. Tumbuhan-tumbuhan hijau di pekarangan rumah Bu Sum tambah menyejukkan pagi ini.Jam tiga pagi tadi Rizal sampai di rumah Bu Sum. Seperti biasa, jika Rizal jadwal malam di rumah sakit sudah pasti Dara tidur di rumah Bu Sum. "Ibu bawakan bekal aja ya buat kalian," ujar Bu Sum mengantarkan anak dan menantunya kembali berangkat kerja. "Enggak usah Bu, kami makan di luar aja," jawab Dara sambil mencium tangan ibunya diikuti Rizal."Nanti kami pulang ke rumah ya, Bu," kata Rizal."Iya, pokoknya kalo kalian ke rumah Ibu pasti senang."Rizal dan Dara masuk ke mobil di payungi oleh Bu Sum. Bu Sum melambaikan tangan ketika mobil melaju keluar dari pekarangan rumahnya."Ini rumah ibu nya, Pak. Sepertinya mereka memang tinggal di sini bersama orangtua wanita itu," ujar informan yang di bayar oleh Synthia pada Dahlan.Ya, mo
"Liat ini." Anna menyodorkan ponselnya pada Synthia. "Anaknya teman Bunda yang kasih tau." Anna menarik kursi makan di hadapan Synthia.Sebuah poto pernikahan di sebuah resto daerah pinggir pantai di Jogja yang menunjukkan pasangan pengantin baru sedang berciuman usai acara pernikahan mereka."Rizal?" Synthia terkejut."Poto itu sempat viral ternyata beberapa hari lalu. Resto itu seperti mendapatkan promo untuk acara pernikahan lantaran poto mereka di antara senja di daerah pantai." Bibir itu tersenyum sinis tak suka."Mereka menikah, Bun. Aku harus gimana?" Synthia panik."Mereka menikah tanpa restu orang tua Rizal lah. Kamu masih ada kesempatan untuk membuat mereka berpisah, Syn. Sudah jelas keluarga Rizal nggak setuju sama wanita itu.""Ya ampun, mereka sudah menikah, Bun." Synthia mengacak rambutnya frustasi."Enggak usah lebay, enggak usah ngeluh. Usaha kamu nggak cukup besar dalam memisahkan mereka. Sekarang apa buktinya, kamu kalah.""Harusnya kemarin aku buat mati saja gadis J
Pagi itu Dara masih mengenaka baju tidur berbahan satin, dia tengah sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya. Rambut yang dia gulung tinggi ke atas memperlihatkan leher jenjangnya, nampak beberapa warna kemerahan menghiasi leher miliknya. Ya, tiga hari menjadi istri Rizal banyak hal-hal baru yang dia ketahui mengenai sifat dan sikap Rizal. Bukan hanya romantis, suaminya terlalu sering memanjakannya, apalagi dalam hal makanan. Sering memberinya hadiah, meski sekecil apapun. Hanya satu yang tidak di sukai oleh Dara, jika Rizal buang angin sembarangan. Hal yang lucu, kadang bisa membuat mereka saling menyalahkan. "Masak apa?" Rizal memeluk Dara dari belakang. Tangannya bergerak bebas kesana kemari menelusuri tubuh istrinya hingga Dara kegelian."Cuma masak mie instan," jawab Dara menoleh hingga mengenai hidung mancung milik Rizal. "Mie instan sering-sering nggak baik loh, Sayang.""Kan nggak setiap hari, Mas. Emang yang baik setiap hari apa?" goda Dara."Ini." Rizal memba